Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Jumat, 18 November 2011
*Da'i Televisi Harus Berani Suarakan Sistem Islam*
Dunia benar-benar sudah berubah. Perhatikanlah acara televisi yang
menayangkan ceramah/pengajian Islam sesudah waktu subuh/pagi. Model
ceramah dan model da'i yang disukai adalah model da'i seleberiti, yang
bergaya, bertingkah seleberiti, pelawak. Pokoknya dunia sekarang
benar-benar dunia seleberiti, dunia hedonisme, dunia permissifisme,
dunia sekularisme, dunia materialisme, dunia kapitalisme.
Wajah Islam masa kini
(Biang kehancuran)
Wajah Islam berubah-ubah mengikuti jaman. Adakalanya yang
tinggal, yang tersisa dari Islam itu hanyalah namanya, sebutannya,
predkatnya, katepenya. Yang tinggal, yang tersisa dari Qur:an hanyalah
tulisannya, kertasnya, mushhafnya. Bahkan kini ada Qur:an mini, Qur:an
maxi yang dipajang untuk tontonan, bukan untuk tuntunan. Juga ada
lomba tilawatuil Qur:an, loba qira:atil Qur:an.
Di mana-mana masjid sering tnggal kosong melompong, tanpa
berfungsi. Sekali-sekali diramaikan dengan kasidahan, nyanyian yang
dikategorian religius-islamis, marawis, marhabanan, barzanjian.
Dentitas keislaman diletakkan pada tongkrongan, penampilan. “Kami
bersurban, maka kami beriman”. Agar tampak, terlihat Islam maka
penamplan dirubah dengan memakai baju-baju “yang islami” seperti baju
koko dan sarung, peci. Atribut-atribut artificial diperlukan untuk
memperoleh pengakuan sebagai orang berian, orang Islam. Citra lebih
penting dari kenyataan sebenarnya. Pelacur bisa tampil dengan memakai
“baju sopan” berkerudung.
Baju koko, sarung danpeci bisa mengokohkan penampilan
menjadi terlihat lebih beriman, lebih islami. Ramadan dan Lebaran
telah menjadi komoditas. Yang sustansial berganti dengan yang
artificial. Keimanan, kemusliman artificial merupakan wajah Islam masa
kini (dicmot dari KOMPAS, Sabtu, 4 September 2010, hal 2, “Kami
Bersurban, maka Kami Beriman”, oleh Agus Noor),
Ramadhan cenderung selebritis. Agama menjadi sarana untuk
menampilkan kemuliaan diri melalui tayangan televise dan media
lainnya. Ibadah menjadi budak nafsu untuk memuaskan kepentngan
pribadi, kelompo, industri. Puasa menjadi budak kultur konsumtif yang
cenderung hedonistis (Simak antara lain KOMPAS, Sabtu, 21 Agustus
2010, kolom 12 “Teroka : Puasa dan Kearifan Perempuan”, oleh Abidah
elKalieqy; PARAS, No.37, Oktober 2006, hal 32-33).
Namun sementara yang lain memandang bahwa masa kini lebih baik dari
masa lalu dari sudut pandang Islam. Suasana Islam masa kini lebih
semarak, pandangan tersebut diatas justru berbanding terbalik dengan
kenyataan saat ini.Bahwa umat Islam justru tampak bergeliat bangkit.
Tahun 80-an di Indonesia berjilbab dianggap sesat, sekarang
dimana-mana kita lihat jilbab. Masjid sudah lebih ramai dimana-mana
daripada sebelumnya. Reformasi juga banyak membawa dampak kebaikan
bagi Islam, asas Islam sudah bisa jadi dasar organisasi. Kultur jilbab
dan janggut sudah memasuki istana dll”. Syukur alhamdulillah.
Bahkan dinasehatkan agar "sebaiknya berhentilah menulis
kalimat-kalimat skeptis tanpa solusi, tulisan-tulisan yang tidak
memiliki tawaran solusi, yang hanya keluhan-keluhan yang bisa juga
ditafsirkan ingin menjelek-jelekan Islam”. Jadilah seorang muslim
solutif". Semoga saja ada yang mempelopori mencarikan solusi positif.
Benar sekali "Dan Islam bukan hanya soal pemikiran dan fakta-fakta
seperti di seluruh lembar jumatnya HT, sesekali sampaikan
keutamaanTazkiyatun Nafs". Marilah bersama-sama membersihkan hati,
diri. Mengembalikan semuanya mengikuti tuntunan nash Islam. Semoga tak
terjadi "Islam justru mundur ketika meninggalkan agamanya".
Indikasi Islam hanya tinggal statusnya dan Qur:an tinggal naskahnya
dapat dilacak, ditelusuri dalam hadis-hadis tentang biang kehancuran,
antara lain dari sikap mental, prilaku umat Islam ang berpaling
dari,yang meninggalkan Islam seperti berikut :
Meninggalkan, menyia-nyiakan, meremehkan, mengabaikan, melecehkan
shalat. Mengumbar, memperturutkan syahwat, nafsu. Berbuat khianat,
curang, mengabaikan amanah.Menganggap amanat sebagai ghanimah. Curang
dalam berbisnis. Meminum-minum khamar. Saling menghujat. Menghujat
dengan praduga. Berburuk sangka. Erbuat onar. Mengotori hukum dengan
suap, sogok. Memanpulasi riba jadi jual beli. Meninggakan hidup
qana’ah. Berpasangan dengan sejenis. Meyebar zna, pelacuran,
prostitusi. Melegalisir prostitusi. Gemar berbuat kebatilan. Memandang
wajar perpecahan. Bergelimang kemewahan. Bergelimang maksiat.
Memanipulasi yang batil jadi yang sahih. Memanipulasi ang dsta jadi
yang benar. Memanipulasi yang tercela jadi yang terpuji. Memaniplasi
kesesatan jadi petunjuk, Memanipulasi yang terang jadi yang samar.
Memanipulasi pengetahunan jadi kejahilan. Menganggap kekuasaan sebagai
keuntngan. Mengaggap zakat sebagai pajak. Memposisikan isteri sebagai
kepala rumah tangga. Mendurhakai ibu bapa. Memposisikan ibu bapa
sebagai pembantu. Berisik dalam massjid. Berbusana tetapi telanjang.
Berhukum dengan hukum thagut. Dan lain-lain.
(Asrir BKS1009051700 written by sicumpaz@gmail.com)
Karnaval Ramadhan Dari Tahun Ke Tahun
Ramadhan menyimpan ragam keistimewaan. Keistimewaan
Ramadhan hanya terlihat dari : kepuasan berbuka, dan romantisme
tarawih brsama. Tahun berganti tahun, namun puasa tak meningkatkan
olah batin kita. Tingkat pengalaman keagamaan (religious experience),
apalagi tingkat kesadaran keagaman kita (religious conscious) tetap
saja seperti tahun-tahun yang lalu, bahkan mungkin menurun.
Setiapa tahun Ramadhan hadir menyediakan paket yang kental
dengan santapan rohani : puasa, tarawih bersama, lailatul qadr, kmbali
kepada kesucian (idul fitri).
Paket rohani Ramadhan selalu dikmas oleh keistimewaan
berkategori budaya. Yang muncul hanyalah “panggung teater, karnaval,
atau pertunjukan ibadah”, yang mementingkan gebyarnya, warna-warna
menyoloknya, sound effectnya, tampilan visualnya, dan sebagainya.
Agama dijadikan sebagai sarana untuk menampakkan kemuliaan diri
melalui layer televise dan media lainnya.
Yang tampil hanyalah “arena teater”. Aktornya bias
pejabat, artis, hartawan dengan acara begitu meriah, glamour. Dengan
acara buka puasa bersama, sahur off the road bersama anak jalanan,
punk, pelacur, hingga pembagian zakat kepada fakir miskin. Para
seleberitis, wadam, pelacur yang biasa tampil seksi di televisi
mendadak memakai kerudung, semacam Cut Tari yang lagi dirundung
pembuatan/penyebaran video porno. Semua berbondong-bondong memenuhi
majelis taklim.
GerakRamadhan didukung oleh berbagai industry, media
massa, dan stasiun televise. Mereka berpacu memanfa’atkan momen
Ramadhan untuk meraih keuntungan seanyak-banyaknya. Ramadhan dijadikan
komoditas berciri kapitalis. Acaranya, gayanya, orangnya, bahkan sosok
da’inya tetap saja itu ke itu tak berubah ke yang positip.Susah untuk
berhusnuz zhann, berpositive thingking terhadap para da’i yang akrab
tampil bersama para seleberitis di televisi.
Penguasa, pedagang sibuk memoles barang dagangannya dengan
label-label Islam. Masyarakat semakin komsumtif, sibuk menghamburkan
anggarannya.
Dari tahun ke tahun, puasa Ramadhan hanya sekadar gerak
rutin dan tren kegairahan beragama, tak memberikan nilai transformatis
kepada diri kita dan masyarakat.
Ibadah hanya bagaikan gerak tanpa jiwa. Salat tanpa
getaran hati. Masjid hanaya sebagai tempat saluran penyerahan dana
zakat fitrah. Haji dan umrah sebagai paket wisata. Usai Ramadhan tak
ada bekasnya. Ibadah menjadi buda nafsu untuk memuaskan kepentngan
pribadi, kelompok, industri. Puasa menjadi budak kultur konsumtif yang
cenderung hedonistis. Ramadhan cenderung selebratif. (Dipetik dari
PARAS, No.37, Oktober 2006, halamana 32-33; simak juga “Sisi lain dari
‘optimisme’ Perkembangan Islam”, oleh Abu Afzalurrahman, dalam
ALMUSLIMUN, No.198, September 1986, halaman 63-76; SUARA MASJID, 1
September 986, halaman 51-57; PANJI MASYARAKAT, No.38, 1 Januari 1978,
halaman 31, “Tafsir AlAzhar”, juzuk XXVIII, halaman 185, KOMPAS,
Sabtu, 21 Agustus 2010, hal 12, “Teroka : Puasa dan Kearifan
Perempuan”).
Pengelola televise memosisikan Ramadhan layaknya
komoditas. Unsur Islami ditempatkan sebagai kemasan belaka. Lelucon
yang ditayangkan saat sahur atau menjelang berbuka puasa sering
mengarah kepada dialog yang jorok atau cabul. Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) pernah mencatat 50 judul sinetron yang mengambil tema
mistis dan kekerasan yang ditayangkan. Teguran KPI kalah keras dengan
upaya penyiaran untuk mendapatkan profit sebagai dampak kapitalisme
yang meenganuti lembaga. Demikian menurut Sunarto, dosen Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Komunikasi UI (SUARA AISYIYAH, No.10, Oktober 2007,
halaman 35).
Berapa banyak dibacakan kepada kita ayat-ayat alQur:an
namun hati kita bagaikan batu atau bahkan lebih dahsyat lagi. Betapa
Ramadhan telah datang kepada kita silih berganti sementara kondisi
kita laksana oraaaaaang-orang yang sengsara. Tak ada pemuda di antara
kita yang meninggalkan perbuatan buruk lalu bergabung bersama mereka
yang suci dari dosa (Ibnu Rajab al Hambali : “Mutiara Ramadhan Yang
Teabaikan:, 2005:93).
(Asrir BKS0709260800)
Evaluasi efektifitas dakwah
Fakta yang tampak dipermukaan bahwa syi’ar agama terasa
meningkat. Evaluasi terhadap fakta ini perlu dilakukan.
Media elektronika. Berapa jumlah pemirsa televisi yang mengikuti
mimbar Islam, kuliah Ramadhan, kuliah Subuh (Mutiara Subuh, Hikmah
Pagi, Hikmah Fajar, Diambang Fajar) ? Berapa jumlah pemirsa Muslim
yang telah dibina, diIslamkan melalui Dakwah Televisi ? Berapa jumlah
pemirsa Non-Muslim yang telah diIslamkan melalui Dakwah Televisi ?
Seberapa jauh dampak dakwah terhadap pola dan tayangan televisi ?
Berapa jumlah infak da’i televisi bagi perkembangan dakwah dan
peningkatan hidup rakyat melarat ?
Media cetak. Berapa jumlah pembaca yang tertarik akan buku-buku
tentang Islam ? Berapa jumlah pembaca Muslim yang telah diIslamkan
melalui buku-buku Islam ? Berapa jumlah pembaca Non-Muslim yang telah
diIslamkan melalui buku-buku Islam. Seberapa jauh dampak dakwah
melalui buku-buku Islam terhadap pola pikir dan tingkah laku. Berapa
jumlah infak penerbit buku-buku Islam bagi perkembangan dakwah dan
peningkatan rakyat melarat.
Dakwah tatap muka. Berapakah jumlah peserta taklim. Berapa jumlah
peserta taklim yang telah berhasil dibina, diIslamkan. Berapakah
jumlah tambahan peserta taklim setiap tahun ? Berapa jumlah tambahan
jama’ah shalat subuh tiap tahun ? Berapa jumlah tambahan jama’ah
Jum’at tiap tahun ?
Nahi Munkar. Berapa jumlah pengurangan tingkat tindak kejahatan tiap
tahun (perkosaan, pelaccuran, pengguguran, kumpul kebo, penodongan,
pembantaian, perampokan, penyiksaan, perjudian, dll) ?
(Menyoal efektifitas dakwah dalam mengantisipasi perkembangan dakwh
Islam seperti dikemukakan dalam ALMUSLIMUN, No.198, halaman 65, 76)
(Azrir BKS0008171700 written by sicumpaz@gmail.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar