Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Jumat, 18 November 2011
Dialog tanpa epilog
catatan sebaneka asrir pasir
1. Dialog tanpa epilog (Diskusi tanpa henti)
Pada masa shabat mapun masa Bani umaiyah telah banyak para ulama
telah banyak bicara/membahas/berdiskusi/berdilog tentang masalah
takdir dan kekuasan manusia dalam kaitannya dengan kekuasaan Allah
swt.
Abdullah bin Abbas berbicara/berdiskusi/berdialog di hadapan kaum
Jabariyah penduduk Syam dan meminta mereka agar meningglkan
pendapatnya.
Hasan Bashri berkirim surat berdiskusi/berdialog kepada jaum jabariah
penduduk Bashrah
Ibnu Abbas dan Al-Hasan menolak pendapat orangorang yang berpendirian
bahwasanya manusia berada dalam keterpaksaan dan melaukan segala
prbuatannya.
Antara kaum Jabariyah dan kaum Suni terjadi dialog/diskusi berkepanjan
tanpa akhir. Juga antara kaum Jabariyah dan kaum Qadariah, dan seperti
itu juga antara kaum Qadariyah dan kaum Suni. (silakan smak
dialog/diskusi mereka ini dalam buku Syakh Muhammad Ahmad Abu Zahrah,
fasal Jabariyah, Qadariyah, Suni, yang dikisahkan oleh Ibnu Qaiyim).
2. Diskusi antara al-Asy’ari ( M-Murid) dan al-Jubba’I (G-Guru) :
M : Bagaman pendapat tuan mengenai tiga orang ini, yaitu orang mu’mim,
orang kafir dan anak kecil ?
G: Oang Mu’min termasuk kelompok yang mempunyai derajat yang tinggi;
orang kafir termasuk kelompok yang memikiki derajat yang rendah; dan
anak keil termauk orang yang selamat dari neraka.
M; Jika anak kecil itu berkeiningan untuk naik ke peringkat yang
tinggi ( setelah peringkat yang tinggi hanalah memalui ketaatannya,
sedangkan kamu tidak hasil mempunyai ketaatan seperti itu”.
M : Jika sia anak berkata : “Kealahan tidak terletak padaku. Kalau
sekiranya Engkau (Ya Allah) lamakan hidupku, nisaya aku erbuat taat
sebagai mana ketaatan orang Mukmin”.
G; Allah akan menjawab, “Aku telah mengetahui ahwa sekiranya engkau
tetap hidup, niscaya engkau akan durhaka dan disiksa. Maka Aku
memelihara kemashlahatanmu. Aku mematikanmu seelum mencapati usia
taklif”.
M : Sekiranya orang kafir berkata, “Engkau telah mengetahui keadaanu
sebagaimana Engkau mengetahui keadaan anak kecil ini. Mengapa Engaku
tidak memelihara kemashalahatanku sebagaimana engkau memelihara
kesehatan anak kecil itu ?
G: diam.
3. Dialog antara Iblis dan Malaikat
(Silakan simak “Al-Milal wan Nihal” oleh Syahrastani, pada
“La-Muqddamah ats-tsalitsah”, yang diIndonesiakannya oleh H Ali Fahmi
Arsyad, dalam SUARA MASJID, No.192, Maret 1988, hal 50-52)
Hamka menggugat Jabariyah
Dalam DDC (Dewey Decimal Classifiation) 200-299 veri Arab-Islam
terbitan Kuwait, 1984, bahwa yang tergolong pada Aliran/Sekte/Firqah
Islam di antaranya adalah : Murjiah, Mu’tazilah, Khawarij, Syi’ah,
Rafidhah, Sunni, Asy’ari, Druz, Qadiani, dan lain-lain. Bagaimana pun
mereka itu masih dikategorikan sebagai penyandang predikat Islam,
sebab semua masih mengacu pada Quran dan Hadits (Simak “Tafsir
Al-Azhar”, juzuk IV, halaman 55, re tafssiran ayat QS 3:105).
“Jabariyah” berpaham bahwa segala sesuatunya aalah taqdir suratan
daari Tuhan, dan kita manusia tidak ada ikhtiar sama sekali (idem,
juzuk XX, halaman 19, re tafsiran ayat QS 8:53). “Jabariyah” berpaham
bahwa “Nasibku yang malang adalah takdir Allah”. “Kalau tidak atas
kehendak Allah, tidaklah nasibku akan begini” (idem, juzuk IV, halaman
97, re tafsiran ayat QS 8:148). Intinya bahwa hanya Allah Yang Maha
Kuasa, Yang Maha Berdaulat. Kekuasaan dan Kedaulatan Allah tak terbagi
dengan siapa pun.
Dalam hubungan ini simak pula tanggapan Ibnu Arabi yang mengatakan,
bahwa “Sungguh perbuatan baik dan buruk, iman dan kufur, tha’at dan
maksiat, penciptanya semua ialah Allah, yang tidak ada sekutu bagiNya
dalam mencipta. Dan tidak pula dalam menciptakan apa jua pun. Tetapi
yang buruk tidaklah boleh disangkutkan kepadaNya dalam sebutan,
meskipun itu ada. Semuanya itu ialah untuk mendidik kita beradab,
bersopan santun mengajar kita memuji Dia” (idem, juzuk XXIII, halaman
271, re tafsiran ayat QS 28:41).
Ibnu Katsir dalam mengupass tentang Khilafah mengatakan bahwa “Kalau
Di (Allah) menghendaki, boleh saja dijadikan sekalaigus, tidak
dijadikan turun demi turunan, atau sebagai kejadian Adam saja dari
tanah. Dan kalau Dia (Allah) kehendaki bisa saja yang setengah adakan
keturunan dari yang setengah, tetapi tidak dimatikan yang mula-mula
lebih dahulu, melainkan sekaligus semuanya kelak dimatikanNya”.
Pastilah ada hikmahnya. “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui” (QS 2:30) (idem, juzuk XX, halaman 19(.
Syubhat dan Mutasyabihat
Muh Quthub menarang buku berjudul “Subhat Haul al-Islam”. Alwi AS
mengindonesiakannya “Jawaban Terhadap Alam Fikiran Barat Yang Keliru
Tentang Al-Islam” (Membongkar kebohongan orientalis tentang Islam),
tertian Diponegoro, Bandung, 1982.
Dalam QS 3:7 terdapat kata “muhkamat” dan “mutasyabihat”. Apakah makna
“ayat mutasyabihat” ? Apakah ayat yang masih dipertanyakan,
dipersoalkan, dipermasaalahkan ? Apakah ayat yang masih memerlukan
tafsiran, yang ghairu ma’qul, yang tak logis ? Apa bedanya antara
“sya-a” dan “arada”, antara “qadara” dan qadha-a” ?
Apakah makna “La quwwata illa billah” (QS 18:39) ? Apakah berarti
bahwa tak ada yang terjdi tanpa idzin/kehendak Allah ? Apakah berarti
bahwa semuanya (yang baik dan yang buruk) terjadi atas kehendak/mauNya
Allah ? Apakah makna “fa’alu lima yurid” (QS 11:107)” ? Apakah berarti
bahwa Allah berbuat sekehendaknya, semaunya, sewenang-wenang ? Karena
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang
akan ditanyai” (QS 21:23).
Akah sebenarnya maunya Allah ? Dalam QS 51:56 disebutkan bahwa “Dan
Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah Allah” ? Apakah seluruh (kulli) jin dan manusia tanpa
kecuali (tapa eksepsi, tanpa istitsna) ? Ataukah hanya sebagian
(juz-i) kecil saja dari manusia yang diciptakan Allah untuk mengadi
kepadanYa ? Namun kenyataan (Das Sein) yang terjadi menunjukkan tak
semua manusia yang mengabdi kepada Allah. Allah sendiri Maha Kuasa.
Mampu mewujudkan kehendaknya “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepaanya ‘Jadilah’ maka terjadila
ia” (QS 36:82, simak juga QS 76:30, 81:29). Kenpa tak terwujud seperti
kehendakNya ? Apakah ini suatu pengecualiaan, eksepsi, sistitsna ?
Jika hal ini memang kehendakNya menciptakan seluruh jin dan manusia
mengabdi kepadaNya, untuk apa diciptakannYa neraka ? Pasti ada
hikmahnya. Tak perlu ditanyakan.
Dalam QS 8:25 disebutkan bahwa siksaan Allah tidak khusus hanya
menimpa orang-orang yang zhalim saja ? Allah sendiri Maha Kuasa. Mampu
melokalisir siksaan hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja. Kenapa
hal ini tak terwujud dalam kenyataan ? Pasti ada hikmahnya. Tak perlu
ditanya.
Allah berkuasa buat menjadikan syari’at itu satu saja. Coraknya satu
saja zaman Adam sampai zaman Muhammad, sampai hari kiamat. Bangsapu
satu semua. Adat istiaat satu semua, prkembangan hiduppun satu saja
semua. Allah berkuasa membuat demikian kalau Dia mau (idem, juzuk VI,
hal 268, re tafsrin QS 5:48). (macam di surga/ tanpa prlu adanya dunia
dan akhiat ?)
Kalau Allah menghendaki, bisa juga manusia itu bersatu semua, akur
semua, tidak ada berkelahi. Akur dalam membangun. Akur dalam
berketurunan. Allah sanggup mentakdirkan manusia seperti demikian.
Akan tetapi Allah telah mentakdiran lain. Manusia tetap saja dalam
perselisihan atau perkelahian. Ada yang jadi Fir’au. Ada yang jadi
Musa. Ada yang jadi Abu Jahal. Ada yang jadi Nabi Muhammad saw. (Idem,
simah juz XII, hal 153, re tafsiran QS 11:118).
Allah berkuasa membuat umat ini jadi umat yang satu, tidak ada
pertikaian, tidak ada perselisihan (idem, juzk XI, hal 290, re
tafsiran QS 16:193, juzuk III, hal 8 re tafsiran QS 2:253, simak juga
re tafsiran QS 42:8). Kalau diteruskan, bisa saja muncul pandangan
bahwa kalau Allah menghendaki maka tak ada senketa antara Qabil dan
Habil, tak ada perperangan, tak perlu ada bahtra Nabi Nuh, unggun yang
disipkan Namruzz bagi Nabi Ibrahim, tak perlu Fir’aun kejeur ke dalam
lautan. Seluruh fenomena alam dirncang Allah untuk kemanan manusia,
tak ada tsunami, tak ada gempa bumi, tak ada bencana alam, tak ada
manusia yang keinjak-injak. Bahkan tak pula ada pengadilan, tak perlu
neraka, tak perlu ada kematian. Cukup hanya surga tanpa dunia, tanpa
akhirat, tanpa mati ?
Allah Maha Kuasa buat mengumpulkan mereka (manusia ?) dalam satu
haluan, satu kepercayaan, satu petunjuk sehingga tidak ada yang
membantah lagi, setuju saja semuanya. Allah sanggup berbuat begitu
(Simak Prof Dr Hamka “Tafsir Al-Azhar”, juzuk VII, hal 207, re
tafsiran QS 6:35).
Kalau Allah mau, maka Allah dapat saja membuat manusia itu menjadi
mukmin semua, dan kemusyrikan jadi hilang, orang bersatu semua dalam
tauhid (idem, juzuk VII, hal 34 re tafsiran QS 6:107).
Allah Maha Kuasa. Bisa membuat seluruh isi bumi ini beriman kepada
Allah, tak ada yang durhaka kepada Allah. Semua orang akur. Semua
manusia yang hidup di dunia ini percaya kepada Allah, tidak seorang
juga yang membantah. Kalau Allah menghendaki supaya manusia itu
beriman semua, seluruhnya percaya saja kepada Allah, yaitu
dihentikanNya manusia brfikir dan dihilangkanNya segala perjuangan
buat mencari nilau-nili di dalam hidup (idem, juzuk XI, hal 347, re
tafsiran QS 10:99).
Allah Maha Kuasa. Kalau Allah mau, Ia ciptakan umat ini Muslim semua
(QS 5:48, 10:99), akur semua, tak berselsih (QS 11:118), tak ada
berbunuh-bunuhan (2:253) semuanya orang baik-baik (QS 16:93), tak ada
yang berbuat seweang-wenang (QS 42:8, 6:137), semua dapat petunjuk (QS
6:35, 6:149), tidak ada yang musyrik (QS6:107). Semuanya tertib,
teratur, aman. Tak perlu pengadilan, tak perlu mesti ada kematian, tak
prlu adanya neraka. Itu kalau Allah mau.
Dalam QS 2:186 disebutkan bahwa Allah mengabulkan permohonan orang
yang meminta, apabila ia memohon kepada Allah. Apakah seluruh
permohonan akan dikabulkan Allah ? Tidak. Permohonan Nabi Nuh yang
memohon keselamatan atas anaknya ditolak Allah )Simak QS 11:45-47).
Permohonan Nabi Ibrahim yang memohon atas keseamatan bapaknya ditolak
Allah (Simak QS 9:113-114, 60:4). Kenapa ? karena tak memenuhi syarat
yang dikehendaki Allah. Syaratnya apa ? Silakan simak dan telusuri
dari ayat tersebut. Yang memohon orang baik-baik, orang shaleh, yaitu
nabi, Rasul Allah. Materi yang dimohonkan pun menurut yang memohon
juga yang baik, yaitu keselamatan bagi keluarga. Allah sendiri tempat
memohon pun Maha Kuasa, mampu merubah dari kafir kepada mukmin seperti
halnya Umar bin Khatthab.
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1109181100)
catatan serbaneka asrir pasir
Cuplikan Surat Emha
1 Manusia tidak pernah tahu-menahu mengenai kelahiran dan hakikat
azalinya (?). Ia tak pernah merqancang, bahkan juga tak pernah meniati
bahwa ia akan lahir dan menjadi seorang anak manusia, menjadi putra
ibu dan bapaknya. Manusia juga ta pernah – dalam aarti yang
sesungguhnya – memiliki dirinya sendiri serta apa pun yang lain dalam
kehidupannya. Ia ada karena ada sesuatu yang memungkinkan dan
mengizinkannya untuk ada. Ia “memiliki” sesuatu dalam keberadaannya
itu bukan karena haq-nya aalah memiliki sesuatu, melainkan karena ada
sesuatu yang meminjamkan kepadanya. ia bias berjalan dan menggerakkan
tubuhnya bukan karena sejak semula ia merencanakan dan menentukan
bahwa ia bias berjalan dan menggerakkan badan, melainkan karena ada
sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkannya bias berjalan dan
menggerakkan badan (Emha Ainun Nadjib : “Surat Kepada Kanjeng Nabi”,
Mizan, bandung, 1997, hal 441).
2 Ada tiga jenis manusia. Pertma adalah manusia yang memperoleh
kehormatan (karamah) dari Allah untuk memiliki potensi istimewa, tidak
terlalu tergatnung kepada arus lingkungannya. Manusia macam ini
ditaruh di mana pun tetap unggul. Kedua adalah manusia yang memiliki
ketergantungan “normal” terhadap lingkungan pendidikannya, terhadap
sejarah dan nyali yang membesarkannya. Ketiga manusia yang aka cepat
memperoleh kasih Allah. manusia yang juga tidak tergantung pada system
yang mendidiknya, tapi dalam kapasitas sealiknya. Meskipun dia dididik
bagaimanapun, dia akan tetap jadi manusia tak terdidik (Idem, hal 306)
(Manusia: supra, biasa, infra, tajrid, kasab. “”Kuliah Ma’rifat”, hal
22).
3 Ibrahim bersedia menyembelih anaknya dn Ismail ikhlas melepas
nyawanya, karena mereka Nabi. Kita belum brsedia melepas jabatan atau
sesuatu yang lebih penting dari itu bagi hidup kita, karena kita bukan
Nabi ? (QS 3:92) (idem, hal 446).
4 Orang “dimobilisasi” secara psikologis untuk menaati rukun agama,
untuk shalat, puasa, dan lain-lain dengan argumentasi ekonomis
(tijarah), yakni mendapat pahala. Kita dididik untuk hanya mencari
laba di hadapan Allah. Seakan-kan Ia adalah “Bandar” (idem, hal 361).
(Simak juga Hukum-hukum reflex-reflex bersyarat yang didapat oleh
Pavlov, yang juga brlaku pada manusia. Dr R Paryana Suryadipura :
“Manusia Dengan Atoomnja”, terbitan Ussaha manusia, Semarang, 1958,
hal 234).
5 Tuhan berkali-kali mengiming-imingi surga. Seolah-olah iming-iming
surga itu suatu kesengajaan agar manusia melakukan transendensi
atasnya, kemudian mencari, merindukan, dan mengejar sesuatu yang lebih
hakiki, sejati, serta kebahagiaan yang sebahagia-bahagianya (idem, hal
393). (Bagaimana wujud surga itu dalam pandangan mereka-mereka yang
dicap teroris ).
6 Allah berkali-kali mengiming-imingi surga : sungai susu, kebun
hijau, bidadari, dan hidangan-hidangan. itu adalah idiom tentang surga
berdasar kepada konteks pengalaman budaya masyarakat Arab yang pasti
berbeda dengan “idiom-surga”-nya orang Jawa misalnya. Jika orang Jawa
mengobsesikan surga, maka formula yang muncul di benaknya bukanlah
sungai, karena kita sudah kaya sungai. Bukan pula bidadari, karena
alam kita telah menyediakan “bidadari-bidadari”. Surga orang Jawa
mungkin juga tidak sama : bergantung pada kondisi masing-masing.
(idem, hal 392).
7 Kebahagiaan. Apakah kebahagiaan itu. Bagaimana konsep kebahagiaan
bagi orang gila, edan, sinting. Apa perlu mereka akan kebahagiaan ?
Apakah kebahagiaan bagi orang yang gila kekayaan, gila kekuasaan ? Apa
kebahagian bagi yang kecanduan narkotik. Apakah mereka merasakan
bahaya kerusakan dari narkotik itu. Apakah kebahagiaan bagi yang
kecanduan bid’ah ? Apakah mereka merasakan bahaya kerusakan dari
bid’ah itu. Apakah kebahagiaan bagi yang kecanduan kemewahan ? Apakah
mereka merasakan bahaya kerusakan dari kemewahan itu ? (nilai bahagia
lps dari ukuran mubadzir). “Kalu sekiranya kebenaran mengikut hawa
nafsu mereka (tradisi-budaya ?), niscaya binasalah langit dan bumi dan
siapa-siapa yang didalamnya” (QS 23:71).
8 Sudah barang tentu, di “luar rumah” kita berusaha lebih beradab dan
beradat. Kita meladeni hamper segala apa pun yang menjadi
keseyogiaannya Hari Raya dalam kultur lingkungan kita. Semua itu lebih
bersifat cultural daripada religus. Lebih merupakan mekanisme adat
budaya keagamaan disbanding manifestasi nilai-nilai agama itu sendiri.
Menurut adat “feodalisme” penduduklah yang meminta maaf kepada Pak
Lurah, padahl banyak kenyataan yang “memerintahkan” sealiknya. kalau
para penduduk bermaaf-mafan dengan Pak Lurah, apakah gerangan artinya
? Apakah mereka bermaf-mafan dalam konteks individu (manusia), ataukah
dalam konteks sosialitas (structural) ? Apakah seorang penduduk minta
maaf kepada Lurah karena ia pernah ngrasani kepala desanya itu ?
Ataukah karena ia pernah tidak setuju kepada keputusan mengenai Tebu
Rakyat, Bimas atau uang-uang pajak yang “sirna” tanpa kejelasan ? Dan
kalau Pak Lurah minta maaf juga kepada penduduk, apakah kemudian
penduduk memaafkan segala ketidakberesan tindakannya sebagai Lurah
selama ini ? (idem, hal 412).
9 Perlu diketahui bahwa semua lelaki normal pasti terangsang melihat
goyang pinggul kostum mini yang bahenol. Cuma persoalannya ada factor
lain di dalam diri manusia, umpamanya kesadaran tentang baik dan
buruk, sikap terhadap hokum moral, serta mungkin gaairaqh untuk
memelihara kesehatan mental masyarakat, termasuk dirinya. Hal-hal itu
yang membikin seseorang tak memilih kesenangan dengan menonton badan
semok (seksi dan montok), tapi berpihak pada kesadarannya yang lain
(idem, hal 28).
10. Bersamaan dengn usaha gigih mnusia meningkatkan produk teknologi
untuk memudahkan kehidupan, maka teknologi seks juga tak mau
ketinggalan. Pabrik-pabrik segera bikin alat-alat persetubuhan
sintetis, vagina sintetis, zakar intetis, serta segala macam perangkat
untuk itu (idem, hala 29).
11 Kita boleh memperebatkan masalah keadilan social secara terbuka
dan tanpa resiko politis apa pun, asal yang dimaksud adalah keadilan
social dari masyarakat anonym (anta beranta), atau setidaknya “Ketidak
adilan social di Nairobi”, misalnya. Kita boleh mengecam intervensi
Irak ke Kuwait, asal jangan dihubungkan dengan kasus Timor Timur.
Iklim semacam itu melahairkan generasi kelu dan bisu (budaya diam),
karena bapak sejarah mereka tertutup dan ngratu (idem, hal 234).
12. Kebuayan Negara dan masyarakat kita tidak menyediakan
infrastruktur dan infrakultur untuk keberlangsungan egalitarianitas
mekanisme dialog. Tak akan pernah terjadi musyawarah kalau yang satu
kuat dan yang satu lemah. Orang Indonesia itu tengeng lehernya. Ia
cenderung tidak bias menoleh ke kiri atau ke kanan. Biasanya Cuma
mendongak ke atas atau ndingkluk ke bahwah”. Manusia Indonesia
seolah-olah hanya mempunyai garis budaya vertical dan tidak memiliki
garis budaya horizontal. naluri dan cara pandang yang dididikan ialah
memandang orang lain sebagai atasan atau bawahan (idem, hal 231).
13 Masyarakat kita belum cukup memiliki modal (kultural, intelektual,
mental) untuk berdemokrsi, untuk berbeda, untuk menyangga kebebasan,
serta untuk dewasa di tengah ragamnya pilihan-pilihan. Subyektivisme
kekuasaan di negeri ini merupakan contoh terpendam dari
ketidakpastian. Belum ada kesungguhan iktikad untuk berdemokrasi.
Lebih dari soal ketidaksiapan mental dan budaya adalah ketidakadilan
social ekonomi dan subyektiisme kekuasaan yang berkepanjangan. Negara
kita “diselmatkan” (selamat dari rhythm of explosion) oleh
ketidakpampatan geografis, teluk-teluk permisivisme dan selat-selat
kulturalisme, juga tingkat kekayaan alamiah, sehingga jumlah hance of
explosion bias dibikin busung dengan sendirinya (idem, hal 247-248).
14 Dosa ‘ain adalah dosa individual. dosa kifayah adalah dosa
structural (idem, hal 417).
15 Kita ini orang-orang lemah yang tidak saling bergandengan tangan,
tidak beroganisasi, tidk berjama’ah. Kita ini orang lemah yang tidak
tahu kelemahan-kelemahan kita sendiri. kita ini orang-orang lemah,
karena itu kita membutuhkan persatuan dan organisasi di antara
oang-orang lemah (idem, hal 158) (Berjama’ah dituntut dalam ibadah
ritual dan juga dalam ibadah social).
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1110031030)
catatan serbaneka asrir pasir
Bagaimana memahaminya ?
Untunglah, kata sejumlah orang mulia yang cerdik cendekia : Allah
sendiri itu Maha humor. Sudah enak-enak hidup sendiri kok bikin
macam-macam makluk yang lucu-lucu begini. Apa Dia kesepian. Adam sudah
nyaman-nyaman di surga, dibiarkan tercampak ke bumi. Kok lucu. Buah
Quldi saja kok ndak boleh dimakan. Mbok ya biar. Apa sih ruginya Tuhan
kehilangan sebiji Quldi ? Mbok biarkan Adam kawan sama hawa di surge,
pengantinan dan pesta sampai anak turunannya sekarang ini. Kenapa
makhluk-makhluk itu harus menunggu terlalu lama untuk memperoleh
kesempatan bercengkerama mesara denganNya. Lucu. Pakai bikin
Iblis-Setan segala (Emha Ainun Nadjib : “Surat Kepada Kanjeng Nabi”,
Mizan, bandung, 1997, hal 162, dari SUARA MERDEKA, 25 September 1992).
Penting pulakah Anda menanyakan kenapa Tuhan, melalui nabi Ibrahim,
menentukan Ka’bah didirikan di tempat itu ? Adakah karena kebetulan
saja kampong Ibrahim memang di situ ? Kenapa pula Tuhan menentukan
Ibrahim lahir di negeri dan tanah itu, dan tidak di Timor Timur
misalnya ? Bahkan kenaapa pula seluruh Nabi hanya muncul di Timur
Tengah ? Kenapa tak dibagi : Cina punya satu Nabi, India punya satu
Nabi, Jawa punya satu Nabi, dan seterusnya ? Ini pertanyaan bukan
untuk “menggugat” Tuhan, melainkan justruuntuk membuka pintu rahasia
ilmu dan kehendak-Nya (idem, hal 118, dari SUARA MERDEKA, 18 Juli
1992).
Barangkali saja kehidupan memang memiliki watak dan gayanya sendiri :
manusia hidup dalam berbagai perbedaan, pertentangan, bahkan
ketimpangan. Seolah-olah Tuhan sengaja menakdirkan seseorang menjadi
kaya, sementara yang lain melarat, semelarat-melaratnya. seseorang
bisa memiliki sekaligus ratusan perusahaan, yang diperoleh secara
wajar, professional, maupun melakukan bocoran-boran brokratisme dan
nepotisme, sehingga setiap saat bisa disewanya seribu pesawat untuk
dimilikinya sendirian. Sementara seorang yang lain membeli ratusan map
dan kertas surat lamaran kerja yang bertahun-tahun tak diterima oleh
kantor perusahaan mana pun. Atau membanting tulang daging sehari penuh
untuk beberapa ratus rupiah (idem, hal 58, dari SUARA MERDEKA, 30
Oktober 1991). (Sekedar ilustrasi, simak juga kasus Muhamamd
Nazaruddin, Gayus Tambunan, pencuri tiga buah coklat, dan lain-lain).
Amir Hamzah menggambarkan betapa tak berdayanya, tak mampunya manusia
dalam menghadapi kehendak/kekuasaan Tuhan. manusia dilukiskan
seakan-akan hanalah merupakan permainan belaka, seumpama golek
(boneka) dalam permainan wayang untuk menghibur (menyenangkan) sang
dalang (Drs Samaun : “Napas Ketuhanan Dalam Puisi Indonsia Modern”,
dalam GELANGGANG Sastera, Seni dan Pemikiran, Nop.2, Tahun I, 1967,
hal 11).
Salah satu dari ucapan Jaham ibnu Shafwan – pemimpin jabariyah –
adalah sebagai berikut : Manusia tidak mempunyai kodrat untuk berbuat
sesuatu, dan ia tidak mempunyai “kesanggupan”. Dia hanya terpaksa
dalam semua perbuatannya. Dia tidak mempunyai kodrat dan ikhtiar,
melainkan Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan pada dirinya.
dia adalah laksana sehelai bulu yang terkatung-katung di udara,
bergerak ke sana-sini menurut hembusan angin (Prof Dr A Syalabi :
“Sejarah dan Kebudayaan Isla”, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1983, jilid
II, hal 379).
Allah kasih manusia rejeki menurut kemashlahatan mereka. Ia
mengkayakan orang yang memang laya memiliki kekayaan. Dan memiskinkan
orang yang memang berhak jadi orang miskin. Allah lebih tahu apa yang
bermashalahat bagi manusia, dan yang tidak bermashlahat bagi mereka
(PANJI MASYARAKAT, Jakarta, No.537, hal 7, dari Al-LIWA al_ISLAM).
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS9801290700)
Alur Fikir Emha Ainun Nadjib
Mengikuti alur fikir/logika Emha Ainun Nadjib tersebut diatas, maka
akan muncullah dialog segitiga Jabariah-Sunni-Qadariah tentang takdir,
KemahaKuasaan dan KemahaEsaan Allah yang tak akan pernah selesai
berakhir. Allah itu MahaKuasa, MahaEsa, MahaTahu. Tahu yang sebelum
terjadi. Tahu yang akan terjadi. Allah mampu memprogram sesuai sesuai
dengan iradah kehendaknya. (Simak juga kuliah subuh Prof Dr Mahfud MD
di TVRI pada Rabu, 21 September 2011 dalam acara “Hikmah Pagi”, jam
05.00)
Simaklah dialog antara Auza’I dengan Qdari (penganut paham Adariyah).
Auzai’I : “Pilihlaaah yang kamu suka (tiga, empat atau saatu) kalimat”.
Qadari : “Tiga kalmat”.
Auza’I : “Apakah Allah menuuruh sesuatu yang terlarang ?”
Qadari “ “Aku tak bisa menjawab”.
Auza’I : Apakah Allah menghalangi apa yang ia perintahkan ?”
Qadari “ “Ini lebih silit daripada yang tadi. Aku tak bisa menjawb”.
Auza’I : “Apakah Allah membolehkan apa yang Ia haamkan ?”
Qadari : “Ini leih sulit daripada yang pertama dan kedua. Aku tak bisa
menjawab”. (Simak dari “Al-Mazahib al-Islamiyah” paham Qadariyah).
Allah dengan iradat dan qudratNya mampu menciptakan manusia dan jin
semuanya tunduk patuh mengabdi, menghamba kepadaNya, tanpa kecuali.
(Simak QS 51:56). Apa hikmahnya Allah menciptakan neraka lagi
disamping surga ? Apa pula hikmahnya alam semesta ini dihancur
leburkan dan kemudian diciptakan lagi alam akhirat. Apa hikmahnya
Allah tak sejak awal membuat planning tanpa ada kiamat?
Apa hikmahnya Allah tak menciptakan manusia ini semuanya orang
baik-baik, sehingga tak perlu diciptakan neraka ? Tak perlu diciptakan
kiamat. Apa hikmahnya neraka itu bagi Allah sendiri yang triliunan
tahun menyaksikan tumpukan suasana yang tak sedap (Simak antara lain
QS38:55-64).
Apa hikmahnya Islam itu tak disampaikan Allah kepada seluruh manusia
sejak awal melalui Nabinya Adam as. Apa hikmahnya proses evolusi Islam
itu disampaikan Allah hanya terbatas di lingkungan Bani Israil dan
Bani Ismail ?
Bagaimana memahami dialog dengan malaikat :
Iblis berkata kepada malaikat : “Sesungguhnya aku percaya bahwa
Pencipta Yang Maha Tinggi, aalah Tuhanku dan Tuhan sekalian makhluk;
Dialah yang maha Tahu. Maha Kuasa dan Dia tak perlu ditanya tentang
kekuasaanNya dan kehendakNya, yang apapun kehendakNya, Dia cukup
mengatakan “adalah”, maka jadilah “ada”, dan Dialah Yang Maha
Bijaksana. Namun, Dia telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di dalam
jalur kebijaksanaanNya itu”.
Malaikat : “Apakah pertanyaan-pertanyaan itu, dan berpa banyaka ?”
Iblis menjawab :
Pertama : Bahwa Dia telah mengetahui segala sesuatu sebelum
kejadianku, mengetahui apa saja yang bakal keluar dari perbuantku,
kenapakah aku yang dijadikanNya pertama dan apa hikmahnya Dia
menciptaknKu ?”
Kedua : Manakala Dia menciptakanku menurut iradah dan keinginannNya,
maka amengapa Dia membebankan atas diriku untuk mengenal dan
menta’atiNya ? Apa hikmahnya alam pembebanan ini, seentara Dia tidak
mendapatkan keuntungan oleh “ketaatan” dan tidak mendapat kerugian
dengan “kedurhakaan” ?
Ketiga : “Manakala Dia telah menciptakanku, membebaniku, lalu aku
penuhi “pembebanan”Nya itu dengan mengenal serta menta’atinNya, maka
kenapa Dia membebaniku pua untuk mentaatiAdam dan sujud kepadanya ?
Apa hikmahnya dalam pembbanan ini, khususnya sesudah hal itu tidak
akan menambah pengenalanku dan ketaatanku kepadaNya ?”
Keempat : “Manakala Dia telah menciptakan dan secara mutlak
membebaniku, dan secara khusus membebaniku untuk ini (sujud kepada
Adam) maka ketika aku tidak sujud kepada Adam kenapa Dia mengutukiku
dan mengusirku dari surga ? Apa hikmahnya yang demikian itu, sesudah
sebelumnya aku tidak pernah berbuat sesuatu yang buruk, kecuali
ucapanku “aku tidak sujud kepada sesuatu kecuali kepadamu ?”
Kelima : “Manakala Dia telah menciptakan ku, lalu membebaniku secara
mutlak dan secara khusus, lalu aku tidak taati, sehingga Dia
mengutukku dan mengusirku, maa kenapa Dia membri kesempatan padaku
menemui Adam, sehingga aku masuk ke surga untuk kedua kalinya dan Adam
kutipu dengan tipu-dayaku, sehingga ia memakan buah dari pohon
larangan itu, lalu Dia mengeluarkannya (Adam) dari sorga bersama aku.
Apakah hikmahnya dalam hal itu, paahal alau Dia mencegahku memasuki
surga, tentulah Adam terhindar dari godaanku, dan tetap keal di dalam
sorga ? “
Keenam : “Manakala Dia telah menciptakanku, lalu membebaniku seara
umum dan secara khusus, kemudian melaknatku, lalu membiarkanku masuk
ke urga, sedang antara aku dan Adam dalam permusuhan, kenapakah aku
dikuasakan atas keturunannya (Adam) sehingga aku dapat melihat
mereka, sementara mereka tak dapat melihatku, dan mengutamakan
tipu-dayaku atas mereka, sedangkan usaha dan kekuatan mereka tidak
didahulukan padau, apakah hikmahnya dalam hal demikian itu, padahal
kalau mereka diciptakan menurut fitrah, tanpa adanya yang
menyimpangkan mereka dari fitrah itu, tentulah mereka akan hidup dalam
kesucian, patuh, dan taat, dan yang demikian itu pantas buat mereka.
Ketujuh : “Aku mempercayai semua ini. Dialah yang telah menciptakanku,
membebaniku secara mutlak dan yang mengikat, dan manakala aku tidak
mematuhiNya, Dia melaknatku dan mengusirku, dan ketika aku ingin masuk
surga, Dia perkenanku dan member kesempatan, kemudian manakala aku
prbuat usahaku, Dia mengusirku, kemudian menguasakan kepadaku atas
bani Adam, maka kenapa ketika aku minta tangguh dia memperkenankannya,
ketika aku berkata : “tangguhkanlah aku hingga hari berbangkit”. Dia
berfirman : “Sesungguhnya engkau diberi tangguh sampai kepada waktu
yang telah ditentukan”. Apakah hikmahnya dalam hal demikian, padahal
kalau Dia memusnahkanku langsung, tentulah Adam dan semua makhluk
merasa aman dari ku dan tentulah tiada kejahatan di dinia ? Bukankah
tetapnya dunia dalam peraturannya yang baik jauh lebih bagus dari pada
campur aduknya dengan kejahatan ?”
(Dikatakan bahwa Allah mewahyukan kepada Malaikat, katakana kepadanya)
: “Sesungguhny engkau di dalam penyerahanmu yang pertama : “Bahwa Aku
adalah Tuhanmu dan Tuha semua makhluk”, “tidak benar dan tidak
ikhlas”. “Andainya engkau benar-benar jujur dalam ucapanmu : “Bahwa
Aku Tuhan sekalian alam, tentulah engkau tidak menghukum Aku dengan
kata : “kenapa ? sedangka Aku adalah Allah, yant tiada Tuhan selain
Aku”. “Aku tidak mesti ditanya, atas apa yang Kuperbuat, tetapi
maklkuklah yang mesti ditanya” (Simak ”Ghazwul Fikri Sudah Ada Sejak
Nabi Adam as”, oleh H Ali Fahmi Arsyad, dalam SUARA MASJID, No.162,
Rajab-Sya’ban 1408H – Maret 1988, dari “Kitab Al-Mihal wan_Nihal”,
oleh Imam Syahrastani pada “Muqaddamah atTsalatsah).
catatan serbaneka asrir pasir
Teka-teki
Apa hikmahnya dalam alQuran terdapat hal-hal yang berupa seolah-olah
teka-teki, berupa mutasyabihat, padahal dinyatakan bahwa dalam alQuran
itu yang ada hanyalah yang pasti, yang tak diragukan, yang tak
debatable. Misalnya tentang jumlah ahlul kahfi, jumlah pemuda yang
bersembunyi di gua, apakah tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan
dengan anjingnya (QS 18:22). Tentang sosok DzulQarnin (QS 18:82),
Yakjuj wa Makjuj (QS 18:94), Luqman (QS 31:12), mertua Nabi Musa (QS
28:27), malam qadar (QS 97:3), kadar/lama satu tahun (QS 32:5, 70:4),
tempat nabi Isa (QS 3:55, 4:158), makna senggol/lamas (QS4:42, 5:6),
penyebutan budak (ma malakat aimanuhum) dalam sejumlah ayat (antara
lain dalam QS 23:6, 70:30) ?
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1107121900)
Assalamu’alaikum w.w.
Re : Mecari Persepsi (Wacana) tentang misi Islam
Mohon penjelasan perihal berikut :
1. Terkait akhir ayat QS 5:3, apakah misi Islam sudah selesai, sudah
berakhir ketika dinyatakan bahwa agama Islam sudah lengkap, sempurna ?
2. Terkait ayat QS 9:33, 61:9, apakah misi Islam sudah selesai, sudah
berakhir, ketika agama Islam sudah merata di seluruh jazirah Arab,
sudah tak ada lagi kaum musyrik ?
3. Terkait ayat QS 9:28, dan tafsirnya (dalam “Tafsir AlAzhar”, X:162,
XXVIII:68,181), apakah kaum musyrik itu sebatas kaum kafir Quraisy
pada masa Rasulullah saw ?
4. Terkait gambar/lukisan surga dalam Quran, apakah misi Islam
terbatas untuk penghuni jazirah Arab masa lalu (“Idiom tentang surga
berdasarkan kepada konteks pengalaman budaya masyarakat Arab pasti
berbeda dengan ‘idiom surga’nya orang Jawa”, kata Emha Ainun Nadjib,
dalam “Surat Kepada Kanjeng Nabi”, Mizan, Bandung, 1997:392) ?
Terima kasih.
Wassalam.
Belajar Memahami Maunya Allah
Iman pada Takdir
(Program, Takdir, Ketentuan Allah)
Usaha, ikhtiar, do’a manusia merpakan input, masukan ke
dalam program, takdir, ketentuan Allah. “Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaannya yang
ada pada diri mereka sendiri” (QS 13:11). “Sesungguhnya Alla sekalkal
tidak aan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkanNya kepada
satu kam, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka
sendiri (QS 8:53). “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia” (QS 30:41)\
Hasil usaha, kekayaan, rezeki, mukjizat manusia sudah
deprogram, ditakdirkaan, ditentkan Allah sejak awal. “Dan Allah
melebihkan sebahagian kamau dari sebaagian yang lain dalam hal rezki”
(QS 16:71). “Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang
Dia kehendaki” (QS 16:71). “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian
mereka atas sebagan yang lan” (QS 2:253).
Disebutkan bahwa segala sesuatu yang telah terjadid di
dunia ini sudah ditetapkan, ditentukan, ditakdirkan, diprogramkan
Allah. “Dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
ditulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahafuzh)” (QS 6:59). “Tiada
suatu bencaa pun yang menmpa dib mi dan tidak (pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis daam kitab (Lauh Mahfuzh)” (QS
57:22). “Dan tidak ada yang lebih kecil dan yanglebih besar, melainkan
tercatat/tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS 10:61,
34:3). “Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata
(Lauh Mahfuzh)” (QS 36:12).
Disebutkan juga bahwa semua yang ditakdirkan tak dapat
ditolak, tak dapat dihentikan oleh siapa pun dan dengan cara apa pun.
“Hai hambaKu. Andaikan dikmpulkan semua kekuatan manusia dan jn dahulu
kala hingga akhir zaman nanti untuk menentang kekuasaanKu, maka
sedikitpun kekuasaanK tidak bergeser” (Hadis Qudsi riwaat Muslim dari
Abidzar dalam “Mutiara Hadits Qudsi”, oleh A Mudjab Mahali, 180:25).
“Ketahuilah olehmu, sekiranya umat manusia sepakat hendak memberi
manfa’at kepadamu, niscara tak akan sampai sesuatu juapun dari
padanya, melainkan apa yang telah ditetapkan Allah lebih dahulu.
Demikian juga sekiranya mereka itu sepakat pula hendak membahayakan
kamu, tak akan sampai bahaya itu melainkan menurut apa yang telah
ditetapkan Allah terlebih dulu (HR Tirmidzi dari Abdullah bin Abbas
dari “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Muraqabah, Kewaspadaan,
Pengawasan”).
Tak ada yang mampu mencegah Hulaghukhan dan pasukannya
memporak porandakan Irak, mencegah ush dan pasukannya
menghancurleburkan Irak, mencegah Israel meumpahkan darah Palestina.
Arah takdir dapat diamati, dideteksi. “Orang yang bakal
beruntung, maka diringankan untuk berbuat amal yang menuntungkan,
sebaliknya orang yang celaka, maka diringankan untuk berbuat amal yang
membinasakan” (HR Bkhari, Muslim dari Ali, daam “AlLukLuk wal Marjan”
Muhammad Fad Baqi, pasal “Kitab Qadar”, hadis no.1697).
Ramalan, prediksi berdasarkan pada fenomena alam, fenomena
sosial ang merupakan snnatullah (proses sebab akibat, if cnditio) yang
diketahui oleh para ahl lm alam/ilmu sosial) bkanlah ramalan terhadap
perkara ghaib seerti yang dilakukan oleh ara kahin, ahli nujum, para
normal.
Menelamatkan diri dari kondisi yang diperkirakan,
diramalkan, diprediksi akan menyengsarkan haruslah dilakukan. Dan
bukan membiarkan diri tidak mengantisipasinya dengan dalih sabar. Ada
satu ungkapan yang berasal dari umar bin Khatthab : Lari dari suat
takdir ke takdir yang lain.
Yang tertindas, yang mendapat Andaman, yang diintimidasi,
yang diteror, ang terancam keamanan/keselamatan dirinya haruslah
berbuat, jika perlu mengungsi, meninggalan negeri pindah ke negeri
lan. “Bukankah bumi Allah itu luas, seingga kamu dapat berhijrah dib
mi itu ?” (QS 4:97).
Sudah berabad-abad mat Islam di Filiina Selatan, di
Patani, di Kashmir, di Singkiang dan lan-lain tertindas oleh bangsa
sendiri. Juga mat Islam di Palestina tertindas ole bangsa asng Israel.
Namn semuanya tak ada ayang berupaa berhijrah, mengungsi, membentuk
pemerintahan di pengasingan. Apakah karena disebutkan bahwa “Tidak ada
hijrah lagi setelah Fath Makkah”. Atakah karena kini ta ada lag tanah
ang bebas, semuanya sudah dikaelingi ? Ataukah karena tak ada negara
ang mau menerima mereka ? Aaukah karena “ukhwah Islamiyah”, “ummat kal
asadil wahid” itu hanya tinggal sebagai Das Sollen (harapan, impian,
slogan, semboyan), hanya ada dalam kitab, tak terwujud sebagai Das
Sein (kenataan).
Dalam menghadapi takdir yng sedang terjadi, berbuatlah
sesuai dengan kemauan dan kemampuan yang dimiliki. Menghadapi
kebakaran, padamkalah walau dengan segelas air sekali pn. Mengadapi
peperangan, padamkanlah wala dengan lemparan sebelah sepatu seal pun.
(BKS0901021000)
Memahami Takdir
“Sekali-kali kamu tidak akan mendapat pergantian bagi
sunnatullah. Dan sekali-kali tidak pula akan menemukan penyimpangan
bagi snnatullah itu” (QS 35:43).
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS
13:11). Man proposes, God disposes.
“Bagi orang yang pemurah dan bertakwa dan membenarkan
adanya suraga, akan Kami (kata Allah) berikan kemudahan kepadanya
(menuju surga). Sedangkan bagi orang yang bakhil dan berdosa dan
mendustakan adanya surga, akan Kami berikan kesukaran kepadanya
(menuju surga) (QS 92:5-1).
“Bila kalian mendengar bahwa di suatu tempat berjangkit penyakit
menular, janganlah kamu pergi ke tempat itu, dan jika di tempat kamu
tinggal telah bejrangkit penyakit menular, maka janganlah kalian
meninggalkan tempat tinggamu karena melarikan dri dar wabah penyakit
menular itu” (HR Bukhari, Mslim dari Usamah bin Zaid, dalam “AlLukluk
wal Marjan”, Muhammad Fuad alBaqi, Bab : Wabah tha’un, dedukunan dan
merasa sial dengan sesuatu).
Raslullah pernah) ditanya : “Apakah sekarang ini sudah diketahi mana
ahli sorga dan ahli neraka ?”. Jawab Rasulullah : “Ya”. Ditana lagi :
“Lalu untuk apakah orang beramal ?”. Jawab Rasulullah : “Tiap orang
beramal untuk apa yang telah dijadikan Allah bagnya (untuk mendapai
apa yang dimudahkan oleh Allah baginya) (HR Bukhari, Muslm dari Inan
bin Hshain, dalam “AlLuklk wal Marjan”, Muhammad Fuad aBaqy, Kitab
adar (Takdir/ Ketentuan Allah).
Rasulullah bersabda : “ Tiada seorangpun dari kalian, bahkan tiada
suatu jiwa manusia melainkan sdah dientka tempatnya di sorga aa
neraka, bernasib baik atau celaka”. Seseorang sahabatnya bertanya :
“Ya Rasulullah, apakah tidak lebih baik kita menyerah saja (nattakil)
pada ketentuan itu (kitabna) dan tidak usah beramal, maka jika untung
akan sampai kepadanya keuntungannya, dan bila celaka maka aan sampai
pada binasanya”. Rasulullah menjelaskan : “Adapun orang yang bahagia
(beruntung) maka diringakan (sayashiru) untuk mengamalkan perbuatan
ahli sa’adah (bahagia), sebaliknya orang yang celaka maka diringankan
untuk berbuat segala amal yang membinasakan” (HR Bukhar, Muslim dari
Ali, dalam “Matan Shahih Buhari”, Kitab alJanaiz, Bab : “Mau’izhah al
muhaddats ‘inda alqabri wa qu’ud ashshabih haulahu”, dan dalam “Tafsir
Ibnu Katsir”, jilid IV, hal 18, re tafsir ayat QS 92:5-10 ?.
Menurut Yahya bin Ya’mur, orang ang ertama kal berbicara tentang qadar
di Basharah adalah Ma’bad alJuaini, lalu ia (Yahya bin Ya’mar) dan
Humaid bin bdurrahman alHimyari (Syaikh Abdurraman Hasan Alu Syaikh :
“Fathl Majid”, 2007:922, Bab Mereka yang mengingkar Qadar (Takdir)”.
Allah menentukan sesuatu atas kehendakNya, tidak ada yang dapat
mempengaruhinya. Takdir llah tidak dipengaruhi oleh kemauan manusia.
Namun demikian, Allah membuka kesempatan bagi manusia untuk berdoa dan
memohon kepadaNya. Manusia hanya tahu apa yang telah terjadi dan
dialaminya, akan tetapi ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa
dating. Segala sesuatu yang terjadi, tidak ada yang diluar kehendak
Allah, tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetlan (Prof Dr Zakiah
Dradjat : “Takdir Allah”, REPUBLIKA, 26 Desember 1995, “Hikmah”).
Mensyukuri nikmat Allah. Pertama dengan menyadari bahwa nikmat, rahmat
Allah yang diterima tidak terhingga banyaknya. Kedua dengan mematuhi,
mengikuti ketentuan Allah dalam menggunakan semua nikmat, rahmat Allah
yang diterima (Prof Dr Zakiah Dradjat : “Syukur nikmat”, REPUBLIKA, 19
Januari 1996, “Hikmah”).
(BKS0802072045)
Belajar memahami maunya Allah
(Belajar membuka tabir rahasia ilmu dan kehendak Allah)
“Dan Aku (kata Allah) tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembahKu” (QS 51:56).
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu
satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendakiNya,
dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya” (QS 16:93).
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia
umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat” (QS
11:118).
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaa kamu dijadikanNya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (QS
548).
Seluruh malaikat yang dciptakan Allah mengabdi kepadaNya
(QS 2:1). Namun manusia yang diciptakan Allah hanya sebagian kecil
yang mengabdi kepadaNya. Padahal semuanya itu diciptakan Allah untuk
mengabdi kepadaNya (QS 51:56).
Allah Maha Kuasa. Allah bisa menciptakan dunia in seperti
sorga, aman, tenteram, damai, sentosa, sejahtera. Tapi Allah
menghendaki agar manusia itu aktif bergerak dnamis, kreatf menciptakan
keamanan, ketenteraman, kesentosaan, kesejahteraan di dunia ini, bukan
bersikap statis, pasif, apatis. Dunia ini diciptakan Allah untuk
perjuangan, bukan untuk bersenang-senang. Hasilnya dipetik nanti di
akirat.
Allah Maha Kuasa. Kuasa merubah sikap mental namruz,
Fir’aun, Penguasa Romawi, Abu Lahab dari syirik ke tauhid, dari zhalim
ke adil. Namun Allah tak melakukan itu. Ia mengutus utusanNya Ibrahim,
Musa, Isa Muhammad saw untuk melakukan tugas itu. Namun semua
utusanNya tak berhasil merubah sikap buruk mental mereka itu.
Allah memberikan kerajaan kepada orang yang Ia kehendaki
dan Ia cabut kerajaan dari orang yang Ia kehendaki. Ia muliakan orang
yang Ia kehendaki, dan Ia hinakan orang yang Ia kehendaki (QS 3:26).
Allah Maha Kuasa. Kuasa memberikan kekuasaan kepada
Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad. Tapi Allah tak memberikan kepada mereka.
Allah memberikannya kepada Namruz, Fir’aun, Penguasa Romawi, Abu
Lahab.
Allah Maha Kuasa. Kuasa menyelamatkan Ibrahim dari api
unggun, menyelamatkan Yunus dari santapan ikan. Kuasa menyelamatkan
Ayub dari penyakit, menyelamatkan Zakaria dari gergaji, menyelamatkan
Muhammad senjata Quraisy pada perang Uhud. Namun Allah membiarkan Ayub
menderita sakit, membiarkan Zakaria kepalanya digergaji penguasa
Romawi, membiarkan Muhammad kena lemparan senjata kafir Quraisy.
Allah menyediakan sorga dan neraka. Ini berarti Allah
menghendaki mada manusia yang baik saleh, yang akan menjadi penghuni
sorga, dan ada manusia ang jahat, taleh, yang akan menjadi penghuni
neraka. Oleh karena Allah itu Maha Kuasa, maka Dia tidak ditanya
tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang ditanyai” (QS
21:23).
Disebutkan bahwa yang mencoba membuat seperti buatan Allah
adalah oang zhalim (HR Bukhari, Muslim dari Abi Hurairah, dalam
“Riadhus Shalihin”, Imam nawami, “Haram menggambar binatang”. Yang
membuat gambar akan disiksa Allah di hari kiamat, dan diperintahkan
supaya menghidupkan yang digambarnya” (HR Bukhari, Muslim dari Ibn
Umar, idem, simak juga “Fathul Majid” Syaikh Abdurrahman, 2007:928,
Bab : “Para Perupa Makhluk Bernyawa”).
Allah Maha Kuasa. Apakah Allah merasa tersaingi oleh
manusa yang membuat gambar ? Apaah Allah merasa perlu menunggu sampai
hari kiamat untuk menghukum ang membuat gambar ? Apaka Allah merasa
tak perlu untuk segera mencegah agar tak sampi mereka itu membuat
gambar ?
Malaikat menyaksikan bahwa makhluk yang diciptakan Allah,
yang satu memangsa yang lain. Yang satu menumpahkan darah ang lain.
Yang satu mersak yang lain. Homo homini lupus. Padaal mereka (malakat)
itu senantiasa bertasbih memuji mensuscikan Allah. Namun Allah tak
menyangkal yang disaksikan aaikat itu, karena Allah punya padangan
lain, “Ia Maha Mengetahui”.
Ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat : “Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata :
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan”. Tuhan
berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
(QS 2:30).
Dari ayat tersebut dipahami bahwa Allah tak menginginkan
suasana damai, aman, tenteram, sentosa, tapi suasana homo homini
lupus, yang satu memangsa yang lain.
Emha Ainun Nadjib menulis : Untunglah, kata sejumlah orang
mulia yang cerdik cendekia : Allah sendiri itu Maha Humor. Sudah
enak-enak hidup sendiri, kok bkn macam-macam makhluk anglucu-lucu
begini. Apa Dia kesepian. Adam sudah nyaman-nyaman di srga, dibiarkan
tercampak ke bumi. Kok luc. A Qldi saja kk ndak boleh dmakan. Mbok, ya
bar. Apa sih ruginya han kehlangan sebji Qldi ? Mbok biarkan Adam
kawin sama awa di surga, pengantn dan pesta sampai anak turnannya
sekarang ni. Kenapa makhluk-makluk itu harus menunggu terlal lama
untuk memperoleh kesempatan bercengkerama mesra denganNa. Lucu. Pakai
bikin Iblis-Setan segala “Surat Kepada Kanjenga Nabi”, Mizan, Bandung,
1997:182, dari SUARA MERDEKA, 25 September 1992). Jawaban semuana itu
terkandng dalam Ak mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” , QS 2:30).
(BKS0801280645)
Bagaimana memahaminya ?
1 Untunglah, kata sejumlah orang mulia yang cerdik cendekia : Allah
sendiri itu Maha Humor. Sudah enak-enak hidup sendiri, kok bikin
macam-macam makhluk yang lucu-lucu begini. Apa Dia kesepian. Adam
sudah nyaman-nyaman di surga, dibiarkan tercampak ke bumi. Kok lucu.
Buah Quldi saja kok ndak boleh dmakan. Mbok, ya biar. Apa sih ruginya
Tuhan kehilangan sebiji Quldi ? Mbok biarkan Adam kawin sama Hawa di
surga, pengantin dan pesta sampai anak turunannya sekarang ini. Kenapa
makhluk-makhluk itu harus menunggu terlalu lama untuk memperoleh
kesempatan bercengkerama mesra denganNya. Lucu. Pakai bikin
Iblis-Setan segala (“Surat Kepada Kanjeng Nabi”, Mizan, Bandung,
1997:182, dari SUARA MERDEKA, 25 September 1992). Jawaban semuanya itu
terkandung dalam “Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” , QS
2:30).
2 Penting pulakah Anda menanyakan kenapa Tuan, melalui Nabi Ibrahim,
menentukan Ka’bah didirikan di tempat itu ? Adakah karena kebetulan
saja kampung Ibrahim memang disitu ? Kenapa pula Tuhan menentukan
Ibrahim lahir di negeri dan tanah itu, dan tidak di Timor Timur
misalnya ? Bakan kenapa pula seluruh nabi hanya muncul di Timur Tengah
? Kenapa tak dibagi : Cina punya satu nabi, India punya satu nabi,
Jawa punya satu nabi, dan seterusnsya ? Ini pertanyaan bukan untuk
“menggugat” Tuhan, melainkan justru untuk membuka pintu rahasia ilmu
dan kehendakNa (idem, hal 118, dari SUARA MERDEKA, 18 Juli 1992).
3 Barangkali saja kehidpan memang memiliki watak dn gayanya sendiri :
manusia hidup dalam berbagai perbedaan, pertentangan, bahkan
kepentingan. Seolah-olah Tuhan sengaja mentakdirkan seseorang menjadi
kaya, sementara yang lain melarat, semelarat-melaratnya. Seseorang
bisa memiliki sekaligus ratusan perusahaan, yang diperoleh dengan
wajar, professional, maupun melakukan bocoran-bocoran birokratisme dan
nepotisme, sehinggga setiap saat bisa disewanya seribu pesawat untuk
dinaikinya sendirian. Sementara seorang yang lain memeli ratusan map
dan kertas surat lamaran kerja yang bertahun-tahun tak didterima oleh
kantor perusahaan manapun. Atau membanting tulang daging sehari penuh
untuk beberapa ratus rupia (idem, hal 58, dari SUAA MERDEKA, 30
Oktober 1991).
4 Amir Hamzah menggambarkan betapa tak berdayanya, tak mampunya
manusia dalam menghadapi kehendak/kekuasaan Tuhan. Manusia dilukiskan
seakan-akan hanyalah merupakan permainan belaka, seumpama golek
(boneka) dalam permainan wayang untuk menghibur (menyenangkan) sang
dalang (Drs Samaun : “Napas Ketuhanan Dalam Puisi Indonesia Modern”,
dalam GELANGGANG Sastera, Seni dan Pemikiran, No.2, ahun I, 1967, hal
11).
5 Salah satu dari ucapan Jaham ibnu Shafwan – pemimpin Jabariyah –
adalah sebagai berikut : Manusia tidak mempunyai kodrat untuk daapat
berbuat sesuatu, dan ia tidak mempunyai “kesanggupan”. Dia hanya
terpaksa dalam semua perbuatannya. Dia tidak mempunyai kodrat dan
ikhtiar, melainkan Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan pada
dirinya. Dia adalah laksana sehelai bulu yang terkatung-katung di
udara, bergerak ke sana-sini menurut hembusan angina (Prof Dr A
Syalabi : “Sejarah dan Kebudayaan Islam”, Pustaka alHusna, Jakarta,
1993, jilid II, hal 379).
6 Allah kasih manusia rejeki menurut kemasshlahatan mereka. Ia
mengkayakan orang yang memang layak memiliki kekayaan. Dan memiskinkan
orang yang memang berhak menjadi orang miskin. Allah lebih tahu apa
yang bermashlahat bagi manusia, dan yang tdak bermashlahat bagi mereka
(PANJI MASYARAKAT, Jakarta, No.537, dari AlLiwa alIslam).
(BKS9801291345 sentto SUARA MUHAMMADIYAH Yogyakarta)
Menghadapi musibah
Rasulullah saw menyampaikan “Peliharalah perintah Allah,
engkau dapatkan Allah didepanmu. Kenalkan dirimu kepada Allah pada
waktu senang, niscaya Allah mengingati pada waktu kamu dalam
kesukaran. Ketahuilah bahwa sesuatu yang terlepas darpadamu tidak akan
mengenai kamu, dan yang menjadi bagianmu tidak akan lepas daripadamu.
Ketahuilah bawa kemenangan itu beserta kesabaran, dan kegembiraan itu
sesudah kesusahan, dan tiap ada kesukaran akan ada kelapangan (HR
Tirmidzi dari Abdulla bin ‘Abbas, dalam “Riadhus Shalihin” Imam
Nawawi, Pasal Muraqabah).
“Rajin-rajinlah mengerjakan apa-apa yang berguna dunia
akhirat, dan selalu minta bantuan kepada Allah, dan jangan lemah. Jika
kau terkena sesuatu, jangan sekli-kali mengatakan “andaikan saya
berbuat begini niscaya terjadi begini”. Seharusnya kau berkata “Telah
ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat sekehendakNya” (HR Muslim dari
Abi Hurairah, dalam “Riadhus Salhin”, Imam Nawawi, Pasal Mujahadah).
Dalam menghadapi apa yang disebut dengan teror bom,
seharusnsya mengucapkan “Telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat
sekehendakNya”.
Penguasa searusnya menenangkan rakyatnya agar tak resah,
gelisah. Mengajak rakyat agar mempercayakan urusan keamanan kepada
aparat keamanan. Memerintahkan aparat keamanan agar segera bertindak
mengembalikan keamanan. Mengajak korban hidup dan keluarga korban agar
bersabar, dan meningkatkan kepercayaan akan kekuasaan dan takdir Allah
swt. Mengajak para ahli untuk mengkaji apa sebenarnya yang menjadi
motif dari pelaku terror bom, sehingga mereka tak pernah kapok/jera.
Dan apakah mereka bisa diajak berbicara baik-baik ? Apakah perlu
mendengarkan suara nasehat, advis dari pihak asing ?
(BKS0907180715)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar