Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Jumat, 18 November 2011
Dakwah yang diharapkan masa kini
catatan serbaneka asrir pasir
Dakwah yang diharapkan masa kini
Media dakwah diharapkan untuk gencar menyampaikan dakwah agar umat
tertarik paa aktivitas formalisasi syar’at Islam, memberlakukan Hukum
Islam sebagai Hukum Positif, baik melalui jalur eksekutif,
legislative, maupun yudikatif.
Media dakwah diharapkan untuk gencar menghimbau umat agar jangan
sekali-kali mengkhianati perjuangan Hasanuddin, Diponegoro, Imam
Bonjol, Cik Di Tiro, Teuku Umar dan pemimpin-pemimpin umat masa lalu.
Apa yang diperjuangkan pemimpin-pemimpin umat Islam Indonesia ini ?
Untuk mencari jawaban pertanyaan ini, barangkali dapat ditelusuri dari
perjuangan beberapa pemimpin yang dapat dikwalifikasikan/dipandang
mewakili pemimpin-pemimpin umat Islam Indonesia. Antara lain Pangeran
Diponegoro di Jawa yang memperjuangkan terbentuknya negara berdaulat
(merdeka) di bawah pimpinan seorang Amirul Mukminin.
Kedua, Tuanku Imam Bonjol dengan kaum Paderinya di Sumatera yang
memperjuangkan lenyapnya adat (ideologi lokal) dan menggantinya dengan
aturan-aturan agama (Islam). (Anwar Sanusi : "Sejarah Indonesia" III,
1951:50,62).
Ketiga, pemimpin ummat Islam Indonesia dalam sidang BPUUPKI (seperti
Ki Bagoes Hadikoesoemo, dr Soekiman wirjosanjojo, Abikusno
Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Wahid Hasyim)
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara (Agama negara adalah Islam
dengan menjamin kemerdekaan orang-orang beragama lain untuk beribadat
menurut agamanya masing-masing. Presiden ialah orang Indonnesia asli
dan beragama Islam) (ESTAFET 12, 10-1986:24-25, Prof.JHA Logemann :
"Keterangan-Keterangan Tentang Terjadinya UUD-1945", hlm 21).
Keempat, pemimpin-pemimpin umat Islam Indonesia dalam sidang
Konstituante hasil pemilu 1955 yang memperjuangkan agar redaksional
Pembukaan UUD-45 dikembalikan seperti konsensus semula yaitu seperti
dalam Piagam Jakarta. Perjuangan tersebut tak berhasil. Kenapa ?
Karena Islam itu belum mengakar. Belum ada badan, tubuh, kaki, tangan,
bagian, anggota yang mendukung, yang menyangga. Belum dapat hidup,
meskipun sudah ada kepala. "Kita, berkata, 90% dari pada kita beragama
Islam, tetapi lihatlah dalam sidang BPUUPKI, berapa persen yang
memberikan suaranya kepada Islam ? Hal ini adalah salah satu bukti,
bahwa Islam belum mengakar, belum hidup-sehidupnya di dalam kalangan
rakyat (Indonesia)" ungkap Ir Soekarno dalam Pidato Lahirnya Pancasila
(1947:31).
Manusia dalam hidupnya bisa bertukar warna (haluan) dari bergerak maju
(revolusioner) ke bergerak mundur (konservatif-reaksioner), dan
sebaliknya. Presiden Soekarno tak luput dari ini. Beliau tergoda
dengan pujian, sanjungan, gelar kehormatan, nikmat kekuasaan. Tak ada
pemerintah yang dengan sukarela membatasi sendiri kekuasaannya.
Pemerintah hanya mau memberikan hak-hak politik kepada anggota
masyarakat, kalau dinilai masih sesuai dengan kepentingannya dan tidak
membahayakan kekuasaannya (PANJI MASYARAKAT 447, 21-10-1984:47-48).
Ketika sidang Konstituante masih belum tuntas berhasil mengambil
kesepakatan, Presiden Soekarno segera membubarkan Konstituante dan
menyatakan kembali ke UUD-45 serta membentuk Kabinet Presidentil.
Dengan Kabinet Presidentil memungkinkan terwujudnya suatu kepemimpinan
nasional yang kuat. Presiden bisa bertindak mengangkat dan
memberhentikan para Menteri yang merupakan pembantunya. Sedangkan
Parlemen tak kuasa menjatuhkan Presiden (Soegiarso Soerojo : "Siapa
Menabur Angin" 1988:101-102). (UUD-45 lebih besar memberi kekuasaan
pada bidang eksekutif, sedangkan UUDS-50 lebih besar memberi HAM pada
warganegara).
Dalam pandangan Hamka, ummat Islam wajib berikhtiar agar Islam dalam
keseluruhannya berlaku pada masing-masing pribadi, lalu kepada
masyarakat, kemudian kepada negara. Selama hayat dikandung badan,
harus berjuang terus agar Islam dalam keseluruhannya dapat berdiri
dalam kehidupan. Jangan sampai mengakui bahwa ada satu peraturan lain
yang lebih baik dari peraturan Islam ("Tafsir al-Azhar" II,
1983:174)..
"Jika ada jami’ah atau wadah ummat Islam yang mencita-citakan
berlakunya ajaran Islam yang berhaluan ahlussunnah wal jam’ah di
tengah-tengah kehidupan di dalam wadah negara RI yang berlandaskan
Pancasila dan UUD-45, agaknya bukan sesuatu yang belebihan". "Sama
sekali bukan pengkhianatan terhadap konstitusi 1945 yang
pemberlakuannya kembali melalui Dekrit 5 Juli 1959". Dalam konsideran
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 secara tegas dinyatakan bahwa Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD-45 dan merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut, ujar M.Said Budairy
(REPUBLIKA, 18-8-1996:2).
Dalam BPUUPKI, Ir Soekarno menyeru pemimpin-pemimpin ummat Islam
Indonesia bekerja sekeras-kerasnya untuk menggerakkan segenap rakyat,
mengarahkan sebanyak-banyaknya pemuka-pemuka, utusan-utusan Islam
duduk dalam badan perwakilan rakyat, sehingga hukum-hukum yang keluar
dari badan perwakilan rakyat itu hukum Islam pula.
= Bekasi 9 Oktober 1996 =
Masalah pemberlakuan syari’at Islam
Sungguh sangat simpatik pernyataan Haib Husein al-Habsyi bersama
kawan-kawan yang antara lain menuntut Sidang Umum MPR mendatang
mempersiapkan Referendum Nasional dengan opsi pemberlakuan syari’at
Islam dalam hukum nasional (SABILI, No.15, 5 Januari 2000, hlm 55).
Empat puluh lima tahun yang lalu (tahun 1955) wakil-wakil parpol Islam
dalam Sidang Konstituante menuntut agar Piagam Jakarta sebagai ikrar
kesepakatan bersama pada 22 Juni 1945 yang pernah dikhianati pada 18
Agustus 1945 dengan menghilangkan "dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", dikembalikan seutuhnya
sebagai Pembuka UUD. (Khannas sebaliknya menuding bahwa yang berupaya
mengembalikan Piagam Jakarta itu adalah orang-orang yang mengingkari
sejarah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
kebhinekaannya).
Namun secara inkonstitusional, tuntutan pengembalian Piagam Jakarta
Tersebut disambut dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan
konstituante hasil pilihan rakyat dan memberlakukan kembali UUD-45.
Berdasarkan perspektif historis dan tekstual, UUD-45 tetap saja
bersifat sementara (Ayat 2 Aturan Tambahan). Bahkan semangat dan jiwa
UUD-45 bersifat mendua, antara demokratis dan anti-demokratis
(Muhammad Yamin : "Proklamasi dan Konstitusi RI", 1952:90).
Sesuai kondisi riil masa kini, maka referendum dengan opsi
pemberlakuan syari’at dan hudud Islam seyogianya bersifat lokal,
daerah per daerah, namun penyelenggaraannya bisa saja serentak di
seluruh nusantara oleh pemerintah pusat.
Semoga bangsa ini tidak lagi mengkhianati ikrar yang telah disepakati
bersama, dan semoga tidak mendapat kutukan dan laknat dari yang
memberi kemerdekaan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar