Peralihan Hukum Islam ke Hukum Barat, ke Hukum Adat, ke Hukum Nasional
Dalam kitab "Peraturan Pemerintahan di Baitul Maqdis" yang diterbitkan dalam bahasa Perancis di kota Paris, dimuat kumpulan sejarah Perang Salib. Juga dimuat tentang Hisbah (pengawasan masyarakat) yang dilakukan oleh orang Kristen waktu mereka dapat berkuasa di Palestina, yang dicontoh mereka dari Islam (Dr Musthafa as-Siba’i : "Sistem Masyarakat Islam", aslinya : "Al-Isytirakyah Al-Islamiyah", saduran H A Malik Ahmad, Pustaka Al-Hidayah, Jakarta, 1987, hal 133).
Sir Thomas Arnold & Alfred Guilaume dalam karyanya "Undang-undang dan Masyarakat menurut ajaran Islam" (cetakan Universitas Oxford tahun 1931, hal 316) menyebutkan bahwa seorang ahli hukum Itali yang terkenal David de Santillana (penulis Istituzioni di diritto musulmano malichita, con riguardo anche al sistema schiafi’ata) mengakui perhatiananya yang penuh, begitu pun minat ahli-ahli hukum Barat terhadap syari’at Islam, bahwa tanpa disangsikan lagi ia telah memberikan ilham tentang prrinsip-prinsip hukum modern kepada masyarakat Barat, seagaimana juga sebagian undang-undangnya yang artistik tentang perdagangan dan perseroan-perseroan terbatas telah mereka ambil alih (Ahmad Zaki Yamani MCJ LLM : "Syari’at Islam Yang Abadi menjawab tantangan masa kini", aslinya : "Asy-Syari’atul Khalidah wa Muskilaatul ‘Ashr", terjemah Mahyudin Syaf, Al-Ma’arif, Bandung, 1986, hal 30).
Sampai kepada abad VIII Hijriyah, Fiqih Islam itu sempat mencapai hasil-hasil yang besar, terutama di lapangan Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Kemajuan itu kelihatan juga di bidang Hukum Dagang yang ditiru oleh Eropah dari masyarakat Islam di Andalusia. Dari sumber inilah Eropah mengambil sebesar-besar manfa’at untuk menyusun Hukum Dagang mereka yang sekarang (Sayid Qutb : "Masyarakat Islam", terjemah H A Mu’thi Nurdin SH, Al-Ma’arif, Bandung, 1983, hal 44). Para alumni pendidikan Barat menebarkan teori dan buah pikiran bahwa Fiqih Islam itu dipungut, dikutip dari Undang-Undang Romawi dan bukan sebaliknya (Abul Hasan Ali al-Husni an-Nadwi : "Pertarungan antara Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat", aslinya "Ash-Shira’ bain al-Fikrat al-Islamiyat wa al-Fikrat al-Gharbiyah fi al-Aqthaar al-Islamiyat", terjemah Maaahyudin Syaf, Al-Ma’arif, Bandung, 1983, hal 116).
Aswab Mahasin menukil bahwa pada masa Sultan Mahmud Syah (1442-1444) aspek-aspek hukum Fiqih mulai masuk dalam Undang-Undang Malaka. Aspek-aspek untuk hukum perkawinan, hukum dagang, dan sebagian hukum acara (syahadah) disusun belakangan. Kanun ini dikutip secara luas, sebagian maupun secara utuh, pada berbagai perundang-undangan lain, dan berlaku di Kedah, Pahang, Riau, Pontianak, dan malahan masih dianggap berlaku di Brunei sekarang. Disamping itu ada pula versi Aceh dan versi Patani (Thailand). Demikian tercantum pada PESANTREN, Jakarta, No.2/Vol.II/1985, hal 21.
Hamka menukil bahwa Sulthan Hasan Bulqiyah Brunei (1605-1619) menyalin hampir keseluruhan "Qanun Mahkota Alam Aceh" untuk dijadikan Undang-Undang Negeri Brunei. Demikian tercantum pada PANJI MASYARAKAT, No.197, 15 April 1976, hal 29, dan No.537, 21 April 1987, hal 60.
KH Siradjuddin menukil, bahwa mulai tahun 1772 yaitu ketika Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjar kembali di Martapura, diberlakukan hukum Islam berdasarkan Mazhab Syafi’i di wilayah Kerajaan Banjar.
Hukum ini dijadikan sebagai Hukum Pemerintahan, terutama sebagai sumber pokok dalam membuat undang-undang dan peraturan Pemerintah, berdasarkan Qur:an dan Hadits.
Salah satu kitab Fiqih karya Syeikh muhammad Arsyad al-Banjar adalah Sabilal Muhtadin yang dicetak bersama kitab Shirathal Mustaqim karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Demikian tercantum dalam kitab Tabaqat Syafi’i, karya KH Siradjuddin Abbas, hal 422. Kitab Fiqih Sabilal Muhtadin Syaikh Arsyad Banjar itu merupakan saduran (keringkasan dan penyempurnaan) dari Kitab Sirathal Mustaqim Nuruddin ar-Raniri (Prof Dr Hamka : "Antara Fakta Dan Kayal ‘Tuanko Rao’", Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hal 180).
Zaini Ahmad Noeh menampak pengaruh pemikiran ilmu fiqih, khususnya teori Imam al-Mawardi tentang pemisahan fungsi memelihara agama (haratsah al-din) dan mengatur dunia (siyasah al-dunya) pada tata pemerintahan pribumi di Jawa dan Madura semasa penjajahan Hindia Belanda. Demikian tercantum pada PESANTREN, Jakarta, No.2/Vol.II/1985, hal 5-6.
Di Indonesia dan Semenanjung, Hukum Islam tidaklah dipandang asing. Hukum Islam pernah diberlakukan sebagai hukum positip di sebagian terbesar wilayah Indonesia dan Semenanjung (Melayu).
Hanya penguasa penjajahan kolonial Barat Nasrani pernah mengasingkah Hukum Islam dari bumi Indonesia dan Semenanjung.
Aspirasi memberlakukan kembali Hukum Islam sebagai Hukum Positip di Indonesia (pada era reformasi di Aceh dan Sulawesi Selatan) dan Semenanjung hanya sebagai pengulangan sejarah (l’histoire repeate).
Wilayah Indonesia dan Semenanjung tetap sebagai negeri Muslim secara riil (nyata), karena dahulu pernah diperintah oleh kerajaan-kerajaan Muslim. Demikian pendapat mufti Hadramaut ketika ditanya tentang status tanah jajahan Hindia Belanda yang dinukil oleh Abdurrahman Wahid (sebelum menjadi Presiden Republik Indonesia dalam PESANTREN, Jakarta, No.2/Vol.II/1985, hal 4.
Hikmah itu adalah barang hilang orang Mukmin, maka di mana pun dijumpainya, ia lebih berhak terhadapnya (Tarjamah HR Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar