Sabtu, 23 Mei 2009

De-formalisasi Islam

De-formalisasi Islam (De-Islamisasi)


Dengan entengnya meluncur ucapan "Secara pribadi sya kok nggak apa-apa Presidennya orang Kristen sekalipun. Pokoknya, asal ia bisa membuat masyarakatnya menjadi lebih baik, ia bisa membangun dan mensejahterakan masyarakat". Kepala negara yang non-Islam tapi adil, dipandang lebih utama dari yang Islam tapi diktatoris.


"Mengapa harus takut akan kristenisasi. Mengapa harus marah, merintangi orang Kristen duduk di DPR. Ini sikap kekanak-kanakan. Kalau memang beriman dengan benar, dekat dengan umat, kristenisasi nggak akan jalan" (Zastrouw Ngatawi : AMANAT 28/10/99). Tak peduli dengan rambu-rambu larangan "mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin (QS Maidah 5:51).


Ucapan ini keluar dari yang tak setuju bila syari’at Islam diberlakukan secara formal sebagai hukum positif dalam perundang-undangan (Luthfi Basori : Musykilat Dalam NU). Tak setuju tegaknya syari’at, hukum Islam. Tak setuju aktivitas mu’amalah ditata berdasarkan syari’at Islam (Abd A’la : KOMPAS 22/10/99).


Benci terhadap legal dan ritual formal Islam. Benci terhadap ucapan Assalamu’alaikum. Benci terhadap aroma, nuansa, suasana, busana Islam. Syari’at Islam dipandang primitif, barbar, sadis, bengis, beringas, sangar, seram, kejam, biadab, tidak manusiawi.


Secara sistimatis, terencana, terarah, terprogram, berkesinambungan berupaya secara aktif menggeser, menggusur, meminggirkan, menyingkirkan, mengasingkan, memasung, mencabut, memenggal, mengebiri, mengikis syari’at Islam (legal dan ritual) dari mu’amalah (Musykilat Dalam NU.


De-formalisasi Islam (De-Islamisasi) juga dilakukan oleh yang mengaku Muslim, bahkan oleh pakar Islam yang paham akan kitab Kuning. Bisa dilakukan dalam bentuk stigmatisasi, lebelisasi, nasionalisasi, sinkritisasi (Musykilat Dalan NU).


Mencap yang berupaya memformalisasikan syari’at Islam seagai sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalis, menudingnya sebagai berpikiran picik, sontok, sempit, sektorial, parsial.


Menyerukan agar umat Islam berpikiran luas dalam skala besar, menjangkau kepentingan nasional, tidak berpikiran sempit, yang hanya mengacu pada Islam. Yang ya’lu, yang unggul adalah nasionalisme, bukan syari’at Islam. Haruslah berpikiran nasionalis, jangan Islami.


Memisah-misahkan, mempertentangkan antara hakikat (yang substantif, substansial) dan syari’at (law, legal). Hanya mengambil sebatas hakikat, substansial, substantif, esensi, semangat, nilai (moral, seremonial, ritual) Islam, dan melepaskan syari’at Islam (legal-formal),


Memanipulasi dalil-dalil syar’i, mereduksi makna syari’at Islam, sehingga terpisah, bertentangan antara hakikat dan syari’at. Memanipulasi makna ayat QS Ali Imran 3, bahwa yang telah beragama jangan didakwahi masuk Islam. Jangan didakwahkan Islam itu sebagai acuan tunggal (aalternatif) (Luthfi Basori : Musykilat Dalam NU).


Islam itu urusan pribadi, masalah keyakinan yang menyangkut kenyataan batiniyah, yang dipertanggungjawabkan secara trasendental (Dr Taufik Abdullah : PANJI MASYARAKAT 537). Islam itu dipandang, dipahami hanya sebatas nilai, moral, etika, tak ada sanksi hukumnya, paling-paling sanksi moral atau sanksi sosial (Ir Haidar Baqir : PANJI MASYARAKAT 521).


Penguasa tak punya hak wewenang menetapkan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya (Amsar A Dulmanan : REPUBLIKA 30/7/98). Aktivitas politik haruslah bebas dari syari’at Islam, namun bisa saja mengacu pada hakikat Islam. Wakil rakyat di DPR haruslah berorientasi kebangsaan, dan harus meninggalkan dan menanggalkan orientasi ke-Islaman.


Hak individu tidak boleh diintervensi, diatur oleh siapa pun, termasuk oleh syari’at Islam sendiri (Luthfi Basori : Musykilat Dalam NU). Tak ada paksaan dalam Islam. (Tak ada hudud ?)


Menyebarkan isu bahwa al-Qur:an tidak pernah secara spesifik berbicara tentang negara Islam. Ide, gagasan tentang negara Islam itu tidak ada dan tidak harus ada. Ide itu akan menimbulkan gejolak sosial, perpecahan bangsa, destabilitas dan disintegrasi nasional. Tak ada ketentuan Fiqih yang mengharuskan negara itu diatur oleh syari’at Islam (Musykilat Dalam NU).


Tudingan semacam itu pernah pula dulu disandangkan kepada Muhammad Rasulullah, manusia jujur terpercaya yang mereka propagandakan sebagai biang pencerai-berai, pemecah-belah antara seorang dengan orangtuanya, dengan saudaranya, dengan isterinya, dengan keluarganya. Padahal merekalah yang merusak ikatan solidaritas di kalangan Arab (Haekal : Sejarah Hidupo Muhammad).


Memuji-muji, menyanjung-nyanjung keagungan nilai-nilai Islam yang bersifat humanis-universal, seperti kemerdekaan, keadilan, persamaan, terlepas dari syari’at (legal-formal). Mementingkan kontekstual, dan mengabaikan tekstual. Mengambil prinsipnya, dan meninggalkan syari’atnya.


Diciptakan persamaan mutlak, tanpa membeda-bedakan budaya, etnis, agama, terlepas dari nash (teks). Mempersamakan secara mutlak antara pria dan wanita, antara Islam dan non-Islam (Yahudei, Nasrani, Zionis, Komunis) dalam segala hal, termasuk dalam hal warisan, kesaksian, bithanah, walaa (kepemimpinan), dan lain-lain. Sikapa saja boleh dan berhak dipilih jadi pemimpin tanapa membeda-bedakan jenisnya dan agamanya. Yang harus digunakan sebagai parameter hanyalah alasan kemampuan, kapabilitas dan kredibilitas (Prof Chamamah Soeratno : SUARA AISYIYAH, No.8/1999).


Dengan memanipulasi makna keadilan, maka setiap upaya untuk memformalkansyari’at Islam dalam peraturan perundang-undangan dipandang diskriminatif terhadap non-Islam (Musykilat Dalam NU.


Tak setuju dengan kelompok usroh, masjid kampus (yang rata-rata di fakultas teknik dan fakultas kedokteran), yang memakai tabir dan jilbab, parpol-parpol yang berasaskan Islam (Zastrouw Ngatawi : AMANAT 28/10/99).


Gerakan-gerakan semacam itu dari perspektif historis dipandang selalu gagal, tidak pernah berhasil, tidak pernah mendapat simpati luas mayoritas ummat (Abd A’la : KOMPAS 22/10/99).


Menyebarkan isu bahwa syari’at Islam hanya cocok bagi masyarakat seragam (homogen), tapi hakikat Islam cocok bagi masyarakat beragam (heterogen, majemuk). Untuk masyarakat maajemuk, di alam komunitas pluralistik, maka hakikat Islam bisa dipakai sebagai acuan bersama.


Meredusir, menurunkan pengertian jihad dari pengertian istilah (kontekstual, keagamaan) menjadi pengertian lughawi (tekstual, grammatikal, kebahasaan), yang hanya berarti bekerja keras atau berjuang, bersungguh-sungguh. Gejala mempersempit makna terminologi ajaran Islam ini tampaknya semakin membudaya.


Dengan memanipulasi makna ukhuwah, menyebarkan isu bahwa ukhuwah yang cocok adalah ukhuwah syu’ubiyah, ukhuwah wathaniyah, sedangkan ukhuwah Islamiyah akan menimbulkan perpecahan bangsa, destabilitas dan disintegrasi nasional. Pengertian ukhuwah (persaudaraan), jama’ah (persatuan) menjadi kacau balau.


Menyerukan agar prinsip-prinsip Islam haruslah diselaraskan, disesuaikan, diakomodasikan dengan dunia modern (modernisme). Pengundangan sanksi moral oleh negara haruslah ditiadakan. Melakukan sinkritisasi, mencapursarikan yang bukan Islam ke dalam Islam (Talbisul-haq bil-bathil) (Luthfi Basori : usykilat Dalam NU).


Memang ada periode, orang tidak lagi mengajak kebaikan dan melarang kemunkaran. Bahkan telah menganggap yang baik itu buruk (munkar) dan yang buruk itu baik (makruf). Menyamakan, menyamarkan, memanipulasi yang haram jadi yang halal. Lebih dari itu menyuruh yang munkar dan melarang yang makruf.


Memang ada suatu masa, Islam hanya tersisa namanya, sebutannya, predikatnya. Qur:an hanya tersisa tulisannya, naskahnya, teksnya. Terlepas dari Islam, bagaikan anak panah terlepas melesat dari busurnya, tanpa terasa, tanpa disadari, tanpa kelihatan, tanpa terdeteksi dan terobservasi.


Berseberangan dengan yang Islam, tapi akrab dengan yang non-Islam (semacam Zionis, Komunis, dan lain-lain). Tanpa peduli dengan nash-syari’at, yang menyatakan bahwa yang Hizbullah, yang benar beriman kepada Allah dan hari kemudian tak akan pernah bermesraan dengan yang kufur (QS Mujadalah 48:22).

Semula, menjelang proklamasi kemerdekaan RI, semangat untuk memformalisasikan syari’at Islam sangat menonjol. Hal ini tampak pada tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.


Namun sehari setelah proklamasi, yang sangat mencuat adalah semangat untuk mendeformalisasikan syari’at Islam. Hal ini sangat jelas terlihat pada pengebiran Piagam Jakarta dengan dihapusnya tujuh kata itu ke dalam Pembukaan UUD 18 Agustus 1945.


Upaya deformalisasi ini semakin santer. Ini bisa dilihat dari sidang Konstituante 1955 dan sidang MPR selang waktu 1971-1999. Dan kini dari upaya-upaya mempersamakan secara mutlak dalam hal gender antara pria dan wanita, dalam hal kepemimpinan (walaa) dan pertemanan (bithanah, waliijah), antara yang Islam dan bukan Islam (Yahudi, Nassshrani, Zionis, komunis, dan lain-lain). Bahkan jika seandainya diadakan referendum (jajak pendapat), hampir dapat dipastikan bahwa yang tidak menginginkan berlakunya syari’at Islam lebih besar jumlahnya dari pada yang menginginkan berlakunya syari’at Islam.


Sedangkan yang masih berupaya memformalisasikan syari’at Islam, kecewa dengan penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta itu. Ini merupakan awal kekalahan politik Islam berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler.


Sebagiannya berusaha membentuk NII (Negara Islam Indonesia) 27 Agustus 1948. Sejak Daud Beureueh bergabung dengan NII, sejak diproklamirkan Negara Islam Aceh 21 September 1953, masyarakt Tanah Rencong berjuang mengembalikan tujuh kata Piagam jakarta, agar syari’at islam, Hukum Allah berdaulat, berkuasa di bumi Aceh (SIMPATI, No.6, 6 September 1998, SABILI, No.4, 11 Agustus 1999, No.5, 25 Agustus 1999). Langkah Aceh ini kemudian diikuti oleh Sulawesi Selatan.


Dengan mengembalikan Pembukaan UUD-45 seperti semula, seperti dalam Piagam jkarta, diharapkan tuntutan yang kembali di Aceh, dan dulu tahun lima puluhan juga muncul di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan lain-lain dapat diakomodir, dapat dipenuhi. Untuk mencegah disintegrasi bangsa (yang ditakutkan penguasa) seyogianya secepatnya mengembalikan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD-45 (SABILI, No.15, 10 Februari 1999).

Tidak ada komentar: