Minggu, 31 Mei 2009

Biang kesenjangan

Biang kesenjangan

Siapakah rakyat itu ? Apakah terbatas pada kalangan ang dekat pusat kekuasaan ? Berapa persenkah anggaran belanja untuk kemakmuran rakyat terlantar, fakir miskin ? Apakah barisan pengemis, pengamen, peulung, gelandangan, pasukan terlantar semakin anjang ? Apakah yang dapat menyebabkan menyempitnya ruang gerak penduduk tradisional untuk memenuhi kkebutuha hidupnya ? Apakah karena tak uthnya diterapkan, diamalkan pasal-33 UUD-45 (Bab XIV Kesejahteraan Sosal) ?

Pasal-33 UUD-45 menyebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaa bersama berdasarkan atas asas kekelargaan. Cabang-cabang prodksi yang penting bag Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dkuasai oleh Negara. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandng di dalamnya dikuasai ole Negara da dipergunaan untuk sebesar-besar kemakmran rakyat”. Dalam hal ini pemerintah pernah menyatakan bahwa ang diartkan “menguasai” tidak perlu “memiliki”, tetapi “mengatur”. Mengatur, mengelola, memanaj.

Setelah menghayati pasal-33 UUD-45 itu, Kwik Kian Gie mendambakan adanya konglomerat-konglomerat yang dimiliki oleh Negara (BUMN). Dalam menindaklanjuti penghayatan ini, diharapkan penerapan pasal-33 UUD-45, agar cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak diatur, dikelola, dimanaj, dieksploitasi oleh Negara. Memang selayaknya yang harus mengeksploitasi kekayaan alam, supaya hasilnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, adalah Negara, sehingga hasil seluruhnya masuk ke kas Negara, yang kenikmatannya adalah untuk semua rakyat Indonesia dengan cuma-cuma.

Untuk ini harus ada kepercayaan akan kemampuan bangsa. Baik kemampuan permodalan, dalam manajemen, maupun dalam teknologi. Percaya akan kemampuan tenaga ahli bangsa sendiri (bukan asingisasi). Haruslah bermental merdeka dari feodalisme dan nepotisme. Bukan bermental inlander/terjajah (anak jajahan). Berprinsip bahwa yang berdaulat atas kekayan alam adalah rakyat seluruhnya, bkan terbatas elite bangsa, yang kaya raya.

Diperlukan semangat yang kuat. Digarap perlahan-lahan setapak demi setapak sempurna. Kalau dirasa kurang tenaga, sewa tenaga ahli asing (kerja kontrak) untuk dipekerjakan sebagai pegawai gajian, bukan sebagai pemilik. Seingga tak perlu mengundang modal dan tenaga ali asing untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Demikian cukilan pandangan Kwik Kian Gie (KOMPAS, Senin, 20 Januari 1997, hal 1, 15, dan Senin, 3 Februari 1997, hal 1, 15).

Daam ayat 34 suarah Taubah (QS 9:34) tersirat bahwa malapetaka, huru-hara timbul karena kemitraan, persekongkolan (koalisi dan kolusi) pendukung ketamakan akan kekuasaan (yang berkuasa) dan pendukung ketamakan akan kekayaan (pemilik modal) berusaha memperkuat dominasinya dengan memangkas, memasung kebebasan manusia. Demikian disimak dari analisa ZA Ahmad tentang “Kebobrokan Ekonomu Dunia” (“Dasar-Dasar Ekonomi Dalam Islam”, 1952, hal 27, 31).

Ketamakan itu biangnya ketimpangan, kesejangan, keretakan, keresahan, kerusuhan, keonaran, kekacauan. Ketamakan itu terpantul dalam ambisi memenuhi kebutuhan yang berlebihan. Kebutuhan untuk dpat mengontrol kepentingan kelompok miskin (subordinasi). Kebuthan untuk dapt berusaha membenarkan (mempertahankan legitimasi) kelanggengan dominasinya. Kebutuhan akan kerelaan berkorban/kebergantungan dari pihak yang tersubordinasi, kerelaan masyarakat untuk menerima serta mendukung struktur kekuasaan. Kebutuhan agar system yang berjalan tetap bertahan. Demikian disimak dari analisa Tadjuddin Noer Effendi (KOMPAS, Rabu, 29 Januari 1997, hal 4).

Ketamakan (avarice) itu melekat pada watak, pembawaan ekonomi pasar (ekonomi kapitalis) Pembawaan dan dampak ekonomi kapitalis adala pertumbuhan dan kemajuan besar, sekalgus juga kesenjangan. Ketamakan akan arta, kekayaan melahirkan industrialisasi. Disamping berhasl memacu pertmbuhan ekonomi dan modernisasi, ndustralsasi juga telah merusak hubungan-hubngan sosia tradisinal dan memunculkan perpecahanerpecaan dan knflik-konflik baru daam strktur sosial masarakat (Checkland : “The ise of Indstries socet in glad 18151885, 1964, Homans, Johnson, 1986; Marcse : “One-Dimensioal Man : tudies in The delogy of Advanced ndstrial Society”, 1966; Habermas : “Problems of Legitimation in Late Capitalism, 195).

Proses industrialisasi telah merombak secara total hamper setap sendi kehidupan masyarakat, baik kebudaaan mapun kepribadian. Akibat lanjutannya adalah munculnya gejala ketidakseimbangan dan guncangan mental dalam kehidupan masyarakat. Pada saat yang bersamaan rasa tidak aman, tidak berharga, utus asa, mengalami ketegangan melanda relung kehidupan masyarakat. Pada gilirannya, norma-norma sosial masyarakat menjadi lemah atau tidak ada sama sekali. Masih dari analisa Tadjuddin Noer Effendi (KOMPAS, Rabu, 29 Januari 1997, hal 4, 5).

Apa bedanya bila indstri ditangani oleh ihai yang konglomerat denga ndustri yang ditangani ole non-Mslim ? Apa bedanya bla Deparemen Keuangan dipimpin ole kalangan IMI, mantan HMI dengan Departemen Keuanga dipimpin oleh kalangan salib ? Apa bedanya bila pemerintah dipimpin oleh kalangan parpol Islam dengan pemernta dpimpin oleh kalangan bkan parpol Islam ? Apa ang terjadi bia kihai menjadi teknokrat-konglmerat ? Da apa pula yang terjadi bila teknokrat-konglomerat menjadi kiahi ?

Langkah konkrit aa yang harus dilakukan leh penguasa agar Negara Kesatuan Republik Indonesia ini menjadi negara mandiri, yang politik, ekonomi, militernya tak diatur oleh kepentingan asing, agar rakyatnya memiliki penghasilan, pendapatan yang layak, yang memiliki daya beli yang pantas ?

(BKS9703130945)

Tidak ada komentar: