Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Jumat, 18 November 2011
Kita tak punya pakar kemakmuran
Kita tak punya pakar kemakmuran
Dari penjajahan Belanda, Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi, nasig
rakyat ama saja (KORAN PAKOLES, Edisi %3, Minggu ke-I, Maret 2004).
Senandung Minang berlarat-larat berbunyi : "Mendaki gunung Merapi,
Menurun ke Tabekpatah, Singgah di Suruasa. Sudah tiga kali zaman
brganti, Sudah bangsa kita yang memerintah, Nasib rakyat sama saja".
"Pikiran politik hanya ingin merebut negara ini dan menggantikan
kedudukan penjajah. Kebijakan politiknya - tegas WS Rendra - dalam
kenyataan sama saja dengan penjajah. Sebagai ilustrasi, di Indonsia
hukum possitif hanya merupakan arisan Hindia Belanda. Soekarno saja
hanya menemukan reformasi yang dilakukan penjajah. Caranya membangun
seperti penanaman modal asing dan lain-lain itu hanya mewariskan gaya
politikus Gubernur Jenderal zaman Belanda" (idem, hal 4, "Intrik
politik Tetap Ada").
Indonesia tak pernah punya pakar, tokoh pemikir yang memikirkan
bagaimana caranya memakmurkan rakyat, baik sebelum, selama, maupun
sesudah penjajahan Belanda. Bahkan Indonesia tak pernah punya pakar,
tokoh, pemikir yang memikirkan bagaimana caranya mengatasi masalah
sosial. "Kepustakaan Djawa" Prof Dr R M Ng Poerbatjaraka, dan
"Sedjarah Melaju" Abdullah tak menyiratkan adanya tokoh-tokoh pemikir,
baik di klangan jawa, maupun di kalangan Melayu.
Hitler, Lenin, Ibnu Saud, Musthafa Kemal, John Reed, Sun Yat Sen,
Ernest Renan, Otto Bauer, A Baars, Jean Jaures adalah sebagian dari
acuan, referensi Soekarno. Namun Soekarno tak pernah setara, selvel,
setaraf dengan acuannya, referensinya tersebut. Indonesia tak pernah
punya pakar, tokoh semacam, selevel, sekaliber, setaraf Locke,
Montesquieu, Rousseau, Voltaire. Tjindarbumi dalam karangannya
"Mentjari verhouding", mengemukakan bahwa "Didalam wetenschap (sains)
banjak fasal (hal) jang tidak mudah akan menimbulkan orang bangsa kita
seperti Lorentz (didalam ilmu natuurwetenschap-Fisika), J H van't Hof
(scheikundige-Kimia), seorang J Moleschott (populisator didalam ilmu
natuurwetenschappelijk materialisme dan medicus-Kedokteran) dan
seterusnja ("Polemik Kebudayaan", 1948:58).
Indonesia tak pernah punya pakar, tokoh semacam, selevel, sekaliber,
setaraf Saint Simon, Comte, Vico, Spencer, von Steine, Marx, Le Play,
Fouille,Durkheim, Hildebrand, Tolstoi, Le Bon, De Greef, Tonnies,
Simmel, von Wiese, Vierkadt, Oppenheimer, Weber, Spann, Freyer,
Sombart, Mannheim yang dikenali sebagai sosok pemikir masalah
masyarakat.
Indonesia tak punya pakar, tokoh semacam, selevel, sekaliber, setaraf
Kant, Fichte, Hegel, Eucker, Ratheun, Keyserling, Bruno, Spinoza,
Mach, Nietsche, Kierkegaard, Peierce, Whitehead, Schelling, James
Dewey, Russel, Wittgeinstein. Croce, Bergson, Satre, Santayana, dan
lain-lain yang dikenali dalam "The Age Of Ideology" dan "The Age of
Analysis".
Di abad ke-20 Indonsia punya Tjipto, Ahmad Dahlan, Samanhudi,
Tjokroaminoto, Agus Salim, Semaun, Muso, Husni Thamrin, Supratman,
Soekarno, Jamin, Tan Malaka, Sjahrir, Hatta yang dikenali sebagai
pahlawan. Juga punya Soemitro, Widjojo, Emil Salim, Ali Wardhana,
Frans Seda, Sumarlin, Radius, Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, Dorodjatun,
Amien Rais, Akbar Tanjung, Adi Sasono, Wiranto, Susilo, Gus Dur dan
lain-lain. Namun semuanya bukanlah tokoh pemikir yang memikirkan
kemakmuran, kesejahteraan rakyat banyak. Dan juga punya Takdir,
Sanusi, Poerbatjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Amir, Dewantara
yang dikenali sebagai buayawan.
Di abad ke-21 Indonesia punya Ali Masykur Musa ( eks kader, pemuda
Golkar di PKB), Jakob Tobing, Cahyo Kumulo, Arifin Panigoro, Pramono
Anum (eks kader Golkar di PDI-P), Bambang Kesowo (orang kepercayaan
Soeharto dan Moerdiono di di Mensesneg), Tutut, Hartono (orang Cendana
di PKPB), Fadel Muhammad (orang Golkar), Megawati (yang melupakan
peristiwa 27 Juli), Hamzah Haz (yang tak jelas dari mana gelar
Doktornya), Faisal Tamin, dan lain - lain ( KORAN PAKOLES, edisi 53
hal 2 : " Kerjanya Panwaslu Hanya Tukang Catat ", wawancara dengan
Prof Budiyatna). Semuanya bukanlah tokoh pemikir yang memikirkan
kemakmuran, kesejahteraan rakyat banyak. Tetap saja "Dari penjajahan
Belanda, Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi, nasib rakyat sama
saja ", tak berubah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar