Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Rabu, 23 November 2011
Cukilan Al-Azhar (Akidah seorang Muslim)
catatan serbaneka asrir pasir
Cukilan Al-Azhar (Akidah seorang Muslim)
Pandangan hidup yang benar hanya satu, yaitu yang digariskan Allah.
Sedangkan panangan hidup hasil rekayasa manausia bukanlah pandangan
hidup yang mutlak benar (Prof Dr Hamka : “Tafsir Al-Azhar”, juzuk
VIII, hal 129).
Pandangan hidup yang benar, menyerahkan diri kepada Allah, tunduk
kepada Allah, mngakui kebesaran Allah. Pandangan hidup yang mencakup
peraturan hidup, peraturan bernegara (idem, juzuk III, hal 130).
Iman adalah kesediaan, kesiapan untuk mnerima (mendengarkan) dan
melaksanakan (mematuhi amanat dari Allah (melakukan yang disuruh dan
mennggalkan yang dilarang Allah). Segala teori yang tidak berdasar
atas kepercayaan kepada Allah adalah teori omong kosong, atau
kedustaaan atau kebohongan yang diatur rapi (idem, juzuk VIII, hala
18).
Suatu masyarakat yang ideal, yang merupakan cita-cita yang tinggi
hanya satu, yaitu bila manusia menyerahkan kekuasaan tertinggi kepada
Allah dan ta’at kepada ketentuan Allah itu (idem, juzuk VIII, hal 16).
Seorang Muslim yang menyadari agamanya, atau menyadari alQuran
sebagai pegangan hidupnya, menyadari pula Sunnah Rasulullah, Sejarah
Rasulullah dan perjuangan Khulafaur Rasyidin, tidak dapat tidak dia
mesti sampai kepada kesimpulan bahwasanya segala perintah Allah dan
larangannya, segala anjuran Nabi dan cegahannya, tidak akan dapat
berlaku, tidak dijamin bias berjalan, kalau tidak ada Pemerintah
Islam. Tegasnya Pemerintahan Yang disana berlaku syari’at Islam (idem,
juzuk VIII, hal 132).
Islam tidak bisa tegak kalau jihad berhenti, dan Islam akan kendur
kalau semangat jihadnya telah pudar (idem, juzuk Viii, hal 11).
Tugas Risalah, Dakwah berpangkal pada amar “Qum fa anzir, wa rabbaka
fa kabbir” mulai dari seruan “perhambaan diri kepada Allah semata” (La
ilaha illallah : u’budullah ma lakum min ilahin ghairuh) sampai pada
seruan “serahkan diri untuk diatur oleh aturan Allah) semata “ (la
hukman illa hukmallah, innal hukma lillah, wa umirtu an aslim li
rabbil ‘alamin).
Apabila seorang pejuang Muslim membaca ayat-ayat alQuran dan faham
akan artinya, tidak dapat tidak ayat ini ( An’am 6:115) pasti
mempengaruhi sikap jiwanya. Ayat-ayat ini tegas benar menyatakan bahwa
Rasulullah saw harus menyatakan terus-terang bahwa dia tidak akan
menerima hakim selain Allah. tidak menerima peraturan lain selain
peraturan Allah atau sesuatu peraturan yang disesuaikan atau yang
sumbernya diambil daripada hokum Allah. Ini mengenai seluruh segi
daripada kehidupan. Dia seluruhnya berpokok dari Satu, yaitu
kepercayaan kepada Adanya Allah. Setelah mengaku tentang Adanya Allah,
lalu percaya aakan peraturanNya, mengerjakan apa yang disuruh dan
menghentikan atau menjauhi apa yang dilarang. Ketaatan kepda Allah
adalah konsekwensi dari pada kepercayaan kepada Allah. Percaya saja
tidak cukup. Percaya hendaklah dibuktikan dengan keta’atan. Sehingga
tidak suatu peraturan pun yang diakui dalam dunia ini, kalau peraturan
itu tidak dari Allah, atau peraturan manusia yang diambil dasarnya
dari pada apa yang diridhai oleh Allah.
Oleh seab itu dengan sendirinya sudah terang pula kalau sekiranya kaum
jahiliyah tiada menyukai peraturan Allah. Di aman modern ini
pejuang-pejuang Islam yang ingin mengikuti Sunnah Nabi, yang
bercita-cita hendak menegakkan peraturan Allah did ala ala mini
kebanyakan dibenci oleh golongan yang tidak mengenal peraturan Allah
itu. Di dalam negeri-negeri Islam sendiri, pejuang Islam dibenci dan
menderita berbagai penderitaan jika dia mengemukakan keyakinan hidup,
menjalankan bahwa dia bercta-cita agar di negerinya peraturan dan
undang-undang negeri harus diambil dari pada peraturan dan
undang-undang Allah (idem, juzuk VIII, hal 17).
Selama kita hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah
kita, tidaklah sekali-kali boleh kita melepaskan cita-cita agar Hukum
Allah tegak di dalam ala mini, walaupun di negeri mana kita tinggal.
Moga-moga tercapai sekedar apa yang dapat kita capai. Karena Tuhan
tidaklah memikulkan kepada kita suatu beban yang melebihi dari tenaga
kita. Kalau Hukum Allah belum jalan, janganlah kita berputusasa. Dan
kufur, zhulm dan fasiklah kita kalau kita percaya bahwa ada hokum lain
yang lebih baik dari hokum Allah.
Dan jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang
“Adakah kamu, hai Ummat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu
memegang kekuasaan, akan menjalankan hokum Syari’at Islam dalam negra
yang kamu kuasai itu ?”
Janganlah berbohong dan mengolok-olok jawaban. katakana terus terang
bahwa cita-cita kami memang itu. Memang hendaknya berjalan Hukum Allah
dalam Negara yang kita kuasai itu. Apa artinya iman kita kalau
cita-cita yang telah digariskan Tuhan daaalam alQuran itu kita
mungkiri ?
Dan kalau ditanyakan orang pula : “Tidakkah dengan demikian kamu
hendak memaksakan agar pemeluk agama lain yang golongan kecil
(minoritas) dipaksan menuruti Hukum Islam ?”
Jawablah tegas : “Memang akan kami paksa mereka menuruti Hukum Islam.
Dan setengah dari Hukum Islam terhadap golongan pemeluk gama minoritas
itu ialah agar supaya mereka menjalankan Hukum Taurat, Ahli Injil
diwajibkan menjalankan Hukum Injil. Dan kita boleh membuat
Undang-Undang menurut teknik pembikinannya, memakai fasal-fasal dan
ayat-ayat suci, tapi dasarnya wajiblah Hukum Allah dan kitab-kitab
suci, bukan hokum buatan manusia atau diktator” (Simak juga Abdul
Qadir Audah : “Islam dan Perundang-Undangan” [ Kritik Terhadap
Undang-Undang Ciptaan manusia”]).
Katakan it uterus terang, dan jangan takut. Dan insaflah bahwasanya
rqasa takut orang menerima Hukum Islam ialah karena propaaaaaganda
terus-menerus dari kaum penjajah selama berpuluh berates tahun,
sehingga orang-orang yang mengaku beragama Islam sendiripun kemasukan
rasa takut itu karena dipompakan oleh penjajahan.
Lihatlah bagaimana ceakanya perikemanusiaan di zaman sewenang-wenang
hokum buatan manusia, seumpama di Jerman di zaman Nzi, di Italia di
zaman Fasis, dan di seluruh Negara yang dipengaruhi oleh Komunis.
Apabila kita membicarakan Hukum Allah, hendaklah kita menilik terlebih
dahulu kepada Filsafat Hukumnya dan darimana sumber Hukum. Dalam Islam
sudah nyata bahwa sumbr Hukum ialah Allah dan Rasul, atau alQuran dan
asSunnah (idem, juzuk VI, hal 263).
Haruslah kita di zaman modern mencamkan benar-benar dalam hati kita
inti sari ayat ini (Nisak 4:104). Menegakan agama yang benar. Tauhid
yang khalis adalah tujuan hidup kita. Di zaman modern pun orang telah
mengakui betapa pentingnya berperang menegakkan ideology, yaitu
cita-cita yang diperjuaaangkan, haruslah jelas. Perang-perang sebagai
di zaman feudal dahulu, yaitu memusnahkan harta benda dan jiwa raga
untuk kepentingan seorang raja atau pangeran tidak ada lagi. Perang
sekarang ialah perang ideology, dan ideology menegakkan kepercayaan
kepada Tuhan penguasa seluruh alam (idem, juzuk V, hal 261). (Simak
juga Etika Perang Fi Sabilillah dalam Prof A Hasymy : “Nabi Muhammad
saw sebagai Panglima Perang”, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2001).
Sebab itu maka memusuhi Rasul, menantang ajarannya, mempercayai
separuh-separuh, mengatakan bahwa peraturan Rasul itu tidak cocok lagi
dengan zaman, atau mengatakan bahwa Islam hanya untuk orang Badwi di
gurun pasir, yang kadang-kadang keluar dari mulut orang yang mengakui
dirinya Islam, tidak ada jalan lain yang akan mereka tempuh atau yang
telah mereka tempuh, melainkan jalan orang yang tidk beriman. tuhan
pun akan mengencangkan mereka lebih cepat kepada apa ang mereka tuju.
Dan oleh sebab jalan orang yang tidak beriman itu adalah berakhir
(klimaks) pada kehancuran, maka kehancuran itulah yang akan mereka
temui, atau mereka terus jadi kafir, atau gagal usaha mereka karena
jiwa yang pecah berderai. Dan di akhirat jahaaanamlah tempat mereka.
Oleh sebab itu, kalau kita telah mengakui diri seorang Muslim,
selidikilah petunjuk Rasul itu dengan saksama, jangan lekas menentang
dan memusuhi. Karena penentangan dan permusuhan kebanyakan timbul
karena hasutan dan ajakan orang lain, atau menerima ajaran lain yang
bukan ajaran Rasul (idem, juzuk V, hal 217).
Demikian juga dalam pendirian Negara yang modern dan berdasarkan
demokrasi. Hendaklah di negeri-negeri Islam, agar ummatnya menjalankan
peraturan-peraturan Islam. jangan sampai peraturan-peraturan dan
hokum-hukum yang berasal dari Islam ditinggalkan, lalu diganti dengan
hokum Barat yang bersumber dan latar-belakangnya kalau tidak Kristen,
tentu hokum Romawi Kuno. Dan di dalam Negara yang penduduknya sebagian
besar ummat Islam, dan ada pula pemeluk agama yang lain, agar terhadap
golongan yang besaar Muslim dibiarkan berlaku hokum syari’at Islam.
Pendeknya kita wajib berikhtiar agar Islam dalam keseluruhannya
berlaku pada masing-masing pribadi kita, lalu kepada masyarakat kita,
lalu kepada Negara kita. Selama hayat di kandaung badan, kita harus
berjuang terus agar Islam dalam keseluruhannya dapat berdiri dalam
kehidupan kita. Dan jangan sampai kita mengakui bahwa ada satu
peraturan lain yang lebih baik dari pada peraturan Islam (idem, juzuk
II, hal 174).
Tahu akan kebesaran tetapi tidak mau mengakuinya, ialah corak kafir,
yang terbanyak di zaan Nabi saw. Adapun kafir di zaman kita ini, yang
hamper sama dengan itu ialah orang-orang yang yang mengatakan bahwa
Islam itu hanya agama untuk orang Arab, bukan untuk bangsa lain. Atau
berkata bahwa agama itu hanya untuk ibadat kepada Allah saja, sedang
peraturan-peraturan Islam yang mengenai masyarakat tidaklah sesuai
lagi dengan zaman, wajib dirobek sama sekali. Tetapi kalau mereka
masih tetap mengakui kebaikan peraturan-peraturan itu, dan kita pun
jangan berhenti berusaha buat menjalankannya, belum dapat dipastikan
kekufurannya. Misalnya juga tentang larangan riba dalam alQuran;
AlQuran sudah melarang riba dengan nyata-nyata, padahal di zaman
sekarang seluruh dunia menjalankan ekonomi dengan memakai Bank, yang
tidak dapat dipisahkan dengan riba. Maka kalau ada yang berkata, bahwa
praturan alQuran tentang riba itu sudah kolot, ini sudah terancam oleh
kekafiran. Tetapi kalau dia berkata : “Pengaruh Yahudi terlalu besar
kepada ekonomi dunia ini, sehingga kita ummat Islam terpaksa memakai
system ekonomi dengan riba itu, dan belum dapat berbuat lain”, belum
dapat orang itu dituduh kafir.
Ada lagi semacam kafir, yaitu tiak mau tahu apa kebenaran itu, dan
tidak peduli, tidak cinta. Tiap-tiap diseur kepada kebenaran, tiap itu
pula dia menjauh. Terdengar seruan ditutupnya telinganya, Nampak
kebenaran, dipidingkannya matanya. Sebab matanya sudah tidak
dibiasakannya menentang cahaya kebenaran itu, maka silaulah dia bila
bertemu dengan dia (idem, juzuk I, hal 167) (Simak juga Abul A’la
Maududi : “Kemerosotan ummat Islam dan Upaya Pembangkitannya” [Waqi’ul
Muslimin Sabil anNuhudh Bihim], Pustaka, bandung, 1984:3).
Orang yang membuat hubungan baik dengan musuh yang nyata jelas
memusuhi Islam, memerangi dan bahkan sampai mengusir atau membantu
pengusiran, jelaslah dia itu orang yang aniaya. Sebab dia telah
merusak strategi, atau siasat perlawanan Islam trhadap musuh. Tandanya
orang yang membuat hubungan ini tidak teguh imannya, tidak ada
gairahnya dalam mempertahankan agama. Sama juga halnya dengan orang
yang mengakui dirinya seorang Islam, tetapi dia berkata : “Bagi saya
segala agama itu adalah sama saja, karena sama-sama baik tujuannya”.
Orang yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi
hatinya. kalau dia mengatakan dirinya Islam maka perkataannya itu
tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati,
agama yang sebenarnya itu hanya Islam (idem, juzuk XXVIII, hal 138)
Dari segi menegakkan pemerintahan demikian pula. Olah karena pengaruh
penjajaaaajahan berates-ratus tahun, dan oleh karena bangsa-bangsa
yang menjajah telah menyingkirkan dengan secara teratur segala hokum
yang bersumber Tuhan ini yang dahulu berlaku dalam negeri-negeri
Islam. Maka tumbuhlah golongan-golongan orang yang mengakui beragama
Islam dan beribdat, tetapi tidak yakin lagi akan syari’at Islam.
Merekalah yang keras menentang tiap gagasan hendak meletakkan dasar
hokum syari’at Islam itu di dalam negeri yang penduduknya terbanyak
orang Islam. Bahkan ada yang berkata : “Saya ini orang Islam, tetapi
saya tidak mau alau dalam negeri ini diperlakukan syari’at Islam.
Bahkan saya tidak mau, walaupun hokum syari’at Islam itu hanya akan
dijalankan untuk rakyat yang beragama Islam saja” (idem, juzuk V, hal
144).
Tetapi tidaklah pernah kebenaran yang kalah berhadapan dengan
kedustaan. Kekerasan kadang-kadang dapat tersembul keluar seakan-akan
menang. Tetapi dalam peredaran zaman kemudian akan ternyata bahwa
kecurangan, atau yang salah dipaksakan mengatakan benar itu akan sirna
laksana buih ditiup angin. Itulah sebabnya maka setiap perjuangan
wajib bertawakkal kepada Allah. Artinya jangan disangka bahwa urusan
ini akan selesai di tangan kita. Walaupun kita misalnya mti, tewas,
jadi korban dari kebenarn yang kita perjuangkan, bukanlah berarti
bahwa kebenaran itu kalah. dia akan tetap ditetakkan juga oleh Allah,
walau sepeninggal kita. Diri kita masing-masing tiak artinya dihadapan
kebenaran itu (idem, juzuk XX, hal 41).
Di dalam pangkal ayat ini dijelaskan bahwasanya segala pemimpin
(Qashash 28:41) yang berjalan di luar kebenaran, menyombong dan aniaya
itu adalah pemimpin membawa mmat atau rakyat yang dipimpinnya ke
neraka, bukan ke surge. Untuk menjadi perbandingan bagi ummat manusia
sampai hari kiamat, bila saja, dimana saja, apabila ada pemimpin
Negara yang menganggap dirinya Tuhan, peraturannyalah yang benar, lalu
menolak kebenaran yang diturunkan Ilahi dengan perantraaan
Nabi-Nabinya, semua pemimpin semacam itu teranglah akan membawa
manusia ke neraka. Karena dia pemimpin, dialah yang di muka sekali
untuk diiringkan oleh manusia menuju neraka. Negara semacam itu
bukanlah Negara Hukum, melainkan Negara Hukuman. Bukan Negara yang
dijaga keamanannya oleh polisi, melainkan Negara Kepolisian.
Kediktatoran pemimpin Negara menyebabkan kehilangan kemerdekaan
tiap-tiap orang yang mengharapkan perlindungan dalam negara itu (idem,
juzuk XX, hal 117).
Ketahuilah, bahwasanya tidak ada suatu kerusakan yang sangat
membahayakan bagi agama, dan yang menyebabkan isi Kitab tersia-sia,
sampai orang mau mencampakkannya ke belakang punggungnya, mau
memperjualbelikannya dengan harga sedikit, tidak ada suatu bahaya pun
yang mengancam agama lebih dari pada menjadikan kehidupan ulama
bergantung kepada kasian raja-raja atau penguasa-penguasa neara. Oleh
sebab itu wajiblah atas ulama-ulama agama mempertahankan kebebasan
sempurna, bebas dari pengaruh-pengaruh itu, terutama penguasa-penguasa
diktator. Tidak masuk di akal saya seorang penguasa tirani akan mau
saja memberikan belenggu emas di leher ulama-ulama itu, melainkan
supaya mereka dapat dituntutn menurutkan kehendak penguasa itu, untuk
menipu orang awam dengan nama agama, supaya mempermudah perbudakan si
penguasa kepada rakyat. Kalau rakyat umum itu ada kesadaran, tidaklah
mereka akan mempercayai kata atau fatwa ulama-ulama resmi yang telah
diikat lehernya dengan rantai emas itu (Idem, juzuk IV, hal 208-209,
dari “Tafsir Al-Manar” Sayid Rasyid Ridha).
Memang sangatlah nisbi (relative) wajah hidup yang dihadapi di dunia
ini. Itulah agaknya sebabnya maka sufyan asTsauri, ulama Tabi’in yang
terkenal, lebih suka mengembara jauh-jauh, sangat menjauhi hubungan
dengan istana, walaupun berkali-kali disuruh cari oleh Khalifah Abu
Ja’far al-manshur. Dia lebih suka hidup kelihatan pada zahirnya
sengsara, tetapi bebas dari pada menjadi ulama istana, yang
kemerdekaannya tidak ada lagi (idem, juzuk I, hal 170).
Disini dapat dilihat dengan jelas bagaimana besar perbedaan ajaran
Islam dengan Sosialisme. bagi Islam, untuk memperbaki masyarakat dan
meratakan keadilan social, hendaklah diperbaiki terlebih dahulu dasar
sendi pertama social (masyarakat) itu. Dasar sendi pertama ialah jiwa
seseorang. Ditanamkanlah terlebih dahulu di jiwa orang seorang rasa
iman kepada Allah dan Hari Akhirat, lalu iman itu mengakibatkan rasa
kasih-sayang dan dermawan. Kesadaran pribadi setiap orang dalam
hubungannya dengan Allah, manusia, alam sekitar dan kedudukan dirinya
di tengah semuanya itu, di sanalah sumber Keadilan Sosial. Sebab itu
pernah tersebut di dalam suatu Hadits, bahwasanyajika ajaran ini telah
diamalkan, akan dating masa tidak ada lagi orang yang berhak menerima
zakat, karena semua orang wajib berzakat. Dan ini pernah tercapai
dalam masyarakat Islam, sebagai disaksikan dalam sejarh Khalifah Umar
bin Abdul Azuz (idem, juzuk II, hal 87) (Simak Jihad Melawan
Mafia/Korupsi dalam Sayyid Quthb : “Keadilan Sosial Dalam Islam”
[Al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fil-Islam], Pustaka, Bandung, 1994).
Darwis Taib mempelajari Sosialisme dengan mendalam. Menurut beliau
ayat-ayat dari surat al-balad ini adalah dasar yang teguh dari ajaran
“Keadilan Sosial” yang bersumber dari wahyu. Orang dididik memperdalam
iman dan sanggup menempuh jalan yang mendaki yang sukar (‘Aqabah),
mengeluarkan harta-benda dan tenaga buat :
1. Memberantas segala macam perbudakan, pemerasan manusia atas sesame manusia.
2. Memberi makan pada saat orang sangat memerlukan makan, baik
terhadap anak-anak yatim karena ayah-ayahnya yang tewas skoran
perjuangan, atau orang-orang miskin dan melarat yang tidak punya
apa-apa.
3. Semuanya itu terlebih dahulu mesti timbul dari iman dan keyakinan
hidup sebagai Muslim, yang masyarakatnya dibentuk oleh jama’ahnya
sendiri. Yaitu jama’ah yang hidup gotong royong, hidup pesan-memesan
tentang kesabaran menderita dan pesan-memesan supaya selalu hidup
dalam berkasih-sayang, bantu-membantu, tolong-menolong. Itulah yang
dinamai hidup dalam masyarakat Marhamah (idem, juzuk XXX, hal 148)
(Simak juga Drs Mohammad Soebari MA : “Makalah : Kesenjangan Dengan
Sembilan Basis Konsepsi Islam”, Biro Dakwah Dakta, Bekasi, 1998, hal
6-7, “A Proses Of Change”).(Kapitalisme menganjurkan agar setiap
investasi yang ditanamkan menghasilkan profit [keuntugan]. Kaum
pseudo-intelektual dan kaum borjuis tidak mungkin bersikap tulus
bermurah hati kepada orang wam, bodoh kurang pendidikan, miskin,
terkucil dan tertindas, sebab mereka merasa bahwa bila mereka membantu
yang melarat itu berarti mendatangkan kerugian bagi mereka. KIBLAT,
22/XXXI).
Di zaman sekarang kita terpaksa menerima susunan ekonomi yang
bersandarkan Bank. Sebb orang Yahudi menternakkan uang dengan Bank
untuk meminjami orang luar dari Yahudi. Orang Kristen pun menegakkan
Bank. Bukanlah berarti ahwa kita telah menyerahkan kepada ssusunan
itu. kita masih menuju lagi kepada tujuan yang lebih jauh, yaitu
kemerdekan ekonomi kita secara Islam, dengan dasar hidup beriman
kepada Allah. Perjuangan kita belum selsai sehingga begini saja. Kita
wajib meyakini konsepsi ekonomi Islam, dan tetap bercita-cita
mempraktekkannya d dinua ini (idem juzuk III, hal 77-78).
Di negeri-negeri yang berjalan peraturan Islam, dan seratus persen
berdasar Islam, tentu sejalan al-Imam (Kepala Negara), yang berkuasa
tertinggi, memungut dan menuruh bagikan zakat. Adapun di Negara-negara
Islam yang dasar hukumnya belum seratus persen Islam, tentulah
mengeluaran zakat menjadi kewajiban bagi tiap-tiap anggota ummat,
sebagaimana wajibnya menerjakan sembahyang, puasa dan haji. Apabila
kesdaran beragama telah mendalam, niscaya dengan tenaga sendiri
Masyarakat Islam itu, akan mengatur pemungutan dan pembagian akatnya
(idem, juzuk X, hal 274).
Kalau pandangan hidup Islam masih terpengaruh dalam jiwa Muslim
seluruh dnia Islam ini, tidaklah terlantgar seorang penembara Muslim
yang berjalan sejak dari Mindanao (Philipina) melalui Indonesia,
Malaysia, Hidustan, Pakistan, Afghanistan, Iran, Arabia sampai ke
Marokko, sebab harta mereka untuk perjlaanan ada alam kas tiaptiap
negeri itu (idem, juzuk X, hal 7).
Dalam berpedoman kepada ayat QS 4:36, maka tidaklah akan terlantar –
insya Allah- seorang musafir (ibnu sabl) menuntut ilmu, menamah
pengaaaaaman, memperbanyak shabat, jika mereka memulai perjalanannya
misalnya dari Irian Barat, melalui pulau-pulau Floris, Sumbawa,
Lombok, Bali, Madura, Jawa, Sumatera sampai Malaysia, sampai ke Siam,
dan terus berlarat-larat melalui India, Pakistan, Basrah, Makkah dan
Madiah, sampai ke Mesir, Tunisia, Maroko dan Aljazair. Dengan hanya
memakai satu bekal, yaitu “Assalamu’alaikum”, belanja dalam
perjalanan, makanan dan minuman, pakaan ala kadarnya, nisaya akan
diterimanya pada tiap-tiap negeri yang disinggahinya, asala
ditunjukkannya bahwa dia orang Islam. Di dalam tiap saku baju yang
Mukmin ada sedia seua perbekalan untuk melanjutkan perjalanannya
(idem, juzuk V, hal 66).
Dan bertali denan ini juga, tidak ada salahnya jika selama di Mina
itu ahli-ahli cerdik-pandai dunia Islam bermusyawarah, memperkatakan
soal-soal nasib negeri masing-masing, soal ekonomi, politik dan
kemasyaakatan dan soal dakwah Islam. Semuanya ini termasuh di dalam
fadhilah, anugrah Tuhan, atau rezki yang dikaruniakan Tuhan. Maka amat
luaslah maksud yang terkadnung did lam paangkal ayat ini (Idem, juzuk
II, hal 156) (Hanya saja masih tetap tinggal sebagai harapan [Das
Sollen], belum sampai mengarah kepada kenyataan [Das Sein]).
Tatkala pada suatu ketika nanti, kita semua akan menyesal dan
menderita batin melihat Negara kita yang begitu luas dam kaya raya,
diadikan oleh orang asing tempat pertarungan dan perebutan pengaruh
dan kekuasaan ? Pernahkah kita fikirkan secara mendalam, apakah tidak
ada kemungkinan saran-saran dan dorongan-dorongan orang dari luar
negeri (terutama Eropa) terhadap Indonesia, supaya melakukan Keluarga
Brenana itu mempunyai latar belakang politik ? Kaena mereka sendiri
telah mengeetahui sejak puluhan tahun yang bisanya mampu melaksaakan
pembatasan kelelhiran itu adalah golongan menengah an atas, sedangkan
golongan rakyat banyka tidak mampu (idem, juzuk VIII, hal 121 dari
tulisan Dr Zakiah Daradjat) (Yang jelas kini tikus-tikus korupsi dari
banga sendiri yang menggerogoti kekayaan negara ini secara
konstitusional bekerjasama dengan pihak asing).
Sekali-kali janganlah diakui ada satu peraturan lain yang lebih baik
dari peraturan Islam. Belumlah “musuh Islam keseluruhannya”, kalau
masih belum menurut peraturan alQuran. Cukup sudah hanya mengakui
Islam satu-satunya aturan hokum (idem, juzuk II, hal 173).
Seorang Muslim tidak menerima peraturan lain selain peraturan Allah
atau sesuatu peraturan yang sumberny diambil dari hokum Allh. Seorang
Muslim bercita-cita gar peraturan dan unang-undang harus diambil dari
peraturan dan unang-undang Allah (Idem, juzuk VIII, hal 17).
Seorang Muslim yang ingin mengikuti Sunnah Nabi, bercita-cita hendak
menegakkan peraturan Allah di dalam ala mini meskipun dibnci oleh
golongan yang tidak mengenal peraturan Allah (Idem, juzuk Viii, hal
17) (Simak juga Abul A’la AlMaududi : “Metoda Revolusi Islam”Manhajul
Inqilabl sam, Ar-Risaah, Yogyakarta, 1983). [
(written by sicumpaz@gmail.co at BKS 1110071130)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar