Jumat, 22 Mei 2009

Segitiga Kekuasaan Orla-Orba

Segitiga kekuasaan Orla-Orba
1 Pada masa/zaman revolusi fisik (1945-1949) ada tiga kekuatan politik (sospol) terpenting, yaitu partai-partai (parpol), Presiden (Soekarno), dan tentara (militer).
2 Keruntuhan Sistem Demokrasi Parlementer (1950-1959) karena hanya mengakomodasi partai-partai tanpa memperhitungkan tentara (militer) dan Presiden (Soekarno).
3 Sistem Demokrasi Parlementer tak menguntungkan Presiden (Soekarno) dan tentara (militer).
4 (Presiden (Soekarno) dan tentara (militer) bekerjasama menggusur sistem Demokrasi Parlementer, demi kepentingan kekuasaan mereka, bukan demi kepentingan rakyat.
5 Tumbangnya Sistem Demokrasi Parlementer adalah atas upaya konspirasi dan kolusi tentara (militer) dan kegiatan politik Presiden (Soekarno).
6 Di mata Nasution (militer), UUD-1945 (konstitusi zaman revolusi) akan membuka peluang bagi tentara (militer) untuk mendapatkan legalitas berpolitik sebagai golongan.
7 Bagi Presiden (Soenarno), UUD-1945 itu membuka peluang bagi Presiden memiliki kekuasaan yang luar biasa besarnya.
8 Kerjasama (konspirasi dan koalisi) Nasution dan Soekarno menghasilkan Dwifungsi dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965).
9 Pada zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965), kekuatan politik berada pada Presiden (Soekarno), parpol (NASAKOM), dan militer (Nasution, Yani, Soeharto).
10 Keruntuhan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) karena tak mengakomodasikan parpol yang anti komunis, dan militer yang anti komunis (Angkatan Darat).
11 Rezim Orde Baru didirikan tentara lewat Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966. Tanggal lahirnya Orba masih kontroversial. Ada yang mengemukakan tanggal lahir Orba 10 Januari 1966 (demonstrasi pertama Tritura), 11 Maret 1966 (tanggal Supersemar), 31 Agustus 1966 (seminar AD II yang merumuskan Orba), 23 Februari 1967 (penerimaan kekuasaan Jenderal Soeharto) dari Presiden Soekarno) (Dr Asvi Warman Adam : "Pembantaian 1965", KOMPAS, Senin, 4 Desember 2000, hal 40).
12 Pada 1969 kekuatan pendukung Soekarno bisa menetralisirkan, sehingga integrasi dapat selesai.
13 Pada awal rezim Orde Baru, kekuatan politik didominasi oleh tentara (militer). Kini diperlukan PANDUAN SIKAP DEMOKRATIS BAGI MILITER.

14 Tahun 1974 muncul semacam "reservation" di kalangan perwira ABRI yang cerdas dan berkepribadian untuk mengkaji kembali pelaksanaan fungsi sosial-politik ABRI. Jenderal Widodo ketika amenjadi KASAD bersama perwira-perwira cerdas seperti Jenderal Widjojo Soejono, Jenderal HR Dharsono mengadakan Fosko AD (Foorum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat) untuk secara teratur membahas masalah pelaksanaan dwifungsi ABRI dengan segala implikasinya.
15 Kritik muncul dari Seskoad lewat Fosko Angkatan Darat. Akibat dari kritik itu, para purnawirawan menjadi korban, masa jabatan KSAD Jenderal Widodo menjadi amat singkat. Demikian pula nasib para pensiunan Jenderal di Kelompok Petisi-50. "ABRI tak dapat terus menerus dijadikan Herder bagi kekuasaan". Apakah sikap dan tindakan ABRI lebih didasari oleh kesetiaannya pada konstitusi dan kemashlahatan rakyat, ataukah pada kepentingan permainan kekuasaan ? (REPUBLIKA, Kamis, 18 Juni 1998, hal 6 Tajuk).
16 Ali Moertopo adalah operator politik Soeharto untuk membereskan segala hambatan kekuasaan yang dihadapi rezim Orde Baru dengan menggunakan OPSUS (Operasi Khusus).
17 Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974) pada dasarnya adalah konflik antara Soemitro dan Ali Murtopo yang sama-sama loyal pada Soeharto Ali Moertopo meladeni kepentingan Soeharto lewat sejumlah rekayasa dengan memanfa’atkan operasi intel, sedangkan Soemitro melakukannya dengan cara kelembagaan yang bisa dikontrol lewat MABES ABRI dan Kantor Pangkopkamtib.
18 Setelah peristiwa Malari, rekayasa politik beralih dari garapan Ali Murtopo lewat Opsus-nya menjadi bagian dari garapan ABRI. Peristiwa Tanjungpriok, kasus Lampung, kasus Marsinah, Peristiwa 27 Juli 1996, Kisah Penculikan, kasus Kopassus harus dimengerti latar belakang garapan rekayasa politik.
19 Keruntuhan rezim Orde Baru (1966-1998) karena tak mengakomodasi golongan kritis, kaum intelegensia.
20 Hanya rezim yang mampu mengakomodasi semua kekuatan politik yang ada (militer, sipil, parpol, yang akomodatif, yang kritis) yang berkemungkinan stabil dan bertahan lama ? Kini perlu ditinjau kembali apakah militer itu sebagai alat negara ataukah memperalat negara ? ABRI MEMPERSEPSIKAN DIRINYA SEBAGAI KEKUATAN SOSIAL POLITIK>
21 Rakyat dan ABRI (kini TNI) itu berbeda. Misi pokok ABRI antara lain "to kill or to get killed", menjaga dan mempertahankan keamanan negara (wilayah, warga, penguasa) dari serangan musuh, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
22 Secara formal, konsep Dwifungsi ABRI dimatangkan dikembangkan dari konsep "jalan tengah KSAD Mayjen AH Nasution pada November 1958. Dimatangkan lagi dengan lahirnya doktrin "Tri Ubaya Cakti" (Seminar Angkatan Darat I, April 1965), dan "Catur Dharma Ekakarsa" (Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966). Kemudian diperkuat dengan UU No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, yang antara lain menegaskan bahwa ABRI mempunyai fungsi HANKAM (kekuatan pertahanan keamanan) dan "kekuatan sosial politik", yang garis besarnya menempatkan ABRI sebagai dinamisator dan stabilisator.
23 Pada 1967 mula-mula ABRI mendapat jatah 43 kursi dari 350 anggota DPR (Salim Said : "Kisah Tiga Zaman", GATRA, NO.38, 8 Agustus 1998, hal 44-34).
Ketika Rapim ABRI di Pekanbaru 1980, Soeharto sempat ngomong jika perlu dilakukan terhadap anggota MPR yang tidak sepaham dalam voting. Cara-cara seperti itu terus terjadi di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Timor Timur (waktu itu). Di dalam buku biografinya, Soeharto mengakui menghabisi preman lewat petrus (penembak misterius).
Selama 32 tahun ABRI diperalat oleh Soeharto. ABRI dengan disiplin militer (komando) hanya sebagai pelaksana saja. Soeharto-lah yang harus bertanggungjawab. Demikian ungkap Ali Sadikin dalam wawancara dengan MEGAPOS (Th.I, No.4, Edisi 13-19 Agustus 1998, hal 10, Nasional).
Kamis, 6 Agustus 1998 di Gedung Juang 45, Jakarta Pusat dideklarasikan berdirinya Barisan Nasional. Barisan Nasional mengajak semua potensi bangsa untuk bergerak bersama kembali kepada cita-cita perjuangan, seperti tertuang dalam UUD-1945, dan mengembalikan ABRI pada landasan yang fair, yaitu bertugas untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara, namun tidak menghapus Dwifungsi ABRI.
Para jenderal yang tergabung dalam Barisan Nasional, antaranya : Kemal Idris, Ali Sadikin, Bambang Triantoro, Harsudiono Hartas, Hoegeng Imam Santoso, Theo Syafe’I, Solihin GP, Kharis Suhud. Sedangkan dari kalangan sipil : Subroto, Rahmat Witoelar, Sarwono Kusumaatmadja, Hayono Isman, IB Sujana, Ny Supeni, Ruslan Abdul Gani, Didit Haryadi. Target Barisan Nasional menghentikan kekuasaan Kabinet Reformasi Habibie, dengan menyerukan penegakkan kebenaran dan pembasmian kesewenang-wenangan (MEGAPOS, No.4, Th.I, Edisi 13-19 Agustus 1998, hal 10, Nasional).

Tidak ada komentar: