Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Jumat, 18 November 2011
Serbaneka
catatan serbaneka arir pasir
catatan kesatu
Menggugat kemerdekaan
Pada masa penjajahan, masa kolonial, manusia terkungkung, terkurung
oleh penindasan, penyiksaan, penderitaan, kerja paksa, iyuran paksa,
budaya diam. Perjuangan, pergolakan, pemberontakan berupaya
melepaskan, membebaskan diri dari semua kungkungan, belenggu tersebut.
Pada masa kemerdekaan, seharusnya (das Sollen) semua manusia bebas
dari penindasan, bebas dari penyiksaan, bebas dari penderitaan, bebas
dari kerja paksa, bebas dari iyuran paksa, bebas dari budaya diam.
Namun kenyataannya, realitasnya (das Sein) hanya segelintir manusia
yang mengecap, mengenyam, menikmati kemerdekaan. Selebihnya tetap saja
terkungkung, terkurung oleh penindasan, penyiksaan, penderitaan, kerja
paksa, iyuran paksa, budaya diam.
Atas nama keindahan kota, para pedagang kaki lima di seluruh pelosok
nusantara digusur, diuer. Dagangannya diobrak-abrik. Mereka ditindas,
disiksa, dipaksa menderita. Padahal prioritas tugas penguasa,
pemerintah seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar adalah
melindungi segenap rakyat, memajukan kesejahteraan rakyat,
mencerdaskan rakyat, bukannya malah menyengsarakan, memelaratkan
rakyat. Yang melarat, yang terlantar menurut UUD menjadi tanggunan,
jaminan Negara untuk memeliharanya, menghidupinya.
Atas nama hukum (sesuai dengan prosedur) seseorang bisa saja
dicurigai, dituduh, ditangkap, disidik, disidangkan, diadili,
dipenjarakan. Padahal seharusnya “tidak seorang pun boleh ditangkap,
ditahan tanpa prosedur yang sah”, “tiada seorangpun boleh disiksa
diperlakukan semena-mena”.
Hanya segelintir orang yang bebas mendpatkan pendidikan yang layak.
Selebihnya hanya dapat mendapatkan pendidikan asal-asalan, ala
kadarnya. Dan hanya segelintir orang yang bebas mendapatkan pekerjaan
yang layak. Selebihnya hanya apat mendapatkan pekerjaan asal-asalan,
ala kadarnya, bahkan banya yang jadi penganggur.
Pada masa penjajahan diperbudak oleh penjajah colonial. Kini di masa
kemerdekaan diperbudak oleh para investor. Diperbudak oleh
imperialisme modern. ‘Jadi buruh di tanah sendiri atas permintaan
sendiri”. “Jadi kuli modern”. Investasi asing adalah bentuk
imperialisme modern. Semuanya atas keinginan dan permintaan pemimpin
Negara yang “dijajah” itu sendiri, yang atas persetujuan rakyat (Simak
Bustanuddin Agus : “Imperialisme Modern”, dalam REPUBLIKA, Kamis, 9
Nopember 2006, hal 4, Opini).
Kemerdekaan politik, dalam arti sesungguhnya pun tak diperoleh.
Semuanya dikendalikan atas persetujuan Negara adikuasa. Bahkan PBB
sendiri pun tak berdaya atas Negara adidaya. Perhatikanlah perlakuan
Negara adikuasa terhadap Afghanistan dan Irak. Semua mereka lalukan
atas nama demokrasi. Kemenangan FIS di Aljazair, Hammas di Palestina,
Taliban di Afghanistan dilibas, dilindas oleh demokrasi adikuasa.
Padahal kemenangan mereka itu diperoleh secara demokratis melalui
pemilu, tapi karena tak sesuai dengan selera demokrasi adikuasa maka
dengan berbagai alasan dilenyapkan, dimusnahkan. Dalam demokrasi,
menurut Muhammad Iqbal, manusia hanya dihitung jumlahnya, bukan
dinilai mutunya (Simak “Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam”,
1983:23).
Dalam masa kemerdekaan kini yang tampak kasatmata hanayalah bebas
pamer dada, bebas pamer pusar, bebas pamer paha, bebas unjuk rasa,
bebas menggusur, bebas bergaul tanpa batas, bebass dari tatakrama,
bebas dari sopan santun, bebas jingkrak-jingkrak, bebas melanggar
tatatertib, bebas hura-hura.
Bebas mengemukakan pendapat secara lisan dan tulisan, tidaklah sama
dengan bebas demonstrasi, bebas unjuk rasa, bebas unujuk gigi, bebas
unjuk kuasa. Bebas adu akal, adu otak, bukan bebas adu okol, adu otot.
Dalam arti sesungguhnya, Indonesia masih terjajah oleh imperialisme
modern, baik dalam polistik, militer, hokum, ekonomi, industri,
social, budaya. Terjajah oleh hak veto negara adikuasa. Terjajah oleh
system protokoler yang dibikin sendiri.
Semua aparat, dari atas sampai ke bawah harus menyadari fungsi
tugasnya untuk melindungi rakyat, untuk mencerdaskan rakyat, untuk
mensejahterakan rakyat, bukannya untuk menyengsarakan rakyat.
Menyadari tugasnya sebagai pelayan masyarakat, bukan untuk dilayanai
masyarakat.
Semua tokoh, pemimpin, kiai, ajengan, ulama, mubaligh, da’I, ustadz,
mulai dari diri sendiri (ibda bi nafsik) menuntun, membimbing,
mengajak, menggerakkan masyarakat untuk proaktif menciptakan
kesejahteraan bersama dengan mendayagunakan infak fi sabilillah.
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapa, karib
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, dn
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya” (QS
4:36). Dengan mengamalkan suruhan ayat ini, insya Allah akan terwujud
Negara Sejahtera Adil Makmur. Gemah ripah loh jinawi. Tata tentrem
kerta reharja.
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS0707280645)
catatan kedua
Sudah merdeka, ataukah tetap terjajah ?
Seluruh Negara bekas jajahan Barat secara politik sudah merdeka.
Namun secara sistemik tetap terjajah. Semua sistemnya mengadopsi
Barat. System politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, militer,
teknologinya mengadopsi Barat. Perlakauan penguasanya terhadap lawan
politiknya sama saja dengan yang dilakukan oleh penjajahnya pada masa
lalu. Sistim protokoler yang sama sekali anti demokrasi diadopsi dari
Barat. Seluruh Negara Barat/Amerika/Australia pada hakikatnya adalah
anti demokrasi, ras diskriminasi. Simak Perjanjian Lama : Ulangan
23:19-20. Simak pula tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Bush
dengan pendukungnya terhadap Afghanistan, Irak, juga yang dilakukan
oleh pemerintah Israel dengan pendukungnya terhadap libanon/Palestina
aalah tindakan anti demokrasi, biadab, barbar. Menyelesaikan
perselisihan, persengketaan, bukan secara beradab dengan perundingan,
tetapi dengan kekuatan senjata.
Sistim hukumnya mengadopsi Barat. Pelaksanaan hukumnya dibawah
intervensi asing. Sistem rente/bunga mengadopsi Barat. Nilai mata uang
dikendalikan Barat. Tak ada yang berupaya membaca, membahas, mengupas,
menganalisa teori kemakmuran dari Adam Smith, Karl Marx, Maynard
Keynes, Forbes Harrod, juga teori pendidikan (pencerdasan bangsa) oleh
Condorcet.
Sistim sosial, budayanya mengadposi Barat. Cara makan, cara
berpakaian, cara bergaul, cara berkesenian mengadposi Barat tanpa
kritik. Mabuk-mabukan, jingkrak-jingkrakan dipandang sebagai indikasi
kemajuan. Juga pergaulan bebas tanpa batas, pamer ketek, tetek, pusar,
paha, gonta ganti pasangan dipandang sebagai identitas kemerdekaan.
Simak pula suasana kawin kontrak yang marak di puncak.
Sistim militer, teknologinya mengadopsi Barat. Upacara militer,
upacara bendera, hormat bendera diadopsi dari Brat secara utuh tanpa
kritik. Sistim militer Barat sama sekali adalah pendidikan anti
demokrasi. Siap melakasanakan perintah atasan apapun juga tanpa
bantahan. Teknologi yang hanya memperkaya pemodal konglomerat yang
diadopsi. Sistim pengiklanan diadopsi dari Barat. Sistim industri yang
padat modal, yang berorientasi mekanisasi dan otomatisasi, yang
memperbesar angka pengangguran diadopsi dari Barat. Semuanya bukan
untuk kesejahteraan, kemakmuran rakyat banyak, tapi untuk kemakmuran
konglomerat.
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS0608130630)
catatan ketiga
Indonesia belum siap merdeka ?
Sejak awal dipersoalkan apakah Indonesia sudah siap untuk merdeka ?
Ada yang memandang ahwa kemerdekaan baru bisa terwujud kalau sesuatu
yang hal yang kecil-kecil, yang jelimet, yang zwaarmichtig sudah siap
semua. ni sudah selesai leih dahulu, itu sudah selesai sampai jelimet
barulah bisa merdeka. Namun Sukarno memandang bahwa yang perlu
hanyalah keberanin, berani untk merdeka, merdeka secara politis
(political independence, politiek ofhanhelighheid,
Itu dalam teroritisnya (Das Sollen). Tetapi dalam prakteknya (Das
Seun) secara sosial-ekonomi, Indonesia masah saja belum merdeka. Sudah
silih berganti presiden, dari Sukarno, Suharto, GusDur, Megawati,
sampai Susilo, namun bangsa ini tetap saja belum cerdas, belum
sejahtera, belum makmur, belum terwujud Kesejahteraaan Sosial seperti
yang diamanantkan oleh UUD-45. UUD-45 hanya bermanfaat bagi kekuasaan
presiden (presidensial cabinet). Bahkan hasil pemilu pun ditentukan
dibawah bayang-bayang kendali Amerika Serikat dan sekutunya. Bilamana
hasil pemilu tak sesuai dengan selera demokrasi Amerika Serikat dan
sekutunya, maka hasil pemilu bisa saja dianulir. Simalah pembatalan
hasil pemilu oleh ulah Amerika Serikat dan sekutunya karena tak
mengikuti keinginan mereka.
(written by Sicumpas@gmail.com at BKS1109060700)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar