Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Senin, 28 November 2011
Islam tak mendarah daging
catatan serbaneka asrir pasir
Islam tak mendarah daging
Islam di kalangan umat Islam hanyalah dipermukaan saja, tak mendarah
daging. Perilaku umat Islam dalam praktek kenyataan (Das Sein) jauh
dari nilai-nilai Islam. Itulah hasil penelitian sosial bertema “How
Islamic are Islamic Countries” yang dilakukan oleh The George
Washington University, yang diungkapkan oleh Komaruddin Hidayat,
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dalam tulisannya “Keislaman
Indonesia” (KOMPAS, Sabtu, 6 November 2011, hal 6, “Opini”). Akibatnya
umat Islam menjadi umat pecundang, menjadi bulan-bulanan umat lain.
Islam tak menyusup kedalam kepribadiN UMAT Islam.
Dlam teori (Ds Sollen) umat Islam itu adalah umat unggulan, umat
pemenang, umat falah. Umat paripurna, umat tertinggi, tak ada yang
meninggiinya, mengunggulinya. Namun dalam kenyataannya umat Islam tak
mampu berkompetensi dengan umat lainnya. Perilku (akhlak) umat Islam
masa kini cenderung mengadopsi akhlak madzmumh (akhlak tercela),
berperilaku naniyah (egois), ghibah (gosip) khiyamah (culas, curang),
bukhl (kikir, pelit), hasad (dengki, jealousy), jubn (takut), riya
(pongah, pride), tama’ (rakus, materiaalis), dan lain-lain. Cenderung
meninggalkan akhlak mahmudah (akhlak terpuji), tak berperilaku syukur
(thanks, gratitude), ridha, ikhlas (jujur), adil, amanah, ta’awun
(solider), tasamuh (toleran), istiqamah (konsekwen, konsisten),
qana’ah, zuhud, wara’, prihatin, sederhana, tawadhu’ (modesty), sabar
(gigih, patience), syaja’ah (tegas), tertib (disiplin), dan lain-lain.
Meskipun software, piranti lunak seperti firman Allah, sabda Rasul
yang digunakan, dijadikan sebagai acuan, rujukan adalah sama, namun
pemahaman, ijtihadiyah, persepsinya tetap saja berbeda-beda. Munculnya
mazhab, firqah, aliran, sekte adalah karena perbedaan pemahaman,
penafsiran, bukan karena perbedaan rujukan, acuan. Setiap kepala punya
pemikiran, pemahaman masing-masing. Meskipun semua kembali sama-sama
merujuk kepada firman Allah dan sabda Rasul, namun hasilnya tetap saja
berbeda.
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1111140500)
Pro Prof Dr Komaruddin Hidayat (1)
Pertanyaan besar dan mendasar “mengapa semarak dakwah dan ritual
keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku social dan
birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktekkana
di Negara-negara sekuler ?” (yang dimuat dalam harian KOMPAS, Sabtu, 5
November 2011, halaman 6, Opini : “Keislaman Indonesia”), semestinya
dijawab, dijabarkan, dipaparkan, diuraikan oleh kalangan intelektual
semacam Prof Dr Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta sendiri.
Juga pertanyaan “apakah kesalahan ini lebih dise babkan oleh perilaku
masyarakat ataukah pada sistim pemerintahnya ? Atau akibat system dan
kultur pendidikan Islam yang salah. Kenapa perilaku social di
Indonesia sangat jauh dari ajaran Islam. Kenapa di Indonesia marak
korupsi, sistgem ekonomi dengan bunga tinggi (materialistis), kekayaan
tak merata (individualistis), ketiadaan persamaan hak bagi setiap
warga untuk memperoleh pelayanan Negara dan untuk berkembang, serta
banyak asset social yang mubazir (bahkan menyalahi pasal 33-34 UUD-45)
? Kenapa ? Ini pun merupakan PR ijtihad kalangan intelektual.
Kenapa keislaman umat Islam Indonesia lebih senang di level dan
semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual (tidak ada
hubungannya antara kesalehan individual dan kesalehan social) ? Kenapa
Islam hanya dipahami sebatas teologis (teosentgris) tanpa
mengaitkannya, tanpa memadukannya secara sosiologis (antroposentris) ?
Silakan gunakan palu godam SWOT (Strenth, Weakness, Opportunity,
aThreat) dan SOAR (Strength, Opportunity, Aspiration, Result) analysis
untuk memecahkan p;ersoalan tersebut.
Pro Prof Dr Komaruddin Hidayat (2)
Re : "Keislaman Indonesia" (KOMPAS, 5 November 2011)
Prof Dr Nurcholish Madjid, pencetus Paramadna mengajarkan,
mendakwahkan pluralisme, bahwa semua agama itu sama. Semua agama itu
sama-sama membawa ajaran moral. Semua ajaran moral dipandang sama.
Sama-sama baik. Tak ada ajaran moral yang tak baik.
Ajaran moral lebih cenderung/dominan pada kebaikan orang-perorang,
pada kesalehan individual. Ajaran moral pada umumnya tak punya sanksi
hukum. Istilah dosa dan pahala sama sekali tak terkait, tak berdampak
pada tindak perilaku.
Sesuai dengan tuntututan sosial-ekonomi-politik masyarakatnya, maka
masing-masing negara berupaya merumuskan sanksi hukum bagi pelanggaran
ajaran moral. Apa yang disaksikan oleh para ustadz dan kiai yang
berkunjung ke Negeri Sakura jepang dalam program krjasama antara
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
Kedutaan Besar Jepang di Jakarta adalah pencerminan dari upaya Jepang
memberlakukan sanksi hukum atas pelanggaran ajaran moral Shintoisme.
Kehidupan sosial di Jepang yang disaksikan itu lebih mencerminkan
penerapan nilai-nilai ajaran moral Shintoisme, bukan lebih
mencerminkan penerapan nilai-nilai ajaran moral Islam.
Diperlukan kemauan keras dan kerja keras dari semua pihak untuk
mengupayakan adanya sanksi hukum bagi pelanggaran ajaran moral Islam
yang berlaku seagai hukum positif, disamping sanksi atin/psikologis
(sanksi moral ?) dalam bentuk dosa atau pahala. Diperlukan pendidikan
akhlak (ajaran moral Islam) disamping pengajaran akhlak. Diperlukan
pendidikan keimanan (teologi) disamping pengajaran keimanan (teologi).
Dipetrlukan orientasi terpadu antara pemahaman ajaran Islam secara
teologis/teosentris dan sosiologis/antroposentris. Diperlukan kajian
menyeluruh yang bersifat SMART (Specific, Measurable, Achievable,
Realistic, Timed) dengan menggunakan SWOT (Strenth, Weakness,
Opportunity, Treath).
Persepsi
Oleh: Asrir Sutanmaradjo
Dalam bidang optik, sesuatu objek bisa saja terlihat berbeda-beda,
tergantung dari latar (faktor sikon disekitarnya). Adakalanya
disebabkan karena adanya bias (pembiasan), deviasi (penyimpangan,
pembelokan), depresiasi (penurunan).
Dalam bidang Psikologi pun sesuatu objek bisa terlihat berbeda-beda,
tergantung dari latar (faktor sikon disekitarnya yang mempengaruhinya)
dan dari cara, sikap pandang si pengamat (observer) sendiri. Persepsi,
observasi, evaluasi, pengamatan, penilaian seseorang terhadap sesuatu
masalah selalu akan berbeda-beda, tergantung pada latar (sikon
disekitar masalah) dan sikon disekitar si pengamat.
Bila objek dinyatakan sebagai premise mayor (muqaddam kubra) dan latar
(sikon) sebagai premise minor (muqaddam shughra), maka dalam bidang
Logika (Mantiq), persepsi dapat dinyatakan sebagai konklusi (natijah).
Dan bila objek dinyatakan sebagai genotip (bawaan) dan latar (sikon)
sebagai (fenotip) (lingkungan), maka dalam biologi, persepsi dapat
dinyatakan sebagai sosok.
Persepsi, observasi, evaluasi bersifat sangat relatif, nisbi.
Pengamatan, penilaian yang satu tak bisa menyalahkan pengamatan,
penilaian yang lain. Dalam Islam disebutkan bahwa sesuatu ijtihad tak
dapat membatalkan (la yanqudhu, tak dapat menolak, menafikan,
membantah) ijtihad yang lain. Hanya persepsi yang sama sekali bebas
dari pengaruh asumsi, prasangka yang bersifat absolut, mutlak.
Dalam hubungan ini, kini, belakangan ini marak isu, berita tentang
tindak kejahatan, tindak kriminal berkedok, mengatasnamakan NII
(Negara Islam Indonesia). Sesuai dengan cara, sikap pandang
masing-masing, maka ada yang berkesipulan bahwa NII (Islam) itu
menghalalkan segala cara. Dan ada pula yang berkesimpulan sebaliknya
bahwa NII (Islam) itu didiskreditkan, dipojokkan dengan berbagai cara.
Memperjuangkan tegak-berdirinya NII (Negara Islam Indonesia) secara
demokratis di negeri ini, di bumi pertiwi ini, di persada tanah air
ini adalah sah, legal saja. Ketika Pancasila dilahirkan, dicetuskan
oleh penggagasnya Ir Soekarno dalam siding BPUPK (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan, Dokuritsu Zyunbi Tyuoosakai) pada 1 Juni
1945, umat Islam diajak agar bekerja sekeras-kerasnya,
sehebat-hebatnya supaya hukum-hukum yang keluar dari Badan Perwakilan
Rakyat adalah hukum-hukum Islam. Percaya dengan ajakan Ir Soekarno,
penggagas Pancasila tersebut, maka tokoh-tokoh umat Islam yang duduk
dalam BPUPK menerima, menyepakati ide Pancasila. Negara yang
memberlakukan hukum-hukum Islam secara positif adalah Negara Islam.
Baldatun thaiyibatun wa rabbun ghafur. Kenapa begitu antipati terhadap
hukum Islam?
Masih dalam hubungan ini, kini juga marak isu, berita tentang studi
banding ke luar negeri yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat di DPR.
Kenapa tak berminat melakukan studi banding ke dalam negeri? Studi
banding antara sitim pemerintahan Minangkabau dengan sitim
pemerintahan Jawa ? Studi banding antara sistim pemerintahan
parlementer dengan sistim pemerintahan presidensial? Studi banding
antara konsitusi UUDS-1950 dengan konstitusi UUD-1945 ? Studi banding
antara konstitusi NII (NKA, Negara Karunia Allah) dengan konstitusi
NKRI ? dan lain-lain, dan lain-lain.
De-islamisasi
Deislamisasi
Deislamisasi adalah aktivitas yang bertujuan dan berupaya untuk
menggeser, menggusur, meminggirkan, menyingkirkan, memasung, mencabut
Syari’at Islam dari mu’amalah (sosial, kultural, ekonomi, hukum,
politik, militer, dll).
Deislamisasi dilakukan terprogram secara sistimatis, terencana,
terarah, berkesinambungan.
Diislamisasi dilakukan oleh yang bukan Muslim, dan juga oleh yang
mengaku Muslim, bahkan oleh pakar Islam sendiri yang paham akan Kitab
Kuning.
Yang bukan Muslim berupaya merusak kepercayaan akan Tauhid, merusak
kepercayaan akan Rasul Allah, mencaci-maki, menjelek-jelekkan Islam
dan umat Islam. Berupaya merusak kepercayaan akan Kitab Allah.
Berupaya merusak kepercayaan akan Takdir Allah, merusak kepercayaan
akan hari pembalasan.
Yang bukan Muslim berupaya menyebar isu negatif, menjelekkan dan
menghina serta merendahkan Islam, Qur:an dan Nabi Muhammad.
Islam digambarkan sebagai agama orang primitif, barbar, sadis, bengis,
beringas, sangar, seram, brutal, haus darah, penumpah darah, kejam,
jorok, dekil, kumal, yang cocok buat bangsa biadab. Islam dicap
terkebelakang, kolot, anti kemajuan.
Islam dipandang sebagai agama para penghasut, pengikut fanatik. Umat
Islam dipandang sebagai orang yang bersedia mati dengan cara kekerasan
(teroris), orang-orang bodoh yang secara buas siap menyerbu kemedan
peang untuk mendapatkan rampasan perang kalau hidup, ataau mendapatkan
surga kalau mati (Orientalis Washington Irving, dalam Muhammad Husain
Haekal : "Sejarah Hidup Muhammad", 1984:693, Prof Dr Hamka : "Tafsir
Al-Azhar", juzuk VIII, hal 97, juzuk XX, hal 28).
Yang mengaku Muslim berperan aktif menyebarkan isu bahwa Islam itu
hanya cocok bagi masyarakat seragam (homogen), tak cocok bagi
masyarakat beragam (heterogen). Untuk masyarakat majemuk (heterogen)
"harus dicarikan acuan lain yang bisa dipakai bersama dalam komunitas
yang pluralistik".
Dengan memanipulasi dalil-dalil syar’I, yang mengaku Muslim sendiri
juga turut berperan aktif mengebiri, melumpuhkan, memenggal, mengikis
Islam, berupaya mereduksi makna Islam sedemikian rupa.
Dengan memanipulasi makna ayat QS 3:3, yang mengaku Muslim menyebarkan
isu bahwa "yang telah beragama jangan didakwahi masuk Islam". "Jangan
didakwahkan Islam itu sebagai acuan tunggal (alternatif). Bahwa "Islam
itu urusan pribadi, soal nilai". Pemerintah taka berhak memaksa rakyat
melaksanakan Syari’at Islam. Aktivitas politik haruslah dipisahkan
dari Islam. Padahal Islam itu merupakan satu kesatuan IPOLEKSOSBUDMIL,
seperti diungkapkan Sayyid Quthub bahwa "banyak ayat alQur:an yang
menggambarkan janji-janji Allah di dunia ini dalam kaitannya dengan
komunitas (society, masyarakat) dan bukan individu (perorangan
pribadi). "Untuk bisa turunnya berkah dari Allah, seperti yang
dijanjikanNya, harus terwujud ketakwaan komunal (jama’ah)", kata Abdul
Haris Lc (Majalah UMMI, No.10/IX, 1998, hal 28).
Yang mengaku Muslim aktif menyebar isu bahwa hak individu tidak boleh
diintervensi, diatur oleh siapa pun, termasuk oleh Islam sendiri. "Tak
ada paksaan dalam Islam". Jangan teraapkan Islam itu secara formal.
Jangan formalisasikan ketentuan Syari’at Islam sebagai hukum positif
ke dalam peraturan perundangan negara.
Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku Muslim menyebarkan
isu bahwa "setiap upaya untuk memformalkan ajaran Islam ke dalam
peraturan perundang-undangan akan bersifat diskriminatif (zhalim,
aniaya, tidak adil) terhadap kelompok yang lain".
Yang mengaku Muslim berupaya menyear isu, bahwa alQur:an tidak pernah
secara spesifik berb icara tentang negara Islam (Islamic State),
karena itu ide (gagsan tentang negara Islam) tidak ada dan harus tidak
ada, karena akan menimbulkan perpecahan bangsa, distabilitas dan
disintegrasi nasional. (Siapa yang sebenarnya memecah persatuan antara
Timor Barat dan Timor Timur, antara Papua Barat dan Papua Timur,
antara Borneo Selatan dan Borneo Utara, antara Korea Selatan dan Korea
Utara, antara Yaman Selatan dan Yaman Utara, antara Jerman Barat dan
Jerman Timur, dan lain-lain ?)
Yang mengaku Muslim berupaya aktif menyebarkan isu agar tidak
melegalisasikan ajaran Islam ke dalam perundang-undangan. "Tak ada
ketentuan Fiqih yang mengharuskan negara diatur oleh Islam". Akhirnya
Islam diatur oleh negara. Dan paling akhir, Islam tinggal hanya
sekedar nama. Taka da mu’amalah, tak ada ‘ubudiyah, tak ada ‘aqidah.
Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku Muslim menyebarkan
isu bahwa lembaga pendidikan Madrasah, IAIN, Peradilan Agama, RUU
Zakat bersifat diskriminatif (zhalim, aniaya, tidak adil). Karenanya
haruslah ditolak,
Elite politik Muslim yang mendukung Fraksi Islam paling banyak
seperlima, yaitu dari kalangan Muslim di PPP, PBB, PK, PNU, PSII, P.
Sedangkan elite politik yang menantang Fraksi Islam paling sedikit
empat perlima, yaitu dari kalangan Muslim di PDI-P, Golkar, PAN, PKB,
PKP, PDKP, PDR, IKKI, PP, PNI.
Yang mengaku Muslim turut meredusir, menurunkan pengertian jihad dari
pengertian istilah (kontekstuaal, keagamaan) menjadi pengertian
lughawi (tekstual, grammatikal, leksikal, kebahasaan), yang hanya
berarti bekerja keras atau berjuang. Juga pengertian ukhuwah
diturunkan dari ukhuwah Islamiyah menjadi ukhuwah
syhu’ubiyah/wathaniyah.
Yang mengaku Muslim turut aktif menyerukan agar prinsip-prinsip Islam
harus diselaraskan, disesuaikan, diakomodasikan dengan dunia modern
(modernisme). Pengundangan sanksi moral oleh negara haruslah ditolak.
Yang mengaku Muslim juga menuding, mencap Islam sekretarian,
primodial, ekstrim, fundamentalisme. Umat Islam dituding berpikiran
picik, sempit, sontok, sektoral, parsial.
Yang mengaku Muslim sendiri menyerukan bahwa umat Islam haruslah
berpikiran luas dalam skala besar, menjangkau kepentingan nasional,
tidak berpikiran sempit, hanya mementingkan kepentingan Islam.
Jebakan deislamisasi : Yang ya’lu, yang unggul adalah Nasionalisme,
bukan Islam. Haruslah berpikir nasionalis, jangan Islami.
Yang mengaku Muslim juga melakukan sinkretisasi, mencampurkan yang
bukan Islam ke dalam Islam (talbisul haq bil bathil). Tokoh-tokoh masa
kini yang dijadikan rujukandan acuan dalam sinkretisasi antara lain Ir
Mahmud Muhammad Thaha, Abdullah Naim (keduanya tokoh pluralis Sudan
yang menentang keras islamisasi pemerintahan). Hasan Hanafi (tokoh
kiri Mesir yang menyatakan bahwa hakikat agama itu tidak ada),
Muhammad Imarah, Rifa’at Thahthawi dan lain-lain tokoh sekular yang
menyandang predikat Islam (Islam di permukaan, ‘ala harfin, tak lebih
dari tenggorokan). Rifa’ah Thahthawi dikirim untuk belajar di
Perancis. Di sana ia tinggal selama lima tahun (1826-1831). Sarjana
lain yang tugas belajar di Perancis ialah Khairuddin alTunisia. Di
Perancis ia menghabiskan waktu empat tahun (1852-1856). Setelah
kembali keduanaya menyebarkan ide-ide untuk menata masyarakat dengan
dasar sekularisme rasional (WAMY : "Gerakan Pemikiran dan Keagamaan",
hal 26).
Pernah Rasulullah didatangi seseorang yang cekung matanya, menonjol
tulang pipinya dan nonong dahinya, lebat jenggotnya, botak kepalanya.
Orang itu berkata : "Hai Muhammad, bertakwalah kepada Allah" (Berlaku
adillah dalam pembagian ghanimah). Rasulullah menjawab : "Siapakah
yang ta’at kepada Allah, jika aku maksiat (tidak berlaku adil). Apakah
kalian tidak percaya padaku, sedang Allah telah mempercayai aku
terhadap penduduk bumi ?". Setelah oang itu pergi Rasulullah berkata :
"Sesungguhnya akan keluar dari turunan orang itu orang-orang yang
pandai (lancar) membaca Kitab Allah (alQur:an), tetapi tidak lebih
dari tenggorokannya, mereka terlepas (keluar) dari agama (Islam),
bagaikan anak panah terlepas dari busurnya (ketika dilepaskan), mereka
akan membunuh orang-orang Islam dan membiarkan orang-orang kafir"
(deislamisasi) (Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi : "AlLukluk walMarjan",
hadits no.639-642, HR Bukhari, Muslim dari Abi Sa’id alKhudri, tentang
"Orang-orang Khawarij dan sifat mereka".
Orang-orang Timur membasmi musuh dengan memenggal kepalanya. Tetapi
Barat dan pendukungnya hanya dengan merobah hati dan tabi’atnya (Abul
Hasan Ali alHusni anNadwi : "Pertarungan antara Alam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar