Deislamisasi
Deislamisasi adalah aktivitas yang bertujuan dan berupaya untuk menggeser, menggusur, meminggirkan, menyingkirkan, memasung, mencabut Syari’at Islam dari mu’amalah (sosial, kultural, ekonomi, hukum, politik, militer, dll).
Deislamisasi dilakukan terprogram secara sistimatis, terencana, terarah, berkesinambungan.
Diislamisasi dilakukan oleh yang bukan Muslim, dan juga oleh yang mengaku Muslim, bahkan oleh pakar Islam sendiri yang paham akan Kitab Kuning.
Yang bukan Muslim berupaya merusak kepercayaan akan Tauhid, merusak kepercayaan akan Rasul Allah, mencaci-maki, menjelek-jelekkan Islam dan umat Islam. Berupaya merusak kepercayaan akan Kitab Allah. Berupaya merusak kepercayaan akan Takdir Allah, merusak kepercayaan akan hari pembalasan.
Yang bukan Muslim berupaya menyebar isu negatif, menjelekkan dan menghina serta merendahkan Islam, Qur:an dan Nabi Muhammad.
Islam digambarkan sebagai agama orang primitif, barbar, sadis, bengis, beringas, sangar, seram, brutal, haus darah, penumpah darah, kejam, jorok, dekil, kumal, yang cocok buat bangsa biadab. Islam dicap terkebelakang, kolot, anti kemajuan.
Islam dipandang sebagai agama para penghasut, pengikut fanatik. Umat Islam dipandang sebagai orang yang bersedia mati dengan cara kekerasan (teroris), orang-orang bodoh yang secara buas siap menyerbu kemedan peang untuk mendapatkan rampasan perang kalau hidup, ataau mendapatkan surga kalau mati (Orientalis Washington Irving, dalam Muhammad Husain Haekal : "Sejarah Hidup Muhammad", 1984:693, Prof Dr Hamka : "Tafsir Al-Azhar", juzuk VIII, hal 97, juzuk XX, hal 28).
Yang mengaku Muslim berperan aktif menyebarkan isu bahwa Islam itu hanya cocok bagi masyarakat seragam (homogen), tak cocok bagi masyarakat beragam (heterogen). Untuk masyarakat majemuk (heterogen) "harus dicarikan acuan lain yang bisa dipakai bersama dalam komunitas yang pluralistik".
Dengan memanipulasi dalil-dalil syar’I, yang mengaku Muslim sendiri juga turut berperan aktif mengebiri, melumpuhkan, memenggal, mengikis Islam, berupaya mereduksi makna Islam sedemikian rupa.
Dengan memanipulasi makna ayat QS 3:3, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa "yang telah beragama jangan didakwahi masuk Islam". "Jangan didakwahkan Islam itu sebagai acuan tunggal (alternatif). Bahwa "Islam itu urusan pribadi, soal nilai". Pemerintah taka berhak memaksa rakyat melaksanakan Syari’at Islam. Aktivitas politik haruslah dipisahkan dari Islam. Padahal Islam itu merupakan satu kesatuan IPOLEKSOSBUDMIL, seperti diungkapkan Sayyid Quthub bahwa "banyak ayat alQur:an yang menggambarkan janji-janji Allah di dunia ini dalam kaitannya dengan komunitas (society, masyarakat) dan bukan individu (perorangan pribadi). "Untuk bisa turunnya berkah dari Allah, seperti yang dijanjikanNya, harus terwujud ketakwaan komunal (jama’ah)", kata Abdul Haris Lc (Majalah UMMI, No.10/IX, 1998, hal 28).
Yang mengaku Muslim aktif menyebar isu bahwa hak individu tidak boleh diintervensi, diatur oleh siapa pun, termasuk oleh Islam sendiri. "Tak ada paksaan dalam Islam". Jangan teraapkan Islam itu secara formal. Jangan formalisasikan ketentuan Syari’at Islam sebagai hukum positif ke dalam peraturan perundangan negara.
Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa "setiap upaya untuk memformalkan ajaran Islam ke dalam peraturan perundang-undangan akan bersifat diskriminatif (zhalim, aniaya, tidak adil) terhadap kelompok yang lain".
Yang mengaku Muslim berupaya menyear isu, bahwa alQur:an tidak pernah secara spesifik berb icara tentang negara Islam (Islamic State), karena itu ide (gagsan tentang negara Islam) tidak ada dan harus tidak ada, karena akan menimbulkan perpecahan bangsa, distabilitas dan disintegrasi nasional. (Siapa yang sebenarnya memecah persatuan antara Timor Barat dan Timor Timur, antara Papua Barat dan Papua Timur, antara Borneo Selatan dan Borneo Utara, antara Korea Selatan dan Korea Utara, antara Yaman Selatan dan Yaman Utara, antara Jerman Barat dan Jerman Timur, dan lain-lain ?)
Yang mengaku Muslim berupaya aktif menyebarkan isu agar tidak melegalisasikan ajaran Islam ke dalam perundang-undangan. "Tak ada ketentuan Fiqih yang mengharuskan negara diatur oleh Islam". Akhirnya Islam diatur oleh negara. Dan paling akhir, Islam tinggal hanya sekedar nama. Taka da mu’amalah, tak ada ‘ubudiyah, tak ada ‘aqidah.
Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa lembaga pendidikan Madrasah, IAIN, Peradilan Agama, RUU Zakat bersifat diskriminatif (zhalim, aniaya, tidak adil). Karenanya haruslah ditolak,
Elite politik Muslim yang mendukung Fraksi Islam paling banyak seperlima, yaitu dari kalangan Muslim di PPP, PBB, PK, PNU, PSII, P. Sedangkan elite politik yang menantang Fraksi Islam paling sedikit empat perlima, yaitu dari kalangan Muslim di PDI-P, Golkar, PAN, PKB, PKP, PDKP, PDR, IKKI, PP, PNI.
Yang mengaku Muslim turut meredusir, menurunkan pengertian jihad dari pengertian istilah (kontekstuaal, keagamaan) menjadi pengertian lughawi (tekstual, grammatikal, leksikal, kebahasaan), yang hanya berarti bekerja keras atau berjuang. Juga pengertian ukhuwah diturunkan dari ukhuwah Islamiyah menjadi ukhuwah syhu’ubiyah/wathaniyah.
Yang mengaku Muslim turut aktif menyerukan agar prinsip-prinsip Islam harus diselaraskan, disesuaikan, diakomodasikan dengan dunia modern (modernisme). Pengundangan sanksi moral oleh negara haruslah ditolak.
Yang mengaku Muslim juga menuding, mencap Islam sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalisme. Umat Islam dituding berpikiran picik, sempit, sontok, sektoral, parsial.
Yang mengaku Muslim sendiri menyerukan bahwa umat Islam haruslah berpikiran luas dalam skala besar, menjangkau kepentingan nasional, tidak berpikiran sempit, hanya mementingkan kepentingan Islam.
Jebakan deislamisasi : Yang ya’lu, yang unggul adalah Nasionalisme, bukan Islam. Haruslah berpikir nasionalis, jangan Islami.
Yang mengaku Muslim juga melakukan sinkretisasi, mencampurkan yang bukan Islam ke dalam Islam (talbisul haq bil bathil). Tokoh-tokoh masa kini yang dijadikan rujukandan acuan dalam sinkretisasi antara lain Ir Mahmud Muhammad Thaha, Abdullah Naim (keduanya tokoh pluralis Sudan yang menentang keras islamisasi pemerintahan). Hasan Hanafi (tokoh kiri Mesir yang menyatakan bahwa hakikat agama itu tidak ada), Muhammad Imarah, Rifa’at Thahthawi dan lain-lain tokoh sekular yang menyandang predikat Islam (Islam di permukaan, ‘ala harfin, tak lebih dari tenggorokan). Rifa’ah Thahthawi dikirim untuk belajar di Perancis. Di sana ia tinggal selama lima tahun (1826-1831). Sarjana lain yang tugas belajar di Perancis ialah Khairuddin alTunisia. Di Perancis ia menghabiskan waktu empat tahun (1852-1856). Setelah kembali keduanaya menyebarkan ide-ide untuk menata masyarakat dengan dasar sekularisme rasional (WAMY : "Gerakan Pemikiran dan Keagamaan", hal 26).
Pernah Rasulullah didatangi seseorang yang cekung matanya, menonjol tulang pipinya dan nonong dahinya, lebat jenggotnya, botak kepalanya. Orang itu berkata : "Hai Muhammad, bertakwalah kepada Allah" (Berlaku adillah dalam pembagian ghanimah). Rasulullah menjawab : "Siapakah yang ta’at kepada Allah, jika aku maksiat (tidak berlaku adil). Apakah kalian tidak percaya padaku, sedang Allah telah mempercayai aku terhadap penduduk bumi ?". Setelah oang itu pergi Rasulullah berkata : "Sesungguhnya akan keluar dari turunan orang itu orang-orang yang pandai (lancar) membaca Kitab Allah (alQur:an), tetapi tidak lebih dari tenggorokannya, mereka terlepas (keluar) dari agama (Islam), bagaikan anak panah terlepas dari busurnya (ketika dilepaskan), mereka akan membunuh orang-orang Islam dan membiarkan orang-orang kafir" (deislamisasi) (Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi : "AlLukluk walMarjan", hadits no.639-642, HR Bukhari, Muslim dari Abi Sa’id alKhudri, tentang "Orang-orang Khawarij dan sifat mereka".
Orang-orang Timur membasmi musuh dengan memenggal kepalanya. Tetapi Barat dan pendukungnya hanya dengan merobah hati dan tabi’atnya (Abul Hasan Ali alHusni anNadwi : "Pertarungan antara Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar