Jumat, 18 November 2011

Dialog tanpa epilog

catatan sebaneka asrir pasir 1. Dialog tanpa epilog (Diskusi tanpa henti) Pada masa shabat mapun masa Bani umaiyah telah banyak para ulama telah banyak bicara/membahas/berdiskusi/berdilog tentang masalah takdir dan kekuasan manusia dalam kaitannya dengan kekuasaan Allah swt. Abdullah bin Abbas berbicara/berdiskusi/berdialog di hadapan kaum Jabariyah penduduk Syam dan meminta mereka agar meningglkan pendapatnya. Hasan Bashri berkirim surat berdiskusi/berdialog kepada jaum jabariah penduduk Bashrah Ibnu Abbas dan Al-Hasan menolak pendapat orangorang yang berpendirian bahwasanya manusia berada dalam keterpaksaan dan melaukan segala prbuatannya. Antara kaum Jabariyah dan kaum Suni terjadi dialog/diskusi berkepanjan tanpa akhir. Juga antara kaum Jabariyah dan kaum Qadariah, dan seperti itu juga antara kaum Qadariyah dan kaum Suni. (silakan smak dialog/diskusi mereka ini dalam buku Syakh Muhammad Ahmad Abu Zahrah, fasal Jabariyah, Qadariyah, Suni, yang dikisahkan oleh Ibnu Qaiyim). 2. Diskusi antara al-Asy’ari ( M-Murid) dan al-Jubba’I (G-Guru) : M : Bagaman pendapat tuan mengenai tiga orang ini, yaitu orang mu’mim, orang kafir dan anak kecil ? G: Oang Mu’min termasuk kelompok yang mempunyai derajat yang tinggi; orang kafir termasuk kelompok yang memikiki derajat yang rendah; dan anak keil termauk orang yang selamat dari neraka. M; Jika anak kecil itu berkeiningan untuk naik ke peringkat yang tinggi ( setelah peringkat yang tinggi hanalah memalui ketaatannya, sedangkan kamu tidak hasil mempunyai ketaatan seperti itu”. M : Jika sia anak berkata : “Kealahan tidak terletak padaku. Kalau sekiranya Engkau (Ya Allah) lamakan hidupku, nisaya aku erbuat taat sebagai mana ketaatan orang Mukmin”. G; Allah akan menjawab, “Aku telah mengetahui ahwa sekiranya engkau tetap hidup, niscaya engkau akan durhaka dan disiksa. Maka Aku memelihara kemashlahatanmu. Aku mematikanmu seelum mencapati usia taklif”. M : Sekiranya orang kafir berkata, “Engkau telah mengetahui keadaanu sebagaimana Engkau mengetahui keadaan anak kecil ini. Mengapa Engaku tidak memelihara kemashalahatanku sebagaimana engkau memelihara kesehatan anak kecil itu ? G: diam. 3. Dialog antara Iblis dan Malaikat (Silakan simak “Al-Milal wan Nihal” oleh Syahrastani, pada “La-Muqddamah ats-tsalitsah”, yang diIndonesiakannya oleh H Ali Fahmi Arsyad, dalam SUARA MASJID, No.192, Maret 1988, hal 50-52) Hamka menggugat Jabariyah Dalam DDC (Dewey Decimal Classifiation) 200-299 veri Arab-Islam terbitan Kuwait, 1984, bahwa yang tergolong pada Aliran/Sekte/Firqah Islam di antaranya adalah : Murjiah, Mu’tazilah, Khawarij, Syi’ah, Rafidhah, Sunni, Asy’ari, Druz, Qadiani, dan lain-lain. Bagaimana pun mereka itu masih dikategorikan sebagai penyandang predikat Islam, sebab semua masih mengacu pada Quran dan Hadits (Simak “Tafsir Al-Azhar”, juzuk IV, halaman 55, re tafssiran ayat QS 3:105). “Jabariyah” berpaham bahwa segala sesuatunya aalah taqdir suratan daari Tuhan, dan kita manusia tidak ada ikhtiar sama sekali (idem, juzuk XX, halaman 19, re tafsiran ayat QS 8:53). “Jabariyah” berpaham bahwa “Nasibku yang malang adalah takdir Allah”. “Kalau tidak atas kehendak Allah, tidaklah nasibku akan begini” (idem, juzuk IV, halaman 97, re tafsiran ayat QS 8:148). Intinya bahwa hanya Allah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Berdaulat. Kekuasaan dan Kedaulatan Allah tak terbagi dengan siapa pun. Dalam hubungan ini simak pula tanggapan Ibnu Arabi yang mengatakan, bahwa “Sungguh perbuatan baik dan buruk, iman dan kufur, tha’at dan maksiat, penciptanya semua ialah Allah, yang tidak ada sekutu bagiNya dalam mencipta. Dan tidak pula dalam menciptakan apa jua pun. Tetapi yang buruk tidaklah boleh disangkutkan kepadaNya dalam sebutan, meskipun itu ada. Semuanya itu ialah untuk mendidik kita beradab, bersopan santun mengajar kita memuji Dia” (idem, juzuk XXIII, halaman 271, re tafsiran ayat QS 28:41). Ibnu Katsir dalam mengupass tentang Khilafah mengatakan bahwa “Kalau Di (Allah) menghendaki, boleh saja dijadikan sekalaigus, tidak dijadikan turun demi turunan, atau sebagai kejadian Adam saja dari tanah. Dan kalau Dia (Allah) kehendaki bisa saja yang setengah adakan keturunan dari yang setengah, tetapi tidak dimatikan yang mula-mula lebih dahulu, melainkan sekaligus semuanya kelak dimatikanNya”. Pastilah ada hikmahnya. “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS 2:30) (idem, juzuk XX, halaman 19(. Syubhat dan Mutasyabihat Muh Quthub menarang buku berjudul “Subhat Haul al-Islam”. Alwi AS mengindonesiakannya “Jawaban Terhadap Alam Fikiran Barat Yang Keliru Tentang Al-Islam” (Membongkar kebohongan orientalis tentang Islam), tertian Diponegoro, Bandung, 1982. Dalam QS 3:7 terdapat kata “muhkamat” dan “mutasyabihat”. Apakah makna “ayat mutasyabihat” ? Apakah ayat yang masih dipertanyakan, dipersoalkan, dipermasaalahkan ? Apakah ayat yang masih memerlukan tafsiran, yang ghairu ma’qul, yang tak logis ? Apa bedanya antara “sya-a” dan “arada”, antara “qadara” dan qadha-a” ? Apakah makna “La quwwata illa billah” (QS 18:39) ? Apakah berarti bahwa tak ada yang terjdi tanpa idzin/kehendak Allah ? Apakah berarti bahwa semuanya (yang baik dan yang buruk) terjadi atas kehendak/mauNya Allah ? Apakah makna “fa’alu lima yurid” (QS 11:107)” ? Apakah berarti bahwa Allah berbuat sekehendaknya, semaunya, sewenang-wenang ? Karena “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai” (QS 21:23). Akah sebenarnya maunya Allah ? Dalam QS 51:56 disebutkan bahwa “Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Allah” ? Apakah seluruh (kulli) jin dan manusia tanpa kecuali (tapa eksepsi, tanpa istitsna) ? Ataukah hanya sebagian (juz-i) kecil saja dari manusia yang diciptakan Allah untuk mengadi kepadanYa ? Namun kenyataan (Das Sein) yang terjadi menunjukkan tak semua manusia yang mengabdi kepada Allah. Allah sendiri Maha Kuasa. Mampu mewujudkan kehendaknya “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepaanya ‘Jadilah’ maka terjadila ia” (QS 36:82, simak juga QS 76:30, 81:29). Kenpa tak terwujud seperti kehendakNya ? Apakah ini suatu pengecualiaan, eksepsi, sistitsna ? Jika hal ini memang kehendakNya menciptakan seluruh jin dan manusia mengabdi kepadaNya, untuk apa diciptakannYa neraka ? Pasti ada hikmahnya. Tak perlu ditanyakan. Dalam QS 8:25 disebutkan bahwa siksaan Allah tidak khusus hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja ? Allah sendiri Maha Kuasa. Mampu melokalisir siksaan hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja. Kenapa hal ini tak terwujud dalam kenyataan ? Pasti ada hikmahnya. Tak perlu ditanya. Allah berkuasa buat menjadikan syari’at itu satu saja. Coraknya satu saja zaman Adam sampai zaman Muhammad, sampai hari kiamat. Bangsapu satu semua. Adat istiaat satu semua, prkembangan hiduppun satu saja semua. Allah berkuasa membuat demikian kalau Dia mau (idem, juzuk VI, hal 268, re tafsrin QS 5:48). (macam di surga/ tanpa prlu adanya dunia dan akhiat ?) Kalau Allah menghendaki, bisa juga manusia itu bersatu semua, akur semua, tidak ada berkelahi. Akur dalam membangun. Akur dalam berketurunan. Allah sanggup mentakdirkan manusia seperti demikian. Akan tetapi Allah telah mentakdiran lain. Manusia tetap saja dalam perselisihan atau perkelahian. Ada yang jadi Fir’au. Ada yang jadi Musa. Ada yang jadi Abu Jahal. Ada yang jadi Nabi Muhammad saw. (Idem, simah juz XII, hal 153, re tafsiran QS 11:118). Allah berkuasa membuat umat ini jadi umat yang satu, tidak ada pertikaian, tidak ada perselisihan (idem, juzk XI, hal 290, re tafsiran QS 16:193, juzuk III, hal 8 re tafsiran QS 2:253, simak juga re tafsiran QS 42:8). Kalau diteruskan, bisa saja muncul pandangan bahwa kalau Allah menghendaki maka tak ada senketa antara Qabil dan Habil, tak ada perperangan, tak perlu ada bahtra Nabi Nuh, unggun yang disipkan Namruzz bagi Nabi Ibrahim, tak perlu Fir’aun kejeur ke dalam lautan. Seluruh fenomena alam dirncang Allah untuk kemanan manusia, tak ada tsunami, tak ada gempa bumi, tak ada bencana alam, tak ada manusia yang keinjak-injak. Bahkan tak pula ada pengadilan, tak perlu neraka, tak perlu ada kematian. Cukup hanya surga tanpa dunia, tanpa akhirat, tanpa mati ? Allah Maha Kuasa buat mengumpulkan mereka (manusia ?) dalam satu haluan, satu kepercayaan, satu petunjuk sehingga tidak ada yang membantah lagi, setuju saja semuanya. Allah sanggup berbuat begitu (Simak Prof Dr Hamka “Tafsir Al-Azhar”, juzuk VII, hal 207, re tafsiran QS 6:35). Kalau Allah mau, maka Allah dapat saja membuat manusia itu menjadi mukmin semua, dan kemusyrikan jadi hilang, orang bersatu semua dalam tauhid (idem, juzuk VII, hal 34 re tafsiran QS 6:107). Allah Maha Kuasa. Bisa membuat seluruh isi bumi ini beriman kepada Allah, tak ada yang durhaka kepada Allah. Semua orang akur. Semua manusia yang hidup di dunia ini percaya kepada Allah, tidak seorang juga yang membantah. Kalau Allah menghendaki supaya manusia itu beriman semua, seluruhnya percaya saja kepada Allah, yaitu dihentikanNya manusia brfikir dan dihilangkanNya segala perjuangan buat mencari nilau-nili di dalam hidup (idem, juzuk XI, hal 347, re tafsiran QS 10:99). Allah Maha Kuasa. Kalau Allah mau, Ia ciptakan umat ini Muslim semua (QS 5:48, 10:99), akur semua, tak berselsih (QS 11:118), tak ada berbunuh-bunuhan (2:253) semuanya orang baik-baik (QS 16:93), tak ada yang berbuat seweang-wenang (QS 42:8, 6:137), semua dapat petunjuk (QS 6:35, 6:149), tidak ada yang musyrik (QS6:107). Semuanya tertib, teratur, aman. Tak perlu pengadilan, tak perlu mesti ada kematian, tak prlu adanya neraka. Itu kalau Allah mau. Dalam QS 2:186 disebutkan bahwa Allah mengabulkan permohonan orang yang meminta, apabila ia memohon kepada Allah. Apakah seluruh permohonan akan dikabulkan Allah ? Tidak. Permohonan Nabi Nuh yang memohon keselamatan atas anaknya ditolak Allah )Simak QS 11:45-47). Permohonan Nabi Ibrahim yang memohon atas keseamatan bapaknya ditolak Allah (Simak QS 9:113-114, 60:4). Kenapa ? karena tak memenuhi syarat yang dikehendaki Allah. Syaratnya apa ? Silakan simak dan telusuri dari ayat tersebut. Yang memohon orang baik-baik, orang shaleh, yaitu nabi, Rasul Allah. Materi yang dimohonkan pun menurut yang memohon juga yang baik, yaitu keselamatan bagi keluarga. Allah sendiri tempat memohon pun Maha Kuasa, mampu merubah dari kafir kepada mukmin seperti halnya Umar bin Khatthab. (written by sicumpaz@gmail.com at BKS1109181100) catatan serbaneka asrir pasir Cuplikan Surat Emha 1 Manusia tidak pernah tahu-menahu mengenai kelahiran dan hakikat azalinya (?). Ia tak pernah merqancang, bahkan juga tak pernah meniati bahwa ia akan lahir dan menjadi seorang anak manusia, menjadi putra ibu dan bapaknya. Manusia juga ta pernah – dalam aarti yang sesungguhnya – memiliki dirinya sendiri serta apa pun yang lain dalam kehidupannya. Ia ada karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkannya untuk ada. Ia “memiliki” sesuatu dalam keberadaannya itu bukan karena haq-nya aalah memiliki sesuatu, melainkan karena ada sesuatu yang meminjamkan kepadanya. ia bias berjalan dan menggerakkan tubuhnya bukan karena sejak semula ia merencanakan dan menentukan bahwa ia bias berjalan dan menggerakkan badan, melainkan karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkannya bias berjalan dan menggerakkan badan (Emha Ainun Nadjib : “Surat Kepada Kanjeng Nabi”, Mizan, bandung, 1997, hal 441). 2 Ada tiga jenis manusia. Pertma adalah manusia yang memperoleh kehormatan (karamah) dari Allah untuk memiliki potensi istimewa, tidak terlalu tergatnung kepada arus lingkungannya. Manusia macam ini ditaruh di mana pun tetap unggul. Kedua adalah manusia yang memiliki ketergantungan “normal” terhadap lingkungan pendidikannya, terhadap sejarah dan nyali yang membesarkannya. Ketiga manusia yang aka cepat memperoleh kasih Allah. manusia yang juga tidak tergantung pada system yang mendidiknya, tapi dalam kapasitas sealiknya. Meskipun dia dididik bagaimanapun, dia akan tetap jadi manusia tak terdidik (Idem, hal 306) (Manusia: supra, biasa, infra, tajrid, kasab. “”Kuliah Ma’rifat”, hal 22). 3 Ibrahim bersedia menyembelih anaknya dn Ismail ikhlas melepas nyawanya, karena mereka Nabi. Kita belum brsedia melepas jabatan atau sesuatu yang lebih penting dari itu bagi hidup kita, karena kita bukan Nabi ? (QS 3:92) (idem, hal 446). 4 Orang “dimobilisasi” secara psikologis untuk menaati rukun agama, untuk shalat, puasa, dan lain-lain dengan argumentasi ekonomis (tijarah), yakni mendapat pahala. Kita dididik untuk hanya mencari laba di hadapan Allah. Seakan-kan Ia adalah “Bandar” (idem, hal 361). (Simak juga Hukum-hukum reflex-reflex bersyarat yang didapat oleh Pavlov, yang juga brlaku pada manusia. Dr R Paryana Suryadipura : “Manusia Dengan Atoomnja”, terbitan Ussaha manusia, Semarang, 1958, hal 234). 5 Tuhan berkali-kali mengiming-imingi surga. Seolah-olah iming-iming surga itu suatu kesengajaan agar manusia melakukan transendensi atasnya, kemudian mencari, merindukan, dan mengejar sesuatu yang lebih hakiki, sejati, serta kebahagiaan yang sebahagia-bahagianya (idem, hal 393). (Bagaimana wujud surga itu dalam pandangan mereka-mereka yang dicap teroris ). 6 Allah berkali-kali mengiming-imingi surga : sungai susu, kebun hijau, bidadari, dan hidangan-hidangan. itu adalah idiom tentang surga berdasar kepada konteks pengalaman budaya masyarakat Arab yang pasti berbeda dengan “idiom-surga”-nya orang Jawa misalnya. Jika orang Jawa mengobsesikan surga, maka formula yang muncul di benaknya bukanlah sungai, karena kita sudah kaya sungai. Bukan pula bidadari, karena alam kita telah menyediakan “bidadari-bidadari”. Surga orang Jawa mungkin juga tidak sama : bergantung pada kondisi masing-masing. (idem, hal 392). 7 Kebahagiaan. Apakah kebahagiaan itu. Bagaimana konsep kebahagiaan bagi orang gila, edan, sinting. Apa perlu mereka akan kebahagiaan ? Apakah kebahagiaan bagi orang yang gila kekayaan, gila kekuasaan ? Apa kebahagian bagi yang kecanduan narkotik. Apakah mereka merasakan bahaya kerusakan dari narkotik itu. Apakah kebahagiaan bagi yang kecanduan bid’ah ? Apakah mereka merasakan bahaya kerusakan dari bid’ah itu. Apakah kebahagiaan bagi yang kecanduan kemewahan ? Apakah mereka merasakan bahaya kerusakan dari kemewahan itu ? (nilai bahagia lps dari ukuran mubadzir). “Kalu sekiranya kebenaran mengikut hawa nafsu mereka (tradisi-budaya ?), niscaya binasalah langit dan bumi dan siapa-siapa yang didalamnya” (QS 23:71). 8 Sudah barang tentu, di “luar rumah” kita berusaha lebih beradab dan beradat. Kita meladeni hamper segala apa pun yang menjadi keseyogiaannya Hari Raya dalam kultur lingkungan kita. Semua itu lebih bersifat cultural daripada religus. Lebih merupakan mekanisme adat budaya keagamaan disbanding manifestasi nilai-nilai agama itu sendiri. Menurut adat “feodalisme” penduduklah yang meminta maaf kepada Pak Lurah, padahl banyak kenyataan yang “memerintahkan” sealiknya. kalau para penduduk bermaaf-mafan dengan Pak Lurah, apakah gerangan artinya ? Apakah mereka bermaf-mafan dalam konteks individu (manusia), ataukah dalam konteks sosialitas (structural) ? Apakah seorang penduduk minta maaf kepada Lurah karena ia pernah ngrasani kepala desanya itu ? Ataukah karena ia pernah tidak setuju kepada keputusan mengenai Tebu Rakyat, Bimas atau uang-uang pajak yang “sirna” tanpa kejelasan ? Dan kalau Pak Lurah minta maaf juga kepada penduduk, apakah kemudian penduduk memaafkan segala ketidakberesan tindakannya sebagai Lurah selama ini ? (idem, hal 412). 9 Perlu diketahui bahwa semua lelaki normal pasti terangsang melihat goyang pinggul kostum mini yang bahenol. Cuma persoalannya ada factor lain di dalam diri manusia, umpamanya kesadaran tentang baik dan buruk, sikap terhadap hokum moral, serta mungkin gaairaqh untuk memelihara kesehatan mental masyarakat, termasuk dirinya. Hal-hal itu yang membikin seseorang tak memilih kesenangan dengan menonton badan semok (seksi dan montok), tapi berpihak pada kesadarannya yang lain (idem, hal 28). 10. Bersamaan dengn usaha gigih mnusia meningkatkan produk teknologi untuk memudahkan kehidupan, maka teknologi seks juga tak mau ketinggalan. Pabrik-pabrik segera bikin alat-alat persetubuhan sintetis, vagina sintetis, zakar intetis, serta segala macam perangkat untuk itu (idem, hala 29). 11 Kita boleh memperebatkan masalah keadilan social secara terbuka dan tanpa resiko politis apa pun, asal yang dimaksud adalah keadilan social dari masyarakat anonym (anta beranta), atau setidaknya “Ketidak adilan social di Nairobi”, misalnya. Kita boleh mengecam intervensi Irak ke Kuwait, asal jangan dihubungkan dengan kasus Timor Timur. Iklim semacam itu melahairkan generasi kelu dan bisu (budaya diam), karena bapak sejarah mereka tertutup dan ngratu (idem, hal 234). 12. Kebuayan Negara dan masyarakat kita tidak menyediakan infrastruktur dan infrakultur untuk keberlangsungan egalitarianitas mekanisme dialog. Tak akan pernah terjadi musyawarah kalau yang satu kuat dan yang satu lemah. Orang Indonesia itu tengeng lehernya. Ia cenderung tidak bias menoleh ke kiri atau ke kanan. Biasanya Cuma mendongak ke atas atau ndingkluk ke bahwah”. Manusia Indonesia seolah-olah hanya mempunyai garis budaya vertical dan tidak memiliki garis budaya horizontal. naluri dan cara pandang yang dididikan ialah memandang orang lain sebagai atasan atau bawahan (idem, hal 231). 13 Masyarakat kita belum cukup memiliki modal (kultural, intelektual, mental) untuk berdemokrsi, untuk berbeda, untuk menyangga kebebasan, serta untuk dewasa di tengah ragamnya pilihan-pilihan. Subyektivisme kekuasaan di negeri ini merupakan contoh terpendam dari ketidakpastian. Belum ada kesungguhan iktikad untuk berdemokrasi. Lebih dari soal ketidaksiapan mental dan budaya adalah ketidakadilan social ekonomi dan subyektiisme kekuasaan yang berkepanjangan. Negara kita “diselmatkan” (selamat dari rhythm of explosion) oleh ketidakpampatan geografis, teluk-teluk permisivisme dan selat-selat kulturalisme, juga tingkat kekayaan alamiah, sehingga jumlah hance of explosion bias dibikin busung dengan sendirinya (idem, hal 247-248). 14 Dosa ‘ain adalah dosa individual. dosa kifayah adalah dosa structural (idem, hal 417). 15 Kita ini orang-orang lemah yang tidak saling bergandengan tangan, tidak beroganisasi, tidk berjama’ah. Kita ini orang lemah yang tidak tahu kelemahan-kelemahan kita sendiri. kita ini orang-orang lemah, karena itu kita membutuhkan persatuan dan organisasi di antara oang-orang lemah (idem, hal 158) (Berjama’ah dituntut dalam ibadah ritual dan juga dalam ibadah social). (written by sicumpaz@gmail.com at BKS1110031030) catatan serbaneka asrir pasir Bagaimana memahaminya ? Untunglah, kata sejumlah orang mulia yang cerdik cendekia : Allah sendiri itu Maha humor. Sudah enak-enak hidup sendiri kok bikin macam-macam makluk yang lucu-lucu begini. Apa Dia kesepian. Adam sudah nyaman-nyaman di surga, dibiarkan tercampak ke bumi. Kok lucu. Buah Quldi saja kok ndak boleh dimakan. Mbok ya biar. Apa sih ruginya Tuhan kehilangan sebiji Quldi ? Mbok biarkan Adam kawan sama hawa di surge, pengantinan dan pesta sampai anak turunannya sekarang ini. Kenapa makhluk-makhluk itu harus menunggu terlalu lama untuk memperoleh kesempatan bercengkerama mesara denganNya. Lucu. Pakai bikin Iblis-Setan segala (Emha Ainun Nadjib : “Surat Kepada Kanjeng Nabi”, Mizan, bandung, 1997, hal 162, dari SUARA MERDEKA, 25 September 1992). Penting pulakah Anda menanyakan kenapa Tuhan, melalui nabi Ibrahim, menentukan Ka’bah didirikan di tempat itu ? Adakah karena kebetulan saja kampong Ibrahim memang di situ ? Kenapa pula Tuhan menentukan Ibrahim lahir di negeri dan tanah itu, dan tidak di Timor Timur misalnya ? Bahkan kenaapa pula seluruh Nabi hanya muncul di Timur Tengah ? Kenapa tak dibagi : Cina punya satu Nabi, India punya satu Nabi, Jawa punya satu Nabi, dan seterusnya ? Ini pertanyaan bukan untuk “menggugat” Tuhan, melainkan justruuntuk membuka pintu rahasia ilmu dan kehendak-Nya (idem, hal 118, dari SUARA MERDEKA, 18 Juli 1992). Barangkali saja kehidupan memang memiliki watak dan gayanya sendiri : manusia hidup dalam berbagai perbedaan, pertentangan, bahkan ketimpangan. Seolah-olah Tuhan sengaja menakdirkan seseorang menjadi kaya, sementara yang lain melarat, semelarat-melaratnya. seseorang bisa memiliki sekaligus ratusan perusahaan, yang diperoleh secara wajar, professional, maupun melakukan bocoran-boran brokratisme dan nepotisme, sehingga setiap saat bisa disewanya seribu pesawat untuk dimilikinya sendirian. Sementara seorang yang lain membeli ratusan map dan kertas surat lamaran kerja yang bertahun-tahun tak diterima oleh kantor perusahaan mana pun. Atau membanting tulang daging sehari penuh untuk beberapa ratus rupiah (idem, hal 58, dari SUARA MERDEKA, 30 Oktober 1991). (Sekedar ilustrasi, simak juga kasus Muhamamd Nazaruddin, Gayus Tambunan, pencuri tiga buah coklat, dan lain-lain). Amir Hamzah menggambarkan betapa tak berdayanya, tak mampunya manusia dalam menghadapi kehendak/kekuasaan Tuhan. manusia dilukiskan seakan-akan hanalah merupakan permainan belaka, seumpama golek (boneka) dalam permainan wayang untuk menghibur (menyenangkan) sang dalang (Drs Samaun : “Napas Ketuhanan Dalam Puisi Indonsia Modern”, dalam GELANGGANG Sastera, Seni dan Pemikiran, Nop.2, Tahun I, 1967, hal 11). Salah satu dari ucapan Jaham ibnu Shafwan – pemimpin jabariyah – adalah sebagai berikut : Manusia tidak mempunyai kodrat untuk berbuat sesuatu, dan ia tidak mempunyai “kesanggupan”. Dia hanya terpaksa dalam semua perbuatannya. Dia tidak mempunyai kodrat dan ikhtiar, melainkan Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan pada dirinya. dia adalah laksana sehelai bulu yang terkatung-katung di udara, bergerak ke sana-sini menurut hembusan angin (Prof Dr A Syalabi : “Sejarah dan Kebudayaan Isla”, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1983, jilid II, hal 379). Allah kasih manusia rejeki menurut kemashlahatan mereka. Ia mengkayakan orang yang memang laya memiliki kekayaan. Dan memiskinkan orang yang memang berhak jadi orang miskin. Allah lebih tahu apa yang bermashalahat bagi manusia, dan yang tidak bermashlahat bagi mereka (PANJI MASYARAKAT, Jakarta, No.537, hal 7, dari Al-LIWA al_ISLAM). (written by sicumpaz@gmail.com at BKS9801290700) Alur Fikir Emha Ainun Nadjib Mengikuti alur fikir/logika Emha Ainun Nadjib tersebut diatas, maka akan muncullah dialog segitiga Jabariah-Sunni-Qadariah tentang takdir, KemahaKuasaan dan KemahaEsaan Allah yang tak akan pernah selesai berakhir. Allah itu MahaKuasa, MahaEsa, MahaTahu. Tahu yang sebelum terjadi. Tahu yang akan terjadi. Allah mampu memprogram sesuai sesuai dengan iradah kehendaknya. (Simak juga kuliah subuh Prof Dr Mahfud MD di TVRI pada Rabu, 21 September 2011 dalam acara “Hikmah Pagi”, jam 05.00) Simaklah dialog antara Auza’I dengan Qdari (penganut paham Adariyah). Auzai’I : “Pilihlaaah yang kamu suka (tiga, empat atau saatu) kalimat”. Qadari : “Tiga kalmat”. Auza’I : “Apakah Allah menuuruh sesuatu yang terlarang ?” Qadari “ “Aku tak bisa menjawab”. Auza’I : Apakah Allah menghalangi apa yang ia perintahkan ?” Qadari “ “Ini lebih silit daripada yang tadi. Aku tak bisa menjawb”. Auza’I : “Apakah Allah membolehkan apa yang Ia haamkan ?” Qadari : “Ini leih sulit daripada yang pertama dan kedua. Aku tak bisa menjawab”. (Simak dari “Al-Mazahib al-Islamiyah” paham Qadariyah). Allah dengan iradat dan qudratNya mampu menciptakan manusia dan jin semuanya tunduk patuh mengabdi, menghamba kepadaNya, tanpa kecuali. (Simak QS 51:56). Apa hikmahnya Allah menciptakan neraka lagi disamping surga ? Apa pula hikmahnya alam semesta ini dihancur leburkan dan kemudian diciptakan lagi alam akhirat. Apa hikmahnya Allah tak sejak awal membuat planning tanpa ada kiamat? Apa hikmahnya Allah tak menciptakan manusia ini semuanya orang baik-baik, sehingga tak perlu diciptakan neraka ? Tak perlu diciptakan kiamat. Apa hikmahnya neraka itu bagi Allah sendiri yang triliunan tahun menyaksikan tumpukan suasana yang tak sedap (Simak antara lain QS38:55-64). Apa hikmahnya Islam itu tak disampaikan Allah kepada seluruh manusia sejak awal melalui Nabinya Adam as. Apa hikmahnya proses evolusi Islam itu disampaikan Allah hanya terbatas di lingkungan Bani Israil dan Bani Ismail ? Bagaimana memahami dialog dengan malaikat : Iblis berkata kepada malaikat : “Sesungguhnya aku percaya bahwa Pencipta Yang Maha Tinggi, aalah Tuhanku dan Tuhan sekalian makhluk; Dialah yang maha Tahu. Maha Kuasa dan Dia tak perlu ditanya tentang kekuasaanNya dan kehendakNya, yang apapun kehendakNya, Dia cukup mengatakan “adalah”, maka jadilah “ada”, dan Dialah Yang Maha Bijaksana. Namun, Dia telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di dalam jalur kebijaksanaanNya itu”. Malaikat : “Apakah pertanyaan-pertanyaan itu, dan berpa banyaka ?” Iblis menjawab : Pertama : Bahwa Dia telah mengetahui segala sesuatu sebelum kejadianku, mengetahui apa saja yang bakal keluar dari perbuantku, kenapakah aku yang dijadikanNya pertama dan apa hikmahnya Dia menciptaknKu ?” Kedua : Manakala Dia menciptakanku menurut iradah dan keinginannNya, maka amengapa Dia membebankan atas diriku untuk mengenal dan menta’atiNya ? Apa hikmahnya alam pembebanan ini, seentara Dia tidak mendapatkan keuntungan oleh “ketaatan” dan tidak mendapat kerugian dengan “kedurhakaan” ? Ketiga : “Manakala Dia telah menciptakanku, membebaniku, lalu aku penuhi “pembebanan”Nya itu dengan mengenal serta menta’atinNya, maka kenapa Dia membebaniku pua untuk mentaatiAdam dan sujud kepadanya ? Apa hikmahnya dalam pembbanan ini, khususnya sesudah hal itu tidak akan menambah pengenalanku dan ketaatanku kepadaNya ?” Keempat : “Manakala Dia telah menciptakan dan secara mutlak membebaniku, dan secara khusus membebaniku untuk ini (sujud kepada Adam) maka ketika aku tidak sujud kepada Adam kenapa Dia mengutukiku dan mengusirku dari surga ? Apa hikmahnya yang demikian itu, sesudah sebelumnya aku tidak pernah berbuat sesuatu yang buruk, kecuali ucapanku “aku tidak sujud kepada sesuatu kecuali kepadamu ?” Kelima : “Manakala Dia telah menciptakan ku, lalu membebaniku secara mutlak dan secara khusus, lalu aku tidak taati, sehingga Dia mengutukku dan mengusirku, maa kenapa Dia membri kesempatan padaku menemui Adam, sehingga aku masuk ke surga untuk kedua kalinya dan Adam kutipu dengan tipu-dayaku, sehingga ia memakan buah dari pohon larangan itu, lalu Dia mengeluarkannya (Adam) dari sorga bersama aku. Apakah hikmahnya dalam hal itu, paahal alau Dia mencegahku memasuki surga, tentulah Adam terhindar dari godaanku, dan tetap keal di dalam sorga ? “ Keenam : “Manakala Dia telah menciptakanku, lalu membebaniku seara umum dan secara khusus, kemudian melaknatku, lalu membiarkanku masuk ke urga, sedang antara aku dan Adam dalam permusuhan, kenapakah aku dikuasakan atas keturunannya (Adam) sehingga aku dapat melihat mereka, sementara mereka tak dapat melihatku, dan mengutamakan tipu-dayaku atas mereka, sedangkan usaha dan kekuatan mereka tidak didahulukan padau, apakah hikmahnya dalam hal demikian itu, padahal kalau mereka diciptakan menurut fitrah, tanpa adanya yang menyimpangkan mereka dari fitrah itu, tentulah mereka akan hidup dalam kesucian, patuh, dan taat, dan yang demikian itu pantas buat mereka. Ketujuh : “Aku mempercayai semua ini. Dialah yang telah menciptakanku, membebaniku secara mutlak dan yang mengikat, dan manakala aku tidak mematuhiNya, Dia melaknatku dan mengusirku, dan ketika aku ingin masuk surga, Dia perkenanku dan member kesempatan, kemudian manakala aku prbuat usahaku, Dia mengusirku, kemudian menguasakan kepadaku atas bani Adam, maka kenapa ketika aku minta tangguh dia memperkenankannya, ketika aku berkata : “tangguhkanlah aku hingga hari berbangkit”. Dia berfirman : “Sesungguhnya engkau diberi tangguh sampai kepada waktu yang telah ditentukan”. Apakah hikmahnya dalam hal demikian, padahal kalau Dia memusnahkanku langsung, tentulah Adam dan semua makhluk merasa aman dari ku dan tentulah tiada kejahatan di dinia ? Bukankah tetapnya dunia dalam peraturannya yang baik jauh lebih bagus dari pada campur aduknya dengan kejahatan ?” (Dikatakan bahwa Allah mewahyukan kepada Malaikat, katakana kepadanya) : “Sesungguhny engkau di dalam penyerahanmu yang pertama : “Bahwa Aku adalah Tuhanmu dan Tuha semua makhluk”, “tidak benar dan tidak ikhlas”. “Andainya engkau benar-benar jujur dalam ucapanmu : “Bahwa Aku Tuhan sekalian alam, tentulah engkau tidak menghukum Aku dengan kata : “kenapa ? sedangka Aku adalah Allah, yant tiada Tuhan selain Aku”. “Aku tidak mesti ditanya, atas apa yang Kuperbuat, tetapi maklkuklah yang mesti ditanya” (Simak ”Ghazwul Fikri Sudah Ada Sejak Nabi Adam as”, oleh H Ali Fahmi Arsyad, dalam SUARA MASJID, No.162, Rajab-Sya’ban 1408H – Maret 1988, dari “Kitab Al-Mihal wan_Nihal”, oleh Imam Syahrastani pada “Muqaddamah atTsalatsah). catatan serbaneka asrir pasir Teka-teki Apa hikmahnya dalam alQuran terdapat hal-hal yang berupa seolah-olah teka-teki, berupa mutasyabihat, padahal dinyatakan bahwa dalam alQuran itu yang ada hanyalah yang pasti, yang tak diragukan, yang tak debatable. Misalnya tentang jumlah ahlul kahfi, jumlah pemuda yang bersembunyi di gua, apakah tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan dengan anjingnya (QS 18:22). Tentang sosok DzulQarnin (QS 18:82), Yakjuj wa Makjuj (QS 18:94), Luqman (QS 31:12), mertua Nabi Musa (QS 28:27), malam qadar (QS 97:3), kadar/lama satu tahun (QS 32:5, 70:4), tempat nabi Isa (QS 3:55, 4:158), makna senggol/lamas (QS4:42, 5:6), penyebutan budak (ma malakat aimanuhum) dalam sejumlah ayat (antara lain dalam QS 23:6, 70:30) ? (written by sicumpaz@gmail.com at BKS1107121900) Assalamu’alaikum w.w. Re : Mecari Persepsi (Wacana) tentang misi Islam Mohon penjelasan perihal berikut : 1. Terkait akhir ayat QS 5:3, apakah misi Islam sudah selesai, sudah berakhir ketika dinyatakan bahwa agama Islam sudah lengkap, sempurna ? 2. Terkait ayat QS 9:33, 61:9, apakah misi Islam sudah selesai, sudah berakhir, ketika agama Islam sudah merata di seluruh jazirah Arab, sudah tak ada lagi kaum musyrik ? 3. Terkait ayat QS 9:28, dan tafsirnya (dalam “Tafsir AlAzhar”, X:162, XXVIII:68,181), apakah kaum musyrik itu sebatas kaum kafir Quraisy pada masa Rasulullah saw ? 4. Terkait gambar/lukisan surga dalam Quran, apakah misi Islam terbatas untuk penghuni jazirah Arab masa lalu (“Idiom tentang surga berdasarkan kepada konteks pengalaman budaya masyarakat Arab pasti berbeda dengan ‘idiom surga’nya orang Jawa”, kata Emha Ainun Nadjib, dalam “Surat Kepada Kanjeng Nabi”, Mizan, Bandung, 1997:392) ? Terima kasih. Wassalam. Belajar Memahami Maunya Allah Iman pada Takdir (Program, Takdir, Ketentuan Allah) Usaha, ikhtiar, do’a manusia merpakan input, masukan ke dalam program, takdir, ketentuan Allah. “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaannya yang ada pada diri mereka sendiri” (QS 13:11). “Sesungguhnya Alla sekalkal tidak aan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkanNya kepada satu kam, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri (QS 8:53). “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia” (QS 30:41)\ Hasil usaha, kekayaan, rezeki, mukjizat manusia sudah deprogram, ditakdirkaan, ditentkan Allah sejak awal. “Dan Allah melebihkan sebahagian kamau dari sebaagian yang lain dalam hal rezki” (QS 16:71). “Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki” (QS 16:71). “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagan yang lan” (QS 2:253). Disebutkan bahwa segala sesuatu yang telah terjadid di dunia ini sudah ditetapkan, ditentukan, ditakdirkan, diprogramkan Allah. “Dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan ditulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahafuzh)” (QS 6:59). “Tiada suatu bencaa pun yang menmpa dib mi dan tidak (pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis daam kitab (Lauh Mahfuzh)” (QS 57:22). “Dan tidak ada yang lebih kecil dan yanglebih besar, melainkan tercatat/tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS 10:61, 34:3). “Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS 36:12). Disebutkan juga bahwa semua yang ditakdirkan tak dapat ditolak, tak dapat dihentikan oleh siapa pun dan dengan cara apa pun. “Hai hambaKu. Andaikan dikmpulkan semua kekuatan manusia dan jn dahulu kala hingga akhir zaman nanti untuk menentang kekuasaanKu, maka sedikitpun kekuasaanK tidak bergeser” (Hadis Qudsi riwaat Muslim dari Abidzar dalam “Mutiara Hadits Qudsi”, oleh A Mudjab Mahali, 180:25). “Ketahuilah olehmu, sekiranya umat manusia sepakat hendak memberi manfa’at kepadamu, niscara tak akan sampai sesuatu juapun dari padanya, melainkan apa yang telah ditetapkan Allah lebih dahulu. Demikian juga sekiranya mereka itu sepakat pula hendak membahayakan kamu, tak akan sampai bahaya itu melainkan menurut apa yang telah ditetapkan Allah terlebih dulu (HR Tirmidzi dari Abdullah bin Abbas dari “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Muraqabah, Kewaspadaan, Pengawasan”). Tak ada yang mampu mencegah Hulaghukhan dan pasukannya memporak porandakan Irak, mencegah ush dan pasukannya menghancurleburkan Irak, mencegah Israel meumpahkan darah Palestina. Arah takdir dapat diamati, dideteksi. “Orang yang bakal beruntung, maka diringankan untuk berbuat amal yang menuntungkan, sebaliknya orang yang celaka, maka diringankan untuk berbuat amal yang membinasakan” (HR Bkhari, Muslim dari Ali, daam “AlLukLuk wal Marjan” Muhammad Fad Baqi, pasal “Kitab Qadar”, hadis no.1697). Ramalan, prediksi berdasarkan pada fenomena alam, fenomena sosial ang merupakan snnatullah (proses sebab akibat, if cnditio) yang diketahui oleh para ahl lm alam/ilmu sosial) bkanlah ramalan terhadap perkara ghaib seerti yang dilakukan oleh ara kahin, ahli nujum, para normal. Menelamatkan diri dari kondisi yang diperkirakan, diramalkan, diprediksi akan menyengsarkan haruslah dilakukan. Dan bukan membiarkan diri tidak mengantisipasinya dengan dalih sabar. Ada satu ungkapan yang berasal dari umar bin Khatthab : Lari dari suat takdir ke takdir yang lain. Yang tertindas, yang mendapat Andaman, yang diintimidasi, yang diteror, ang terancam keamanan/keselamatan dirinya haruslah berbuat, jika perlu mengungsi, meninggalan negeri pindah ke negeri lan. “Bukankah bumi Allah itu luas, seingga kamu dapat berhijrah dib mi itu ?” (QS 4:97). Sudah berabad-abad mat Islam di Filiina Selatan, di Patani, di Kashmir, di Singkiang dan lan-lain tertindas oleh bangsa sendiri. Juga mat Islam di Palestina tertindas ole bangsa asng Israel. Namn semuanya tak ada ayang berupaa berhijrah, mengungsi, membentuk pemerintahan di pengasingan. Apakah karena disebutkan bahwa “Tidak ada hijrah lagi setelah Fath Makkah”. Atakah karena kini ta ada lag tanah ang bebas, semuanya sudah dikaelingi ? Ataukah karena tak ada negara ang mau menerima mereka ? Aaukah karena “ukhwah Islamiyah”, “ummat kal asadil wahid” itu hanya tinggal sebagai Das Sollen (harapan, impian, slogan, semboyan), hanya ada dalam kitab, tak terwujud sebagai Das Sein (kenataan). Dalam menghadapi takdir yng sedang terjadi, berbuatlah sesuai dengan kemauan dan kemampuan yang dimiliki. Menghadapi kebakaran, padamkalah walau dengan segelas air sekali pn. Mengadapi peperangan, padamkanlah wala dengan lemparan sebelah sepatu seal pun. (BKS0901021000) Memahami Takdir “Sekali-kali kamu tidak akan mendapat pergantian bagi sunnatullah. Dan sekali-kali tidak pula akan menemukan penyimpangan bagi snnatullah itu” (QS 35:43). “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS 13:11). Man proposes, God disposes. “Bagi orang yang pemurah dan bertakwa dan membenarkan adanya suraga, akan Kami (kata Allah) berikan kemudahan kepadanya (menuju surga). Sedangkan bagi orang yang bakhil dan berdosa dan mendustakan adanya surga, akan Kami berikan kesukaran kepadanya (menuju surga) (QS 92:5-1). “Bila kalian mendengar bahwa di suatu tempat berjangkit penyakit menular, janganlah kamu pergi ke tempat itu, dan jika di tempat kamu tinggal telah bejrangkit penyakit menular, maka janganlah kalian meninggalkan tempat tinggamu karena melarikan dri dar wabah penyakit menular itu” (HR Bukhari, Mslim dari Usamah bin Zaid, dalam “AlLukluk wal Marjan”, Muhammad Fuad alBaqi, Bab : Wabah tha’un, dedukunan dan merasa sial dengan sesuatu). Raslullah pernah) ditanya : “Apakah sekarang ini sudah diketahi mana ahli sorga dan ahli neraka ?”. Jawab Rasulullah : “Ya”. Ditana lagi : “Lalu untuk apakah orang beramal ?”. Jawab Rasulullah : “Tiap orang beramal untuk apa yang telah dijadikan Allah bagnya (untuk mendapai apa yang dimudahkan oleh Allah baginya) (HR Bukhari, Muslm dari Inan bin Hshain, dalam “AlLuklk wal Marjan”, Muhammad Fuad aBaqy, Kitab adar (Takdir/ Ketentuan Allah). Rasulullah bersabda : “ Tiada seorangpun dari kalian, bahkan tiada suatu jiwa manusia melainkan sdah dientka tempatnya di sorga aa neraka, bernasib baik atau celaka”. Seseorang sahabatnya bertanya : “Ya Rasulullah, apakah tidak lebih baik kita menyerah saja (nattakil) pada ketentuan itu (kitabna) dan tidak usah beramal, maka jika untung akan sampai kepadanya keuntungannya, dan bila celaka maka aan sampai pada binasanya”. Rasulullah menjelaskan : “Adapun orang yang bahagia (beruntung) maka diringakan (sayashiru) untuk mengamalkan perbuatan ahli sa’adah (bahagia), sebaliknya orang yang celaka maka diringankan untuk berbuat segala amal yang membinasakan” (HR Bukhar, Muslim dari Ali, dalam “Matan Shahih Buhari”, Kitab alJanaiz, Bab : “Mau’izhah al muhaddats ‘inda alqabri wa qu’ud ashshabih haulahu”, dan dalam “Tafsir Ibnu Katsir”, jilid IV, hal 18, re tafsir ayat QS 92:5-10 ?. Menurut Yahya bin Ya’mur, orang ang ertama kal berbicara tentang qadar di Basharah adalah Ma’bad alJuaini, lalu ia (Yahya bin Ya’mar) dan Humaid bin bdurrahman alHimyari (Syaikh Abdurraman Hasan Alu Syaikh : “Fathl Majid”, 2007:922, Bab Mereka yang mengingkar Qadar (Takdir)”. Allah menentukan sesuatu atas kehendakNya, tidak ada yang dapat mempengaruhinya. Takdir llah tidak dipengaruhi oleh kemauan manusia. Namun demikian, Allah membuka kesempatan bagi manusia untuk berdoa dan memohon kepadaNya. Manusia hanya tahu apa yang telah terjadi dan dialaminya, akan tetapi ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa dating. Segala sesuatu yang terjadi, tidak ada yang diluar kehendak Allah, tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetlan (Prof Dr Zakiah Dradjat : “Takdir Allah”, REPUBLIKA, 26 Desember 1995, “Hikmah”). Mensyukuri nikmat Allah. Pertama dengan menyadari bahwa nikmat, rahmat Allah yang diterima tidak terhingga banyaknya. Kedua dengan mematuhi, mengikuti ketentuan Allah dalam menggunakan semua nikmat, rahmat Allah yang diterima (Prof Dr Zakiah Dradjat : “Syukur nikmat”, REPUBLIKA, 19 Januari 1996, “Hikmah”). (BKS0802072045) Belajar memahami maunya Allah (Belajar membuka tabir rahasia ilmu dan kehendak Allah) “Dan Aku (kata Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu” (QS 51:56). “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendakiNya, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya” (QS 16:93). “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat” (QS 11:118). “Sekiranya Allah menghendaki, niscaa kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan” (QS 548). Seluruh malaikat yang dciptakan Allah mengabdi kepadaNya (QS 2:1). Namun manusia yang diciptakan Allah hanya sebagian kecil yang mengabdi kepadaNya. Padahal semuanya itu diciptakan Allah untuk mengabdi kepadaNya (QS 51:56). Allah Maha Kuasa. Allah bisa menciptakan dunia in seperti sorga, aman, tenteram, damai, sentosa, sejahtera. Tapi Allah menghendaki agar manusia itu aktif bergerak dnamis, kreatf menciptakan keamanan, ketenteraman, kesentosaan, kesejahteraan di dunia ini, bukan bersikap statis, pasif, apatis. Dunia ini diciptakan Allah untuk perjuangan, bukan untuk bersenang-senang. Hasilnya dipetik nanti di akirat. Allah Maha Kuasa. Kuasa merubah sikap mental namruz, Fir’aun, Penguasa Romawi, Abu Lahab dari syirik ke tauhid, dari zhalim ke adil. Namun Allah tak melakukan itu. Ia mengutus utusanNya Ibrahim, Musa, Isa Muhammad saw untuk melakukan tugas itu. Namun semua utusanNya tak berhasil merubah sikap buruk mental mereka itu. Allah memberikan kerajaan kepada orang yang Ia kehendaki dan Ia cabut kerajaan dari orang yang Ia kehendaki. Ia muliakan orang yang Ia kehendaki, dan Ia hinakan orang yang Ia kehendaki (QS 3:26). Allah Maha Kuasa. Kuasa memberikan kekuasaan kepada Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad. Tapi Allah tak memberikan kepada mereka. Allah memberikannya kepada Namruz, Fir’aun, Penguasa Romawi, Abu Lahab. Allah Maha Kuasa. Kuasa menyelamatkan Ibrahim dari api unggun, menyelamatkan Yunus dari santapan ikan. Kuasa menyelamatkan Ayub dari penyakit, menyelamatkan Zakaria dari gergaji, menyelamatkan Muhammad senjata Quraisy pada perang Uhud. Namun Allah membiarkan Ayub menderita sakit, membiarkan Zakaria kepalanya digergaji penguasa Romawi, membiarkan Muhammad kena lemparan senjata kafir Quraisy. Allah menyediakan sorga dan neraka. Ini berarti Allah menghendaki mada manusia yang baik saleh, yang akan menjadi penghuni sorga, dan ada manusia ang jahat, taleh, yang akan menjadi penghuni neraka. Oleh karena Allah itu Maha Kuasa, maka Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang ditanyai” (QS 21:23). Disebutkan bahwa yang mencoba membuat seperti buatan Allah adalah oang zhalim (HR Bukhari, Muslim dari Abi Hurairah, dalam “Riadhus Shalihin”, Imam nawami, “Haram menggambar binatang”. Yang membuat gambar akan disiksa Allah di hari kiamat, dan diperintahkan supaya menghidupkan yang digambarnya” (HR Bukhari, Muslim dari Ibn Umar, idem, simak juga “Fathul Majid” Syaikh Abdurrahman, 2007:928, Bab : “Para Perupa Makhluk Bernyawa”). Allah Maha Kuasa. Apakah Allah merasa tersaingi oleh manusa yang membuat gambar ? Apaah Allah merasa perlu menunggu sampai hari kiamat untuk menghukum ang membuat gambar ? Apaka Allah merasa tak perlu untuk segera mencegah agar tak sampi mereka itu membuat gambar ? Malaikat menyaksikan bahwa makhluk yang diciptakan Allah, yang satu memangsa yang lain. Yang satu menumpahkan darah ang lain. Yang satu mersak yang lain. Homo homini lupus. Padaal mereka (malakat) itu senantiasa bertasbih memuji mensuscikan Allah. Namun Allah tak menyangkal yang disaksikan aaikat itu, karena Allah punya padangan lain, “Ia Maha Mengetahui”. Ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan”. Tuhan berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS 2:30). Dari ayat tersebut dipahami bahwa Allah tak menginginkan suasana damai, aman, tenteram, sentosa, tapi suasana homo homini lupus, yang satu memangsa yang lain. Emha Ainun Nadjib menulis : Untunglah, kata sejumlah orang mulia yang cerdik cendekia : Allah sendiri itu Maha Humor. Sudah enak-enak hidup sendiri, kok bkn macam-macam makhluk anglucu-lucu begini. Apa Dia kesepian. Adam sudah nyaman-nyaman di srga, dibiarkan tercampak ke bumi. Kok luc. A Qldi saja kk ndak boleh dmakan. Mbok, ya bar. Apa sih ruginya han kehlangan sebji Qldi ? Mbok biarkan Adam kawin sama awa di surga, pengantn dan pesta sampai anak turnannya sekarang ni. Kenapa makhluk-makluk itu harus menunggu terlal lama untuk memperoleh kesempatan bercengkerama mesra denganNa. Lucu. Pakai bikin Iblis-Setan segala “Surat Kepada Kanjenga Nabi”, Mizan, Bandung, 1997:182, dari SUARA MERDEKA, 25 September 1992). Jawaban semuana itu terkandng dalam Ak mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” , QS 2:30). (BKS0801280645) Bagaimana memahaminya ? 1 Untunglah, kata sejumlah orang mulia yang cerdik cendekia : Allah sendiri itu Maha Humor. Sudah enak-enak hidup sendiri, kok bikin macam-macam makhluk yang lucu-lucu begini. Apa Dia kesepian. Adam sudah nyaman-nyaman di surga, dibiarkan tercampak ke bumi. Kok lucu. Buah Quldi saja kok ndak boleh dmakan. Mbok, ya biar. Apa sih ruginya Tuhan kehilangan sebiji Quldi ? Mbok biarkan Adam kawin sama Hawa di surga, pengantin dan pesta sampai anak turunannya sekarang ini. Kenapa makhluk-makhluk itu harus menunggu terlalu lama untuk memperoleh kesempatan bercengkerama mesra denganNya. Lucu. Pakai bikin Iblis-Setan segala (“Surat Kepada Kanjeng Nabi”, Mizan, Bandung, 1997:182, dari SUARA MERDEKA, 25 September 1992). Jawaban semuanya itu terkandung dalam “Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” , QS 2:30). 2 Penting pulakah Anda menanyakan kenapa Tuan, melalui Nabi Ibrahim, menentukan Ka’bah didirikan di tempat itu ? Adakah karena kebetulan saja kampung Ibrahim memang disitu ? Kenapa pula Tuhan menentukan Ibrahim lahir di negeri dan tanah itu, dan tidak di Timor Timur misalnya ? Bakan kenapa pula seluruh nabi hanya muncul di Timur Tengah ? Kenapa tak dibagi : Cina punya satu nabi, India punya satu nabi, Jawa punya satu nabi, dan seterusnsya ? Ini pertanyaan bukan untuk “menggugat” Tuhan, melainkan justru untuk membuka pintu rahasia ilmu dan kehendakNa (idem, hal 118, dari SUARA MERDEKA, 18 Juli 1992). 3 Barangkali saja kehidpan memang memiliki watak dn gayanya sendiri : manusia hidup dalam berbagai perbedaan, pertentangan, bahkan kepentingan. Seolah-olah Tuhan sengaja mentakdirkan seseorang menjadi kaya, sementara yang lain melarat, semelarat-melaratnya. Seseorang bisa memiliki sekaligus ratusan perusahaan, yang diperoleh dengan wajar, professional, maupun melakukan bocoran-bocoran birokratisme dan nepotisme, sehinggga setiap saat bisa disewanya seribu pesawat untuk dinaikinya sendirian. Sementara seorang yang lain memeli ratusan map dan kertas surat lamaran kerja yang bertahun-tahun tak didterima oleh kantor perusahaan manapun. Atau membanting tulang daging sehari penuh untuk beberapa ratus rupia (idem, hal 58, dari SUAA MERDEKA, 30 Oktober 1991). 4 Amir Hamzah menggambarkan betapa tak berdayanya, tak mampunya manusia dalam menghadapi kehendak/kekuasaan Tuhan. Manusia dilukiskan seakan-akan hanyalah merupakan permainan belaka, seumpama golek (boneka) dalam permainan wayang untuk menghibur (menyenangkan) sang dalang (Drs Samaun : “Napas Ketuhanan Dalam Puisi Indonesia Modern”, dalam GELANGGANG Sastera, Seni dan Pemikiran, No.2, ahun I, 1967, hal 11). 5 Salah satu dari ucapan Jaham ibnu Shafwan – pemimpin Jabariyah – adalah sebagai berikut : Manusia tidak mempunyai kodrat untuk daapat berbuat sesuatu, dan ia tidak mempunyai “kesanggupan”. Dia hanya terpaksa dalam semua perbuatannya. Dia tidak mempunyai kodrat dan ikhtiar, melainkan Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan pada dirinya. Dia adalah laksana sehelai bulu yang terkatung-katung di udara, bergerak ke sana-sini menurut hembusan angina (Prof Dr A Syalabi : “Sejarah dan Kebudayaan Islam”, Pustaka alHusna, Jakarta, 1993, jilid II, hal 379). 6 Allah kasih manusia rejeki menurut kemasshlahatan mereka. Ia mengkayakan orang yang memang layak memiliki kekayaan. Dan memiskinkan orang yang memang berhak menjadi orang miskin. Allah lebih tahu apa yang bermashlahat bagi manusia, dan yang tdak bermashlahat bagi mereka (PANJI MASYARAKAT, Jakarta, No.537, dari AlLiwa alIslam). (BKS9801291345 sentto SUARA MUHAMMADIYAH Yogyakarta) Menghadapi musibah Rasulullah saw menyampaikan “Peliharalah perintah Allah, engkau dapatkan Allah didepanmu. Kenalkan dirimu kepada Allah pada waktu senang, niscaya Allah mengingati pada waktu kamu dalam kesukaran. Ketahuilah bahwa sesuatu yang terlepas darpadamu tidak akan mengenai kamu, dan yang menjadi bagianmu tidak akan lepas daripadamu. Ketahuilah bawa kemenangan itu beserta kesabaran, dan kegembiraan itu sesudah kesusahan, dan tiap ada kesukaran akan ada kelapangan (HR Tirmidzi dari Abdulla bin ‘Abbas, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, Pasal Muraqabah). “Rajin-rajinlah mengerjakan apa-apa yang berguna dunia akhirat, dan selalu minta bantuan kepada Allah, dan jangan lemah. Jika kau terkena sesuatu, jangan sekli-kali mengatakan “andaikan saya berbuat begini niscaya terjadi begini”. Seharusnya kau berkata “Telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat sekehendakNya” (HR Muslim dari Abi Hurairah, dalam “Riadhus Salhin”, Imam Nawawi, Pasal Mujahadah). Dalam menghadapi apa yang disebut dengan teror bom, seharusnsya mengucapkan “Telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat sekehendakNya”. Penguasa searusnya menenangkan rakyatnya agar tak resah, gelisah. Mengajak rakyat agar mempercayakan urusan keamanan kepada aparat keamanan. Memerintahkan aparat keamanan agar segera bertindak mengembalikan keamanan. Mengajak korban hidup dan keluarga korban agar bersabar, dan meningkatkan kepercayaan akan kekuasaan dan takdir Allah swt. Mengajak para ahli untuk mengkaji apa sebenarnya yang menjadi motif dari pelaku terror bom, sehingga mereka tak pernah kapok/jera. Dan apakah mereka bisa diajak berbicara baik-baik ? Apakah perlu mendengarkan suara nasehat, advis dari pihak asing ? (BKS0907180715)

Tidak ada komentar: