Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Minggu, 13 November 2011
Hakekat dan Himakh Ibadah
Belajar memahami Ibadah
Ibadah adalah ketundukan mutlak kepada Allah dalam segala hal. Ibadah
merpakan implementasi, realisasi, penerapan dari keimanan dan
keyakinan bahwa ‘Tak ada Tuhan selain Allah”. Beribadat berarti
mengikuti aturan dan hokum Allah dalam setiap hal dan setiap kondisi
dan melepaskan diri dari ikatan setiap hukum yang bertentangan dengan
hukum Allah.
Dari sudut pandang hukum/fiqih, ibadah itu mencakup :
- Ibadah wajib. Melaksanakan perbuatan yang disuruh (wajib) dan
meninggalkan perbuatan yang terlarang (haram).
- Ibadah sunnah. Melaksanakan perbuatan yang dianjurkan (sunnah) dan
meninggalkan perbuaatan yang tercela (makruh).
- Ibadah mubah. Melaksanakan atau meninggalkan perbuatan yang
dibolehkan (mubah).
Dari sudut bentuknya, ibadah mencakup :
- Ibadah batin. Berhubungan dengan kerohanian, keimanan, keyakinan,
pemikiran, pemahaman.
- Ibadah lahir. Mencakup :
=Ibadah ifradi. Berhubungan dengan perbuatan perorangan, seperti Rukun Islam.
=Ibadah keluarga. Berhubungan dengan perbuatan dalam hubungan
kekeluargaan, seperti hubungan antara suami dan isteri, antara
orangtua dan anak.
=Ibadah jama’i. Berhubung dengan perbuatan bersama. Ibadah dsalam
bermasyar(syu’uri).
Dalam terminologi Fiqih (Hukum Islam), ibadah (dalam pengertian luas) mencakup :
- Rubu’ ibadah (dalam pengertian sempit, seperti Rukun Islam).
- Rubu’ munakahah (mengenai hubungan kekeluargaan).
- Rubu’ mu’amalah (mengenai hubungan tataniaga).
- Rubu’ jinayat (mengenai hubungan tatanegara).
(Disimak antara lain dari :
- Ummu Yasmin : “Materi Tarbiyah”, 2005:118-128,
- Abul A’la alMaududi : “Bagaimana memahamai Qur:an”, 1981:95-117,
- ————“———— : “Prinsip-Prinsip Islam”, 1975:105-107,
- ————“———— : “Dasar-Dasar Islam”, 1984:107-115)
(BKS0708130645)
Bagaimana konsep matematika ibadah
Disebutkan bahwa shalat berjama’ah di masjid dua puluh tujuh derajat
daripada shalat sendiri di rumah (Simak HR Bukhari dan Muslim dari
Ibnu Umar dalam Terjemah “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, jilid II,
halaman 160, hadis no.1, Terjemah “Bulughul Maram” Al’Asqalani,
halaman 217, hadis no.421). Apakah ini berarti bahwa akhlaqseseorang
yang secara rutin shalat berjama’ah di masjid 27 kali lebih baik dari
yang shalat sendiri di rumah ? Apakah efektifitas shalat berjama’ah di
masjid secara rutin dapat dilacak ditelusuri sesudah keluar dari
masjid , bahwa kesalehan ritual dan kesalehan sosialnya meningkat 27
kali dari sebelumnya ?
Disebutkan bahwa shalat di Masjid Nabawi lebih baik dari 1000 kali
daripada shalat di masjid lain, sedangkan shalat di Masjidil Haram
lebih baik 100 kali daripada di Masjid Nabawi ( Simak HR Bukhari dan
Muslim dari Abuhurairah, dalam Terjemah “AlLukluk wal Marjan” Muhammad
Fuad Abdul Baqi, jilid I, halaman 474, hadis 881). Apakah ini berarti
akhlak seseorang yang secara rutin shalat di Masjidil Haram lebih baik
ribuan kali daripada yang shalat di masjsid lain. Apakah orang-oang
yang bermukim di sekitar kedua masjid itu yang hanya dapat
hak/fasilitas untuk memperoleh kebaikan ribuan kali ? Apakah setelah
beribadah di Masjidil Haram (Haji atau Umrah) sikap mental (kesalehan
ritual dan kesalehan social seseoang akan meningkat lebih baik ribuan
kali dari sebelumnya ?
Disebutkan bahwa amalan sunat pada bulan Ramadhan bernilai seperti
amalan wajib (Simak Terjemah “Riadhus Shalihin”, jilid II, halaman
463, hadis no.8, HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas). Apakah ini
berarti akhlaq seseorang yang secara rutin melakukan amalan sunat
lebih baik daripada yang hanya melakukan amalan wajib saja ? Apakah
tolok ukur yang dapat digunakan untuk melihat bahwa kesalehan ritual
(spiritual) dan kesalehan social seseorang itu meningkat ?
Bagaimana kaitan antara kepekaan/kesalehan ritual/spiritual dengan
kepekaan/kesalehan sosial. Apakah semakin meningkat kepekaan/kesalehan
ritual/spiritual akan semakin meningkat kepekaan/kesalehan sosial.
Bagaimana kaitan antara ibadah dengan akhlaq. Apakah ibadah itu
merupakan cara, metoda untuk meningkatkan akhlaq. Rasulullah diutus
untuk meningkatkan akhlaq manusia.
Disebutkan bahwa haji/umrah adalah jihad para wanita (Simak HR Ahmad,
Ibnu Majah dari Aisyah, dalam Terjemah “Bulubhul Maram”, halaman 352,
hadis no.727). Bagaimana halnya kalau wanita yang sudah menunaikan
ibadh haji/umrah itu kebetulan masih punya dana untuk menunaikan
ibadah haji/umrah, apakah ia harus kembali menunaikan ibadah
haji/umrah ? Bagaimana kalau saat itu di lingkungannya bertempat
tinggal terdapat proyek keagamaan (seperti pembangunan masjid,
madrasah) yang sangat membutuhkan dana pembangunan. Apakah ia harus
mengutamakan mewakafkan hartanya untuk pembangunan proyek keaamaan ?
Dan bagaimana kalau di sekitarnya banyak fakir-miskin yang sangat
membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Apakah si
wanita itu harus lebih mendahulukan menyantuni oang0oang papa ?
Di dalam sejarah pernah disebutkan seorang dermawan dan hartawan besar
yang tidak sempat berzakat, namanya Ma’an bin Zaaidah. Ia hidup pada
akhir pemerintahan Umaiyah dan awal pemerintahan Bani Abbas. Sumber
kekayaannya amat besar, dan ia selalu member orang hadiah, murah
tangan, sehingga setelah tahun habis dia tak dapat berzakat, karena
hartanya yang tinggal tak sampai nisabnya (Prof Dr Hamka : “Tafsir
AlAzhar”, Panjimas, juzuk II, 1983:91). Tentu saja pemberiannya
bukanlah recehan, remahan. Kalau besarnya receh, remah taklah akan
menguras kekayaannya.
Ada seseorang yang sudah menunaikan ibadah haji dan umrah, kini
bermaksud akan berumrah bersama sekeluarga lagi. Pada saat yang sama
beberapa saudara kandungnya hidupnya sangat memprihatinkan (melarat,
manyarapih), membutuhkan modal usaha. Mana yang lebih mulia di sisi
agama dan kemanusiaan, apakah member saudra bantuan modal usaha
ataukah berangkat sekeluarga menunaikan ibadah umrah ?.
Disebutkan bahwa yang sempat beribadah pada malam lailatul qadar, maka
nilai amal-ibadahnya meningkat lebih dari seribu kali daripada malam
hari biasa. Apakah ini berarti juga nilai ketakaan, kekhusyu’annya
meningkat lebih daripada seribu kali sebelumnya ? Ketakwaan,
kekhusu’an itu mengandung, mencakup pengertian kepekaan, kesalehan
spiritual (teologis, teosentris, domestic, individual)) dan social
(sosiologis, antroposentris, public, intelektual) ?
Dalam hubungan ini ada terminologi Islam, yaitu “zuhud”. Zuhud adalah
sikap hidup yang lebih peduli pada kesejahteraan sosial daripada
kemewahan diri meskipun ia mampu.
Disebutkan bahwa kesuksesan ibadah haji bukanlah merupakan hasil
kalkulasi penjumlahan dari hitungan numerik-kuantitif, melainkan pada
dampak positif kulitatif terhadap peningkatan kepekaan spiritual dan
kepedulian sosial yang tampak terlihat nyata ( Simak Dr Eko Purwanto
SE MM ; “Ibadah Haji adalah Seremonial Kematian”, dalam Buletin
ASY-SYAMS, Bekasi, No.55, 12 November 2010M).
(Asrir BKS1009140700 written by sicumpaz@gmail.com)
Ibadah antara pola dan hikmah
Ada suara mengatakan bahwa dalam beribadah yang diperlukan hanyalah
melaksanakannya secara serius dengan mengikuti tuntunan untuk
mendapatkan pahala tanpa perlu memahami maksud, tujuan, hikmahnya.
Dengan demikian, maka ibadah dapat dilaksanakan dengan khusyu’.
Melaksanakan apa yang disuruh, meninggalkan apa yang dilarang.
Ada pula suara yang mengatakan bahwa dalam beribadah disamping
melaksanakannya secara serius dengan mengikuti tuntunan untuk
mendapatkan pahala juga perlu memahami maksud, tujuan, hikmahnya agar
apat dilakukan dengan khusyu’. Ibaah dilaksaakan dengan disertaai
pemahaman tentang hikmahnya.
Dalam melaksanakan shalat berjama’ah di masjid, laksanakan saja apa
yang disuruh dan tinggalkan apa yang dilarang. Tak peduli apakah
safnya rapat atau tidak. Apakah safnya teratur, lurus atau tidak.
Dalam melaksanakan ibadah shaum Ramadhan, laksanakan saja apa yang
disuruh dan tinggalkan apa yang dilarang. Dalam hubungan dengan shaum
Ramadhan ini ada hadis yang menyebutkan perlunya unsure imaanan dan
ihtisaaban. Imaanan berarti percaya, tunduk, patuh, melaksanakan yang
disuruh dan meninggalkan yang dilarang. Ihtisaaban berarti
hitung-hitungan, memahami maksud, tujuan, hikmah dari ibadah yang
dilakukan.
Dalam ibadah haji, ukuran kesuksesannya bukanlah merupakan hasil
kalkulasi hasil penjumlahan dari hitungan matematik numerik-kuantitif,
melainkan pada dampak positif kulitatif terhadap peningkatan kepekaan
spiritual dan kepedulian sosial yang tampak terlihat nyata ( Simak Dr
Eko Purwanto SE MM ; “Ibadah Haji adalah Seremonial Kematian”, dalam
Buletin ASY-SYAMS, Bekasi, No.55, 12 November 2010M).
Dalam melaksanakan ibadah qurban, laksanakan saja apa yang disuruh dan
tinggalkan apa yang dilarang. Tak perlu memahami maksud, tujuan,
hikmah ibadah qurban itu. Tak perlu memahami apa beda antara qurban
dengan sesajen. Tak perlu memahami mana qurban yang diterima dan mana
qurban yang ditolak. Sembelih hewan quban. Bagi-bagikan daging hewan
sembelihan itu. Tak perlu memahami mana yang lebih utama bagi si
miskin, apakah hewan hidup ataukah daging hewan sembelihan. Tak perlu
memahami apa beda antarra infaq, sedeqah dengan qurban. Tak perlu
memahami mana yang lebih utama bagi si miskin, apakah infaq, sedeqah
ataukah qurban. Tak perlu memahami apakah daging hewan sembelihan itu
bagi si miskin merupakan makaanan mewah (langka) ataukah tidak.
Inti ajaran alam beribadah adalah “sami’na wa atha’na”, laksanakan aja
tanpa “fakkarna”, tanpa perlu memahami maksud, tujuan, hikmahnya.
Ajaran Islam itu hanya untuk didengar dan dilaksanakana. Laksanakan
yang diperintahkan Allah dan tinggalkan yang dilarangNya. Ajaran Islam
itu bukan untuk dianalisa, dibahas, dipahami, difikirkan, dikaji
secara ilmiah akademis. Jika berupaya menganalisa ajaran Islam secara
akademis maka akan menemui jalan buntu atau jalan tak ada ujung. Islam
bukan komoditas akademis.
(Asrir BKS1010180545 written by sicumpaz@gmail.com sicumpas.wordpress.com)
Mencari Makna dan Hakekat qurban
Apakah hakekat berqurban itu adalah menumpahkan darah hewan ternak pda
hari tasyrik ? Kata shalat yang diiringi oleh wanhar hanya
satu-satunya alam ayat QS 108:2 (AlKautsar). Selainnya kata shalat
diikuti oleh kata infaq atau kata zakat.
Apakah hakekat berqurban itu adalah ramai-ramai makan daging hewan
ternak pada hari tasssyrik ?
Apakah ada riwayat yang menyatakan bahwa pada masa Rasulullahsawhidup
ada orang-orang yang berupaya membeli hewan ternak untukdiqurbankan
pada hari tasyrik ?
Padahari tasyrik ada seseorang peternak kambing baru punya anak lelaki
berumur tujuh hari. Kambingnyaa ada 40 ekor. Apasaja kewaajiban agama
Islam yang harus ia lakukan berkaitan dengan kambingnya?
Apakah di daerah-daerah yang bukan daerah peternakan orang-orang harus
berupaya membeli hewan ternak dari daerah-daerah peternakan untuk
diqurbankan pada hari tasyrik ?
Apkah berqurban dalam bentuk menyembelih hewan ternak itu memang sudah
baku (Ta’abbudi), sudah qath’I ? Ataukah boleh dalam bentuk lain ?
Rasulullah saw mengatakan bahwa ketika Nabi Ibrahim hidup, di Makkah
blum ada tanaman. Seandainya waktu itu aatanaman tentulah Nabi Ibrahim
juga akan mendo’akan keberkahan kepada mereka pada tanaman (dalam HR
Bukhari dari Ibnu Abbas pada “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, Bab
“Bahagian Hadis-Hadis yang terserak-serak dan yang jenaka).
Ataukah berurban itu bermakna memenuhi kepentingan social, kebutuhan
masyarakat, kepedulian akan yang melarat, yang lapar, untuk
mendapatkan kebahagiaan di akhirat ? Islam memandang yang tak peduli
akan yang melarat, yang lapar, mengindikasikan tak peduli akan Islam
(Simak QS 107:1-3; 28:76-77). Yang member makan yang lapar itu
dikategorikan sebagai yang mendapatkan rahmat, ridah Allah.
Apakah qurban itu wujud taqarrub ilallah yang terkandung dalam
AlQur:an dan yang terurai, terjabar dalam akhlaq, perilaku Rasulullah
saw yang sangat tawadhu’, sangat dermawan ? (Simak “Madarijus Salikin”
Ibnu Qayyim, terbitan Pustaka AlKautsar, Jakarta, 2008:324; “Sejarah
Hidup Muhammd” Haekal, terbitan Tintamas, Jakarta, 1984:228_231).
Sehubungan ayat QS 5:27, apakah bentuk qurban Qabil dan Habil, apakah
bentuk sesajen masa kini, ataukah seperti hewan sembelihan pada masa
hari tasyrik ? Apakah tandanya qurban yang diterima, dan apa pula
tandanya qurban yang ditolak ? Apakah karena Habis ikhlas
melakukannya, sedangkan Qabil tidak ikhlas melakukannya ? Apakah
karena qurbannya ditolak, makanya Qabil iri akan, dengki terhadap
Habil, dank arena terbakar dengan api dengki itu maka Qabil membunuh
Habil ? Apakah kasus ini merupakan peristiwa lanjutan dari yang
membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah ? (QS 2:30).
(Asrir BKS1010181200 written by sicumpz@gmail.com sicumpas.wordpress.com)
Tiada keteladanan
Setiap tahun, setiap Ramadhan di masjid tempat saya tinggal setiap
malam setelah shalat tarawih diisi dengan santapan rohani yang
disampaikan oleh penceramah-penceramah secara bergilir, bergantian
terjadwal. Sehabis melakssanakan shalat witir, seluruh para jama’ah
pada pulang. Masjid tinggal kosong melompong. Begitulah
berulang-ulang, tahun berganti tahun.
Di antara isis ceramah adalah agar mengisi Ramadhan dengan tadarusan,
membaca Qur:an dan i’tikaf di masjid. Namun saying seribu saying,
ceramah tetap tinggal ceramah. Tak ada seorang pun penceramah yang
siap memberikan contoh, yang siap mengajak dan membimbing jama’ah
bertadarus, beri’tikaf setelah shalat witir sampai tengah malam.
Sama sekali tak terasa dampak ceramah tersebut. Hal ini karena tak ada
keteladanan, tak ada sosok penceramah yang terpanggil memberikan
contoh, telada kepada jama’ah tentang yang diceramahkannya. Penceramah
jalan sendiri. Jama’ah jalan sendiri. Sebenarnya tak ada suasana
berjama’ah.
Barangkali di masjid-masjid lain pun tak beda halnya dengan masjid
tempat saya tinggal. Setelah shalat witir, masjid tinggal kosong
melompong. Tak ada tadarusan, tak ada I’tikaf. Silakan lacak, telusuri
sendiri.
(Asrir BKS1008282200 writen by sicumpaz@gmail.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar