Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Jumat, 18 November 2011
Kebebasan di alam mimpi
Kebebasan di alam mimpi
Kebebasan mutlak hanya ada pada Yang Mutlak saja. Sedangkan pada yang
bukan mutlak hanya ada kebebasan relatif (Khurshid Ahmad : “Islam
Lawan Fanatisme Dan Intoleransi”,, 1968:5-7, Bab II : ‘Hantu
Intoleransi’). Demikian pula kebenaran mutlak (yang qath’I) hanya ada
pada Yang Mutlak (Alhaq) saja. Sedangkan kebenaran relatif ( zhanni)
ada pada yang bukan mutlak. Kebenaran relatif (yang zhanni) tetap saja
kebenaran relatif, tak dapat meningkat menjadi kebenaran mutlak (yang
qath’I), bagaimanapun hujjah, dalil yang diterapkan. Ijtihad tak dapat
dibatalkan dengan ijtihad, kata orang di kalangan Usul Fiqih.
Kebenaran relatif (yang zhanni) adalah buah, hasil renungan
(filsafat, logika), kajian, fikiran, pendapat, yang dalam terminologi
khazanah tsaqafah Islam dapat diidentifikasikan sebagai “hawa”.
Terhadap yang mempertuhankan hawanya, Qur”an mengingatkan : “Adakah
engkau lihat orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi Tuhannya dan
Allah menyesatkannya, karena mengetahui (kejahatan hatinya), dan
mencap (menutup) pendengaran dan mata hatinya dan mengadakan tutupan
diatas pemandangannya. Maka siapakah yang akan menunjukinya sesudah
Allah? Tidakkah kamu menerima peringatan ?” (QS 45:23). “Adakah engkau
lihat orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi Tuhan ? Adakah engkau
menjadi wakil (penjaga) untuknya ? Bahkan adakah engaku kira, bahwa
kebanyakan mereka mendengar atau memikirkan ? Mereka tidak lain, hanya
seperti binatang, bahkan mereka lebih sesat jalannya” (QS 25:43-44).
“Adapun orang-orang yang miring hatinya (suka kepada yang batil), maka
diikutnya apa-apa yang mutasyabihat, karena menghendaki fitnah dan
mencari-cari takwilnya (maksudnya, interpretasinya), dan tak ada yang
mengetahui takwilnya (maksudnya, interpretasinya) melainkan Allah” (QS
3:7). “Maka tiadalah sesudah kebenaran (alhaq) melainkan kesesatan
(addhalal). Bagaimana kamu berpaling?” (QS 10:32).
Yu waswis
“Berlindunglah kepada Aallah dari waswis khannas jin dan khannas
manusia” (Tuntunan QS an-Naas 114:116).
“Agama Allah tidak perlu dibela. Kalau Allah mau, siapa pun yang
mengancam agama-Nya bisa dibasmi-Nya tanpa bantuan manusia” (Idha
Farida SA, dalam SABILI, No.2, Th.VIII, 12 Juli 2000, hal 6).
“Pada pertengahan 1982, Gus Dur menyeru untuk tidak usah membela
Tuhan. Tuhan Tidak Perlu Dibela” (M Musthafa, dalam KOMPAS Minggu
1999, ‘Untuk Siapa Agama Sebenarnya?’.
“Orang-orang musyrik (paganis) akan mengatakan bahwa, jika Aallah
menghendaki tentulah Allah akan memberi makan orang-orang papa”
(Peringatan QS Yaasin 35:47).
“Setan datang menemui seseorang hingga sampai menanyakan siapa yang
menjadikan Allah” (Peringatan HR Bukhari dari Abi Hurairah, dalam Bab
‘Sifat Iblis wa Junudihi’).
Iblis mempertanyakan kenapa allah menjadikannya dan apa hikmahnya,
padahal sebelum kejadiannya Allah telah mengetahui apa saja yang bakl
keluar dari perbuatannya. Mengapa Allah membebaninya untuk mengenal
dan ment’ati-Nya, padahal Allah menciptakannya menurut iradah dan
keinginan-Nya” (Petikan komentar penulis Injil yang dikutip Imam
Syahrastani dalam “Kitab al-Milal wan-Nihal, hal 14-16, yang
dinukilkan kembali oleh H Ali Fahmi Arsyad, dalam SUARA MASJID, Nomor
162, Maret 1988, hal 50).
Logika Iblis
Seperti yang tercantum didalam komentar kitab-kitab Injil : Lukas,
Markus, Yohannes dan Matius (yang memuat komentar), begitu pula dalam
kitab Perjanjian Lama, sebagaimana yang dikutip dari “Kitab al-Mihal
wan-Nihal” karangan Imam Syahrastani (hal 14-16), telah terjadi dialog
sebagai berikut :
Iblis berkata kepada paraMalaikat : “Sesungguhnya aku percaya bahwa
Pencipta Yang Maha Tinggi, adalah Tuhanku dan Tuhan sekalian makhluk.
Dia-lah Yang Maha Tahu, Maha Kuasa dan Dia tak perlu ditanya tentang
kekuasaann-Nya dan kehendak-Nya, yang apa pun kehendak-Nya. Dia cukup
mengatakan “adalah”, maka jadilah “ada”, dan Dia-lah Yang Maha
Bijaksana. Namun, Dia telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan di dalam
jalur kebijaksanaan-Nya itu”. Malaikat bertanya : “Apakah
pertanyaan-pertanyaan itu, dan berapa banyaknya ?”. Iblis yang telah
dikutuk Allah itu menjawab :
Pertama : “Bahwa Dia telah mengetahui segala sesuatu sebelum
kejadianku, mengetahui apa saja yang bakal keluar dari perbuatanku,
kenapakah aku yang dijadikannya pertama dan apa hikmahnya Dia
menciptakan-ku ?”.
Kedua : “Manakala Dia menciptakan-ku menurut iradah dan
keinginan-Nya, maka mengapa Dia membebankan atas diriku untuk mengenal
dan menta’ati-Nya ? Apa hikmahnya dalam pembebanan ini, sementara Dia
tidak mendapatkan keuntungan oleh “keta’atan” dan tidak mendapat
kerugian dengan “kedurhakaan” ?”.
Ketiga : “Manakala Dia telah menciptakanku, membebaniku, lalu aku
penuhi “pembebanan”-Nya itu dengan mengenal serta menta’ati-Nya, maka
kenapa Dia membebaniku pula untuk menta’ati Adam dan sujud kepadanya ?
Apa hikmahnya dalam pembebanan ini, khususnya sesudah hal itu tidak
akan menambah pengenalanku dan keta’atanku kepada-Nya ?”.
Keempat : “Manakala Dia telah menciptakan dan secara mutlak
membebaniku; dan secara khusus membebaniku untuk ini (sujud kepada
Adam) maka ketika aku tidak sujud kepada Adam, kenapa Dia mengutuki-ku
dan mengusirku dari sorga ? Apa hikmahnya yang demikian itu, sesudah
sebelumnya aku tidakpernah berbuat sesuatu yang buruk, kecuali
ujcapanku “aku tidak sujud (kepada sesuatu) kecuali kepada-Mu ?”.
Kelima : “Manakala Dia telah menciptakanku, lalu membebaniku secara
mutlak dan secara khusus, lalu aku tidak ta’ati, sehingga Dia
mengutuk-ku dan mengusirku, maka kenapa Dia memberi kesempatan kalinya
dan (Adam) kutipu dengan tipu-dayaku, sehingga ia memakan (buah) dari
pohon larangan itu, lalu Dia mengeluarkannya (Adam) dari sorga bersama
aku. Apakah hikmahnya dalam hal itu, padahal kalau Dia mencegahku
memasuki sorga, tentulah Adam terhindar dari (godaanku, dan ia tetap
kekal di dalamnya (sorga) ? “.
Keenam : “Manakala Dia telah menciptakanku, lalu membebaniku secara
umum dan khusus, kemudian melaknatku, lalu membiarkanku masuk ke
sorga, sedang antara aku dan Adam dalam permusuhan, kenapaakahg aku
dikuasakan atas keturunannya (Adam) sehingga aku dapat melihat mereka,
sementara mereka tak dapat melihatku, dan mengutamakan tipu-dayaku
atas mereka, sedangkan usaha dan kekuatan mereka tidak didahulukan
padaku, apakah hikmahnya dalam hal demikian itu, padahal kalau mereka
diciptakan menurut fitrah, tanpa (adanya) yang menyimpangkan mereka
dari (fitrah) itu, tentulah mereka akan hidup dalam kesucian, patuh
dan ta’at, dan yang demikian itu pantas buat mereka.
\
Ketujuh : “Aku mempercayai semua ini, Dia-lah yang telah
menciptakanku, membebaniku secara mutlak dan yang mengikat, dan
manakaala aku tidak mematuhi-Nya, Dia melaknatku dan mengusirku, dan
ketika aku ingin masuk sorga, Dia perkenankan dan memberi kesempatan,
kemudian manakala aku perbuat usazhaku, Dia mengusirku, kemudian
menguasakan kepadaku atas bani Adam, maka kenapa ketika aku meminta
tangguh Dia memperkenankannya, ketika aku berkata : “tangguhkanlah aku
hingga hari berbangkit”. Dia berfirman : “Sesungguhnya engkau diberi
tangguh sampai kepada waktu yang telah ditentukan”. Apakah hikmahnya
dalam hal demikian, padahal kalau Dia memusnahkanku langsung, entulah
Adam dan semua makhluk merasa aman dariku dan tentulah tiada kejahatan
di dunia ? Bkankah tetapnya dunia dalam peraturan yang baik jauh lebih
bagus daripada bercampur-aduknya dengan kejahatan ?”.
Pensyarah (komentator) Injil berkata : “aka Allah mewahyukan kepada
Malaikat : “Katakanlah kepadanya : “Sesungguhnya engkau ada didalam
penyerahanmu yang pertama : “bahwa Aku adalah Tuhanmu dan Tuhan semua
makhluk”, “tidak benar dan tidak ikhlas”. “Andainya engkau benar-benar
jujur dalam ucapanmu : “bahwa Aku Tuhan sekalian alam, tentulah engkau
tidak menghukum Aku dengan kata : “kenapa? Sedangkan Aku adalah Allas,
yang tiada Tuhan selain Aku”, “Aku tidak mesti ditanya, atas apa yang
Kupebuat, tetapi makhluklah yang mesti ditanya” (H Ali Fahmi Arsyad :
“Ghazwulfikri Sudah Ada Sejak Nabi Adam as”, dalam SUARA MASJID, Nomor
162, Maret 1988, hal 50-52).
Logika Modern
Logika Iblis diserap, diadopsi, diadaptasi, dimodifikasi,
dikembangkan bani Adam secara canggih, sehingga melahirkan logika
modern, bahkan menjadi super, ultra modern sebagaimana Madilog
(Materialisme, Dialektika, Logika)-nya Tan Malaka. Banyak atau
sedikit, logika modern mengandung anasir logika iblis. Logika modern
tumbuh subur berkembang dalam era ghazwul fikri, era psy-war, era
information-war, era perang urat saraf.
Pada era ghazwul fikri inilah muncul pentolan-pentolan logika modern,
seperti Sayyid Ahmad Khan, Mirza Ghulam Ahmad, Ameer Ali, Maulana Abul
Kalam Azad, Ghulam Ahmad Parves di anak benua India, Ziya Gokalp,
Mustafa Kemal Atturk di Turki, Qasim Amin, Thaha Husain, Syeikh Ali
Abdul Raziq1, Khalid Muhammad Khalid, di Mesir (Maryam Jameelah :
“Islam dan Modernisme”, 1982). Pentolan logika modern pada masa kini
yang jadi rujukan di antaranya adalah tokoh-tokoh semacam Ir Mahmud
Muhammad Thaha, Dr Hasan Hanafi, Dr Muhammad Imarah, Dr Rifa’ah
atThahthawi yang cenderung sinkretis (talbisul-haq bil-bathils) (WAMY
:”Gerakan Keagamaan dan Pemikiran”, 1995).
Penghalang tegaknya Syari’at Islam
Sudah berbagai rupa teori yang diketengahkan para pakar yang
menjelaskan cara, upaya, metoda untuk menegakkan Syari’at Islam di
muka bumi ini. Namun teori tinggal tetap teori, impian, tak pernah
terwujud dalam realitas, dalam kenyataan di tempat mana pun di muka
bumi ini, tidak di Arab, tidak ddi Mesir, tidak di Sudan, tidak di
Pakistan, tidak di Indonesia, tidak di mana-mana.
Ada Abul A’la al-Maududi dengan “Metoda Revolusi” (1983),
“Kemerosotan Ummat Islam dan paya Pembangkitannya” (1984). Ada
Muhammad bin Syaqrah dengan “Cara Praktis Memajukan Islam” (1991). Ada
Yusuf Qardhawi dengan “Alhallul Islamy” (Pedoman Ideologi Islam)
(1988). Ada Sayid Quthub dengan “Petunjuk Jalan”. Dan lain-lain.
Tidak bisa tegaknya Syari’at Islam itu disebabkan oleh kondisi
internal umat Islam yang menurut kajaian Abdul Qadir Audah “Islam di
antara kebodohan Ummat dan kelemahan Ulama” (1985). Generasi kini
adalah generasxi buih. Tak punya bobot, tak punya kekuatan, tak punya
potensi. Kekuatan, potensi umat Islam terdapat pada adanya ruh taauhid
dan ruh jihad. Generasi kini adalah generasi cuek. Tak ada satu pun
media massa Islam yang secara sungguh-sungguh, terarah, sistimatis
membangkitkan ruh taauhid para pembaca (paling-paling sekedar
“bimbingan tauhid” yang kering dari ruh tauhid). Juga tak ada satu pun
mimbar Islam pada tayangan televisi yang secara sungguh-sungguh,
terarah, sistimatis mmembangkitkan ruh tauhid para pemirsa. Lebih
banyak sekedar ajang pamer ilmu sang nara sumber. Demikian pula tak
ada satu pun penerbit Islam yang secara sungguh-sungguh, terarah,
sistimatis menerbitkan buku-buku yang diharapkan dapat membangkitkan
ruh tauhid para pembaca. Umumnya semuanya bertolak dari motif (niat)
bisnis, mengusung “Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang), bukan
berangkat dari “Sampaikanlah dariku, walaupun satu ayat”.
Kondisi riil generasi buih, generasi cuek masa kini, antara lain
dapat disimak dari analisa Abul Hasan Ali alHusni anNadwi “Pertarungan
antara Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat” (1983). Di
samping kondisi internal umat Islam, maka tidak bisa tegaknya Syari’at
Islam, juga disebabkan oleh faktor eksternal, oleh yang berasal dari
luar, bahkan berasal dari musuh Islam. Faktor eksternal lebih dominan
melalui pendidikan. Umat didik secara Barat dengan sistim Barat. Ada
yang secara langsung, dan ada yang tidak secara langsung. Yang secara
langsung, dididik, diajar di sekolah-sekolah Barat, di negara-negara
Barat untuk menerima, menimba teori-teori “ilmiah” dari “ilmuwan”
semacam Goldzieher, Margolioth, Schacht, dan lain-lain (Dr Musthafa
AsSiba’I : “AlHadits sebagai sumber Hukum serta Latar Belakang
Historisnya”, 1982:25-28). Secara tak langsung bisa melalui
studi/kajaian tokoh-tokoh sinkretis semacam Ir Mahmud Muhammad Thaha,
Dr Hasan Hanafi, Dr Muhammad Imarah, Dr Rifa’ah at-Thahthawi, dan
lain-lain. Juga bisa melalui studi/kajian tokoh orientalis.
Orang-orang Islam yang terdidik secara Barat, dengan sistim Barat,
baik langsung dengan orang Barat, maupun tak langsung melalui
studi/kajian orang-orang Barat dan pengikut-pengikut Barat inilah yang
akan tumbuh, mengembangkan, menyebarkan apa yang namanya Islam
Rasional (orang Barat ada yang menyebutnya Freidenker in Islam), Islam
Liberal (Islam Sekular ?, dulu tahun lima puluhan ada yang namanya PKI
Lokal Islamy, dan Jami’atul Muslimun (Jamus)-nya PNI. Islam Rasional
sangat menjungjung rasio, akal, lebih dari naqal, lebih dari wahyu.
Kebenaran itu dapat diperoleh dengan rasio, dengan akal, tgak perlu
naqal, tak perlu agama. Rasionalis ini pada masa lampau dengan julukan
Mu’tazilah (M.Natsir : “Rationalisme dalam Islam dan Reactie atasnja”,
dalam ALMANAR).
Islam Liberal menghendaki kebebasan sebebasnya tanpa batas. Untuk
membebaskan diri dari ikatan Islam diupayakan dengan menggunakan
pandangan Islam sendiri. Dikemukakanlah bahwa Islam itu sangat
menjunjung kebebasan, tanpa menjelaskan kebebasan yang dikehendaki
Islam. Secara tak langsung bisa juga melalui studi/kajian karya
semacam “Madilog”-nya Tan Malaka, kaum “Dahriyin” masa kini. Kaum
“Dahriyin” masa lalu, percaya kepada keabadian daripada benda dan
menolak mengakui adanya seorang yang Maha Pencipta (Amer Ali : “Api
Islam”, hal 260).
Orang-orang yang menganut paham Islam Rasional, Islam Liberal
tampaknya kelihatan sangat Islami, tetapi menolak formalisme syari’at
Islam, bahkan bisa anti Islam secara ideologis. Lahirnya di permukaan
tampak Islam, tetapi Islamnya hanya sampai ditenggorokannya. Terdapat
hadits-hadits dari Abu Sa’id alKhudri tentang orang-orang Khawarij
(yang keluar dari agama) yang menyiratkan, mengesahkan
suruhan/perintah untuk membunuh orang-orang yang mengaku Islam, tetapi
punya pandangan anti Islam, menolak formalisasi syari’at Islam
(Mohammad Fauzil Adhim : “Kupinang Engkau dengan Hamdalah”, 2001:113).
(“Membunuh” bisa saja bermakna majazi, mengebiri, menguburi Islam).
Alergi, jijik, sinis terhadap Syari’at Islam. Dalam wawancara TVR,
Jum’at, 12 Aapril 2002, jam 1800-1830, tentang amandemen UUD-45,
Rektor IAIN, Prof Dr Azyumardi Azra tak menyukai upaya pene3gakkan
Syari’at Islam (melalui Piagam Jakarta).
Ketika menyimak “Jejak Liberal di IAIN” dalam SABILI, No.25, th.IX,
13 Juni 2002, terbayang seorang keponakan lulusan IAIN Syarif
Hidayatullah Ciputat tahun 2001 yang dalam rak perpustakaan pribadinya
bertengger MADILOG karya Tan Malaka. Sejak dari awal sampai akhir
bukunya, Tan Malaka menuntun, membimbing, mengarahkan pembacanya
secara sistimatis.
Syari’at Islam hanya bisa tegak kalau sudah ada komunitas yang
memiliki ruh tauhid. Komunitas yang memiliki ruh tauhid ini bisa
disebut dengan masyarakat IMTAQ, masyarakat MARHAMAH, masyarakat
ISLAMI. Masyarakat Islami adalah masyarakat yang intinya (kernnya)
terdiri dari orang-orang Islam yang tangguh, yang hidup matinya
lillahi rabbil ‘alamin, dan plasmanya segenap orang taanpa membedakan
asal, suku, agamanya yang bersedia melakukan yang baik dan tidak
melakukan yang jahat serta siap sedia secara bersama-sama menindak
yang melakukan tindak kejahatan, dan menyelesaikan sengketa menurut
hukum Allah. Masyarakat yang mau diatur oleh hukum Tuhan Yang Maha Esa
(Sayid Qutub : “Dibawah Panji-Panji Islam”, 1983:19, Fuad Abdul Baqi :
“alLukluk wal-Marjan”, hadits no.1104).
Di antara paham, pemikiran yang menghalangi, merintangi, menghambat,
menjegal Syari’at Islam, adalah paham, pemikiran Islam Rasionalis,
Islam Liberalis (Islam Sekularis, Islam Sinkretis). Pahamnya bertolak
dari pemisahan agama dan politik, pemisahan hak privat dan hak
politik. (Proses munculnya ide pemisahan agama dan politik di kalangan
Islam, yang dicaplok dari kalangan Kristen, diuraikan Sayyid Quthub
dalam bukunya “Keadilan Sosial Dalam Islam”, 1994:1-23, ‘Agama dan
Masyarakat dalam pandangan Kristen dan Islam’). Menghendaki kebebasan
mutlak yang sebebas-bebasnya tanpa batas. Padahal di negara adikuasa
yang katanya sangat menghormati kebebasan, kemerdekaan, namun paham
komunis dijegal (Khurshid Ahmad : “Islam Lawan Fanatisme Dan
Intoleransi”, 1968:5-7, ‘Hantu Intoleransi’). Mengeb iri, memasung,
memandulkan, melumpuhkan Islam. Meredusir, meredduksi, membatasi
hakikat dakwah, hakikat jihad. Menolak Islam didakwahkan sebagai acuan
aalternatif. Menantang hak individu diintervensi, diatur oleh Islam.
Mengusung ide pemisahan wilayah publik dan wilayah privat, bahwa agama
adalah soal individu (bersifat pribadi), sedangkan soal publik adalah
hak negara (SABILI, No.25, Th.IX, 13 Juni 2002, hal 81, “Melacak Jejak
Liberal di IAIN”. Menolak Islam diteraapakan secara formal. Menolak
formalisasi/legalisasi ketentuan Syari’at Islam ke dalam peraturan
perundang-undangan sebagai hukum positif. Ketua Forum mahasiswa
Ciputat (Formaci), Iqbal Hasanuddin menjelaskan, bahwa ia bersama
Formaci-nya tegas-tegas menolak penerapan Syari’at Islam. Juga
teman-temannya di HMI, PMII, Forkot tak setuju dengan itu. Hak
kebebasan individu tak boleh dintervensi, diatur oleh aturan publik.
(Idem, hal 82). Melakukan labelisasi/stigmatisasi umat Islam dengan
julukan seperti sekretarian, primordial, ekstrim, fundamentalisme, dan
lain-lain yang sejenis dan yang menyakitkan. (Apalagi kini dengan
gencar predikat teroris disandangkan pada Taliban, alQaeda, Jama’ah
Islamiyah, Majelis Mujahidin, dan lain-lain). Menggembar-gemborkan
bahwa Syazri’at Islam itu hanya cocoknya buat bangsa yang belum
berbudaya, belum beradab, masih biadab, barbar, primitif, seram,
kejam, sadis, bengis, beringas, jorok, dekil, kumal. (Dikemas dalam
bahasa “ilmiah”).
Melakukan kegiatan/manuver politik Deislamisasi yang cenderung
sinkretis (talbisul haq bil bathil), pluralisme. Berupaya memisahkan
antara hakikat (yang substansial/substansif) dan syari’at (law
enforcement, legal action). Hanya mengambil hakikat (esensi, semangat,
nilai) dan melepaskan syari’at (syi’ar, simbol, ritual, legal-formal).
Memuji-muji keagungan nilai-nilai Islam sebagai nilai yang
humanis-universal, dan mencela, mencerca hukum-hukum Islam dengan seb
utan sadis, kejam, biadab, primitif, tidak manusia. Mengaraahkan
perkembangan Islam hanya b eraliran, berdimensi, bernuansa
substantif/substansial (hakikat semata) tanpa terkait pada syari’at
(legaal-formal). AlQur:an dipahami hanya sebatas kontekstual sesuai
dengan kehidupan sosio-kultural yang terus berkembang terlepas dari
tekstual (nash). Bahkan menurut paham ini, segala sesuatu yang datan g
dari alQur+an dan Sunnah harus ditimbang dulu sebelum diterima. Kalau
cocok menurut rasio barulah diterima. “Sami’na wa fakkarna baru wa
atha’na”. Alqur:an dan Hadits itu terbuka untuk diinterpretasikan,
katanya (SABILI, No.25, hal 82). Mereka berlindung di balik kebebasan
yang diberikan Islam untuk memilih apakah akan tetap kafir, menolak
Qur:an, ataukah akan masuk ke dalam Islam secara utuh, menerima Qur:an
tanpa wa fakkarna, tapi wa atha’na.
Faktor ekstern lain yang menjegal tegaknya Syari’at Islam adalah
perangkat-perangkat yang melekat pada sistim non-Islam (sistim
jahiliyah) semacam sumpah jabatan, lencana/simbol negara, tata tertib
protokoler, dan lain-lain.
Kondisi sosial, kondisi mental yang memungkinkan kebebasan
tertanamnya ruh tauhid, itu pulalah yang memungkinkan tegaknaya
syari’at Islam. Karena itu diperlukan upaya pembangkitan ruh tauhid
ini.
Sayid Quthub menghimbau agar umat ini mengambil alQur:an secara
hakiki, mewujudkan kandungan-kandungannya, dan berjuang melawan
kejahilan. Agar bisa memahami Qur:an secara baik, dan bisa
mengimplementasikannya secara baik pula, pendeknya mampu berinteraksi
aktif secara efektif dengan Qur:an. Memperkokoh hubungan dengan
Tuhanya, berpegang teguh dengan tali-Nya serta bertawakal kepadaNya.
Agar merasa bangga dengan keimanannya, merasa mulia dengan akidahnya,
percaya dan yakin terhadap janji Tuhannya, serta agar bersabar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar