Rabu, 23 November 2011

Cukilan Al-Azhar (Akidah seorang Muslim)

catatan serbaneka asrir pasir Cukilan Al-Azhar (Akidah seorang Muslim) Pandangan hidup yang benar hanya satu, yaitu yang digariskan Allah. Sedangkan panangan hidup hasil rekayasa manausia bukanlah pandangan hidup yang mutlak benar (Prof Dr Hamka : “Tafsir Al-Azhar”, juzuk VIII, hal 129). Pandangan hidup yang benar, menyerahkan diri kepada Allah, tunduk kepada Allah, mngakui kebesaran Allah. Pandangan hidup yang mencakup peraturan hidup, peraturan bernegara (idem, juzuk III, hal 130). Iman adalah kesediaan, kesiapan untuk mnerima (mendengarkan) dan melaksanakan (mematuhi amanat dari Allah (melakukan yang disuruh dan mennggalkan yang dilarang Allah). Segala teori yang tidak berdasar atas kepercayaan kepada Allah adalah teori omong kosong, atau kedustaaan atau kebohongan yang diatur rapi (idem, juzuk VIII, hala 18). Suatu masyarakat yang ideal, yang merupakan cita-cita yang tinggi hanya satu, yaitu bila manusia menyerahkan kekuasaan tertinggi kepada Allah dan ta’at kepada ketentuan Allah itu (idem, juzuk VIII, hal 16). Seorang Muslim yang menyadari agamanya, atau menyadari alQuran sebagai pegangan hidupnya, menyadari pula Sunnah Rasulullah, Sejarah Rasulullah dan perjuangan Khulafaur Rasyidin, tidak dapat tidak dia mesti sampai kepada kesimpulan bahwasanya segala perintah Allah dan larangannya, segala anjuran Nabi dan cegahannya, tidak akan dapat berlaku, tidak dijamin bias berjalan, kalau tidak ada Pemerintah Islam. Tegasnya Pemerintahan Yang disana berlaku syari’at Islam (idem, juzuk VIII, hal 132). Islam tidak bisa tegak kalau jihad berhenti, dan Islam akan kendur kalau semangat jihadnya telah pudar (idem, juzuk Viii, hal 11). Tugas Risalah, Dakwah berpangkal pada amar “Qum fa anzir, wa rabbaka fa kabbir” mulai dari seruan “perhambaan diri kepada Allah semata” (La ilaha illallah : u’budullah ma lakum min ilahin ghairuh) sampai pada seruan “serahkan diri untuk diatur oleh aturan Allah) semata “ (la hukman illa hukmallah, innal hukma lillah, wa umirtu an aslim li rabbil ‘alamin). Apabila seorang pejuang Muslim membaca ayat-ayat alQuran dan faham akan artinya, tidak dapat tidak ayat ini ( An’am 6:115) pasti mempengaruhi sikap jiwanya. Ayat-ayat ini tegas benar menyatakan bahwa Rasulullah saw harus menyatakan terus-terang bahwa dia tidak akan menerima hakim selain Allah. tidak menerima peraturan lain selain peraturan Allah atau sesuatu peraturan yang disesuaikan atau yang sumbernya diambil daripada hokum Allah. Ini mengenai seluruh segi daripada kehidupan. Dia seluruhnya berpokok dari Satu, yaitu kepercayaan kepada Adanya Allah. Setelah mengaku tentang Adanya Allah, lalu percaya aakan peraturanNya, mengerjakan apa yang disuruh dan menghentikan atau menjauhi apa yang dilarang. Ketaatan kepda Allah adalah konsekwensi dari pada kepercayaan kepada Allah. Percaya saja tidak cukup. Percaya hendaklah dibuktikan dengan keta’atan. Sehingga tidak suatu peraturan pun yang diakui dalam dunia ini, kalau peraturan itu tidak dari Allah, atau peraturan manusia yang diambil dasarnya dari pada apa yang diridhai oleh Allah. Oleh seab itu dengan sendirinya sudah terang pula kalau sekiranya kaum jahiliyah tiada menyukai peraturan Allah. Di aman modern ini pejuang-pejuang Islam yang ingin mengikuti Sunnah Nabi, yang bercita-cita hendak menegakkan peraturan Allah did ala ala mini kebanyakan dibenci oleh golongan yang tidak mengenal peraturan Allah itu. Di dalam negeri-negeri Islam sendiri, pejuang Islam dibenci dan menderita berbagai penderitaan jika dia mengemukakan keyakinan hidup, menjalankan bahwa dia bercta-cita agar di negerinya peraturan dan undang-undang negeri harus diambil dari pada peraturan dan undang-undang Allah (idem, juzuk VIII, hal 17). Selama kita hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita, tidaklah sekali-kali boleh kita melepaskan cita-cita agar Hukum Allah tegak di dalam ala mini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Moga-moga tercapai sekedar apa yang dapat kita capai. Karena Tuhan tidaklah memikulkan kepada kita suatu beban yang melebihi dari tenaga kita. Kalau Hukum Allah belum jalan, janganlah kita berputusasa. Dan kufur, zhulm dan fasiklah kita kalau kita percaya bahwa ada hokum lain yang lebih baik dari hokum Allah. Dan jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang “Adakah kamu, hai Ummat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan menjalankan hokum Syari’at Islam dalam negra yang kamu kuasai itu ?” Janganlah berbohong dan mengolok-olok jawaban. katakana terus terang bahwa cita-cita kami memang itu. Memang hendaknya berjalan Hukum Allah dalam Negara yang kita kuasai itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang telah digariskan Tuhan daaalam alQuran itu kita mungkiri ? Dan kalau ditanyakan orang pula : “Tidakkah dengan demikian kamu hendak memaksakan agar pemeluk agama lain yang golongan kecil (minoritas) dipaksan menuruti Hukum Islam ?” Jawablah tegas : “Memang akan kami paksa mereka menuruti Hukum Islam. Dan setengah dari Hukum Islam terhadap golongan pemeluk gama minoritas itu ialah agar supaya mereka menjalankan Hukum Taurat, Ahli Injil diwajibkan menjalankan Hukum Injil. Dan kita boleh membuat Undang-Undang menurut teknik pembikinannya, memakai fasal-fasal dan ayat-ayat suci, tapi dasarnya wajiblah Hukum Allah dan kitab-kitab suci, bukan hokum buatan manusia atau diktator” (Simak juga Abdul Qadir Audah : “Islam dan Perundang-Undangan” [ Kritik Terhadap Undang-Undang Ciptaan manusia”]). Katakan it uterus terang, dan jangan takut. Dan insaflah bahwasanya rqasa takut orang menerima Hukum Islam ialah karena propaaaaaganda terus-menerus dari kaum penjajah selama berpuluh berates tahun, sehingga orang-orang yang mengaku beragama Islam sendiripun kemasukan rasa takut itu karena dipompakan oleh penjajahan. Lihatlah bagaimana ceakanya perikemanusiaan di zaman sewenang-wenang hokum buatan manusia, seumpama di Jerman di zaman Nzi, di Italia di zaman Fasis, dan di seluruh Negara yang dipengaruhi oleh Komunis. Apabila kita membicarakan Hukum Allah, hendaklah kita menilik terlebih dahulu kepada Filsafat Hukumnya dan darimana sumber Hukum. Dalam Islam sudah nyata bahwa sumbr Hukum ialah Allah dan Rasul, atau alQuran dan asSunnah (idem, juzuk VI, hal 263). Haruslah kita di zaman modern mencamkan benar-benar dalam hati kita inti sari ayat ini (Nisak 4:104). Menegakan agama yang benar. Tauhid yang khalis adalah tujuan hidup kita. Di zaman modern pun orang telah mengakui betapa pentingnya berperang menegakkan ideology, yaitu cita-cita yang diperjuaaangkan, haruslah jelas. Perang-perang sebagai di zaman feudal dahulu, yaitu memusnahkan harta benda dan jiwa raga untuk kepentingan seorang raja atau pangeran tidak ada lagi. Perang sekarang ialah perang ideology, dan ideology menegakkan kepercayaan kepada Tuhan penguasa seluruh alam (idem, juzuk V, hal 261). (Simak juga Etika Perang Fi Sabilillah dalam Prof A Hasymy : “Nabi Muhammad saw sebagai Panglima Perang”, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2001). Sebab itu maka memusuhi Rasul, menantang ajarannya, mempercayai separuh-separuh, mengatakan bahwa peraturan Rasul itu tidak cocok lagi dengan zaman, atau mengatakan bahwa Islam hanya untuk orang Badwi di gurun pasir, yang kadang-kadang keluar dari mulut orang yang mengakui dirinya Islam, tidak ada jalan lain yang akan mereka tempuh atau yang telah mereka tempuh, melainkan jalan orang yang tidk beriman. tuhan pun akan mengencangkan mereka lebih cepat kepada apa ang mereka tuju. Dan oleh sebab jalan orang yang tidak beriman itu adalah berakhir (klimaks) pada kehancuran, maka kehancuran itulah yang akan mereka temui, atau mereka terus jadi kafir, atau gagal usaha mereka karena jiwa yang pecah berderai. Dan di akhirat jahaaanamlah tempat mereka. Oleh sebab itu, kalau kita telah mengakui diri seorang Muslim, selidikilah petunjuk Rasul itu dengan saksama, jangan lekas menentang dan memusuhi. Karena penentangan dan permusuhan kebanyakan timbul karena hasutan dan ajakan orang lain, atau menerima ajaran lain yang bukan ajaran Rasul (idem, juzuk V, hal 217). Demikian juga dalam pendirian Negara yang modern dan berdasarkan demokrasi. Hendaklah di negeri-negeri Islam, agar ummatnya menjalankan peraturan-peraturan Islam. jangan sampai peraturan-peraturan dan hokum-hukum yang berasal dari Islam ditinggalkan, lalu diganti dengan hokum Barat yang bersumber dan latar-belakangnya kalau tidak Kristen, tentu hokum Romawi Kuno. Dan di dalam Negara yang penduduknya sebagian besar ummat Islam, dan ada pula pemeluk agama yang lain, agar terhadap golongan yang besaar Muslim dibiarkan berlaku hokum syari’at Islam. Pendeknya kita wajib berikhtiar agar Islam dalam keseluruhannya berlaku pada masing-masing pribadi kita, lalu kepada masyarakat kita, lalu kepada Negara kita. Selama hayat di kandaung badan, kita harus berjuang terus agar Islam dalam keseluruhannya dapat berdiri dalam kehidupan kita. Dan jangan sampai kita mengakui bahwa ada satu peraturan lain yang lebih baik dari pada peraturan Islam (idem, juzuk II, hal 174). Tahu akan kebesaran tetapi tidak mau mengakuinya, ialah corak kafir, yang terbanyak di zaan Nabi saw. Adapun kafir di zaman kita ini, yang hamper sama dengan itu ialah orang-orang yang yang mengatakan bahwa Islam itu hanya agama untuk orang Arab, bukan untuk bangsa lain. Atau berkata bahwa agama itu hanya untuk ibadat kepada Allah saja, sedang peraturan-peraturan Islam yang mengenai masyarakat tidaklah sesuai lagi dengan zaman, wajib dirobek sama sekali. Tetapi kalau mereka masih tetap mengakui kebaikan peraturan-peraturan itu, dan kita pun jangan berhenti berusaha buat menjalankannya, belum dapat dipastikan kekufurannya. Misalnya juga tentang larangan riba dalam alQuran; AlQuran sudah melarang riba dengan nyata-nyata, padahal di zaman sekarang seluruh dunia menjalankan ekonomi dengan memakai Bank, yang tidak dapat dipisahkan dengan riba. Maka kalau ada yang berkata, bahwa praturan alQuran tentang riba itu sudah kolot, ini sudah terancam oleh kekafiran. Tetapi kalau dia berkata : “Pengaruh Yahudi terlalu besar kepada ekonomi dunia ini, sehingga kita ummat Islam terpaksa memakai system ekonomi dengan riba itu, dan belum dapat berbuat lain”, belum dapat orang itu dituduh kafir. Ada lagi semacam kafir, yaitu tiak mau tahu apa kebenaran itu, dan tidak peduli, tidak cinta. Tiap-tiap diseur kepada kebenaran, tiap itu pula dia menjauh. Terdengar seruan ditutupnya telinganya, Nampak kebenaran, dipidingkannya matanya. Sebab matanya sudah tidak dibiasakannya menentang cahaya kebenaran itu, maka silaulah dia bila bertemu dengan dia (idem, juzuk I, hal 167) (Simak juga Abul A’la Maududi : “Kemerosotan ummat Islam dan Upaya Pembangkitannya” [Waqi’ul Muslimin Sabil anNuhudh Bihim], Pustaka, bandung, 1984:3). Orang yang membuat hubungan baik dengan musuh yang nyata jelas memusuhi Islam, memerangi dan bahkan sampai mengusir atau membantu pengusiran, jelaslah dia itu orang yang aniaya. Sebab dia telah merusak strategi, atau siasat perlawanan Islam trhadap musuh. Tandanya orang yang membuat hubungan ini tidak teguh imannya, tidak ada gairahnya dalam mempertahankan agama. Sama juga halnya dengan orang yang mengakui dirinya seorang Islam, tetapi dia berkata : “Bagi saya segala agama itu adalah sama saja, karena sama-sama baik tujuannya”. Orang yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. kalau dia mengatakan dirinya Islam maka perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya Islam (idem, juzuk XXVIII, hal 138) Dari segi menegakkan pemerintahan demikian pula. Olah karena pengaruh penjajaaaajahan berates-ratus tahun, dan oleh karena bangsa-bangsa yang menjajah telah menyingkirkan dengan secara teratur segala hokum yang bersumber Tuhan ini yang dahulu berlaku dalam negeri-negeri Islam. Maka tumbuhlah golongan-golongan orang yang mengakui beragama Islam dan beribdat, tetapi tidak yakin lagi akan syari’at Islam. Merekalah yang keras menentang tiap gagasan hendak meletakkan dasar hokum syari’at Islam itu di dalam negeri yang penduduknya terbanyak orang Islam. Bahkan ada yang berkata : “Saya ini orang Islam, tetapi saya tidak mau alau dalam negeri ini diperlakukan syari’at Islam. Bahkan saya tidak mau, walaupun hokum syari’at Islam itu hanya akan dijalankan untuk rakyat yang beragama Islam saja” (idem, juzuk V, hal 144). Tetapi tidaklah pernah kebenaran yang kalah berhadapan dengan kedustaan. Kekerasan kadang-kadang dapat tersembul keluar seakan-akan menang. Tetapi dalam peredaran zaman kemudian akan ternyata bahwa kecurangan, atau yang salah dipaksakan mengatakan benar itu akan sirna laksana buih ditiup angin. Itulah sebabnya maka setiap perjuangan wajib bertawakkal kepada Allah. Artinya jangan disangka bahwa urusan ini akan selesai di tangan kita. Walaupun kita misalnya mti, tewas, jadi korban dari kebenarn yang kita perjuangkan, bukanlah berarti bahwa kebenaran itu kalah. dia akan tetap ditetakkan juga oleh Allah, walau sepeninggal kita. Diri kita masing-masing tiak artinya dihadapan kebenaran itu (idem, juzuk XX, hal 41). Di dalam pangkal ayat ini dijelaskan bahwasanya segala pemimpin (Qashash 28:41) yang berjalan di luar kebenaran, menyombong dan aniaya itu adalah pemimpin membawa mmat atau rakyat yang dipimpinnya ke neraka, bukan ke surge. Untuk menjadi perbandingan bagi ummat manusia sampai hari kiamat, bila saja, dimana saja, apabila ada pemimpin Negara yang menganggap dirinya Tuhan, peraturannyalah yang benar, lalu menolak kebenaran yang diturunkan Ilahi dengan perantraaan Nabi-Nabinya, semua pemimpin semacam itu teranglah akan membawa manusia ke neraka. Karena dia pemimpin, dialah yang di muka sekali untuk diiringkan oleh manusia menuju neraka. Negara semacam itu bukanlah Negara Hukum, melainkan Negara Hukuman. Bukan Negara yang dijaga keamanannya oleh polisi, melainkan Negara Kepolisian. Kediktatoran pemimpin Negara menyebabkan kehilangan kemerdekaan tiap-tiap orang yang mengharapkan perlindungan dalam negara itu (idem, juzuk XX, hal 117). Ketahuilah, bahwasanya tidak ada suatu kerusakan yang sangat membahayakan bagi agama, dan yang menyebabkan isi Kitab tersia-sia, sampai orang mau mencampakkannya ke belakang punggungnya, mau memperjualbelikannya dengan harga sedikit, tidak ada suatu bahaya pun yang mengancam agama lebih dari pada menjadikan kehidupan ulama bergantung kepada kasian raja-raja atau penguasa-penguasa neara. Oleh sebab itu wajiblah atas ulama-ulama agama mempertahankan kebebasan sempurna, bebas dari pengaruh-pengaruh itu, terutama penguasa-penguasa diktator. Tidak masuk di akal saya seorang penguasa tirani akan mau saja memberikan belenggu emas di leher ulama-ulama itu, melainkan supaya mereka dapat dituntutn menurutkan kehendak penguasa itu, untuk menipu orang awam dengan nama agama, supaya mempermudah perbudakan si penguasa kepada rakyat. Kalau rakyat umum itu ada kesadaran, tidaklah mereka akan mempercayai kata atau fatwa ulama-ulama resmi yang telah diikat lehernya dengan rantai emas itu (Idem, juzuk IV, hal 208-209, dari “Tafsir Al-Manar” Sayid Rasyid Ridha). Memang sangatlah nisbi (relative) wajah hidup yang dihadapi di dunia ini. Itulah agaknya sebabnya maka sufyan asTsauri, ulama Tabi’in yang terkenal, lebih suka mengembara jauh-jauh, sangat menjauhi hubungan dengan istana, walaupun berkali-kali disuruh cari oleh Khalifah Abu Ja’far al-manshur. Dia lebih suka hidup kelihatan pada zahirnya sengsara, tetapi bebas dari pada menjadi ulama istana, yang kemerdekaannya tidak ada lagi (idem, juzuk I, hal 170). Disini dapat dilihat dengan jelas bagaimana besar perbedaan ajaran Islam dengan Sosialisme. bagi Islam, untuk memperbaki masyarakat dan meratakan keadilan social, hendaklah diperbaiki terlebih dahulu dasar sendi pertama social (masyarakat) itu. Dasar sendi pertama ialah jiwa seseorang. Ditanamkanlah terlebih dahulu di jiwa orang seorang rasa iman kepada Allah dan Hari Akhirat, lalu iman itu mengakibatkan rasa kasih-sayang dan dermawan. Kesadaran pribadi setiap orang dalam hubungannya dengan Allah, manusia, alam sekitar dan kedudukan dirinya di tengah semuanya itu, di sanalah sumber Keadilan Sosial. Sebab itu pernah tersebut di dalam suatu Hadits, bahwasanyajika ajaran ini telah diamalkan, akan dating masa tidak ada lagi orang yang berhak menerima zakat, karena semua orang wajib berzakat. Dan ini pernah tercapai dalam masyarakat Islam, sebagai disaksikan dalam sejarh Khalifah Umar bin Abdul Azuz (idem, juzuk II, hal 87) (Simak Jihad Melawan Mafia/Korupsi dalam Sayyid Quthb : “Keadilan Sosial Dalam Islam” [Al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fil-Islam], Pustaka, Bandung, 1994). Darwis Taib mempelajari Sosialisme dengan mendalam. Menurut beliau ayat-ayat dari surat al-balad ini adalah dasar yang teguh dari ajaran “Keadilan Sosial” yang bersumber dari wahyu. Orang dididik memperdalam iman dan sanggup menempuh jalan yang mendaki yang sukar (‘Aqabah), mengeluarkan harta-benda dan tenaga buat : 1. Memberantas segala macam perbudakan, pemerasan manusia atas sesame manusia. 2. Memberi makan pada saat orang sangat memerlukan makan, baik terhadap anak-anak yatim karena ayah-ayahnya yang tewas skoran perjuangan, atau orang-orang miskin dan melarat yang tidak punya apa-apa. 3. Semuanya itu terlebih dahulu mesti timbul dari iman dan keyakinan hidup sebagai Muslim, yang masyarakatnya dibentuk oleh jama’ahnya sendiri. Yaitu jama’ah yang hidup gotong royong, hidup pesan-memesan tentang kesabaran menderita dan pesan-memesan supaya selalu hidup dalam berkasih-sayang, bantu-membantu, tolong-menolong. Itulah yang dinamai hidup dalam masyarakat Marhamah (idem, juzuk XXX, hal 148) (Simak juga Drs Mohammad Soebari MA : “Makalah : Kesenjangan Dengan Sembilan Basis Konsepsi Islam”, Biro Dakwah Dakta, Bekasi, 1998, hal 6-7, “A Proses Of Change”).(Kapitalisme menganjurkan agar setiap investasi yang ditanamkan menghasilkan profit [keuntugan]. Kaum pseudo-intelektual dan kaum borjuis tidak mungkin bersikap tulus bermurah hati kepada orang wam, bodoh kurang pendidikan, miskin, terkucil dan tertindas, sebab mereka merasa bahwa bila mereka membantu yang melarat itu berarti mendatangkan kerugian bagi mereka. KIBLAT, 22/XXXI). Di zaman sekarang kita terpaksa menerima susunan ekonomi yang bersandarkan Bank. Sebb orang Yahudi menternakkan uang dengan Bank untuk meminjami orang luar dari Yahudi. Orang Kristen pun menegakkan Bank. Bukanlah berarti ahwa kita telah menyerahkan kepada ssusunan itu. kita masih menuju lagi kepada tujuan yang lebih jauh, yaitu kemerdekan ekonomi kita secara Islam, dengan dasar hidup beriman kepada Allah. Perjuangan kita belum selsai sehingga begini saja. Kita wajib meyakini konsepsi ekonomi Islam, dan tetap bercita-cita mempraktekkannya d dinua ini (idem juzuk III, hal 77-78). Di negeri-negeri yang berjalan peraturan Islam, dan seratus persen berdasar Islam, tentu sejalan al-Imam (Kepala Negara), yang berkuasa tertinggi, memungut dan menuruh bagikan zakat. Adapun di Negara-negara Islam yang dasar hukumnya belum seratus persen Islam, tentulah mengeluaran zakat menjadi kewajiban bagi tiap-tiap anggota ummat, sebagaimana wajibnya menerjakan sembahyang, puasa dan haji. Apabila kesdaran beragama telah mendalam, niscaya dengan tenaga sendiri Masyarakat Islam itu, akan mengatur pemungutan dan pembagian akatnya (idem, juzuk X, hal 274). Kalau pandangan hidup Islam masih terpengaruh dalam jiwa Muslim seluruh dnia Islam ini, tidaklah terlantgar seorang penembara Muslim yang berjalan sejak dari Mindanao (Philipina) melalui Indonesia, Malaysia, Hidustan, Pakistan, Afghanistan, Iran, Arabia sampai ke Marokko, sebab harta mereka untuk perjlaanan ada alam kas tiaptiap negeri itu (idem, juzuk X, hal 7). Dalam berpedoman kepada ayat QS 4:36, maka tidaklah akan terlantar – insya Allah- seorang musafir (ibnu sabl) menuntut ilmu, menamah pengaaaaaman, memperbanyak shabat, jika mereka memulai perjalanannya misalnya dari Irian Barat, melalui pulau-pulau Floris, Sumbawa, Lombok, Bali, Madura, Jawa, Sumatera sampai Malaysia, sampai ke Siam, dan terus berlarat-larat melalui India, Pakistan, Basrah, Makkah dan Madiah, sampai ke Mesir, Tunisia, Maroko dan Aljazair. Dengan hanya memakai satu bekal, yaitu “Assalamu’alaikum”, belanja dalam perjalanan, makanan dan minuman, pakaan ala kadarnya, nisaya akan diterimanya pada tiap-tiap negeri yang disinggahinya, asala ditunjukkannya bahwa dia orang Islam. Di dalam tiap saku baju yang Mukmin ada sedia seua perbekalan untuk melanjutkan perjalanannya (idem, juzuk V, hal 66). Dan bertali denan ini juga, tidak ada salahnya jika selama di Mina itu ahli-ahli cerdik-pandai dunia Islam bermusyawarah, memperkatakan soal-soal nasib negeri masing-masing, soal ekonomi, politik dan kemasyaakatan dan soal dakwah Islam. Semuanya ini termasuh di dalam fadhilah, anugrah Tuhan, atau rezki yang dikaruniakan Tuhan. Maka amat luaslah maksud yang terkadnung did lam paangkal ayat ini (Idem, juzuk II, hal 156) (Hanya saja masih tetap tinggal sebagai harapan [Das Sollen], belum sampai mengarah kepada kenyataan [Das Sein]). Tatkala pada suatu ketika nanti, kita semua akan menyesal dan menderita batin melihat Negara kita yang begitu luas dam kaya raya, diadikan oleh orang asing tempat pertarungan dan perebutan pengaruh dan kekuasaan ? Pernahkah kita fikirkan secara mendalam, apakah tidak ada kemungkinan saran-saran dan dorongan-dorongan orang dari luar negeri (terutama Eropa) terhadap Indonesia, supaya melakukan Keluarga Brenana itu mempunyai latar belakang politik ? Kaena mereka sendiri telah mengeetahui sejak puluhan tahun yang bisanya mampu melaksaakan pembatasan kelelhiran itu adalah golongan menengah an atas, sedangkan golongan rakyat banyka tidak mampu (idem, juzuk VIII, hal 121 dari tulisan Dr Zakiah Daradjat) (Yang jelas kini tikus-tikus korupsi dari banga sendiri yang menggerogoti kekayaan negara ini secara konstitusional bekerjasama dengan pihak asing). Sekali-kali janganlah diakui ada satu peraturan lain yang lebih baik dari peraturan Islam. Belumlah “musuh Islam keseluruhannya”, kalau masih belum menurut peraturan alQuran. Cukup sudah hanya mengakui Islam satu-satunya aturan hokum (idem, juzuk II, hal 173). Seorang Muslim tidak menerima peraturan lain selain peraturan Allah atau sesuatu peraturan yang sumberny diambil dari hokum Allh. Seorang Muslim bercita-cita gar peraturan dan unang-undang harus diambil dari peraturan dan unang-undang Allah (Idem, juzuk VIII, hal 17). Seorang Muslim yang ingin mengikuti Sunnah Nabi, bercita-cita hendak menegakkan peraturan Allah di dalam ala mini meskipun dibnci oleh golongan yang tidak mengenal peraturan Allah (Idem, juzuk Viii, hal 17) (Simak juga Abul A’la AlMaududi : “Metoda Revolusi Islam”Manhajul Inqilabl sam, Ar-Risaah, Yogyakarta, 1983). [ (written by sicumpaz@gmail.co at BKS 1110071130)

Tidak ada komentar: