Senin, 28 November 2011

Antara hidup mewah dan hidup sederhana

catatan serbaneka asrir pasir Antara hidup mewah dan hidup sederhana Dalam Quran terdapat kata atraf, utrif, mutraf yang bermakna hidup bermewah-mewah, hidup rakus, serakah, hidup merusak tatanan social-ekonomi masyarakat, yang pada masa kini bias dipadankan dengan kapitalisme. Menurut Muhammad Ghazali dalam bukunya “Islam dan teori-teori ekonomi”, kaum mutrafin (yang hidup bermewah-mewah) itu bersikap reaksiner, menentang akan kebenaran, menghambat kemajuan, biang kerusakan (Simak ZA Ahmad : “Dasar-Dasar Ekonomi Dalam Islam”, Antara, Djakarta, 1952, hal48-49). ZA Ahmad menyebutkan bahwa sifat, karakter dari kapitalisme itu ada diseutkan Allah di dalam surat “Humazah”, yaitu tiga macam : 1. penimbunan capital (jama’a malan), yang dinaaamakan “cpncentratie kapitaal”. 2. Perhitungan yang rasional, ialah dengan sedikit tenaga dan ongkos untuk mencapai sebesar-besar hasil (wa’addadah), yang dinamakan “Rationalisatie”. 3. uaha menguasai sendiri untuk selama-lamanya dengan berusaha menutup segala kesempatan bagi orang lain (yahsabu anna malahu akhladah), yang dinamakan “monopolie”. Di dalam ayat lain surat “Takatsur” ditegaskan pula bahwa sifat menimbun dan menumpuk-numpuk harta itu sangat melalaikan dari kewajiban kemanusiaan dan Ketuhanan, sampai orangnya menghadapi kematian dan masuk kubur (idem, hal 46). Disebutkan bahwa tidak salah menumpuk harta, emas dan perak, berapapun banyaknya, asal dari jalan yang halal. Dan tidak salah mengumpulkan harta benda yang banyak dari jalan halal itu, asal segera dinafkahkan pada jalan Allah, pada membangun agama, pada kemuslihatan umum. Bukan saja tidak salah, bahkan disuruhkan. Boleh mengumpulkan harta asal dari yang halal. Dengan adanya peraturan zakat, nama pengumpul tidak ada lagi. Sebab dia telah dibersihkan dengan zakat itu. Dan apabila seseorang meninggal, tidak pula aka nada pengumpul lagi, sebab harta benda sudah difaraidhkan kepada yang berahk menerimanya, sehingga cair tidak terkumpul di satu tangan lagi. Abdullah bin Umar mengatakan, bahwasanya harta benda yang telah dizakatkan, tidaklah dinamai lagi harta yang ditumpuk, walaupun banyaknya sampai menyundut langit dan bumi. “Aku tak peduli, walaupun hartaku sampai sebesar bukit Uhud dari emas, asal telah aku zakatkan menurut mstinya’. Ka’ab pun memandang, kalau dengan kekayaan itu ia dapat melaksanakan hak Allah (zakat ?), maka tidak mengapa (tidak ada persoalan). Namun Abu Dzar al-Ghiffari, seorang sahabat Rasulullah saw, berpaham lain dalam hal ini. Menurut Abu Dzar, segala harta yang ditumpukan berlebih dari yang perlu dimakan dan yang sangat perlu dipakai, maka itu adalah harta benda tumpukan yang dilarang oleh ayat QS 9:35. Seorang Muslim menurut Abu Dzar cukup berharta sekedar yang lekat di badan dan yang perlu untuk makan 9Simak Prof Dr Hamka : “Tafsir Al-Azhar”, juzuk X, Panjimas, Jakarta, 1983, hal 206-207, re tafssiran ayat QS 9:35; “Tafsir Ibnu Katsir”, juzuk II, hal 359; Sayyid Quthub : “Keadilan Sosial Dalam Islam”, Pustaka, bandung, 1994, hal 306-307; ZA Ahmad : “Dsar-Dasar Ekonomi Dalam Islam”, hal 58-59). Kalau dicermati lebih teliti, maka yang dikehendaki oleh Islam adalah kehidupan sosial (kehidupan bersama) yang sejahtera, yang makmur, bukan hanya kehidupan segelintir orang saja yang sejahtera, yang makmur (Simak juga “Anjuran Hidup Sederhana” oleh Hamka, pada rubrik “Hati Ke Hati”, dalam PANJI MASYARAKAT, No.174, 1 Mei 1975, No.191-192, No.249, 15 Juni 1978; “Falsafah Hidup”, 1939) (written by sicumpaz@gmail.com atBKS1111160815)

Tidak ada komentar: