Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Jumat, 18 November 2011
Generasi cuek
Generasi cuek
Imamnya, makmumnya cuek. Pemimpinnya, rakyatnya cuek. Semuanya pada
cuek. Cuek terhadap masalah halal haram. Sang Pemimpin sangat mahir
mencari-cari dalil, hujah untuk membenarkan, mensahkan pendapatnya.
Benar-benar amat pintar. Pintar memelintir. Memelintir yang sudah
qath’i menjadi dzanni. Memelintir yang sudah baku menjadi yang
diperselisihkan, diperdebatkan. Amat lihai mempermainkan dalil-dalil
agama.
Untuk melegalisasi, melegitimasi pendapat sendiri yang menyalahi
pendapat umum (ijma’) digunakan kaidah usul fikih, bahwa “siapa yang
ijtihad, menafsirkan hukum benar, akan mendapat dua pahala, tetapi
yang ijtihadnya salah mendapat satu pahala”. Kaidah usul fikih
“menghindari kesulitan lebih utama, dari pada mendatangkan kebaikan”
(darul mafasid muqaddam ‘ala jalabil mashaalih) digunakan untuk
mengamankan, menyelematkan kehilangan, kerugian penanaman modal asing,
penutupan perusahaan asing. Terganggungnya investasi asing yang
jumlahnya milyaran, dipandang lebih mafasid dari pada timbulnya
kebingungan dan keresahan di masyarakat akibat ulah intervensinya
dalam bidang yang bukan wewenangnya, mengeluarkan statement blunder
(kacau, ngawur).
“Yang paling berwewenang dalam menentukan halal haramnya sebuah produk
makanan dan minuman adalah kaum ulama dan ahli syar’iyah”. “Dalam
kapasitas selaku kepala anegara tidak berwewenang mengeluarkan
pernyataan fatwa tentang halal dan haram suatu produk makanan”.
Ada yang pintar bermain diplomasi menepis timbulnya kebingungan dan
keresahan di kalangan masyarakat akibatnya beragamnya pendapat tentang
halal haramnya suatu produk makanan dan minuman. “Khilafiyah biasa
terjadi dalam beragama”. “Perbedaan penafsiran tidak akan membuat
bingung masyarakat. Masyarakat sudah bisa menilai sendiri terhadap
mana yang benar”.
Rakyatnya cuek. Masa bodoh. Tak peduli tentang halal haram. “Dari
pemantauan (pers) di kalangan pedagang diperoleh kesimpulan, bahwa
mereka tidak sempat memikirkan halal atau haram sebuah barang, pembeli
pun begitu. Baginya yang penting bisa makan”. “umumnya pelanggan tidak
ada yang menanyakan haram atau tidaknya apa yang dijual”. “Dari
pengamatan (pers), masyarakat (Penjual dan pembeli) nyaris tak
mempersoalkan haram atau halal apa yang dijual di warung-warung”.
“Hanya sebagian (sedikit) saja yang peduli terhadap masalah halal
haram” (PADANG EKSPRES, Kamis, 11 Januari 2001, hal 1, 6).
Tugas kewajiban para ulama, da’i, penceramah lah untuk menyeru,
menghimbau, menyeru, menuntun, membimbing generasi cuek ini menjadi
generasi peduli (terhadap halal dan haram) melalui semua wahyana dan
sarana dakwah, baik melalui taklim, khutbah, buletin dakwah, media
cetak, mapun media elektronik seperti radio dan televisi.
Ulama, da’i, penceramah yang akan ikhlas mengemban tugas risalah ini
hanyalah yang mampu menyatakan “Dan aku sekali-kali tidak minta upah
kepadamu atas ajakan-ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan
semesta alam (QS 26:109, 127, 145, 164, 180). Yang sanggup menegaskan
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk
mengharapkan keridhaan allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu
dan tidak pula ucapan terima kasih” (QS 76:9).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar