Kapan jadi Tuan di negeri sendiri ?
Dulu setelah Proklamasi, sebelum ORLA ada, gagasa nasionalisasi modal/persahaan asing khsusnya klonial Belanda dan Jepang). Tapi kin mala berangkulan/bermesraaan mengundang moda/perusahaan asing (materialisme/kapitalisme) menjadi raja (tuan rumah) di tanah air sendiri (yang sudah merdeka) dengan dalih bahwa kita masih perlu waktu untuk melakukan alih teknologi maju/canggih ke bumi terkaya ini. Diyakinanlah bahwa kemakmuran dan keseahteraan rakyat, meningkatnya daa beli masyarakat (agar spaya daya beli masyarakat tidak hanya beredar di kalangan orang kaya, QS Hasyr 59:7), terbuka luasnya lapangan pekerjaan, hanya dan hanya dengan investasi modal asing di negeri tercinta ini.
Di Cikarang (Industrial Estate Jabebeka) tersedia lahan kawasan industri bagi 340 investor (KOMPAS, Selsa, 4 Juli 1995, hal 17). Berapa jumlah kekayaan rakyat setempat yang tergusur/tersedot ? Seberapa jauh tingkat kesejahteraan rakyat sekitar kawasan industri dapat diharapkan naik dengan keberadaan investor itu ? Seberapa jauh sumbangan investor terhadap pembinaan SDM (termasuk sarana/prasara pendidikan dan peribadah) rakyat sekitar ?
Beberapa tahun yang alu, yaitu pada hari Rab, 23 Februar 2000 warga sekitar kawasan Cibitng mengadakan unjuk rasa yang diikuti oleh ratusan orang dari pagi sampai sore yang sempat memacetkan jalan tol Jakarta-Cikampek. Warga sekitar kawasan industri Cibitung itu menuntut agar mereka diberi kesempatan sebagai tenaga kerja pada perusahaan industri di kawasan Cibitung tersebut.
(BKS0002281010)
Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Minggu, 31 Mei 2009
Biang kesenjangan
Biang kesenjangan
Siapakah rakyat itu ? Apakah terbatas pada kalangan ang dekat pusat kekuasaan ? Berapa persenkah anggaran belanja untuk kemakmuran rakyat terlantar, fakir miskin ? Apakah barisan pengemis, pengamen, peulung, gelandangan, pasukan terlantar semakin anjang ? Apakah yang dapat menyebabkan menyempitnya ruang gerak penduduk tradisional untuk memenuhi kkebutuha hidupnya ? Apakah karena tak uthnya diterapkan, diamalkan pasal-33 UUD-45 (Bab XIV Kesejahteraan Sosal) ?
Pasal-33 UUD-45 menyebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaa bersama berdasarkan atas asas kekelargaan. Cabang-cabang prodksi yang penting bag Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dkuasai oleh Negara. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandng di dalamnya dikuasai ole Negara da dipergunaan untuk sebesar-besar kemakmran rakyat”. Dalam hal ini pemerintah pernah menyatakan bahwa ang diartkan “menguasai” tidak perlu “memiliki”, tetapi “mengatur”. Mengatur, mengelola, memanaj.
Setelah menghayati pasal-33 UUD-45 itu, Kwik Kian Gie mendambakan adanya konglomerat-konglomerat yang dimiliki oleh Negara (BUMN). Dalam menindaklanjuti penghayatan ini, diharapkan penerapan pasal-33 UUD-45, agar cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak diatur, dikelola, dimanaj, dieksploitasi oleh Negara. Memang selayaknya yang harus mengeksploitasi kekayaan alam, supaya hasilnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, adalah Negara, sehingga hasil seluruhnya masuk ke kas Negara, yang kenikmatannya adalah untuk semua rakyat Indonesia dengan cuma-cuma.
Untuk ini harus ada kepercayaan akan kemampuan bangsa. Baik kemampuan permodalan, dalam manajemen, maupun dalam teknologi. Percaya akan kemampuan tenaga ahli bangsa sendiri (bukan asingisasi). Haruslah bermental merdeka dari feodalisme dan nepotisme. Bukan bermental inlander/terjajah (anak jajahan). Berprinsip bahwa yang berdaulat atas kekayan alam adalah rakyat seluruhnya, bkan terbatas elite bangsa, yang kaya raya.
Diperlukan semangat yang kuat. Digarap perlahan-lahan setapak demi setapak sempurna. Kalau dirasa kurang tenaga, sewa tenaga ahli asing (kerja kontrak) untuk dipekerjakan sebagai pegawai gajian, bukan sebagai pemilik. Seingga tak perlu mengundang modal dan tenaga ali asing untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Demikian cukilan pandangan Kwik Kian Gie (KOMPAS, Senin, 20 Januari 1997, hal 1, 15, dan Senin, 3 Februari 1997, hal 1, 15).
Daam ayat 34 suarah Taubah (QS 9:34) tersirat bahwa malapetaka, huru-hara timbul karena kemitraan, persekongkolan (koalisi dan kolusi) pendukung ketamakan akan kekuasaan (yang berkuasa) dan pendukung ketamakan akan kekayaan (pemilik modal) berusaha memperkuat dominasinya dengan memangkas, memasung kebebasan manusia. Demikian disimak dari analisa ZA Ahmad tentang “Kebobrokan Ekonomu Dunia” (“Dasar-Dasar Ekonomi Dalam Islam”, 1952, hal 27, 31).
Ketamakan itu biangnya ketimpangan, kesejangan, keretakan, keresahan, kerusuhan, keonaran, kekacauan. Ketamakan itu terpantul dalam ambisi memenuhi kebutuhan yang berlebihan. Kebutuhan untuk dpat mengontrol kepentingan kelompok miskin (subordinasi). Kebuthan untuk dapt berusaha membenarkan (mempertahankan legitimasi) kelanggengan dominasinya. Kebutuhan akan kerelaan berkorban/kebergantungan dari pihak yang tersubordinasi, kerelaan masyarakat untuk menerima serta mendukung struktur kekuasaan. Kebutuhan agar system yang berjalan tetap bertahan. Demikian disimak dari analisa Tadjuddin Noer Effendi (KOMPAS, Rabu, 29 Januari 1997, hal 4).
Ketamakan (avarice) itu melekat pada watak, pembawaan ekonomi pasar (ekonomi kapitalis) Pembawaan dan dampak ekonomi kapitalis adala pertumbuhan dan kemajuan besar, sekalgus juga kesenjangan. Ketamakan akan arta, kekayaan melahirkan industrialisasi. Disamping berhasl memacu pertmbuhan ekonomi dan modernisasi, ndustralsasi juga telah merusak hubungan-hubngan sosia tradisinal dan memunculkan perpecahanerpecaan dan knflik-konflik baru daam strktur sosial masarakat (Checkland : “The ise of Indstries socet in glad 18151885, 1964, Homans, Johnson, 1986; Marcse : “One-Dimensioal Man : tudies in The delogy of Advanced ndstrial Society”, 1966; Habermas : “Problems of Legitimation in Late Capitalism, 195).
Proses industrialisasi telah merombak secara total hamper setap sendi kehidupan masyarakat, baik kebudaaan mapun kepribadian. Akibat lanjutannya adalah munculnya gejala ketidakseimbangan dan guncangan mental dalam kehidupan masyarakat. Pada saat yang bersamaan rasa tidak aman, tidak berharga, utus asa, mengalami ketegangan melanda relung kehidupan masyarakat. Pada gilirannya, norma-norma sosial masyarakat menjadi lemah atau tidak ada sama sekali. Masih dari analisa Tadjuddin Noer Effendi (KOMPAS, Rabu, 29 Januari 1997, hal 4, 5).
Apa bedanya bila indstri ditangani oleh ihai yang konglomerat denga ndustri yang ditangani ole non-Mslim ? Apa bedanya bla Deparemen Keuangan dipimpin ole kalangan IMI, mantan HMI dengan Departemen Keuanga dipimpin oleh kalangan salib ? Apa bedanya bila pemerintah dipimpin oleh kalangan parpol Islam dengan pemernta dpimpin oleh kalangan bkan parpol Islam ? Apa ang terjadi bia kihai menjadi teknokrat-konglmerat ? Da apa pula yang terjadi bila teknokrat-konglomerat menjadi kiahi ?
Langkah konkrit aa yang harus dilakukan leh penguasa agar Negara Kesatuan Republik Indonesia ini menjadi negara mandiri, yang politik, ekonomi, militernya tak diatur oleh kepentingan asing, agar rakyatnya memiliki penghasilan, pendapatan yang layak, yang memiliki daya beli yang pantas ?
(BKS9703130945)
Siapakah rakyat itu ? Apakah terbatas pada kalangan ang dekat pusat kekuasaan ? Berapa persenkah anggaran belanja untuk kemakmuran rakyat terlantar, fakir miskin ? Apakah barisan pengemis, pengamen, peulung, gelandangan, pasukan terlantar semakin anjang ? Apakah yang dapat menyebabkan menyempitnya ruang gerak penduduk tradisional untuk memenuhi kkebutuha hidupnya ? Apakah karena tak uthnya diterapkan, diamalkan pasal-33 UUD-45 (Bab XIV Kesejahteraan Sosal) ?
Pasal-33 UUD-45 menyebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaa bersama berdasarkan atas asas kekelargaan. Cabang-cabang prodksi yang penting bag Negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dkuasai oleh Negara. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandng di dalamnya dikuasai ole Negara da dipergunaan untuk sebesar-besar kemakmran rakyat”. Dalam hal ini pemerintah pernah menyatakan bahwa ang diartkan “menguasai” tidak perlu “memiliki”, tetapi “mengatur”. Mengatur, mengelola, memanaj.
Setelah menghayati pasal-33 UUD-45 itu, Kwik Kian Gie mendambakan adanya konglomerat-konglomerat yang dimiliki oleh Negara (BUMN). Dalam menindaklanjuti penghayatan ini, diharapkan penerapan pasal-33 UUD-45, agar cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak diatur, dikelola, dimanaj, dieksploitasi oleh Negara. Memang selayaknya yang harus mengeksploitasi kekayaan alam, supaya hasilnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, adalah Negara, sehingga hasil seluruhnya masuk ke kas Negara, yang kenikmatannya adalah untuk semua rakyat Indonesia dengan cuma-cuma.
Untuk ini harus ada kepercayaan akan kemampuan bangsa. Baik kemampuan permodalan, dalam manajemen, maupun dalam teknologi. Percaya akan kemampuan tenaga ahli bangsa sendiri (bukan asingisasi). Haruslah bermental merdeka dari feodalisme dan nepotisme. Bukan bermental inlander/terjajah (anak jajahan). Berprinsip bahwa yang berdaulat atas kekayan alam adalah rakyat seluruhnya, bkan terbatas elite bangsa, yang kaya raya.
Diperlukan semangat yang kuat. Digarap perlahan-lahan setapak demi setapak sempurna. Kalau dirasa kurang tenaga, sewa tenaga ahli asing (kerja kontrak) untuk dipekerjakan sebagai pegawai gajian, bukan sebagai pemilik. Seingga tak perlu mengundang modal dan tenaga ali asing untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Demikian cukilan pandangan Kwik Kian Gie (KOMPAS, Senin, 20 Januari 1997, hal 1, 15, dan Senin, 3 Februari 1997, hal 1, 15).
Daam ayat 34 suarah Taubah (QS 9:34) tersirat bahwa malapetaka, huru-hara timbul karena kemitraan, persekongkolan (koalisi dan kolusi) pendukung ketamakan akan kekuasaan (yang berkuasa) dan pendukung ketamakan akan kekayaan (pemilik modal) berusaha memperkuat dominasinya dengan memangkas, memasung kebebasan manusia. Demikian disimak dari analisa ZA Ahmad tentang “Kebobrokan Ekonomu Dunia” (“Dasar-Dasar Ekonomi Dalam Islam”, 1952, hal 27, 31).
Ketamakan itu biangnya ketimpangan, kesejangan, keretakan, keresahan, kerusuhan, keonaran, kekacauan. Ketamakan itu terpantul dalam ambisi memenuhi kebutuhan yang berlebihan. Kebutuhan untuk dpat mengontrol kepentingan kelompok miskin (subordinasi). Kebuthan untuk dapt berusaha membenarkan (mempertahankan legitimasi) kelanggengan dominasinya. Kebutuhan akan kerelaan berkorban/kebergantungan dari pihak yang tersubordinasi, kerelaan masyarakat untuk menerima serta mendukung struktur kekuasaan. Kebutuhan agar system yang berjalan tetap bertahan. Demikian disimak dari analisa Tadjuddin Noer Effendi (KOMPAS, Rabu, 29 Januari 1997, hal 4).
Ketamakan (avarice) itu melekat pada watak, pembawaan ekonomi pasar (ekonomi kapitalis) Pembawaan dan dampak ekonomi kapitalis adala pertumbuhan dan kemajuan besar, sekalgus juga kesenjangan. Ketamakan akan arta, kekayaan melahirkan industrialisasi. Disamping berhasl memacu pertmbuhan ekonomi dan modernisasi, ndustralsasi juga telah merusak hubungan-hubngan sosia tradisinal dan memunculkan perpecahanerpecaan dan knflik-konflik baru daam strktur sosial masarakat (Checkland : “The ise of Indstries socet in glad 18151885, 1964, Homans, Johnson, 1986; Marcse : “One-Dimensioal Man : tudies in The delogy of Advanced ndstrial Society”, 1966; Habermas : “Problems of Legitimation in Late Capitalism, 195).
Proses industrialisasi telah merombak secara total hamper setap sendi kehidupan masyarakat, baik kebudaaan mapun kepribadian. Akibat lanjutannya adalah munculnya gejala ketidakseimbangan dan guncangan mental dalam kehidupan masyarakat. Pada saat yang bersamaan rasa tidak aman, tidak berharga, utus asa, mengalami ketegangan melanda relung kehidupan masyarakat. Pada gilirannya, norma-norma sosial masyarakat menjadi lemah atau tidak ada sama sekali. Masih dari analisa Tadjuddin Noer Effendi (KOMPAS, Rabu, 29 Januari 1997, hal 4, 5).
Apa bedanya bila indstri ditangani oleh ihai yang konglomerat denga ndustri yang ditangani ole non-Mslim ? Apa bedanya bla Deparemen Keuangan dipimpin ole kalangan IMI, mantan HMI dengan Departemen Keuanga dipimpin oleh kalangan salib ? Apa bedanya bila pemerintah dipimpin oleh kalangan parpol Islam dengan pemernta dpimpin oleh kalangan bkan parpol Islam ? Apa ang terjadi bia kihai menjadi teknokrat-konglmerat ? Da apa pula yang terjadi bila teknokrat-konglomerat menjadi kiahi ?
Langkah konkrit aa yang harus dilakukan leh penguasa agar Negara Kesatuan Republik Indonesia ini menjadi negara mandiri, yang politik, ekonomi, militernya tak diatur oleh kepentingan asing, agar rakyatnya memiliki penghasilan, pendapatan yang layak, yang memiliki daya beli yang pantas ?
(BKS9703130945)
Biang kehancuran
Biang Kehancuran
Di mana-mana bisa saja ditemukan keresahan, kerusuhan, kekacauan. Konflik, bentrok fisik berdarah. Konflik horizontal, antara sesama rakyat, antara sesama penguasa, penyelenggara anegara, antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Konflik vertikal, antara atasan dan bawahan, antara majikan dan pelayan, antara penguasa dan rakyat. Konflik antara etnis, antara suku.
Ada tiga sumber utama pemicu terjadi kekacauan, malapetaka. Pertama memperturutkan hawa nafsu. Kedua memenuhi ajakan, seruan kikir. Ketiga ujub, sombong, pamer diri (HR Abusyaikh dari Anas).
Pola Hidup tamak, rakus, serakah.
Hawa itu pantang kerendahan. Nafsu itu pantang kekurangan. Tak pernah puas dengan posisi, jabatan. Senantiasa berupaya naik keatas tanpa batas. Mengakumulasi kekuasaan. Serba kuasa. Tak pernah puas dengan harta kekayaan. Senantiasa berupaya menumpuk, melipatgandakan harta kekayaan, menginvestasikan kekayaan di mana-mana. Motivasinya untuk menjadi orang nomor satu. Bukan untuk memenuhi kepentingan umum, seperti untuk menyediakan lapangan kerja bagi para tuna karya. Takatsur (akumulasi kekuasaan dan kekayaan) sepanjang hidup, menyebabkan manusia tak sadar diri (QS Takatsur 102:1-2, Lahab 111:2, An’am 6:44, Hasyar 59:19). Harta itu adalah laksana air asin. Semakin banyak diminum, maka semakin haus (Dr Schoppenhauer). Manusia itu tak pernah puas. Senantiasa berupaya memonopoli kekuasaan dan memonopoli kekyaaan. "Andaikan anak Adam memiliki sepenuh lembah harta kekayaan, pasti ia ingin sebanya itu lagi, dan tiada yang dapat memuaskan pandangan mata anak Adam kecuali tanah, dan Allah akan memberi taubat, kepada siapa yang tobat (HR Bukhari, Muslim dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik).
Keserakahan tak terkendali merupakan faktor pembawa nestapa dalam kehidupan manusia. Orang serakah taka pernah puas dengan semua harta dunia, persis sebagaimana api membakar semua bahan bakar yang diberikan. Bilamana keserakahan (monopoli) menguasai suatu bangsa, ia mengubah kehidupan sosialnya menjadi medan pertengkaran dan perpecahan sebagai ganti keadilan, keamanan dan kedamaian. Secara alami, dalam masyarakat semacam itu, keluhuran moral dan rohani tidak mendapat kesempatan. Orang serakah merebut sumber-sumber kekayaan untuk mendapatkan yang lebih banyak dari haknya sendiri, dan mengakaibatkan permasalahan ekonomi yang parah (Sayid Mujtaba Musai Lari : "Menumpas Penyakit Hati", 1999:161). Rasulullah mengkhawatirkan, kalau nanti terhampar luas, terbuka lebar kemewahan dan keindahan dunia bagi ummatnya, seperti telah pernah terhampar pada orang-orang dahulu sebelum mereka, kemudian mereka berlomba-lomba sehingga membinasakan mereka, seperti telah membinasakan orang-orang dahulu (HR Bukhari, Muslim dari Amr bi Aauf al-Anshari).
Pola hidup tamak, rakus, serakah melahirkan perilaku hidup mewah, berorientasi pada pemenuhan kebutuhan (syahwat) perut dan kelamin, berorientasi pada privat profit duniawi semata (hubbun dunya wa karihatul maut), serta prilaku hidup cuek, masa bodoh, tanpa mempedulikan halal atau haram, tanpa mempedulikan keadaan sesama, pokoknya asal terpenuhi kebutuhan perut dan kelamin, tak punya rasa malu sama sekali, tak punya rasa kepekaan sosial.
Pola hidup pelit, kikir.
Untuk mengamankan harta kekayaan agar tidak susut, agar tidak berkurang, maka diperlukan sikap mental, pola hidup pelit, kikir. Pelit, kikir merupakan kerabat dekat dari tamak, serakah, rakus. Pelit, kikir merefleksikan egois seutuhnya. Senantiasa cemas, kawatir kalau-kalau kekayaan susut, berkurang. Orang kikir merasa seluruh harta kekayaan itu adalah hasil kerja kerasnya dan hasil kecakapannya semata (QS Qashash 28:78). Setan menakut-nakuti akan berkurangnya harta, dan membisikkan agar berbuat kikir (QS Baqarah 2:266). Pikiran orang kikir hanya terfokus, terpusat disekitar materi dan kekayaan. Takut akan berkurangnya harta kekyaannya, sangat mempengaruhi pikiran si kikir. Seorang kikir senantiasa dalam kecemasan dan depresi. Ada suatu hubungan langsung antara kekayaan dan kekikiran. Kebanyakan orang kaya cenderung kikir. Yang menolong orang miskin biasanya dilakukan oleh kalangan menengah, bukan orang kaya. Kekiran punya peran menyulut kejahatan dan perpecahan ("Menumpas Penyakit Hati", 1999:152-153). Rasulullah mengingatkan ummatnya agar menjaga diri dari sifat kikir, karena sifat kikir itu telah membinasakan ummat-ummat dahulu, mendrong mereka mengadakan pertumpahan darah dan menghalalkan semua yang diharamkan Allah (HR Muslim dari Jabir.
Pola hidup pelit, kikir, bakhil melahirkan perilaku hidup sibuk menabung, menyimpan, berinvestasi melipatgandakan modal kekyaan, sibuk dengan rencana, rancangan, planning, serta perilaku hidup aniaya, sadis, zhalim, monopoli, melindas usaha kecil, tak membiarkan hidup yang akan dapat menjadi saingan.
Pola hidup sombong
Karena memonopoli kekuasaan dan kekyaan, maka tumbuhlah sifat dan sikap ujub, sombong, pamer diri. Tak pernah berpuas diri, bilamana belum sempat memamerkan kekuasaan dan kekayaan. Si sosmbong merasa seakan-akan semua orang berniat merugikannya. Timbul kebencian dan rasa dendam terhadap masyaakat. Jiwanya tidak bisa tenteram sebelum ia dapat membalas dendamnya. Orang-orang sombong (mutrafin) selalu menantang seruan para nabi dan rasul, dan mencegah orang lain menerima seruan para nabi dan rasul ("Menumpas Penyakit Hati", 1999:99). Pamer kekuasaan dan pamer kekayaan sangat mengganggu keseimbangan sosial, mengundang kecemburuan sosial.
Pola hidup pamer, sombong, angkuh, congkak melahirkan perilaku hidup ghibah, sibuk dengan gossip dan issu, sibuk bergunjing, sibuk menyalahkan orang, tak pernah mengoreksi diri, serta perilaku keras kepala, kepala batu, tak masuk kebenaran, tak mau menerima nasehat, merasa benar selalu.
Rasulullah saw mengingatkan bahwa ada enam perilaku, pola hidup yang berbahaya, yang mengikis pahala. Pertama, sibuk membicarakan cacat cela dan aib sesama. Kedua, kesat, kasar hati. Ketiga, cinta dunia. Keempat, kurang rasa malu. Kelima, panjang angan-angan. Keenam, senantiasa berlaku aniaya (HR Dailami dari ‘Adi bin Hatim).
Rasulullah saw juga mengingatkan dan mengajarkan supaya biasa berdo’a memohon kepada Allah swt agar terhindar, terlepas dari pola hidup, perilaku sial yang membahayakan diri pribadi, maupun hidup bersama. Antara lain prilaku risau, gundah gulana. Perilaku suka bersedih. Perilaku lemah, tak bergairah, tak bersemangat. Perilaku malas, suka menganggur. Perilaku bakhil, kikir, pelit. Perilaku mudah cemas, kawatir, takut. Takut terhindik, takut tersaingi. Takut celaa, takut cacian. Perilaku suka berhutang. Perilaku gampang tergoda oleh kemewahan dunia (HR Bukhari dari Anas). Perilaku risau, suka bersedih, tak bersemangat, malas bisa saja lahir, datang, tumbuh akibat kegagalan dalam merancang investasi, akibat angan-angan yang tak dapat terwujud. Perilaku takut tersaingi, juga perilaku suka berhutang, bisa saja lahir, datang, tumbuh dari dorongan pamer diri, akibat hawa pantang kerendahan, nafsu pantang kekurangan. Pokoknya semua halal, tak ada yang haram, asal sesuai dengan hawa nafsu. Semuanya berpangkal pada pola hidup, perilaku yang berorientasi pada privat profit duniawi semata.
Pesan moral, pesan agama, bahwa pola hidup tamak, rakus, seakah, pola hidup pelit, kikir, kedekut, pola hidup sombong, congkak, angkuh, pamer, dan yang semacam itu mengundang kekacauan, kerusuhan, memicu konflik, bentrokan, sudah masanya disampaikan, dikemas, diterjemahkan dalam multi bahasa, dalam bahasa sosio-budaya, dalaqm bahasa sosio-ekonomi, dalam bahasa sosio-politik, dalam bahasa sosiologi. Kami – kata Rasulullah – diperintahakan supaya berbicara kepada manusia menurut kadar kecerdasan mereka masing-masing (M.Natsir : "Fiqhud Dakwah", 1981:162).
Sudah sa’atnya dijelaskan secara lugas, gamblang tentang bahaya rakus, tamak, serakah, bahaya kikir, pelit, kedekut, bahaya angkuh, congkak, sombong, pamer dan baahaya perilaku tercela lai, baik terhadap diri dan masyarakat secara sosiologis dan ekonomis.
Sudah sa’atnya dakwah memusatkan diri menyampaikan tuntnan-panduan Islam daalam upaya mencegah timbulnya konflik sosial, baik konflik vertikal (antara atasan dan bawahan, antara majikan dan pelayan, antara penguasa dan rakyat), maupun konflik horizontal (sesama rakyat, sesama penguasa, antara eksekutif dan legislatif). Menyampaikan ajaran "salam" yang dapat membuahkan kasih sayang secara konkrit.
Di mana-mana bisa saja ditemukan keresahan, kerusuhan, kekacauan. Konflik, bentrok fisik berdarah. Konflik horizontal, antara sesama rakyat, antara sesama penguasa, penyelenggara anegara, antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Konflik vertikal, antara atasan dan bawahan, antara majikan dan pelayan, antara penguasa dan rakyat. Konflik antara etnis, antara suku.
Ada tiga sumber utama pemicu terjadi kekacauan, malapetaka. Pertama memperturutkan hawa nafsu. Kedua memenuhi ajakan, seruan kikir. Ketiga ujub, sombong, pamer diri (HR Abusyaikh dari Anas).
Pola Hidup tamak, rakus, serakah.
Hawa itu pantang kerendahan. Nafsu itu pantang kekurangan. Tak pernah puas dengan posisi, jabatan. Senantiasa berupaya naik keatas tanpa batas. Mengakumulasi kekuasaan. Serba kuasa. Tak pernah puas dengan harta kekayaan. Senantiasa berupaya menumpuk, melipatgandakan harta kekayaan, menginvestasikan kekayaan di mana-mana. Motivasinya untuk menjadi orang nomor satu. Bukan untuk memenuhi kepentingan umum, seperti untuk menyediakan lapangan kerja bagi para tuna karya. Takatsur (akumulasi kekuasaan dan kekayaan) sepanjang hidup, menyebabkan manusia tak sadar diri (QS Takatsur 102:1-2, Lahab 111:2, An’am 6:44, Hasyar 59:19). Harta itu adalah laksana air asin. Semakin banyak diminum, maka semakin haus (Dr Schoppenhauer). Manusia itu tak pernah puas. Senantiasa berupaya memonopoli kekuasaan dan memonopoli kekyaaan. "Andaikan anak Adam memiliki sepenuh lembah harta kekayaan, pasti ia ingin sebanya itu lagi, dan tiada yang dapat memuaskan pandangan mata anak Adam kecuali tanah, dan Allah akan memberi taubat, kepada siapa yang tobat (HR Bukhari, Muslim dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik).
Keserakahan tak terkendali merupakan faktor pembawa nestapa dalam kehidupan manusia. Orang serakah taka pernah puas dengan semua harta dunia, persis sebagaimana api membakar semua bahan bakar yang diberikan. Bilamana keserakahan (monopoli) menguasai suatu bangsa, ia mengubah kehidupan sosialnya menjadi medan pertengkaran dan perpecahan sebagai ganti keadilan, keamanan dan kedamaian. Secara alami, dalam masyarakat semacam itu, keluhuran moral dan rohani tidak mendapat kesempatan. Orang serakah merebut sumber-sumber kekayaan untuk mendapatkan yang lebih banyak dari haknya sendiri, dan mengakaibatkan permasalahan ekonomi yang parah (Sayid Mujtaba Musai Lari : "Menumpas Penyakit Hati", 1999:161). Rasulullah mengkhawatirkan, kalau nanti terhampar luas, terbuka lebar kemewahan dan keindahan dunia bagi ummatnya, seperti telah pernah terhampar pada orang-orang dahulu sebelum mereka, kemudian mereka berlomba-lomba sehingga membinasakan mereka, seperti telah membinasakan orang-orang dahulu (HR Bukhari, Muslim dari Amr bi Aauf al-Anshari).
Pola hidup tamak, rakus, serakah melahirkan perilaku hidup mewah, berorientasi pada pemenuhan kebutuhan (syahwat) perut dan kelamin, berorientasi pada privat profit duniawi semata (hubbun dunya wa karihatul maut), serta prilaku hidup cuek, masa bodoh, tanpa mempedulikan halal atau haram, tanpa mempedulikan keadaan sesama, pokoknya asal terpenuhi kebutuhan perut dan kelamin, tak punya rasa malu sama sekali, tak punya rasa kepekaan sosial.
Pola hidup pelit, kikir.
Untuk mengamankan harta kekayaan agar tidak susut, agar tidak berkurang, maka diperlukan sikap mental, pola hidup pelit, kikir. Pelit, kikir merupakan kerabat dekat dari tamak, serakah, rakus. Pelit, kikir merefleksikan egois seutuhnya. Senantiasa cemas, kawatir kalau-kalau kekayaan susut, berkurang. Orang kikir merasa seluruh harta kekayaan itu adalah hasil kerja kerasnya dan hasil kecakapannya semata (QS Qashash 28:78). Setan menakut-nakuti akan berkurangnya harta, dan membisikkan agar berbuat kikir (QS Baqarah 2:266). Pikiran orang kikir hanya terfokus, terpusat disekitar materi dan kekayaan. Takut akan berkurangnya harta kekyaannya, sangat mempengaruhi pikiran si kikir. Seorang kikir senantiasa dalam kecemasan dan depresi. Ada suatu hubungan langsung antara kekayaan dan kekikiran. Kebanyakan orang kaya cenderung kikir. Yang menolong orang miskin biasanya dilakukan oleh kalangan menengah, bukan orang kaya. Kekiran punya peran menyulut kejahatan dan perpecahan ("Menumpas Penyakit Hati", 1999:152-153). Rasulullah mengingatkan ummatnya agar menjaga diri dari sifat kikir, karena sifat kikir itu telah membinasakan ummat-ummat dahulu, mendrong mereka mengadakan pertumpahan darah dan menghalalkan semua yang diharamkan Allah (HR Muslim dari Jabir.
Pola hidup pelit, kikir, bakhil melahirkan perilaku hidup sibuk menabung, menyimpan, berinvestasi melipatgandakan modal kekyaan, sibuk dengan rencana, rancangan, planning, serta perilaku hidup aniaya, sadis, zhalim, monopoli, melindas usaha kecil, tak membiarkan hidup yang akan dapat menjadi saingan.
Pola hidup sombong
Karena memonopoli kekuasaan dan kekyaan, maka tumbuhlah sifat dan sikap ujub, sombong, pamer diri. Tak pernah berpuas diri, bilamana belum sempat memamerkan kekuasaan dan kekayaan. Si sosmbong merasa seakan-akan semua orang berniat merugikannya. Timbul kebencian dan rasa dendam terhadap masyaakat. Jiwanya tidak bisa tenteram sebelum ia dapat membalas dendamnya. Orang-orang sombong (mutrafin) selalu menantang seruan para nabi dan rasul, dan mencegah orang lain menerima seruan para nabi dan rasul ("Menumpas Penyakit Hati", 1999:99). Pamer kekuasaan dan pamer kekayaan sangat mengganggu keseimbangan sosial, mengundang kecemburuan sosial.
Pola hidup pamer, sombong, angkuh, congkak melahirkan perilaku hidup ghibah, sibuk dengan gossip dan issu, sibuk bergunjing, sibuk menyalahkan orang, tak pernah mengoreksi diri, serta perilaku keras kepala, kepala batu, tak masuk kebenaran, tak mau menerima nasehat, merasa benar selalu.
Rasulullah saw mengingatkan bahwa ada enam perilaku, pola hidup yang berbahaya, yang mengikis pahala. Pertama, sibuk membicarakan cacat cela dan aib sesama. Kedua, kesat, kasar hati. Ketiga, cinta dunia. Keempat, kurang rasa malu. Kelima, panjang angan-angan. Keenam, senantiasa berlaku aniaya (HR Dailami dari ‘Adi bin Hatim).
Rasulullah saw juga mengingatkan dan mengajarkan supaya biasa berdo’a memohon kepada Allah swt agar terhindar, terlepas dari pola hidup, perilaku sial yang membahayakan diri pribadi, maupun hidup bersama. Antara lain prilaku risau, gundah gulana. Perilaku suka bersedih. Perilaku lemah, tak bergairah, tak bersemangat. Perilaku malas, suka menganggur. Perilaku bakhil, kikir, pelit. Perilaku mudah cemas, kawatir, takut. Takut terhindik, takut tersaingi. Takut celaa, takut cacian. Perilaku suka berhutang. Perilaku gampang tergoda oleh kemewahan dunia (HR Bukhari dari Anas). Perilaku risau, suka bersedih, tak bersemangat, malas bisa saja lahir, datang, tumbuh akibat kegagalan dalam merancang investasi, akibat angan-angan yang tak dapat terwujud. Perilaku takut tersaingi, juga perilaku suka berhutang, bisa saja lahir, datang, tumbuh dari dorongan pamer diri, akibat hawa pantang kerendahan, nafsu pantang kekurangan. Pokoknya semua halal, tak ada yang haram, asal sesuai dengan hawa nafsu. Semuanya berpangkal pada pola hidup, perilaku yang berorientasi pada privat profit duniawi semata.
Pesan moral, pesan agama, bahwa pola hidup tamak, rakus, seakah, pola hidup pelit, kikir, kedekut, pola hidup sombong, congkak, angkuh, pamer, dan yang semacam itu mengundang kekacauan, kerusuhan, memicu konflik, bentrokan, sudah masanya disampaikan, dikemas, diterjemahkan dalam multi bahasa, dalam bahasa sosio-budaya, dalaqm bahasa sosio-ekonomi, dalam bahasa sosio-politik, dalam bahasa sosiologi. Kami – kata Rasulullah – diperintahakan supaya berbicara kepada manusia menurut kadar kecerdasan mereka masing-masing (M.Natsir : "Fiqhud Dakwah", 1981:162).
Sudah sa’atnya dijelaskan secara lugas, gamblang tentang bahaya rakus, tamak, serakah, bahaya kikir, pelit, kedekut, bahaya angkuh, congkak, sombong, pamer dan baahaya perilaku tercela lai, baik terhadap diri dan masyarakat secara sosiologis dan ekonomis.
Sudah sa’atnya dakwah memusatkan diri menyampaikan tuntnan-panduan Islam daalam upaya mencegah timbulnya konflik sosial, baik konflik vertikal (antara atasan dan bawahan, antara majikan dan pelayan, antara penguasa dan rakyat), maupun konflik horizontal (sesama rakyat, sesama penguasa, antara eksekutif dan legislatif). Menyampaikan ajaran "salam" yang dapat membuahkan kasih sayang secara konkrit.
Semanya sudah ditetapkan
Semuanya sudah ditetapkan
Hanya yang akan berlaku adalah yang direncanakan Allah saja. Yang direncanakan manusia hanya akan berlaku bila bertepataan dengan rencana Allah, dan tak akan berlaku bila tak bertepatan dengan rencana Allah.
"Dan apabila Dia menghendaki mengadakan sesuatu Dia berkata : Jadilah engkau. lalu jadilah ia" (QS 2:117).
"Apabila Ia memutuskan suatu pekerjaan, Ia hanya berkata : Jadilah engkau, lalu jadilah ia" (QS 3:47).
"Apabila Dia hendak memutuskan suatu urusan, maka hanya Dia berkata kepadanya : Jadilah engkau, lalu jadilah ia" (QS 40:68).
"Apabila Dia hendak mengadakan sesuatu, maka Dia hanya berkata : Jadilah engkau. maka jadilah ia" (QS 19:35).
"bila Ia amenghendaki (menaakan) sesuatu, Ia berkata kepadanya ; Jadilah engkau. lalu jadilah ia" (QS 36:82)
Semuanya sudah direncanakan, diprogramkan Allah.
"Tiada suatu bencana yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab Lauh Mahfuzh" (QS 57:22).
Tiada sesuatu musibah pun yang menimpa seseoang kecuali dengan idzin Allah" (Qs 64:11).
"Apa saja yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri" (QS 42:30).
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia: (QS 30:41).
Semuanya terjadi sesuai dengan rencana, program Allah. Semua atas kehendak Allah. Semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah. tak ada yang terjadi tanpa kehendak Allah.
"Tak ada daya dan kekuatan, kecuali dengan idzin Allah".
"Kamu tidak dapat menghendaki, kecuali apabila dikehendaki Allah" (QS 81:29).
"Kamu tidak mampu, kecuali bila dikehendaki Allah" (QS 76:30).
"tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka" (QS 28:68).
"Katakanlah : Telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat sekehendaknya" (HR Muslim dari Abi Hurairah, dalam 'Riadhus Shalihin" Nawawi, pasal Mujahadah, Muqarabah),
"Man proposes, God disposes. Man does what he can, and God what He will".
Termasuk dalam sunnah, rencana, program Allah adalah bahwa orang yang bersih jiwanya akan memperoleh apa yang dikehendakinya, yang dicita-citakannya.
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri" (QS 87:14).
"Semuanya datang dari sisi Allah" (QS 4:78).
"Jika mereka memperoleh kebaikan, maka mereka mengatakan "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana, mereka mengatakan "Ini datangnya dari kamu (Muhammad)". Katakanlah "Semuanya dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak bisa memahami pembicaraan sedikitpun? Kebaikan apa saja yang kamu terima adalah dari sisi Allah dan keburukan (bencana) apa saja yang menimpa adalah berasal dari diri kamu (QS 4:78-79, Dr Shaleih Abdul fattah alKhalidi : "Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur;an", 2001:338).
Kenapa Allah menghendakinya terjadi? Hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Tak ada yang tahu selain allah sendiri. "Allahu a'lam bi muradihi".
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata : Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan paadanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. tuhan berfirman : sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui" (QS 2:30).
Allah maha Mengetahui. Mengetahui yang sudah, yang sedang dan yang akan terjadi. di mana pun, kapan pun.
"Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkanDia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata" (QS 6:59, 57:22, Dr Shalih Abdul Fattah alKhalidi : "Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur:an", 2001:269).
Nasib seseoraang sudah ditentukan Allah.
"Allah menyuruh mencatat ketentuan amal, rizqi, ajal dan nasib seseorang" (HR Bukhari, Muslim dari Abdullah bin Ma'ud, dalam "Lukluk wal Marjan", hadits 72, 1093, dan dalam "riadhus Shalihin", jilid I, hal 354, hadits 1).
Rencana, program Allah tak mengalami perubahan, revisi.
"Dan tiada engkau peroleh sunnatullah itu berubah-ubah (bertukar-tukar)" (QS 33:62).
"Dan engkau tiada akan mendapati sunnatullah itu berubah-ubah (bertukar-tukar)" (QS 48:23).
" Maka tiada engkau dapati sunnatullah itu bertukar-tukar, dan tiada engkau dapati sunnatullah itu berubah-ubah" (QS 35:43).
"Dan engkau tidak dapat mengubah sunnah (jalan, sistim) kami itu" (Qs 17:77).
"Kalau Aku sudah menentukan suatu keputusan, maka keputusan itu tidak dapat dibatalkan (ditolak)" (dalam Hadits).
Nabi bersabda "Tiada seoang pun dari kalian, bahkan tiada suatu jiwa manusia melainkan sudah ditentukan tempatnya di sorga atau di neraka, bernasib baik atau celaka". Seorang bertanya :"Ya Rasulullah, apakah tidak lebih baik kita menyerah saja pada ketentuan itu dan tidak usah beramal, maka jika untung akan sampai kepada keuntungannya". Jawab Nabi "Adapun orang yang bakal untung maka diringankan untuk mengamalkan perbuatan ahli sa'adah, sealiknya orang yang celaka maka ringan untuk berbuat segala amal yang membinasakan" (HR Bukhari, Muslim dari Ali, dalam "Lukluk wal Marjan", hadits 1697).
"Barangsiapa dikehendaki Allah akan menunjukinya, niscaya Dia lapangkan dadanya bagi Islam. barangsiapa yang dikehendaki Allah akan menyesatkannya, Dia jadikan adanya sempit dan picik, seolah-olah ia hendak naik ke langit" (QS 6:125).
Allah mengatur "programNya, yang di dalam Islam dinami "taqdir" setapak demi setapak. Dengan takdir-iradah Allah, maka orang-orang Israil yang telah sekian lama teraniaya dan tertindas di bawah kekuasaan Fir'aun dikurniai kedudukan terhormat sebagai pemimpin yang memimpin masyarakat yang bebas merdeka dari perbudakan dan kehinaan, sebagai pemimpin yang menerima warisan bekas wilayah kekuasaan Fir'aun (Prof Dr Hamka : "Tafsir Al-Azhar", XX, 1983:68-70).
"Dan berkehendaklah Kami (Allah) hendak memberi kurnia atas orang-orang yang diperlemah di muka bumi itu dan hendak kami jadikan mereka itu pemimpin-pemimpin dan hendak kami jadikan mereka itu penerima waris" (QS 28:5).
Hanya yang akan berlaku adalah yang direncanakan Allah saja. Yang direncanakan manusia hanya akan berlaku bila bertepataan dengan rencana Allah, dan tak akan berlaku bila tak bertepatan dengan rencana Allah.
"Dan apabila Dia menghendaki mengadakan sesuatu Dia berkata : Jadilah engkau. lalu jadilah ia" (QS 2:117).
"Apabila Ia memutuskan suatu pekerjaan, Ia hanya berkata : Jadilah engkau, lalu jadilah ia" (QS 3:47).
"Apabila Dia hendak memutuskan suatu urusan, maka hanya Dia berkata kepadanya : Jadilah engkau, lalu jadilah ia" (QS 40:68).
"Apabila Dia hendak mengadakan sesuatu, maka Dia hanya berkata : Jadilah engkau. maka jadilah ia" (QS 19:35).
"bila Ia amenghendaki (menaakan) sesuatu, Ia berkata kepadanya ; Jadilah engkau. lalu jadilah ia" (QS 36:82)
Semuanya sudah direncanakan, diprogramkan Allah.
"Tiada suatu bencana yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab Lauh Mahfuzh" (QS 57:22).
Tiada sesuatu musibah pun yang menimpa seseoang kecuali dengan idzin Allah" (Qs 64:11).
"Apa saja yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri" (QS 42:30).
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia: (QS 30:41).
Semuanya terjadi sesuai dengan rencana, program Allah. Semua atas kehendak Allah. Semua yang terjadi adalah atas kehendak Allah. tak ada yang terjadi tanpa kehendak Allah.
"Tak ada daya dan kekuatan, kecuali dengan idzin Allah".
"Kamu tidak dapat menghendaki, kecuali apabila dikehendaki Allah" (QS 81:29).
"Kamu tidak mampu, kecuali bila dikehendaki Allah" (QS 76:30).
"tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka" (QS 28:68).
"Katakanlah : Telah ditakdirkan Allah, dan Allah berbuat sekehendaknya" (HR Muslim dari Abi Hurairah, dalam 'Riadhus Shalihin" Nawawi, pasal Mujahadah, Muqarabah),
"Man proposes, God disposes. Man does what he can, and God what He will".
Termasuk dalam sunnah, rencana, program Allah adalah bahwa orang yang bersih jiwanya akan memperoleh apa yang dikehendakinya, yang dicita-citakannya.
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri" (QS 87:14).
"Semuanya datang dari sisi Allah" (QS 4:78).
"Jika mereka memperoleh kebaikan, maka mereka mengatakan "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana, mereka mengatakan "Ini datangnya dari kamu (Muhammad)". Katakanlah "Semuanya dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak bisa memahami pembicaraan sedikitpun? Kebaikan apa saja yang kamu terima adalah dari sisi Allah dan keburukan (bencana) apa saja yang menimpa adalah berasal dari diri kamu (QS 4:78-79, Dr Shaleih Abdul fattah alKhalidi : "Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur;an", 2001:338).
Kenapa Allah menghendakinya terjadi? Hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Tak ada yang tahu selain allah sendiri. "Allahu a'lam bi muradihi".
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata : Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan paadanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau. tuhan berfirman : sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui" (QS 2:30).
Allah maha Mengetahui. Mengetahui yang sudah, yang sedang dan yang akan terjadi. di mana pun, kapan pun.
"Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkanDia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata" (QS 6:59, 57:22, Dr Shalih Abdul Fattah alKhalidi : "Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur:an", 2001:269).
Nasib seseoraang sudah ditentukan Allah.
"Allah menyuruh mencatat ketentuan amal, rizqi, ajal dan nasib seseorang" (HR Bukhari, Muslim dari Abdullah bin Ma'ud, dalam "Lukluk wal Marjan", hadits 72, 1093, dan dalam "riadhus Shalihin", jilid I, hal 354, hadits 1).
Rencana, program Allah tak mengalami perubahan, revisi.
"Dan tiada engkau peroleh sunnatullah itu berubah-ubah (bertukar-tukar)" (QS 33:62).
"Dan engkau tiada akan mendapati sunnatullah itu berubah-ubah (bertukar-tukar)" (QS 48:23).
" Maka tiada engkau dapati sunnatullah itu bertukar-tukar, dan tiada engkau dapati sunnatullah itu berubah-ubah" (QS 35:43).
"Dan engkau tidak dapat mengubah sunnah (jalan, sistim) kami itu" (Qs 17:77).
"Kalau Aku sudah menentukan suatu keputusan, maka keputusan itu tidak dapat dibatalkan (ditolak)" (dalam Hadits).
Nabi bersabda "Tiada seoang pun dari kalian, bahkan tiada suatu jiwa manusia melainkan sudah ditentukan tempatnya di sorga atau di neraka, bernasib baik atau celaka". Seorang bertanya :"Ya Rasulullah, apakah tidak lebih baik kita menyerah saja pada ketentuan itu dan tidak usah beramal, maka jika untung akan sampai kepada keuntungannya". Jawab Nabi "Adapun orang yang bakal untung maka diringankan untuk mengamalkan perbuatan ahli sa'adah, sealiknya orang yang celaka maka ringan untuk berbuat segala amal yang membinasakan" (HR Bukhari, Muslim dari Ali, dalam "Lukluk wal Marjan", hadits 1697).
"Barangsiapa dikehendaki Allah akan menunjukinya, niscaya Dia lapangkan dadanya bagi Islam. barangsiapa yang dikehendaki Allah akan menyesatkannya, Dia jadikan adanya sempit dan picik, seolah-olah ia hendak naik ke langit" (QS 6:125).
Allah mengatur "programNya, yang di dalam Islam dinami "taqdir" setapak demi setapak. Dengan takdir-iradah Allah, maka orang-orang Israil yang telah sekian lama teraniaya dan tertindas di bawah kekuasaan Fir'aun dikurniai kedudukan terhormat sebagai pemimpin yang memimpin masyarakat yang bebas merdeka dari perbudakan dan kehinaan, sebagai pemimpin yang menerima warisan bekas wilayah kekuasaan Fir'aun (Prof Dr Hamka : "Tafsir Al-Azhar", XX, 1983:68-70).
"Dan berkehendaklah Kami (Allah) hendak memberi kurnia atas orang-orang yang diperlemah di muka bumi itu dan hendak kami jadikan mereka itu pemimpin-pemimpin dan hendak kami jadikan mereka itu penerima waris" (QS 28:5).
Persatuan yang dipaksakan
Persatuan yang dipaksakan
Tajuk Rencana KOMPAS (Sabtu, 30 Mei 2009, hal 6) menyoroti “pemberontakan separatis suku Kurdi di Turki”. “Gerakan pemberontakan Kurdi telah merepotkan Turki. Kehidupan ekonomi dan stabilitas keamanan terganggu. Tindakan tegas dan keras pasukan pemerintah terhadap gerilyawan pemberontak sering menimbulkan isu pelanggaran hak asasi, yang semakin menylitkan Trki bergabung dengan Un Erpa.
Gerakan separatis Kurdi sendiri di mata banyak kalangan di dunia menimbulkan dilemma. Di satu sisi, perjuangan mendirikan Negara sendiri merupakan hak setiap bangsa. Impian mendirikan Negara sendiri itu termasuk kuat di kalangan kurdi, yang wilayah dan masyarakatnya telah dipecah-pecah ke dalam beberapa Negara oleh kaum penjajah.
Namun, di sisi lain, gerakan separaatis Kurdi di Turki mapun di Irak atau Iran dianggap membahayakan integritas wilayah dan kedaulatan Negara merdeka sebagai Negara-bangsa, nation-state”.
Analisa KOMPAS menyimpulkan “Sistem Negara-bangsa yang salah satu cirinya pluralistik pasti berantakan dan penuh kekacauan jika gerakan separatis dibiarkan muncul dan berkembang”.
Padahal negara-bangsa itu adalah produk kompromi, kesepakatan, persetujuan, agreement yang dipaksakan oleh negara-negara mantan penjajah. Inilah hasil persatuan yang dipaksakan. Gerakan separatis akan selalu tumbuh dan berkembang di mana pun sebagai hasil dari perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara mantan penjajah, hasil konspirasi kolonialisme-imperialisme.
(BKS0905301030)
Tajuk Rencana KOMPAS (Sabtu, 30 Mei 2009, hal 6) menyoroti “pemberontakan separatis suku Kurdi di Turki”. “Gerakan pemberontakan Kurdi telah merepotkan Turki. Kehidupan ekonomi dan stabilitas keamanan terganggu. Tindakan tegas dan keras pasukan pemerintah terhadap gerilyawan pemberontak sering menimbulkan isu pelanggaran hak asasi, yang semakin menylitkan Trki bergabung dengan Un Erpa.
Gerakan separatis Kurdi sendiri di mata banyak kalangan di dunia menimbulkan dilemma. Di satu sisi, perjuangan mendirikan Negara sendiri merupakan hak setiap bangsa. Impian mendirikan Negara sendiri itu termasuk kuat di kalangan kurdi, yang wilayah dan masyarakatnya telah dipecah-pecah ke dalam beberapa Negara oleh kaum penjajah.
Namun, di sisi lain, gerakan separaatis Kurdi di Turki mapun di Irak atau Iran dianggap membahayakan integritas wilayah dan kedaulatan Negara merdeka sebagai Negara-bangsa, nation-state”.
Analisa KOMPAS menyimpulkan “Sistem Negara-bangsa yang salah satu cirinya pluralistik pasti berantakan dan penuh kekacauan jika gerakan separatis dibiarkan muncul dan berkembang”.
Padahal negara-bangsa itu adalah produk kompromi, kesepakatan, persetujuan, agreement yang dipaksakan oleh negara-negara mantan penjajah. Inilah hasil persatuan yang dipaksakan. Gerakan separatis akan selalu tumbuh dan berkembang di mana pun sebagai hasil dari perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara mantan penjajah, hasil konspirasi kolonialisme-imperialisme.
(BKS0905301030)
Sabtu, 23 Mei 2009
Pertarungana antara Islamisasi dan Deislamisasi
Pertarungan antara Islamisasi dan Deislamisasi
Dalam WARTA BEKASI, Minggu ke-I, Juli 1999, hlm 3, Drs Nur Supriyanto, MM, Ketua DPD Partai Keadilan Kodya Bekasi mengemukakan agenda politik bersama Umat Islam yang harus seera diselesaikan. Pertama menyediakan komponen strategis dengan mengkalkulasi (memperhitungkan) seluruh unsur potensi kekuatan Umat Islam. Kedua, meletakkan dasar kebersamaan (kolektivitas dan unitas jama’ah dan jami’ah) diantara Umat islam, dengan visi politik yang dijiwai oleh semangat keterbukaan dan demokratisasi, serta yang juga menjangkau wajah perekonomian, hukum, sosial, budaya dan moralitas angsa dan negara.
Komponen politik strategis yang pewrlu disiapkan. Pertama, kesamaan visi dan persepsi politik yang akan menjadi garis kebijakan politik bersama Umat Islam. Kedua, instrumen politik (sarana dan prasarana infrastrukturnya) yang akan bekerja sebagai mesin politik Umat Islam. Ketiga, masa pendukung dengan kadar intelektual dan kesadaran politik yang memadai sebagai motor penggerak perubahan. Keempat, pemimpin umat yang bisa diterima secara kolektif oleh semua pihak. Kelima, media massa yang berpihak pada Umat Islam.
Sebagai bandingan, dapat disimak kekuatan komunitas jama’ah Umat Islam (Natio of Islam) pimpinan Elijah muhammad di kalangan Muslim Amerika (Black Moslem). Pertama, kepemimpinan karismatik, komando terpusat, loyalitas (kesetiaan dan ketaatan) tunggal. Kedua, milisi kuat terorganisir (Fruit of Islam), yang bertugas memelihara keutuhan masyarakat Islam, masjid-masjid dan lembaga-lembaga Islam. Ketiga, organisasi bisnis (bank, perusahaan, restoran). Keempat, Universitas Islam yang berdisiplin ketat. Kelima, tempat ibadah yang multi fungsi terorganisir (Drs Juhaya S Praja : Pengantar "Jihad Gaya Amerika"nya Steven Barboza, 1995:21).
Memang sejarah mencatat bahwa Umar bin Khaththab dan Abu Bakar telah berupaya mempelopori penyamaan visi dan persepsi politik Umat Islam yang bertikai antara kelompok Anshar dan Muhajirin pada sa’at janazah Rasulullah masih terbujur. Namun kini yang menjadi persoalan, bagaimana caranya menyatukan, menyamakan visi dan persepsi politik Umat Islam yang saling bertentangan itu, dan apakah memang visi dan persepsi politik Umat Islam yang saling bertentangan satu sama lain dapat disatukan, disamakan ?
Meskipun hadis tentang Umat Islam akan terpecah atas 73 firqah (kelompok, golongan) diperselisihkan kesahihan sanadnya, namun nyatanya Umat Islam itu terkotak-kotak. Ada yang berorientasi pada politik, teleologi, teosofi, hukum dan seterusnya. Dalam bidang siasah ada yang beraliran Syi’ah, Khawarij, Ahli Sunnah, dst. Dalam bidang akidah, ada yang beraliran Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Murji:ah, dst. Dalam bidang tasauf, ada yang beraliran Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syazaliyah, Syatariyah, Sanusiyah, dst. Dalam bidang fiqih, ada yang beraliran Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah, Tsauriyah, dst.
Menurut Drs Amrullah Ahmad, dalam Khabar Forum Silaturrahmi (KFS), 20:1993:52-53, bahwa dalam bidang fikrah, pola pikir (epistemologi, metodologi), jama’ah dakwah (lapis umat) ada yang berpola pikir model thugyan (ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang berpola pikir mengikuti (bermadzhab dengan) pemikiran klassik (ulama terdahulu) tanpa kritik dan olahan menjadi epistemologi falsafah sistematis Islam (dengan taqlid kepada ulama terdahulu). Ada yang berpola pikir bahwa Islam itu sebagai obyek kajian (ilmiah), bukan sebagai fikrah untuk menjelaskan realitas. Ada yang berpola pikir mengikuti model warisan Islam yang cenderung menyemaikan pemahaman al-Qur:an dengan ilmu pengetahuan dan falsafah thugyan. Ada yang berpola pikir masih/sedang dalam proses pembebasan dari model thugyan, namun belum menemukan sebuah sistim seagai falsafah sebagai model penafsir realitas.
Dalam bidang akhlak, sikap hidup (sesama Muslim dan terhadap thagut), jama’ah dakwah ada yang berakhlak relatif mengikuti etika (moral thughyan). Ada yang berakhlak keras terhadap mukmin, kasih sayang terhadap thagut (kafirin, musyrikin, munafikin, fasikin). Ada yang berakhlak sinis dan curiga terhadap mukmin yang bermaksud menerapkan al-Qur:an dan as-Sunnah, ramah-tamah dengan kafirin. Ada yang berakhlak mengutamakan kesalehan pribadi. Ada yang berakhlak di dalam lebih nampak rasional sesama mukmin, tegas terhadap thagut, tetapi sama-sama lemah-lembut atau mendukung kebijaksanaan thagut. Ada yang berakhlak nampak kuat ukhuwah sesama mereka dengan mengutamakan kesalehan dan nampak tegas terhadap thagut, namun harus berugi dalam waktu sejauh mana bersikap sabar seagai akaibat sikap hidup terhadap thagut itu, apakah mengalami reduksi dengan alasan ekonomi.
Dalam perilaku lainnya, jama’ah dakwah ada yang berprilaku sub-ordinasi sistim thugyan, sepenuhnya mengikuti sistim thughyan (rela diatur oleh ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang menyelenggarakan pendidikan Islam serta kajian ke-Islaman dalam persepktif/metodologi dan epistemologi thugyan, dan menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan (Islam ditempatkan di bawah ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang berdeakwah (sesuai dengan persepsinya terhadap Islam), menyelenggarakan ta’dib (dikhotomi epistemologi dan falsafat) untuk menggelar warisan intelektual Islam yang penekanannya menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan. Ada yang berdakwah, menyelenggarakan ta’dib (dengan kurikulum thughyan dan mata pelajaran agama Islam dengan dua model epistemologi, dikhotomik dengan sistim falsafah Islami yang masih longgar, sehingga membenarkan falsafah non-Islam atau dikhotomik fikrah), menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan. Ada yang berdakwah, cinta jihad, gemar mengadakan kajian Islam untuk memperbaiki pola pikir dalam rangka mengganti pola pikir thaghut, berusaha mandiri dalam memilih lapangan kerja sehingga dalam batas-batas tertentu tidak terserap dalam sistim thughyan (tidak ela diatur oleh ideologi Barat atau Timur atau Lokal), menyelenggarakan ta’dib sesuai dengan keangka imannya, berusaha menempatkan Islam, sebagai falsafah hidup yang universal dengan kebenaran yang dijamin Allah dan Rasul-Nya (rela diatur oleh Islam).
Secara umum, ada yang berupaya sungguh-sungguh menjadi Muslim utuh, kaffah, totalitas, menyeluruh, istiqamah dalam keadaan bagaimanapun, melakukan Islamisasi. Ir Haidar Baqir, Direktur Mizan, Bandung, dalam PANJI MASYARAKAT 521:35-37, menyebut tipe-tipe strategi Islamisasi. Ada yang beraliran modernis, yang memandang Islam itu hanya menyangkut soal nilai, masalah moral (ajaran etika), dan hanya menginginkan terwujudnya kultural-sosial Islam. Ada yang bealiran radikalis kompromistis-evolusioner, yang memandang Islam itu sebagai sistim alternatif, dan berupaya mengwujudkan terwujudnya struktur politik (pemerintahan) secara efektif, dengan menggunakan jalur dakwah (tarbiyah dan taklim), bersifat evolusioner dan dialogis, yang disampaikan secara bijak, edukatif, persuasif, dengan mengambil bentuk ihsan (reformasi), dan dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Ada yang beraliran radikalis-kompromistis-revolusioner, yang berupaya mengwujudkan pemerintahan Islam dengan melakukan ajakan moral, penggalangan publik-opini, aksi-sosial, dengan sikap kompromi, dengan menggunakan jalur politik (demokrasi-konstitusional), dan dilancarkan secara mendasar dan menyeluruh. Ada yang beraliran radikalis-non-kompromistis (fundamentalis-integralis-militan), yang berupaya mengwujudkan pemerintahan/negara Islam dengan menggunakan cara yang bersifat konfrontatif (hijrah dan represif) terhadap struktur politik yang berkuasa (menolak bekerjasama dengan siapa pun yang menentang perjuangan dan cita-cita Islam),, bersifat populis (gerakan massa, aksi-sosial), bahkan konfrontatif terhadap elite (malaa, mutraf, konglomerat), bersifat revolusioner, berjuang menggunakan jalur militer dengan kekuatan senjata, bukan melalui jalur politik konstitusional.
Namun di samping itu ada pula yang secara sistimatis, terarah, tertencana dan berkesinambungan berupaya meminggirkan, menyingkirkan, mengasingkan, memenjarakan Islam. Mengebiri, memasung, memandulkan, melumpuhkan Islam. Meredusir, mereduksi, membatasi hakikat dakwah, hakikat jihad. Menolak Islam didakwahkan sebagai acuan alternatif. Menantang hak individu dintervensi, diatur oleh Islam. Menolak Islam diterapkan secara formal. Menolak formalisasi/legalisasi ketentuan syari’at Islam ke dalam peraturan perundangan sebagai hukum positif. Melakukan labelisasi/stigmatisasi Umat Islam dengan julukan seperti sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalisme, dan lain-lain yang sejenis dan yang menyakitkan. Menggembar-gemborkan bahwa syari’at Islam itu hanya cocok buat bangsa biadab, barbar, primitif, seram, kejam, sadis, bengis, beringas, jorok, dekil, kumal. Melakukan kegiatan/manuver politik Deislamisasi yang cenderung sinkretis (talbis alhaq bi albathil) (Luthfi Basori : "Perkuat Keimanan Islam", dalam "Musykilat Dalam NU", terbitan Forum Nahdliyin Untuk Kajian Strategis).
Dengan gencar berupaya memisah-misahkan antara hakikat (yang substansial/substantif) dan syari’at (law enforcement, legal action). Hanya mengambil hakikat (esensi, semangat, nilai) dan melepaskan syari’at (syi’ar. simbol, ritual, legal-formal). Memuji-muji keagungan nilai-nilai Islam sebagai nilai yang humanis-universal, dan mencela, mencerca hukum-hukum Islam dengan sebutan sadis, kejam, biadab, primitif, tidak manusiawi. Mengarahkan perkembangan Islam hanya beraliran, berdimensi, bernuansa substantif/substansial (hakikat semata) tanpa terkait pada syari’at (legal-formal). Lebih menekankan pada aspek nilai (hakikat, teoritis-akademis) dan mengabaikan aspek simbol dan legal-formal (syari’at, praktek-aplikatif). Al-Qur:an dipahami hanya sebatas kontekstual sesuai dengan kehidupan sosio-kultural yang terus berkembang terlepas dari tekstual (nash). Konsep kebersamaan, hidup berdampingan secara damai dilarutkan, dialihkan menjadi konsep kesamaan mutlak, tanpa membedakan budaya, etnis, agamaa. Kesamaan antara Muslim dan non-Muslim, antara pria dan wanita dalam segala hal, termasuk dalam kepemimpinan. Siapa saja boleh dan berhak dipilih jadi pemimpin tanpa membeda-bedakan agamanya, jendernya. Penegakkan kesamaan antara Muslim dan non-Muslim dipandang sebagai penegakan keadilan dan egalitarianisme paripurna, kemanusiaan universal.
Hanya berupaya sebatas menegakkan nilai-nilai Islam, dan sama sekali antipati terhadap hukum Islam. Menghalangi, merintangi tegaknya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Meyakinkan bahwa dalam perspektif historis, gerakan-gerakan fundamentalis radikal yang berupaya menegakkan hukum (syari’at) Islam tidak pernah mendapat simpati dari mayoritas umat Islam. Bahwa segala bentuk sikap, pandangan dan tindakan yang berlawanan dengan pluralitas kehidupan akan mendapat tantangan. Yang dijadikan patokan, ukuran kebenaran adalah hawa, publik-opini, suara terbanyak, vox populi vox Dei.
Berupaya meyakinkan bahwa perkembangan Islam substansial yang berwatak damai, toleran dan inklusif semakin kukuh, sedangkan perkembangan Islam yang berwatak ekslusif (ghurabaa) akan semakin terjepit, tidak memiliki lahan, tempat untuk tumbuh berkembang. Bahwa Islam substansial adalah yang terbaik untuk mengaktualisasikan nilai Islam ke dalam kehidupan tanpa membawa-bawa wadah panji syari’at (hukum, ritual) (Abd A’la : "Kemengangan Gus Dur. Angin Sejuk bagi Iklim Keagamaan di Indonesia", dalam KOMPAS 22/10/1999).
Sinkretisme adalah faham yang gerakannya berupaya mempersatukan agama-agama yang ada di dunia (religious sssyncretism is the fusion of diverse religious beliefs and practics). Bentuknya yang lebih konkrit adalah Moonisme, yaitu gerakan yang didirikan oleh pendeta kaya Soon Moon dari Korea, yang menyeru ke pada fusi (peleburan) agama-agama dalam satu wadah, yang tujuannya menggantikan dasr ke-Tuhanan dengan dasar kemanusiaan (WAMY : "Gerakan Keagamaan dan Pemikiran", 1995:384, 388). Pencetus sinkretisme Ibnu Sab’in dan Ibnu Hud at-Talmasani beranggapan, bahwa orang yang paling mulia adalah yang mengajak semua ummat beragama bersatu (Ibnu Taimiyah : "Al-Raddu ‘ala Al-Manthiqiyah, 1396H:282). Sinkretisme merupakan puncak toleransi beragama secara berlebihan. Semua agama baik. Toleransi beragamanya Jalaluddin Akbar (1556-1605) yang memadukan unsur-unsur dari segala agama dunia ke dalam agama baru yang disebutnya Din-Ilahi merupakan cikal bakalnya sekte Baha:i (Abul A’la Al-Maududi : "Sejarah Pembaruan Dan Pembangunan Kembali Alam Pikiran Agama", 1984:85). Pancasila pun merupakan bentuk baru dari sinkretisme yang berupaya mempersatukan Islam, Nasionalis/sekuler, Sosialis/Komunis (NASAMARX-NASAKOM). Khams Qanun yang dimiliki Gerakan Freemansory dan Zionis internasional terdiri dari Monotheisme, Nasionalisme, Humanisme, Demokratisme, Sosialisme, yang berasal dari Syer Talmud Qaballa XI:45-46 (RISALAH, No.10, Th XXII, Januari 1985, hal 53-54 : "Plotisma, apa itu ?", oleh Em’s). Tokoh-tokoh semacam Ir Mahmud Muhammad Thaha, Dr Hasan Hanafi, Dr Muhammad Imarah, Dr Rifa’ah at-Thahthawi cenderung sinkretis.
Memang ada solusi lain yang pernah diajukan, agar segera bangkit kembali menyusun barisan, melakukan konsolidasi. Mengadakan kontak tatap-muka (silaturrahim). Saling menyeru, memanggil, mengajak melakukan kegiatan tabligh, taushiah, dakwah tatap-muka. Saling nasehat-menasehati. Melakukan lobi secara intensif, dialog (muhasabah, mudzakarah). Saling memperhatikan. Saling bantu membantu (HUSNAYAIN 72:1999).
Tetap saja pertanyaan demi pertanyaan bergelayutan, bergelantungan. Bagaimana caranya menyamakan visi dan persepsi politik, sehingga Islam sebagai sistim alternatif bukan di bawah sub-ordinasi (sebagai pelengkap) sistim thughyan ? Bagaimana caranya memunculkan kepemimpinan umat (yang bukan hanya kepemimpinan jama’ah terbatas) ? Ataukah cukup dengan menunggu kehadiran kepemimpinan yang tepat dan menarik, seperti menunggu kedatangan Ratu Adil atau Imam Mahdi ? Kenyataan tetap saja menunjukkan, bahwa masih saja ada yang mensahkan (legitimasi) semua hal yang berkaitan dengan sistim thughyan, memandang hina syari’at Islam, menolak politik diatur Islam. Masih saja ada yang dengan suara lantang meneriakkan bahwa Islam ya Islam, Politik ya Politik, jangan dicampuradukkan. Solusi pemecahan penyelesaian persoalan kembali kepada para pakar, para ahli. (Bks 17-7-99).
Dalam WARTA BEKASI, Minggu ke-I, Juli 1999, hlm 3, Drs Nur Supriyanto, MM, Ketua DPD Partai Keadilan Kodya Bekasi mengemukakan agenda politik bersama Umat Islam yang harus seera diselesaikan. Pertama menyediakan komponen strategis dengan mengkalkulasi (memperhitungkan) seluruh unsur potensi kekuatan Umat Islam. Kedua, meletakkan dasar kebersamaan (kolektivitas dan unitas jama’ah dan jami’ah) diantara Umat islam, dengan visi politik yang dijiwai oleh semangat keterbukaan dan demokratisasi, serta yang juga menjangkau wajah perekonomian, hukum, sosial, budaya dan moralitas angsa dan negara.
Komponen politik strategis yang pewrlu disiapkan. Pertama, kesamaan visi dan persepsi politik yang akan menjadi garis kebijakan politik bersama Umat Islam. Kedua, instrumen politik (sarana dan prasarana infrastrukturnya) yang akan bekerja sebagai mesin politik Umat Islam. Ketiga, masa pendukung dengan kadar intelektual dan kesadaran politik yang memadai sebagai motor penggerak perubahan. Keempat, pemimpin umat yang bisa diterima secara kolektif oleh semua pihak. Kelima, media massa yang berpihak pada Umat Islam.
Sebagai bandingan, dapat disimak kekuatan komunitas jama’ah Umat Islam (Natio of Islam) pimpinan Elijah muhammad di kalangan Muslim Amerika (Black Moslem). Pertama, kepemimpinan karismatik, komando terpusat, loyalitas (kesetiaan dan ketaatan) tunggal. Kedua, milisi kuat terorganisir (Fruit of Islam), yang bertugas memelihara keutuhan masyarakat Islam, masjid-masjid dan lembaga-lembaga Islam. Ketiga, organisasi bisnis (bank, perusahaan, restoran). Keempat, Universitas Islam yang berdisiplin ketat. Kelima, tempat ibadah yang multi fungsi terorganisir (Drs Juhaya S Praja : Pengantar "Jihad Gaya Amerika"nya Steven Barboza, 1995:21).
Memang sejarah mencatat bahwa Umar bin Khaththab dan Abu Bakar telah berupaya mempelopori penyamaan visi dan persepsi politik Umat Islam yang bertikai antara kelompok Anshar dan Muhajirin pada sa’at janazah Rasulullah masih terbujur. Namun kini yang menjadi persoalan, bagaimana caranya menyatukan, menyamakan visi dan persepsi politik Umat Islam yang saling bertentangan itu, dan apakah memang visi dan persepsi politik Umat Islam yang saling bertentangan satu sama lain dapat disatukan, disamakan ?
Meskipun hadis tentang Umat Islam akan terpecah atas 73 firqah (kelompok, golongan) diperselisihkan kesahihan sanadnya, namun nyatanya Umat Islam itu terkotak-kotak. Ada yang berorientasi pada politik, teleologi, teosofi, hukum dan seterusnya. Dalam bidang siasah ada yang beraliran Syi’ah, Khawarij, Ahli Sunnah, dst. Dalam bidang akidah, ada yang beraliran Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Murji:ah, dst. Dalam bidang tasauf, ada yang beraliran Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syazaliyah, Syatariyah, Sanusiyah, dst. Dalam bidang fiqih, ada yang beraliran Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah, Tsauriyah, dst.
Menurut Drs Amrullah Ahmad, dalam Khabar Forum Silaturrahmi (KFS), 20:1993:52-53, bahwa dalam bidang fikrah, pola pikir (epistemologi, metodologi), jama’ah dakwah (lapis umat) ada yang berpola pikir model thugyan (ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang berpola pikir mengikuti (bermadzhab dengan) pemikiran klassik (ulama terdahulu) tanpa kritik dan olahan menjadi epistemologi falsafah sistematis Islam (dengan taqlid kepada ulama terdahulu). Ada yang berpola pikir bahwa Islam itu sebagai obyek kajian (ilmiah), bukan sebagai fikrah untuk menjelaskan realitas. Ada yang berpola pikir mengikuti model warisan Islam yang cenderung menyemaikan pemahaman al-Qur:an dengan ilmu pengetahuan dan falsafah thugyan. Ada yang berpola pikir masih/sedang dalam proses pembebasan dari model thugyan, namun belum menemukan sebuah sistim seagai falsafah sebagai model penafsir realitas.
Dalam bidang akhlak, sikap hidup (sesama Muslim dan terhadap thagut), jama’ah dakwah ada yang berakhlak relatif mengikuti etika (moral thughyan). Ada yang berakhlak keras terhadap mukmin, kasih sayang terhadap thagut (kafirin, musyrikin, munafikin, fasikin). Ada yang berakhlak sinis dan curiga terhadap mukmin yang bermaksud menerapkan al-Qur:an dan as-Sunnah, ramah-tamah dengan kafirin. Ada yang berakhlak mengutamakan kesalehan pribadi. Ada yang berakhlak di dalam lebih nampak rasional sesama mukmin, tegas terhadap thagut, tetapi sama-sama lemah-lembut atau mendukung kebijaksanaan thagut. Ada yang berakhlak nampak kuat ukhuwah sesama mereka dengan mengutamakan kesalehan dan nampak tegas terhadap thagut, namun harus berugi dalam waktu sejauh mana bersikap sabar seagai akaibat sikap hidup terhadap thagut itu, apakah mengalami reduksi dengan alasan ekonomi.
Dalam perilaku lainnya, jama’ah dakwah ada yang berprilaku sub-ordinasi sistim thugyan, sepenuhnya mengikuti sistim thughyan (rela diatur oleh ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang menyelenggarakan pendidikan Islam serta kajian ke-Islaman dalam persepktif/metodologi dan epistemologi thugyan, dan menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan (Islam ditempatkan di bawah ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang berdeakwah (sesuai dengan persepsinya terhadap Islam), menyelenggarakan ta’dib (dikhotomi epistemologi dan falsafat) untuk menggelar warisan intelektual Islam yang penekanannya menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan. Ada yang berdakwah, menyelenggarakan ta’dib (dengan kurikulum thughyan dan mata pelajaran agama Islam dengan dua model epistemologi, dikhotomik dengan sistim falsafah Islami yang masih longgar, sehingga membenarkan falsafah non-Islam atau dikhotomik fikrah), menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan. Ada yang berdakwah, cinta jihad, gemar mengadakan kajian Islam untuk memperbaiki pola pikir dalam rangka mengganti pola pikir thaghut, berusaha mandiri dalam memilih lapangan kerja sehingga dalam batas-batas tertentu tidak terserap dalam sistim thughyan (tidak ela diatur oleh ideologi Barat atau Timur atau Lokal), menyelenggarakan ta’dib sesuai dengan keangka imannya, berusaha menempatkan Islam, sebagai falsafah hidup yang universal dengan kebenaran yang dijamin Allah dan Rasul-Nya (rela diatur oleh Islam).
Secara umum, ada yang berupaya sungguh-sungguh menjadi Muslim utuh, kaffah, totalitas, menyeluruh, istiqamah dalam keadaan bagaimanapun, melakukan Islamisasi. Ir Haidar Baqir, Direktur Mizan, Bandung, dalam PANJI MASYARAKAT 521:35-37, menyebut tipe-tipe strategi Islamisasi. Ada yang beraliran modernis, yang memandang Islam itu hanya menyangkut soal nilai, masalah moral (ajaran etika), dan hanya menginginkan terwujudnya kultural-sosial Islam. Ada yang bealiran radikalis kompromistis-evolusioner, yang memandang Islam itu sebagai sistim alternatif, dan berupaya mengwujudkan terwujudnya struktur politik (pemerintahan) secara efektif, dengan menggunakan jalur dakwah (tarbiyah dan taklim), bersifat evolusioner dan dialogis, yang disampaikan secara bijak, edukatif, persuasif, dengan mengambil bentuk ihsan (reformasi), dan dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Ada yang beraliran radikalis-kompromistis-revolusioner, yang berupaya mengwujudkan pemerintahan Islam dengan melakukan ajakan moral, penggalangan publik-opini, aksi-sosial, dengan sikap kompromi, dengan menggunakan jalur politik (demokrasi-konstitusional), dan dilancarkan secara mendasar dan menyeluruh. Ada yang beraliran radikalis-non-kompromistis (fundamentalis-integralis-militan), yang berupaya mengwujudkan pemerintahan/negara Islam dengan menggunakan cara yang bersifat konfrontatif (hijrah dan represif) terhadap struktur politik yang berkuasa (menolak bekerjasama dengan siapa pun yang menentang perjuangan dan cita-cita Islam),, bersifat populis (gerakan massa, aksi-sosial), bahkan konfrontatif terhadap elite (malaa, mutraf, konglomerat), bersifat revolusioner, berjuang menggunakan jalur militer dengan kekuatan senjata, bukan melalui jalur politik konstitusional.
Namun di samping itu ada pula yang secara sistimatis, terarah, tertencana dan berkesinambungan berupaya meminggirkan, menyingkirkan, mengasingkan, memenjarakan Islam. Mengebiri, memasung, memandulkan, melumpuhkan Islam. Meredusir, mereduksi, membatasi hakikat dakwah, hakikat jihad. Menolak Islam didakwahkan sebagai acuan alternatif. Menantang hak individu dintervensi, diatur oleh Islam. Menolak Islam diterapkan secara formal. Menolak formalisasi/legalisasi ketentuan syari’at Islam ke dalam peraturan perundangan sebagai hukum positif. Melakukan labelisasi/stigmatisasi Umat Islam dengan julukan seperti sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalisme, dan lain-lain yang sejenis dan yang menyakitkan. Menggembar-gemborkan bahwa syari’at Islam itu hanya cocok buat bangsa biadab, barbar, primitif, seram, kejam, sadis, bengis, beringas, jorok, dekil, kumal. Melakukan kegiatan/manuver politik Deislamisasi yang cenderung sinkretis (talbis alhaq bi albathil) (Luthfi Basori : "Perkuat Keimanan Islam", dalam "Musykilat Dalam NU", terbitan Forum Nahdliyin Untuk Kajian Strategis).
Dengan gencar berupaya memisah-misahkan antara hakikat (yang substansial/substantif) dan syari’at (law enforcement, legal action). Hanya mengambil hakikat (esensi, semangat, nilai) dan melepaskan syari’at (syi’ar. simbol, ritual, legal-formal). Memuji-muji keagungan nilai-nilai Islam sebagai nilai yang humanis-universal, dan mencela, mencerca hukum-hukum Islam dengan sebutan sadis, kejam, biadab, primitif, tidak manusiawi. Mengarahkan perkembangan Islam hanya beraliran, berdimensi, bernuansa substantif/substansial (hakikat semata) tanpa terkait pada syari’at (legal-formal). Lebih menekankan pada aspek nilai (hakikat, teoritis-akademis) dan mengabaikan aspek simbol dan legal-formal (syari’at, praktek-aplikatif). Al-Qur:an dipahami hanya sebatas kontekstual sesuai dengan kehidupan sosio-kultural yang terus berkembang terlepas dari tekstual (nash). Konsep kebersamaan, hidup berdampingan secara damai dilarutkan, dialihkan menjadi konsep kesamaan mutlak, tanpa membedakan budaya, etnis, agamaa. Kesamaan antara Muslim dan non-Muslim, antara pria dan wanita dalam segala hal, termasuk dalam kepemimpinan. Siapa saja boleh dan berhak dipilih jadi pemimpin tanpa membeda-bedakan agamanya, jendernya. Penegakkan kesamaan antara Muslim dan non-Muslim dipandang sebagai penegakan keadilan dan egalitarianisme paripurna, kemanusiaan universal.
Hanya berupaya sebatas menegakkan nilai-nilai Islam, dan sama sekali antipati terhadap hukum Islam. Menghalangi, merintangi tegaknya hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Meyakinkan bahwa dalam perspektif historis, gerakan-gerakan fundamentalis radikal yang berupaya menegakkan hukum (syari’at) Islam tidak pernah mendapat simpati dari mayoritas umat Islam. Bahwa segala bentuk sikap, pandangan dan tindakan yang berlawanan dengan pluralitas kehidupan akan mendapat tantangan. Yang dijadikan patokan, ukuran kebenaran adalah hawa, publik-opini, suara terbanyak, vox populi vox Dei.
Berupaya meyakinkan bahwa perkembangan Islam substansial yang berwatak damai, toleran dan inklusif semakin kukuh, sedangkan perkembangan Islam yang berwatak ekslusif (ghurabaa) akan semakin terjepit, tidak memiliki lahan, tempat untuk tumbuh berkembang. Bahwa Islam substansial adalah yang terbaik untuk mengaktualisasikan nilai Islam ke dalam kehidupan tanpa membawa-bawa wadah panji syari’at (hukum, ritual) (Abd A’la : "Kemengangan Gus Dur. Angin Sejuk bagi Iklim Keagamaan di Indonesia", dalam KOMPAS 22/10/1999).
Sinkretisme adalah faham yang gerakannya berupaya mempersatukan agama-agama yang ada di dunia (religious sssyncretism is the fusion of diverse religious beliefs and practics). Bentuknya yang lebih konkrit adalah Moonisme, yaitu gerakan yang didirikan oleh pendeta kaya Soon Moon dari Korea, yang menyeru ke pada fusi (peleburan) agama-agama dalam satu wadah, yang tujuannya menggantikan dasr ke-Tuhanan dengan dasar kemanusiaan (WAMY : "Gerakan Keagamaan dan Pemikiran", 1995:384, 388). Pencetus sinkretisme Ibnu Sab’in dan Ibnu Hud at-Talmasani beranggapan, bahwa orang yang paling mulia adalah yang mengajak semua ummat beragama bersatu (Ibnu Taimiyah : "Al-Raddu ‘ala Al-Manthiqiyah, 1396H:282). Sinkretisme merupakan puncak toleransi beragama secara berlebihan. Semua agama baik. Toleransi beragamanya Jalaluddin Akbar (1556-1605) yang memadukan unsur-unsur dari segala agama dunia ke dalam agama baru yang disebutnya Din-Ilahi merupakan cikal bakalnya sekte Baha:i (Abul A’la Al-Maududi : "Sejarah Pembaruan Dan Pembangunan Kembali Alam Pikiran Agama", 1984:85). Pancasila pun merupakan bentuk baru dari sinkretisme yang berupaya mempersatukan Islam, Nasionalis/sekuler, Sosialis/Komunis (NASAMARX-NASAKOM). Khams Qanun yang dimiliki Gerakan Freemansory dan Zionis internasional terdiri dari Monotheisme, Nasionalisme, Humanisme, Demokratisme, Sosialisme, yang berasal dari Syer Talmud Qaballa XI:45-46 (RISALAH, No.10, Th XXII, Januari 1985, hal 53-54 : "Plotisma, apa itu ?", oleh Em’s). Tokoh-tokoh semacam Ir Mahmud Muhammad Thaha, Dr Hasan Hanafi, Dr Muhammad Imarah, Dr Rifa’ah at-Thahthawi cenderung sinkretis.
Memang ada solusi lain yang pernah diajukan, agar segera bangkit kembali menyusun barisan, melakukan konsolidasi. Mengadakan kontak tatap-muka (silaturrahim). Saling menyeru, memanggil, mengajak melakukan kegiatan tabligh, taushiah, dakwah tatap-muka. Saling nasehat-menasehati. Melakukan lobi secara intensif, dialog (muhasabah, mudzakarah). Saling memperhatikan. Saling bantu membantu (HUSNAYAIN 72:1999).
Tetap saja pertanyaan demi pertanyaan bergelayutan, bergelantungan. Bagaimana caranya menyamakan visi dan persepsi politik, sehingga Islam sebagai sistim alternatif bukan di bawah sub-ordinasi (sebagai pelengkap) sistim thughyan ? Bagaimana caranya memunculkan kepemimpinan umat (yang bukan hanya kepemimpinan jama’ah terbatas) ? Ataukah cukup dengan menunggu kehadiran kepemimpinan yang tepat dan menarik, seperti menunggu kedatangan Ratu Adil atau Imam Mahdi ? Kenyataan tetap saja menunjukkan, bahwa masih saja ada yang mensahkan (legitimasi) semua hal yang berkaitan dengan sistim thughyan, memandang hina syari’at Islam, menolak politik diatur Islam. Masih saja ada yang dengan suara lantang meneriakkan bahwa Islam ya Islam, Politik ya Politik, jangan dicampuradukkan. Solusi pemecahan penyelesaian persoalan kembali kepada para pakar, para ahli. (Bks 17-7-99).
Jama'ah Jihad
Jama’ah jihad
Jama’ah jihad gigih berjuang menegakkan Kalimatullah yang termaktub dalam Qur:an. Mengunggulkan Dinulhaq di atas yang lain (QS 61:9). Berdakwah menyemaikan akidah Islamiyah (QS 16:125). Menyeru manusia agar hanya bertuhankan Allah swt, bernabikan Muhammad saw, berkitab Qur:an. Rela diatur dengan Kitabullah. Yang Yahudi rela diatur dengan Taurat. Yang Nasrani rela diatur dengan Injil. Yang Islam rela diatur dengan Qur:an (QS 5:66). Agar berbuat adil, beramal saleh, berbuat ihsan, berbuat baik. Benar dalam segala hal. Tidak berlaku aniaya. Tidak mengganggu apa dan siapa pun. Tidak berbuat onar dan makar. Tidak melakukan mo-limo. Agar memberantas kejahatan, penindasan, penganiayaan, penyelewengan, kesewenang-wenangan, kemaksiatan (QS 16:90). Meskipun orang-orang menghinanya, melecehkannya (QS 9:33).
Dalam upaya menegakkan Kalimatullah, jama’ah jihad bergerak secara terorganisir dalam satu barisan yang teratur (QS 61:4), dengan satu program yang realistis rinci terpadu, serta dengan pembagian tugas yang jelas dan tegas, yang hanya berorientasi pada Islam semata, dan mengacu pada sikap Rasulullah dan para sahabat beliau, dengan tujuan untuk membela dan mempertahankan tegaknya Kalimatullah, dengan satu pimpinan komando yang berwibawa yang mampu mengatur taktik strategi yang dipatuhi oleh semuanya.
Aktivitas jama’ah jihad bersifat menyeluruh, totalitas (QS 2:208), serba multi, multi-dimensi, multi-disiplin dengan multi-media (QS 8:60), mencakup ipoleksosbudmil. Perjuangan akademik, ideologi, politik, sosial, kultural, ekonomi dan perjuangan bersenjata (iman, harta, logika). Menyiapkan tenaga-tenaga profesional berjiwa Islam dalam berbagai disiplin keahlian yang akan menangani masalah kenegaraan (eksekutif, legislatif, yudikatif). Mencakup dakwah, amar bil makruf, nahi anil munkar (QS 3:104) melalui jihad tablighi, jihad taklimi (tarbiyah), aksi massa (aktivitas sosial), jihad siyasi (jalur politik-diplomatik, parlementer-konstitusional), jihad qathli (jalur kekuatan bersenjata). Semuanya itu merupakan jalur, metode, thuruq bagi pencapaian tujuan.
Dalam hubungan ini, sesuai dengan pandangan, visi dan persepsinya tentang cara dan strategi menegakkan Kalimatullah, Ir Soekarno, tokoh Nasional-Marxis, dalam sidang BPUUPKI tanggal 1 Juni 1945 dengan semangat berapi-api, berkobar-kobar menganjurkan tokoh pejuang Islam sehebat-hebatnya agar supaya sebagian terbesar kursi DPR diduduki oleh utusan-utusan Islam, sehingga hukum-hukum yang dihasilkan DPR itu adalah hukum Islam. Namun dalam praktek perjuangannya, Ir Soekarno sama sekali tak tertarik memperjuangkan tegaknya Kalimatullah, tegaknya syari’at Islam. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Ir Soekarno dengan ide Nasakomnya (Nasamarx) menjegal tegaknya syari’at Islam. Ir Soekarno yang semula menganjurkan memilih jalur parlemen-konstitusional, tapi ia sendiri berseberangan, bahkan bermusuhan dengan Islam dalam hal menegakkan Islam.
Hasan Al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya di Mesir, Maududi dengan Jami’atul Islami-nya di Pakistan, Hasan Turabi di Sudan, Taqiyuddin an-Nabhani dengan Hizbut Tahrir-nya di Yordania, dan lain-lain, berupaya amengimplementasikan syari’at Islam dengan lebih memusatkan perjuangannya melalui jalur politik, jalur parlemen dan jalur dakwah.
Berbeda dengan semua itu, Kartosoewirja lebih maju, dengan memilih jalur perjuangan bersenjata dengan memproklamirkan berdirinya Negara karunia allah, Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 27 Agustus 1948.
Lain lagi dengan Prof Raojiyah Garaudy (Roger Garaudy), mantan pakar strategi marxis (anggota politbiro Partai Komunis Perancis) yang dalam teori penyebaran Islam-nya mengemukakan, bahwa agar syari’at berguna untuk diterapkan di berbagai masyarakat manusia, maka Islam harus menjadi milik golongan tertindas (kelas proletar ?), dan harus memberi ruh harapan dan semangat hidup bagi semua (QS 8:24).
Sasaran ruang lingkup jihad yang paling luas adalah jihad tablighi (dakwah). Meliputi antara lain : masyarakat transmigrasi, lembaga permasyarakatan, generasi muda, pramuka, kelompok orang tua, kelompok wanita, kelompok masyarakat industri (buruh, kuli, supir), kelompok profesi, masyarakat daerah rawan, masyarakat suku terasing, pondok sosial, rumah sakit, komplek perumahan, asrama, masyarakat akademis, karyawan, pejabat, gelandangan, tuna susila, masyarakat pasar.
Aktivitas jihad tablighi sangat beragam. Bisa berupa penerbitan buku-buku agama, penerbitan surat kabar, majalah atau buletin dakwah, pidato, diskusi, ceramah, pengajian, konsultasi, aktivitas seni budaya, dan lain-lain.
Jama’ah jihad gigih berjuang menggalang persatuan kesatuan antar sesama, "kalbunyan yasyudduhu ba’dhu ba’dha". Dengan segenap kemampuan yang dimiliki secara optimal maksimal memperjuangkan tegaknya "kalimatullah hiyal ‘ulya", tegaknya ajaran dan aturan Allah di tengah-tengah masyarakat, tegaknya nilai-nilai Islam dalam kehidupan, berlakunya hukum Allah di muka bumi sebagaia hukum positip, terciptanya kesempatan melaksanakan "amar fahkum bainannas bima anzalallah", terwujudnya "’izzul Islam wal Muslimin".
Jama’ah jihad tak akan lupa dan lengah dari sasaran tujuan "li i'la kalimatullah hiyal ‘ulya". Asas dasar landasan pangkal tolak jama’ah jihad adalah keyakinan dan pengakuan akan "la ilaha illalah", hanyalah Allah yang Tuhan, "qul huwallahu ahad", "alladzina qalu rabbunallah", hanyalah ajaran dan aturan Allah pedoman dan pandangan hidup, tanpa dicampuri ajaran lain. Inilah tugas kewajiban yang tersandang terpikul pada jama’ah jihad.
Jama’ah jihad yang ilmuwan/cendekiawan gigih berjuang "bil-qalam", "bil-kalam", "bil-lisan" menunjukkan, menjelaskan kebenaran, ketinggian, keagungan ajaran, aturan Islam secara objektif ilmiah, di segala sektor bidang kehidupan, keagungan sistim politik, ekonomi, sosial, budaya, militer yang berlandaskan ajaran Islam. Sekaligus meredam dan membungkam suara sumbang yang penuh caci maki. Ini ditujukan terhadap yang non-Muslim, dan yang Muslim pengagum non-Muslim, yang terpesona dengan ajaran dan aturan yang bukan Islam.
Jama’ah jihad gigih berjuang melancarkan sorotan, kritik, kecam tajam, koreksi terhadap semua ajaran, aturan yang bukan Islam secara objektif ilmiah dengan menggunakan ajaran yang bukan Islam itu sendiri, dengan menggunakan studi kritis terhadap karya orientalis. Ajaran yang bukan Islam ini, ada yang bersifat internasional, seperti komunis, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, nasionalisme, sekularisme beserta antek anak-cucunya. Ada pula yang bersifat lokal, seperti javanisme, hinduisme.
Dalam hal ini diperlukan pemahaman dan penguasaan tentang kristologi, yudiologi, komunistologi, kapitalistologi, javanistologi, sejarah lahirnya Pancasila, jalur pembudayaan Pancasila, latar belakang pandangan hidup perumus Pancasila, isi pidato lahirnya Pancasila, susunan rumusan isi Piagam Jakarta, Dekrit Presiden, PMP, KB, Asas Tunggal, Dwifungsi, P4, Loyalitas Tunggal, dan lain-lain. Komunisme harus dikecam dengan komunisme. Kapitalisme harus dikecam dengan kapitalisme. Javanisme harus dikecam dengan javanisme. Ini juga dihadapkan ditujukan kepada yang non-Muslim dan yang Muslim pengagum non-Muslim.
Jama’ah jihad gigih berjuang menangkis, menolak kritik, kecaman yang dihadapkan pada ajaran Islam dengan argumentasi objektif ilmiah, dengan hujah balighah. Mempergunakan piranti rasio untuk menolak serangan musuh-musuh Islam. Kafir dijihad dengan senjata. Munafik dijihad dengan nalar. Jihad ada yang dengan tangan, lidah, hati, dan ada yang dengan mimik/ekspresi wajah yang menunjukkan kejijikan, kebencian, ketidaksenangan. Ini pun juga dihadapkan ditujukan kepada yang non-Muslim dan yang Muslim pengagum non-Muslim.
Jama’ah jihad gigih berjuang membendung, mencegah mengalirnya arus ajaran yang bukan Islam di tengah-tengah masyarakat secara persuasif. Ini dihadapkan ditujukan kepada Muslim bukan ilmuwan/cendekiawan. Jalur salurannya melalui malis dakwah dalam taklim.
Jama’ah jihad gigih berjuang membersihkan, memurnikan ajaran Islam dari campuran ajaran yang bukan Islam. Membersihkan akidah dari tahyul, khurafat. Membersihkan ibadah dari bid’ah. Bid’ah itu mudah menyatu dalam budaya seremoni. Ini juga dihadapkan ditujukan kepada yang Muslim bukan ilmuwan/cendekiawan, melalui dakwah dalam taklim.
Jama’ah jihad yang bukan ilmuwan/cendekiawan gigih berjuang "bil-fi’li", "bil-‘amali". Menampilkan keagungan Islam dalam segenap perbuatan kehidupan diri pribadi dan kehidupan bermasyarakat, seagai masyarakat imtaq, masyarakat marhamah. Membentengi diri dari arus ajaran yang bukan Islam. Berbuat, bersikap, berprilaku yang menguntungkan Islam, yang memantulkan citra Islam, bukan yang menimbulkan fitnah terhadap Islam. "Janganlah kamu mengajak berbicara dengan suatu kaum yang pembicaraanmu itu tidak bisa dicerna oleh akal mereka kecuali akan mendatangkan fitnah di kalangan mereka" (HR Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Jama’ah jihad gigih berjuang melakukan studi kritis terhadap karya orientalis. Para orientalis dengan dilandasi semangat "reconquesta" (semangat balas dendam) dan jiwa kebencian terhadap Islam dan ummatnya (QS 2:120) berupaya mengkaji, mendalami, menganalisa, meneliti, menyelidiki akidah, tradisi, akhlak, khazanah, kekuatan dan kelemahan Islam dan ummatnya (TWOS : Treath, Weakness, Opportunity, Strength). Hasil kajiannya itu diterbitkan dalam bentuk karya yang katanya ilmiah yang memuat antara lain : laporan hasil kajiannya terhadap Islam dan ummatnya, serta sekaligus juga memuat advis, nasehat, saran, usulan, bahan pertimbangan bagi penyusunan strategi perjuangan kolonialisme, imperialis nasrani untuk menguasai Islam dan ummatnya, sehingga tata moral, politik, sosial, ekonomi, spiritual tunduk pada sistem moral-politik-sosial-ekonomi-spiritual imperialis nasrani. Lothrop Stoddard, seorang penulis yang sangat reaksioner, yang sangat mendambakan kepemimpinan dunia terus menerus dipegang oleh ras Eropis Nordis sengaja menulis buku "Dunia Baru Islam" yang memaparkan bahaya "Kebangkitan Islam" bagi dominasi ras Eropis Nordis, sekaligus menunjukkan cara-cara penanggulangannya. Semangat, aspirasi kolonialnya sangat jelas terpancar dalam keseluruhan buku itu.
Sebelum berjihad, jama’ah jihad memahami benar tentang dasar dan tujuan serta langkah yang akan diambilnya. Dasar dan tujuannya tetap, tak berubah sepanjang masa. Semata-mata hanya demi tegaknya Kalimatullah. Tapi langkah, taktik, strategi bisa saja berubah mengikuti situasi dan kondisi. "Everything depend on condition time and place" (Soegiarso Soerojo : "Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai", 1988:394).
Jama’ah jihad memahami benar akan isyarat QS 8:50 bahwa penyerangan terhadap kubu musuh tidak boleh mulai dilancarkan tanpa didahului dengan pernyataan perang sebelumnya. Memahami benar bahwa tidak boleh memulai perang lebih dahulu, tidak boleh memulai permusuhan dengan siapa pun. Memahami benar akan perintah QS 8:60 bahwa untuk berjihad secara fisik dalam bentuk qithal haruslah mempersiapkan kemampuan dan pengetahuan tempur sserta sarana, dana dan prasarana pendukungnya. Memahami benar akan makna QS 4:46 agar membina persatuan dan kesatuan serta kelompok, memperhatikan sikon.
Setelah melangkah, jama’ah jihad berpantang surut, onward no retreat. Bila telah bertekad bulat, bertawakkal menyerah kepada ketentuan Allah (QS 3:159). Dengan dalih apa pun, jama’ah jihad tak akan melucuti diri sendiri dengan menyerahkan persenjataan betapa pun keadaannya. Itu adalah amal perbuatan yang sia-sia, yang sangat memalukan.
Jama’ah jihad akan berupaya meyakinkan semua pihak, bahwa pedang Islam itu tumpul. Tak berdaya terhadap mereka yang bukan penindas atau penganiaya. Tak berdaya terhadap mereka yang tidak membinasakan dan merintangi Islam. Tak berdaya terhadap mereka yang tidak merusak kerukunan dan keamanan. Islam tidak mengganggu dan tidak merusak. Nyawa dan harta siapa pun dijamin Islam keamanan dan keselamatannya. Pedang Islam baru sangat tajam terhadap yang berupaya menimbulkan perpecahan dan melakukan penganiayaan. (Bks 22-4-2000)
Jama’ah jihad gigih berjuang menegakkan Kalimatullah yang termaktub dalam Qur:an. Mengunggulkan Dinulhaq di atas yang lain (QS 61:9). Berdakwah menyemaikan akidah Islamiyah (QS 16:125). Menyeru manusia agar hanya bertuhankan Allah swt, bernabikan Muhammad saw, berkitab Qur:an. Rela diatur dengan Kitabullah. Yang Yahudi rela diatur dengan Taurat. Yang Nasrani rela diatur dengan Injil. Yang Islam rela diatur dengan Qur:an (QS 5:66). Agar berbuat adil, beramal saleh, berbuat ihsan, berbuat baik. Benar dalam segala hal. Tidak berlaku aniaya. Tidak mengganggu apa dan siapa pun. Tidak berbuat onar dan makar. Tidak melakukan mo-limo. Agar memberantas kejahatan, penindasan, penganiayaan, penyelewengan, kesewenang-wenangan, kemaksiatan (QS 16:90). Meskipun orang-orang menghinanya, melecehkannya (QS 9:33).
Dalam upaya menegakkan Kalimatullah, jama’ah jihad bergerak secara terorganisir dalam satu barisan yang teratur (QS 61:4), dengan satu program yang realistis rinci terpadu, serta dengan pembagian tugas yang jelas dan tegas, yang hanya berorientasi pada Islam semata, dan mengacu pada sikap Rasulullah dan para sahabat beliau, dengan tujuan untuk membela dan mempertahankan tegaknya Kalimatullah, dengan satu pimpinan komando yang berwibawa yang mampu mengatur taktik strategi yang dipatuhi oleh semuanya.
Aktivitas jama’ah jihad bersifat menyeluruh, totalitas (QS 2:208), serba multi, multi-dimensi, multi-disiplin dengan multi-media (QS 8:60), mencakup ipoleksosbudmil. Perjuangan akademik, ideologi, politik, sosial, kultural, ekonomi dan perjuangan bersenjata (iman, harta, logika). Menyiapkan tenaga-tenaga profesional berjiwa Islam dalam berbagai disiplin keahlian yang akan menangani masalah kenegaraan (eksekutif, legislatif, yudikatif). Mencakup dakwah, amar bil makruf, nahi anil munkar (QS 3:104) melalui jihad tablighi, jihad taklimi (tarbiyah), aksi massa (aktivitas sosial), jihad siyasi (jalur politik-diplomatik, parlementer-konstitusional), jihad qathli (jalur kekuatan bersenjata). Semuanya itu merupakan jalur, metode, thuruq bagi pencapaian tujuan.
Dalam hubungan ini, sesuai dengan pandangan, visi dan persepsinya tentang cara dan strategi menegakkan Kalimatullah, Ir Soekarno, tokoh Nasional-Marxis, dalam sidang BPUUPKI tanggal 1 Juni 1945 dengan semangat berapi-api, berkobar-kobar menganjurkan tokoh pejuang Islam sehebat-hebatnya agar supaya sebagian terbesar kursi DPR diduduki oleh utusan-utusan Islam, sehingga hukum-hukum yang dihasilkan DPR itu adalah hukum Islam. Namun dalam praktek perjuangannya, Ir Soekarno sama sekali tak tertarik memperjuangkan tegaknya Kalimatullah, tegaknya syari’at Islam. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Ir Soekarno dengan ide Nasakomnya (Nasamarx) menjegal tegaknya syari’at Islam. Ir Soekarno yang semula menganjurkan memilih jalur parlemen-konstitusional, tapi ia sendiri berseberangan, bahkan bermusuhan dengan Islam dalam hal menegakkan Islam.
Hasan Al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya di Mesir, Maududi dengan Jami’atul Islami-nya di Pakistan, Hasan Turabi di Sudan, Taqiyuddin an-Nabhani dengan Hizbut Tahrir-nya di Yordania, dan lain-lain, berupaya amengimplementasikan syari’at Islam dengan lebih memusatkan perjuangannya melalui jalur politik, jalur parlemen dan jalur dakwah.
Berbeda dengan semua itu, Kartosoewirja lebih maju, dengan memilih jalur perjuangan bersenjata dengan memproklamirkan berdirinya Negara karunia allah, Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 27 Agustus 1948.
Lain lagi dengan Prof Raojiyah Garaudy (Roger Garaudy), mantan pakar strategi marxis (anggota politbiro Partai Komunis Perancis) yang dalam teori penyebaran Islam-nya mengemukakan, bahwa agar syari’at berguna untuk diterapkan di berbagai masyarakat manusia, maka Islam harus menjadi milik golongan tertindas (kelas proletar ?), dan harus memberi ruh harapan dan semangat hidup bagi semua (QS 8:24).
Sasaran ruang lingkup jihad yang paling luas adalah jihad tablighi (dakwah). Meliputi antara lain : masyarakat transmigrasi, lembaga permasyarakatan, generasi muda, pramuka, kelompok orang tua, kelompok wanita, kelompok masyarakat industri (buruh, kuli, supir), kelompok profesi, masyarakat daerah rawan, masyarakat suku terasing, pondok sosial, rumah sakit, komplek perumahan, asrama, masyarakat akademis, karyawan, pejabat, gelandangan, tuna susila, masyarakat pasar.
Aktivitas jihad tablighi sangat beragam. Bisa berupa penerbitan buku-buku agama, penerbitan surat kabar, majalah atau buletin dakwah, pidato, diskusi, ceramah, pengajian, konsultasi, aktivitas seni budaya, dan lain-lain.
Jama’ah jihad gigih berjuang menggalang persatuan kesatuan antar sesama, "kalbunyan yasyudduhu ba’dhu ba’dha". Dengan segenap kemampuan yang dimiliki secara optimal maksimal memperjuangkan tegaknya "kalimatullah hiyal ‘ulya", tegaknya ajaran dan aturan Allah di tengah-tengah masyarakat, tegaknya nilai-nilai Islam dalam kehidupan, berlakunya hukum Allah di muka bumi sebagaia hukum positip, terciptanya kesempatan melaksanakan "amar fahkum bainannas bima anzalallah", terwujudnya "’izzul Islam wal Muslimin".
Jama’ah jihad tak akan lupa dan lengah dari sasaran tujuan "li i'la kalimatullah hiyal ‘ulya". Asas dasar landasan pangkal tolak jama’ah jihad adalah keyakinan dan pengakuan akan "la ilaha illalah", hanyalah Allah yang Tuhan, "qul huwallahu ahad", "alladzina qalu rabbunallah", hanyalah ajaran dan aturan Allah pedoman dan pandangan hidup, tanpa dicampuri ajaran lain. Inilah tugas kewajiban yang tersandang terpikul pada jama’ah jihad.
Jama’ah jihad yang ilmuwan/cendekiawan gigih berjuang "bil-qalam", "bil-kalam", "bil-lisan" menunjukkan, menjelaskan kebenaran, ketinggian, keagungan ajaran, aturan Islam secara objektif ilmiah, di segala sektor bidang kehidupan, keagungan sistim politik, ekonomi, sosial, budaya, militer yang berlandaskan ajaran Islam. Sekaligus meredam dan membungkam suara sumbang yang penuh caci maki. Ini ditujukan terhadap yang non-Muslim, dan yang Muslim pengagum non-Muslim, yang terpesona dengan ajaran dan aturan yang bukan Islam.
Jama’ah jihad gigih berjuang melancarkan sorotan, kritik, kecam tajam, koreksi terhadap semua ajaran, aturan yang bukan Islam secara objektif ilmiah dengan menggunakan ajaran yang bukan Islam itu sendiri, dengan menggunakan studi kritis terhadap karya orientalis. Ajaran yang bukan Islam ini, ada yang bersifat internasional, seperti komunis, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, nasionalisme, sekularisme beserta antek anak-cucunya. Ada pula yang bersifat lokal, seperti javanisme, hinduisme.
Dalam hal ini diperlukan pemahaman dan penguasaan tentang kristologi, yudiologi, komunistologi, kapitalistologi, javanistologi, sejarah lahirnya Pancasila, jalur pembudayaan Pancasila, latar belakang pandangan hidup perumus Pancasila, isi pidato lahirnya Pancasila, susunan rumusan isi Piagam Jakarta, Dekrit Presiden, PMP, KB, Asas Tunggal, Dwifungsi, P4, Loyalitas Tunggal, dan lain-lain. Komunisme harus dikecam dengan komunisme. Kapitalisme harus dikecam dengan kapitalisme. Javanisme harus dikecam dengan javanisme. Ini juga dihadapkan ditujukan kepada yang non-Muslim dan yang Muslim pengagum non-Muslim.
Jama’ah jihad gigih berjuang menangkis, menolak kritik, kecaman yang dihadapkan pada ajaran Islam dengan argumentasi objektif ilmiah, dengan hujah balighah. Mempergunakan piranti rasio untuk menolak serangan musuh-musuh Islam. Kafir dijihad dengan senjata. Munafik dijihad dengan nalar. Jihad ada yang dengan tangan, lidah, hati, dan ada yang dengan mimik/ekspresi wajah yang menunjukkan kejijikan, kebencian, ketidaksenangan. Ini pun juga dihadapkan ditujukan kepada yang non-Muslim dan yang Muslim pengagum non-Muslim.
Jama’ah jihad gigih berjuang membendung, mencegah mengalirnya arus ajaran yang bukan Islam di tengah-tengah masyarakat secara persuasif. Ini dihadapkan ditujukan kepada Muslim bukan ilmuwan/cendekiawan. Jalur salurannya melalui malis dakwah dalam taklim.
Jama’ah jihad gigih berjuang membersihkan, memurnikan ajaran Islam dari campuran ajaran yang bukan Islam. Membersihkan akidah dari tahyul, khurafat. Membersihkan ibadah dari bid’ah. Bid’ah itu mudah menyatu dalam budaya seremoni. Ini juga dihadapkan ditujukan kepada yang Muslim bukan ilmuwan/cendekiawan, melalui dakwah dalam taklim.
Jama’ah jihad yang bukan ilmuwan/cendekiawan gigih berjuang "bil-fi’li", "bil-‘amali". Menampilkan keagungan Islam dalam segenap perbuatan kehidupan diri pribadi dan kehidupan bermasyarakat, seagai masyarakat imtaq, masyarakat marhamah. Membentengi diri dari arus ajaran yang bukan Islam. Berbuat, bersikap, berprilaku yang menguntungkan Islam, yang memantulkan citra Islam, bukan yang menimbulkan fitnah terhadap Islam. "Janganlah kamu mengajak berbicara dengan suatu kaum yang pembicaraanmu itu tidak bisa dicerna oleh akal mereka kecuali akan mendatangkan fitnah di kalangan mereka" (HR Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Jama’ah jihad gigih berjuang melakukan studi kritis terhadap karya orientalis. Para orientalis dengan dilandasi semangat "reconquesta" (semangat balas dendam) dan jiwa kebencian terhadap Islam dan ummatnya (QS 2:120) berupaya mengkaji, mendalami, menganalisa, meneliti, menyelidiki akidah, tradisi, akhlak, khazanah, kekuatan dan kelemahan Islam dan ummatnya (TWOS : Treath, Weakness, Opportunity, Strength). Hasil kajiannya itu diterbitkan dalam bentuk karya yang katanya ilmiah yang memuat antara lain : laporan hasil kajiannya terhadap Islam dan ummatnya, serta sekaligus juga memuat advis, nasehat, saran, usulan, bahan pertimbangan bagi penyusunan strategi perjuangan kolonialisme, imperialis nasrani untuk menguasai Islam dan ummatnya, sehingga tata moral, politik, sosial, ekonomi, spiritual tunduk pada sistem moral-politik-sosial-ekonomi-spiritual imperialis nasrani. Lothrop Stoddard, seorang penulis yang sangat reaksioner, yang sangat mendambakan kepemimpinan dunia terus menerus dipegang oleh ras Eropis Nordis sengaja menulis buku "Dunia Baru Islam" yang memaparkan bahaya "Kebangkitan Islam" bagi dominasi ras Eropis Nordis, sekaligus menunjukkan cara-cara penanggulangannya. Semangat, aspirasi kolonialnya sangat jelas terpancar dalam keseluruhan buku itu.
Sebelum berjihad, jama’ah jihad memahami benar tentang dasar dan tujuan serta langkah yang akan diambilnya. Dasar dan tujuannya tetap, tak berubah sepanjang masa. Semata-mata hanya demi tegaknya Kalimatullah. Tapi langkah, taktik, strategi bisa saja berubah mengikuti situasi dan kondisi. "Everything depend on condition time and place" (Soegiarso Soerojo : "Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai", 1988:394).
Jama’ah jihad memahami benar akan isyarat QS 8:50 bahwa penyerangan terhadap kubu musuh tidak boleh mulai dilancarkan tanpa didahului dengan pernyataan perang sebelumnya. Memahami benar bahwa tidak boleh memulai perang lebih dahulu, tidak boleh memulai permusuhan dengan siapa pun. Memahami benar akan perintah QS 8:60 bahwa untuk berjihad secara fisik dalam bentuk qithal haruslah mempersiapkan kemampuan dan pengetahuan tempur sserta sarana, dana dan prasarana pendukungnya. Memahami benar akan makna QS 4:46 agar membina persatuan dan kesatuan serta kelompok, memperhatikan sikon.
Setelah melangkah, jama’ah jihad berpantang surut, onward no retreat. Bila telah bertekad bulat, bertawakkal menyerah kepada ketentuan Allah (QS 3:159). Dengan dalih apa pun, jama’ah jihad tak akan melucuti diri sendiri dengan menyerahkan persenjataan betapa pun keadaannya. Itu adalah amal perbuatan yang sia-sia, yang sangat memalukan.
Jama’ah jihad akan berupaya meyakinkan semua pihak, bahwa pedang Islam itu tumpul. Tak berdaya terhadap mereka yang bukan penindas atau penganiaya. Tak berdaya terhadap mereka yang tidak membinasakan dan merintangi Islam. Tak berdaya terhadap mereka yang tidak merusak kerukunan dan keamanan. Islam tidak mengganggu dan tidak merusak. Nyawa dan harta siapa pun dijamin Islam keamanan dan keselamatannya. Pedang Islam baru sangat tajam terhadap yang berupaya menimbulkan perpecahan dan melakukan penganiayaan. (Bks 22-4-2000)
Manipulasi terminologi Islam
Manipulasi terminologi Islam
Istilah, terminologi ajaran Islam sebenarnya mempunyai pengertian yang sudah baku. Namun demikian, disamping yang berpegang pada pengertian baku, ada pula yang memanipulasi, mereduksi, meredusir pengertian yang sudah baku itu.
Ada yang memahami bahwa menegakkan syari’at Islam adalah berpegang pada rukum iman yang enam dan menjalankan syari’at Islam yang lima (syahadat, shalat, shaum, zakat, haji). Memahami bahwa Khalifah di kalangan Muslimin adalah semacam Paus di kalangan Katholik Kristen. Khalifah itu tanpa kekuasaan (politik, militer). Istilah-istilah jama’ah, imamah (imarah), bai’at, tha’at sama sekali tak terkait dengan kekuasaan (politik, militer). Tujuan khilafah adalah agar dapat beribadah secara tertib dan terpimpin. "Islam hanyalah da’wah diniyah. Semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Tak ada hubungan apa-apa dengan masalah keduniaan, seperti urusan peperangan dan urusan politik". "Agama adalah satu hal, dan politik adalah suatu hal yang lain". "Qur:an tak pernah memerintahkan agar negeri diatur, ditata oleh Islam".
Ada pula yang memahami bahwa menegakkan syari’at Islam itu adalah berpegang pada prinsip-prinsip umum dari hukum Islam (hakikatnya, nilainya, semangatnya, jiwanya), sedangkan penerapan pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi, kondisi, suasana, tempat, waktu (makan, zaman). "Islam itu hanya sebatas hakikat, sebatas nilai". Yang diperlukan hanyalah menggali nilai-nilai syahadat, shalat, shaum, zakat, haji, qurban, jihad, dan lain-lain. Sedangkan bentuk, ujud, format, kaifiat dari syahadat, shalat, shau, haji, qurban, jihad, dan lain-lain terserah selera masing-masing sesuai dengan perubahan zaman.
Ada pula yang memahami bahwa menegakkan syari’at Islam itu adalah berpegang pada rukun iman yang enam dan menjalankan rukun islam yang lima, serta berjama’ah bersama-sama seara kolektif memberlakukan hudud yang ditetapkan Allah sebagai hukum positif seperti yang pernaha dilaksanakan oleh Rasulullah. Islam itu meliputi semua aspek kehidupan, termasuk politik, militer. Khilafah itu merupakan kekuasaan (politik, militer) untuk memberlakukan hudud, syari’at yang ditetapkan Allah.
Untuk memberlakukan hudud, menegakkan syari’at Islam ada yang menempuh jalur pendidikan dan bimbingan (tarbiyah dan taklim). Ada yang menempuh jalur pengabdian masyarakat, aksi sosial. Ada yang melalui dekrit pemerintah, menempuh jalur politik, jalur parlemen. Ada yang menempuh jalur kekuatan militer, dengan kekuatan senjata.
Hasan al-Banna dengan Ikhwanul Musliminnya di Mesir, Maududi dengan Jami’ah Islamiyahnya di Pakistan lebih memusatkan perjuangannya melalui jalur politik, jalur parlemen. Di Indonesia, Soekarno pernah menganjurkan memilih jalur parlemenini, namun ia sendiri berseberangan dengan Islam. Kartosuwirjo lebih maju, memilih jalur perjuangan bersenjata dengan memproklamasikan berdirinya Negara karunia Allah, Negara Islam Indonesia (NII).
Bagaimana pun, realisasinya sama sekali tergantung semata-mata dari anugerah karunia Allah, seperti tampilnya Umar bin Abdul Aziz yang jauh sangat berbeda dengan keluarganya dalam kalangan Bani Umawiyah (Umaiyah ?).
Istilah, terminologi ajaran Islam sebenarnya mempunyai pengertian yang sudah baku. Namun demikian, disamping yang berpegang pada pengertian baku, ada pula yang memanipulasi, mereduksi, meredusir pengertian yang sudah baku itu.
Ada yang memahami bahwa menegakkan syari’at Islam adalah berpegang pada rukum iman yang enam dan menjalankan syari’at Islam yang lima (syahadat, shalat, shaum, zakat, haji). Memahami bahwa Khalifah di kalangan Muslimin adalah semacam Paus di kalangan Katholik Kristen. Khalifah itu tanpa kekuasaan (politik, militer). Istilah-istilah jama’ah, imamah (imarah), bai’at, tha’at sama sekali tak terkait dengan kekuasaan (politik, militer). Tujuan khilafah adalah agar dapat beribadah secara tertib dan terpimpin. "Islam hanyalah da’wah diniyah. Semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Tak ada hubungan apa-apa dengan masalah keduniaan, seperti urusan peperangan dan urusan politik". "Agama adalah satu hal, dan politik adalah suatu hal yang lain". "Qur:an tak pernah memerintahkan agar negeri diatur, ditata oleh Islam".
Ada pula yang memahami bahwa menegakkan syari’at Islam itu adalah berpegang pada prinsip-prinsip umum dari hukum Islam (hakikatnya, nilainya, semangatnya, jiwanya), sedangkan penerapan pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi, kondisi, suasana, tempat, waktu (makan, zaman). "Islam itu hanya sebatas hakikat, sebatas nilai". Yang diperlukan hanyalah menggali nilai-nilai syahadat, shalat, shaum, zakat, haji, qurban, jihad, dan lain-lain. Sedangkan bentuk, ujud, format, kaifiat dari syahadat, shalat, shau, haji, qurban, jihad, dan lain-lain terserah selera masing-masing sesuai dengan perubahan zaman.
Ada pula yang memahami bahwa menegakkan syari’at Islam itu adalah berpegang pada rukun iman yang enam dan menjalankan rukun islam yang lima, serta berjama’ah bersama-sama seara kolektif memberlakukan hudud yang ditetapkan Allah sebagai hukum positif seperti yang pernaha dilaksanakan oleh Rasulullah. Islam itu meliputi semua aspek kehidupan, termasuk politik, militer. Khilafah itu merupakan kekuasaan (politik, militer) untuk memberlakukan hudud, syari’at yang ditetapkan Allah.
Untuk memberlakukan hudud, menegakkan syari’at Islam ada yang menempuh jalur pendidikan dan bimbingan (tarbiyah dan taklim). Ada yang menempuh jalur pengabdian masyarakat, aksi sosial. Ada yang melalui dekrit pemerintah, menempuh jalur politik, jalur parlemen. Ada yang menempuh jalur kekuatan militer, dengan kekuatan senjata.
Hasan al-Banna dengan Ikhwanul Musliminnya di Mesir, Maududi dengan Jami’ah Islamiyahnya di Pakistan lebih memusatkan perjuangannya melalui jalur politik, jalur parlemen. Di Indonesia, Soekarno pernah menganjurkan memilih jalur parlemenini, namun ia sendiri berseberangan dengan Islam. Kartosuwirjo lebih maju, memilih jalur perjuangan bersenjata dengan memproklamasikan berdirinya Negara karunia Allah, Negara Islam Indonesia (NII).
Bagaimana pun, realisasinya sama sekali tergantung semata-mata dari anugerah karunia Allah, seperti tampilnya Umar bin Abdul Aziz yang jauh sangat berbeda dengan keluarganya dalam kalangan Bani Umawiyah (Umaiyah ?).
Peralihan Hukum Islam ke Hukum Barat/Adat/Lokal
Peralihan Hukum Islam ke Hukum Barat, ke Hukum Adat, ke Hukum Nasional
Dalam kitab "Peraturan Pemerintahan di Baitul Maqdis" yang diterbitkan dalam bahasa Perancis di kota Paris, dimuat kumpulan sejarah Perang Salib. Juga dimuat tentang Hisbah (pengawasan masyarakat) yang dilakukan oleh orang Kristen waktu mereka dapat berkuasa di Palestina, yang dicontoh mereka dari Islam (Dr Musthafa as-Siba’i : "Sistem Masyarakat Islam", aslinya : "Al-Isytirakyah Al-Islamiyah", saduran H A Malik Ahmad, Pustaka Al-Hidayah, Jakarta, 1987, hal 133).
Sir Thomas Arnold & Alfred Guilaume dalam karyanya "Undang-undang dan Masyarakat menurut ajaran Islam" (cetakan Universitas Oxford tahun 1931, hal 316) menyebutkan bahwa seorang ahli hukum Itali yang terkenal David de Santillana (penulis Istituzioni di diritto musulmano malichita, con riguardo anche al sistema schiafi’ata) mengakui perhatiananya yang penuh, begitu pun minat ahli-ahli hukum Barat terhadap syari’at Islam, bahwa tanpa disangsikan lagi ia telah memberikan ilham tentang prrinsip-prinsip hukum modern kepada masyarakat Barat, seagaimana juga sebagian undang-undangnya yang artistik tentang perdagangan dan perseroan-perseroan terbatas telah mereka ambil alih (Ahmad Zaki Yamani MCJ LLM : "Syari’at Islam Yang Abadi menjawab tantangan masa kini", aslinya : "Asy-Syari’atul Khalidah wa Muskilaatul ‘Ashr", terjemah Mahyudin Syaf, Al-Ma’arif, Bandung, 1986, hal 30).
Sampai kepada abad VIII Hijriyah, Fiqih Islam itu sempat mencapai hasil-hasil yang besar, terutama di lapangan Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Kemajuan itu kelihatan juga di bidang Hukum Dagang yang ditiru oleh Eropah dari masyarakat Islam di Andalusia. Dari sumber inilah Eropah mengambil sebesar-besar manfa’at untuk menyusun Hukum Dagang mereka yang sekarang (Sayid Qutb : "Masyarakat Islam", terjemah H A Mu’thi Nurdin SH, Al-Ma’arif, Bandung, 1983, hal 44). Para alumni pendidikan Barat menebarkan teori dan buah pikiran bahwa Fiqih Islam itu dipungut, dikutip dari Undang-Undang Romawi dan bukan sebaliknya (Abul Hasan Ali al-Husni an-Nadwi : "Pertarungan antara Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat", aslinya "Ash-Shira’ bain al-Fikrat al-Islamiyat wa al-Fikrat al-Gharbiyah fi al-Aqthaar al-Islamiyat", terjemah Maaahyudin Syaf, Al-Ma’arif, Bandung, 1983, hal 116).
Aswab Mahasin menukil bahwa pada masa Sultan Mahmud Syah (1442-1444) aspek-aspek hukum Fiqih mulai masuk dalam Undang-Undang Malaka. Aspek-aspek untuk hukum perkawinan, hukum dagang, dan sebagian hukum acara (syahadah) disusun belakangan. Kanun ini dikutip secara luas, sebagian maupun secara utuh, pada berbagai perundang-undangan lain, dan berlaku di Kedah, Pahang, Riau, Pontianak, dan malahan masih dianggap berlaku di Brunei sekarang. Disamping itu ada pula versi Aceh dan versi Patani (Thailand). Demikian tercantum pada PESANTREN, Jakarta, No.2/Vol.II/1985, hal 21.
Hamka menukil bahwa Sulthan Hasan Bulqiyah Brunei (1605-1619) menyalin hampir keseluruhan "Qanun Mahkota Alam Aceh" untuk dijadikan Undang-Undang Negeri Brunei. Demikian tercantum pada PANJI MASYARAKAT, No.197, 15 April 1976, hal 29, dan No.537, 21 April 1987, hal 60.
KH Siradjuddin menukil, bahwa mulai tahun 1772 yaitu ketika Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjar kembali di Martapura, diberlakukan hukum Islam berdasarkan Mazhab Syafi’i di wilayah Kerajaan Banjar.
Hukum ini dijadikan sebagai Hukum Pemerintahan, terutama sebagai sumber pokok dalam membuat undang-undang dan peraturan Pemerintah, berdasarkan Qur:an dan Hadits.
Salah satu kitab Fiqih karya Syeikh muhammad Arsyad al-Banjar adalah Sabilal Muhtadin yang dicetak bersama kitab Shirathal Mustaqim karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Demikian tercantum dalam kitab Tabaqat Syafi’i, karya KH Siradjuddin Abbas, hal 422. Kitab Fiqih Sabilal Muhtadin Syaikh Arsyad Banjar itu merupakan saduran (keringkasan dan penyempurnaan) dari Kitab Sirathal Mustaqim Nuruddin ar-Raniri (Prof Dr Hamka : "Antara Fakta Dan Kayal ‘Tuanko Rao’", Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hal 180).
Zaini Ahmad Noeh menampak pengaruh pemikiran ilmu fiqih, khususnya teori Imam al-Mawardi tentang pemisahan fungsi memelihara agama (haratsah al-din) dan mengatur dunia (siyasah al-dunya) pada tata pemerintahan pribumi di Jawa dan Madura semasa penjajahan Hindia Belanda. Demikian tercantum pada PESANTREN, Jakarta, No.2/Vol.II/1985, hal 5-6.
Di Indonesia dan Semenanjung, Hukum Islam tidaklah dipandang asing. Hukum Islam pernah diberlakukan sebagai hukum positip di sebagian terbesar wilayah Indonesia dan Semenanjung (Melayu).
Hanya penguasa penjajahan kolonial Barat Nasrani pernah mengasingkah Hukum Islam dari bumi Indonesia dan Semenanjung.
Aspirasi memberlakukan kembali Hukum Islam sebagai Hukum Positip di Indonesia (pada era reformasi di Aceh dan Sulawesi Selatan) dan Semenanjung hanya sebagai pengulangan sejarah (l’histoire repeate).
Wilayah Indonesia dan Semenanjung tetap sebagai negeri Muslim secara riil (nyata), karena dahulu pernah diperintah oleh kerajaan-kerajaan Muslim. Demikian pendapat mufti Hadramaut ketika ditanya tentang status tanah jajahan Hindia Belanda yang dinukil oleh Abdurrahman Wahid (sebelum menjadi Presiden Republik Indonesia dalam PESANTREN, Jakarta, No.2/Vol.II/1985, hal 4.
Hikmah itu adalah barang hilang orang Mukmin, maka di mana pun dijumpainya, ia lebih berhak terhadapnya (Tarjamah HR Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Dalam kitab "Peraturan Pemerintahan di Baitul Maqdis" yang diterbitkan dalam bahasa Perancis di kota Paris, dimuat kumpulan sejarah Perang Salib. Juga dimuat tentang Hisbah (pengawasan masyarakat) yang dilakukan oleh orang Kristen waktu mereka dapat berkuasa di Palestina, yang dicontoh mereka dari Islam (Dr Musthafa as-Siba’i : "Sistem Masyarakat Islam", aslinya : "Al-Isytirakyah Al-Islamiyah", saduran H A Malik Ahmad, Pustaka Al-Hidayah, Jakarta, 1987, hal 133).
Sir Thomas Arnold & Alfred Guilaume dalam karyanya "Undang-undang dan Masyarakat menurut ajaran Islam" (cetakan Universitas Oxford tahun 1931, hal 316) menyebutkan bahwa seorang ahli hukum Itali yang terkenal David de Santillana (penulis Istituzioni di diritto musulmano malichita, con riguardo anche al sistema schiafi’ata) mengakui perhatiananya yang penuh, begitu pun minat ahli-ahli hukum Barat terhadap syari’at Islam, bahwa tanpa disangsikan lagi ia telah memberikan ilham tentang prrinsip-prinsip hukum modern kepada masyarakat Barat, seagaimana juga sebagian undang-undangnya yang artistik tentang perdagangan dan perseroan-perseroan terbatas telah mereka ambil alih (Ahmad Zaki Yamani MCJ LLM : "Syari’at Islam Yang Abadi menjawab tantangan masa kini", aslinya : "Asy-Syari’atul Khalidah wa Muskilaatul ‘Ashr", terjemah Mahyudin Syaf, Al-Ma’arif, Bandung, 1986, hal 30).
Sampai kepada abad VIII Hijriyah, Fiqih Islam itu sempat mencapai hasil-hasil yang besar, terutama di lapangan Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Kemajuan itu kelihatan juga di bidang Hukum Dagang yang ditiru oleh Eropah dari masyarakat Islam di Andalusia. Dari sumber inilah Eropah mengambil sebesar-besar manfa’at untuk menyusun Hukum Dagang mereka yang sekarang (Sayid Qutb : "Masyarakat Islam", terjemah H A Mu’thi Nurdin SH, Al-Ma’arif, Bandung, 1983, hal 44). Para alumni pendidikan Barat menebarkan teori dan buah pikiran bahwa Fiqih Islam itu dipungut, dikutip dari Undang-Undang Romawi dan bukan sebaliknya (Abul Hasan Ali al-Husni an-Nadwi : "Pertarungan antara Alam Fikiran Islam dengan Alam Fikiran Barat", aslinya "Ash-Shira’ bain al-Fikrat al-Islamiyat wa al-Fikrat al-Gharbiyah fi al-Aqthaar al-Islamiyat", terjemah Maaahyudin Syaf, Al-Ma’arif, Bandung, 1983, hal 116).
Aswab Mahasin menukil bahwa pada masa Sultan Mahmud Syah (1442-1444) aspek-aspek hukum Fiqih mulai masuk dalam Undang-Undang Malaka. Aspek-aspek untuk hukum perkawinan, hukum dagang, dan sebagian hukum acara (syahadah) disusun belakangan. Kanun ini dikutip secara luas, sebagian maupun secara utuh, pada berbagai perundang-undangan lain, dan berlaku di Kedah, Pahang, Riau, Pontianak, dan malahan masih dianggap berlaku di Brunei sekarang. Disamping itu ada pula versi Aceh dan versi Patani (Thailand). Demikian tercantum pada PESANTREN, Jakarta, No.2/Vol.II/1985, hal 21.
Hamka menukil bahwa Sulthan Hasan Bulqiyah Brunei (1605-1619) menyalin hampir keseluruhan "Qanun Mahkota Alam Aceh" untuk dijadikan Undang-Undang Negeri Brunei. Demikian tercantum pada PANJI MASYARAKAT, No.197, 15 April 1976, hal 29, dan No.537, 21 April 1987, hal 60.
KH Siradjuddin menukil, bahwa mulai tahun 1772 yaitu ketika Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjar kembali di Martapura, diberlakukan hukum Islam berdasarkan Mazhab Syafi’i di wilayah Kerajaan Banjar.
Hukum ini dijadikan sebagai Hukum Pemerintahan, terutama sebagai sumber pokok dalam membuat undang-undang dan peraturan Pemerintah, berdasarkan Qur:an dan Hadits.
Salah satu kitab Fiqih karya Syeikh muhammad Arsyad al-Banjar adalah Sabilal Muhtadin yang dicetak bersama kitab Shirathal Mustaqim karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri. Demikian tercantum dalam kitab Tabaqat Syafi’i, karya KH Siradjuddin Abbas, hal 422. Kitab Fiqih Sabilal Muhtadin Syaikh Arsyad Banjar itu merupakan saduran (keringkasan dan penyempurnaan) dari Kitab Sirathal Mustaqim Nuruddin ar-Raniri (Prof Dr Hamka : "Antara Fakta Dan Kayal ‘Tuanko Rao’", Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hal 180).
Zaini Ahmad Noeh menampak pengaruh pemikiran ilmu fiqih, khususnya teori Imam al-Mawardi tentang pemisahan fungsi memelihara agama (haratsah al-din) dan mengatur dunia (siyasah al-dunya) pada tata pemerintahan pribumi di Jawa dan Madura semasa penjajahan Hindia Belanda. Demikian tercantum pada PESANTREN, Jakarta, No.2/Vol.II/1985, hal 5-6.
Di Indonesia dan Semenanjung, Hukum Islam tidaklah dipandang asing. Hukum Islam pernah diberlakukan sebagai hukum positip di sebagian terbesar wilayah Indonesia dan Semenanjung (Melayu).
Hanya penguasa penjajahan kolonial Barat Nasrani pernah mengasingkah Hukum Islam dari bumi Indonesia dan Semenanjung.
Aspirasi memberlakukan kembali Hukum Islam sebagai Hukum Positip di Indonesia (pada era reformasi di Aceh dan Sulawesi Selatan) dan Semenanjung hanya sebagai pengulangan sejarah (l’histoire repeate).
Wilayah Indonesia dan Semenanjung tetap sebagai negeri Muslim secara riil (nyata), karena dahulu pernah diperintah oleh kerajaan-kerajaan Muslim. Demikian pendapat mufti Hadramaut ketika ditanya tentang status tanah jajahan Hindia Belanda yang dinukil oleh Abdurrahman Wahid (sebelum menjadi Presiden Republik Indonesia dalam PESANTREN, Jakarta, No.2/Vol.II/1985, hal 4.
Hikmah itu adalah barang hilang orang Mukmin, maka di mana pun dijumpainya, ia lebih berhak terhadapnya (Tarjamah HR Tirmidzi dari Abu Hurairah).
De-formalisasi Islam
De-formalisasi Islam (De-Islamisasi)
Dengan entengnya meluncur ucapan "Secara pribadi sya kok nggak apa-apa Presidennya orang Kristen sekalipun. Pokoknya, asal ia bisa membuat masyarakatnya menjadi lebih baik, ia bisa membangun dan mensejahterakan masyarakat". Kepala negara yang non-Islam tapi adil, dipandang lebih utama dari yang Islam tapi diktatoris.
"Mengapa harus takut akan kristenisasi. Mengapa harus marah, merintangi orang Kristen duduk di DPR. Ini sikap kekanak-kanakan. Kalau memang beriman dengan benar, dekat dengan umat, kristenisasi nggak akan jalan" (Zastrouw Ngatawi : AMANAT 28/10/99). Tak peduli dengan rambu-rambu larangan "mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin (QS Maidah 5:51).
Ucapan ini keluar dari yang tak setuju bila syari’at Islam diberlakukan secara formal sebagai hukum positif dalam perundang-undangan (Luthfi Basori : Musykilat Dalam NU). Tak setuju tegaknya syari’at, hukum Islam. Tak setuju aktivitas mu’amalah ditata berdasarkan syari’at Islam (Abd A’la : KOMPAS 22/10/99).
Benci terhadap legal dan ritual formal Islam. Benci terhadap ucapan Assalamu’alaikum. Benci terhadap aroma, nuansa, suasana, busana Islam. Syari’at Islam dipandang primitif, barbar, sadis, bengis, beringas, sangar, seram, kejam, biadab, tidak manusiawi.
Secara sistimatis, terencana, terarah, terprogram, berkesinambungan berupaya secara aktif menggeser, menggusur, meminggirkan, menyingkirkan, mengasingkan, memasung, mencabut, memenggal, mengebiri, mengikis syari’at Islam (legal dan ritual) dari mu’amalah (Musykilat Dalam NU.
De-formalisasi Islam (De-Islamisasi) juga dilakukan oleh yang mengaku Muslim, bahkan oleh pakar Islam yang paham akan kitab Kuning. Bisa dilakukan dalam bentuk stigmatisasi, lebelisasi, nasionalisasi, sinkritisasi (Musykilat Dalan NU).
Mencap yang berupaya memformalisasikan syari’at Islam seagai sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalis, menudingnya sebagai berpikiran picik, sontok, sempit, sektorial, parsial.
Menyerukan agar umat Islam berpikiran luas dalam skala besar, menjangkau kepentingan nasional, tidak berpikiran sempit, yang hanya mengacu pada Islam. Yang ya’lu, yang unggul adalah nasionalisme, bukan syari’at Islam. Haruslah berpikiran nasionalis, jangan Islami.
Memisah-misahkan, mempertentangkan antara hakikat (yang substantif, substansial) dan syari’at (law, legal). Hanya mengambil sebatas hakikat, substansial, substantif, esensi, semangat, nilai (moral, seremonial, ritual) Islam, dan melepaskan syari’at Islam (legal-formal),
Memanipulasi dalil-dalil syar’i, mereduksi makna syari’at Islam, sehingga terpisah, bertentangan antara hakikat dan syari’at. Memanipulasi makna ayat QS Ali Imran 3, bahwa yang telah beragama jangan didakwahi masuk Islam. Jangan didakwahkan Islam itu sebagai acuan tunggal (aalternatif) (Luthfi Basori : Musykilat Dalam NU).
Islam itu urusan pribadi, masalah keyakinan yang menyangkut kenyataan batiniyah, yang dipertanggungjawabkan secara trasendental (Dr Taufik Abdullah : PANJI MASYARAKAT 537). Islam itu dipandang, dipahami hanya sebatas nilai, moral, etika, tak ada sanksi hukumnya, paling-paling sanksi moral atau sanksi sosial (Ir Haidar Baqir : PANJI MASYARAKAT 521).
Penguasa tak punya hak wewenang menetapkan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya (Amsar A Dulmanan : REPUBLIKA 30/7/98). Aktivitas politik haruslah bebas dari syari’at Islam, namun bisa saja mengacu pada hakikat Islam. Wakil rakyat di DPR haruslah berorientasi kebangsaan, dan harus meninggalkan dan menanggalkan orientasi ke-Islaman.
Hak individu tidak boleh diintervensi, diatur oleh siapa pun, termasuk oleh syari’at Islam sendiri (Luthfi Basori : Musykilat Dalam NU). Tak ada paksaan dalam Islam. (Tak ada hudud ?)
Menyebarkan isu bahwa al-Qur:an tidak pernah secara spesifik berbicara tentang negara Islam. Ide, gagasan tentang negara Islam itu tidak ada dan tidak harus ada. Ide itu akan menimbulkan gejolak sosial, perpecahan bangsa, destabilitas dan disintegrasi nasional. Tak ada ketentuan Fiqih yang mengharuskan negara itu diatur oleh syari’at Islam (Musykilat Dalam NU).
Tudingan semacam itu pernah pula dulu disandangkan kepada Muhammad Rasulullah, manusia jujur terpercaya yang mereka propagandakan sebagai biang pencerai-berai, pemecah-belah antara seorang dengan orangtuanya, dengan saudaranya, dengan isterinya, dengan keluarganya. Padahal merekalah yang merusak ikatan solidaritas di kalangan Arab (Haekal : Sejarah Hidupo Muhammad).
Memuji-muji, menyanjung-nyanjung keagungan nilai-nilai Islam yang bersifat humanis-universal, seperti kemerdekaan, keadilan, persamaan, terlepas dari syari’at (legal-formal). Mementingkan kontekstual, dan mengabaikan tekstual. Mengambil prinsipnya, dan meninggalkan syari’atnya.
Diciptakan persamaan mutlak, tanpa membeda-bedakan budaya, etnis, agama, terlepas dari nash (teks). Mempersamakan secara mutlak antara pria dan wanita, antara Islam dan non-Islam (Yahudei, Nasrani, Zionis, Komunis) dalam segala hal, termasuk dalam hal warisan, kesaksian, bithanah, walaa (kepemimpinan), dan lain-lain. Sikapa saja boleh dan berhak dipilih jadi pemimpin tanapa membeda-bedakan jenisnya dan agamanya. Yang harus digunakan sebagai parameter hanyalah alasan kemampuan, kapabilitas dan kredibilitas (Prof Chamamah Soeratno : SUARA AISYIYAH, No.8/1999).
Dengan memanipulasi makna keadilan, maka setiap upaya untuk memformalkansyari’at Islam dalam peraturan perundang-undangan dipandang diskriminatif terhadap non-Islam (Musykilat Dalam NU.
Tak setuju dengan kelompok usroh, masjid kampus (yang rata-rata di fakultas teknik dan fakultas kedokteran), yang memakai tabir dan jilbab, parpol-parpol yang berasaskan Islam (Zastrouw Ngatawi : AMANAT 28/10/99).
Gerakan-gerakan semacam itu dari perspektif historis dipandang selalu gagal, tidak pernah berhasil, tidak pernah mendapat simpati luas mayoritas ummat (Abd A’la : KOMPAS 22/10/99).
Menyebarkan isu bahwa syari’at Islam hanya cocok bagi masyarakat seragam (homogen), tapi hakikat Islam cocok bagi masyarakat beragam (heterogen, majemuk). Untuk masyarakat maajemuk, di alam komunitas pluralistik, maka hakikat Islam bisa dipakai sebagai acuan bersama.
Meredusir, menurunkan pengertian jihad dari pengertian istilah (kontekstual, keagamaan) menjadi pengertian lughawi (tekstual, grammatikal, kebahasaan), yang hanya berarti bekerja keras atau berjuang, bersungguh-sungguh. Gejala mempersempit makna terminologi ajaran Islam ini tampaknya semakin membudaya.
Dengan memanipulasi makna ukhuwah, menyebarkan isu bahwa ukhuwah yang cocok adalah ukhuwah syu’ubiyah, ukhuwah wathaniyah, sedangkan ukhuwah Islamiyah akan menimbulkan perpecahan bangsa, destabilitas dan disintegrasi nasional. Pengertian ukhuwah (persaudaraan), jama’ah (persatuan) menjadi kacau balau.
Menyerukan agar prinsip-prinsip Islam haruslah diselaraskan, disesuaikan, diakomodasikan dengan dunia modern (modernisme). Pengundangan sanksi moral oleh negara haruslah ditiadakan. Melakukan sinkritisasi, mencapursarikan yang bukan Islam ke dalam Islam (Talbisul-haq bil-bathil) (Luthfi Basori : usykilat Dalam NU).
Memang ada periode, orang tidak lagi mengajak kebaikan dan melarang kemunkaran. Bahkan telah menganggap yang baik itu buruk (munkar) dan yang buruk itu baik (makruf). Menyamakan, menyamarkan, memanipulasi yang haram jadi yang halal. Lebih dari itu menyuruh yang munkar dan melarang yang makruf.
Memang ada suatu masa, Islam hanya tersisa namanya, sebutannya, predikatnya. Qur:an hanya tersisa tulisannya, naskahnya, teksnya. Terlepas dari Islam, bagaikan anak panah terlepas melesat dari busurnya, tanpa terasa, tanpa disadari, tanpa kelihatan, tanpa terdeteksi dan terobservasi.
Berseberangan dengan yang Islam, tapi akrab dengan yang non-Islam (semacam Zionis, Komunis, dan lain-lain). Tanpa peduli dengan nash-syari’at, yang menyatakan bahwa yang Hizbullah, yang benar beriman kepada Allah dan hari kemudian tak akan pernah bermesraan dengan yang kufur (QS Mujadalah 48:22).
Semula, menjelang proklamasi kemerdekaan RI, semangat untuk memformalisasikan syari’at Islam sangat menonjol. Hal ini tampak pada tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Namun sehari setelah proklamasi, yang sangat mencuat adalah semangat untuk mendeformalisasikan syari’at Islam. Hal ini sangat jelas terlihat pada pengebiran Piagam Jakarta dengan dihapusnya tujuh kata itu ke dalam Pembukaan UUD 18 Agustus 1945.
Upaya deformalisasi ini semakin santer. Ini bisa dilihat dari sidang Konstituante 1955 dan sidang MPR selang waktu 1971-1999. Dan kini dari upaya-upaya mempersamakan secara mutlak dalam hal gender antara pria dan wanita, dalam hal kepemimpinan (walaa) dan pertemanan (bithanah, waliijah), antara yang Islam dan bukan Islam (Yahudi, Nassshrani, Zionis, komunis, dan lain-lain). Bahkan jika seandainya diadakan referendum (jajak pendapat), hampir dapat dipastikan bahwa yang tidak menginginkan berlakunya syari’at Islam lebih besar jumlahnya dari pada yang menginginkan berlakunya syari’at Islam.
Sedangkan yang masih berupaya memformalisasikan syari’at Islam, kecewa dengan penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta itu. Ini merupakan awal kekalahan politik Islam berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler.
Sebagiannya berusaha membentuk NII (Negara Islam Indonesia) 27 Agustus 1948. Sejak Daud Beureueh bergabung dengan NII, sejak diproklamirkan Negara Islam Aceh 21 September 1953, masyarakt Tanah Rencong berjuang mengembalikan tujuh kata Piagam jakarta, agar syari’at islam, Hukum Allah berdaulat, berkuasa di bumi Aceh (SIMPATI, No.6, 6 September 1998, SABILI, No.4, 11 Agustus 1999, No.5, 25 Agustus 1999). Langkah Aceh ini kemudian diikuti oleh Sulawesi Selatan.
Dengan mengembalikan Pembukaan UUD-45 seperti semula, seperti dalam Piagam jkarta, diharapkan tuntutan yang kembali di Aceh, dan dulu tahun lima puluhan juga muncul di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan lain-lain dapat diakomodir, dapat dipenuhi. Untuk mencegah disintegrasi bangsa (yang ditakutkan penguasa) seyogianya secepatnya mengembalikan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD-45 (SABILI, No.15, 10 Februari 1999).
Dengan entengnya meluncur ucapan "Secara pribadi sya kok nggak apa-apa Presidennya orang Kristen sekalipun. Pokoknya, asal ia bisa membuat masyarakatnya menjadi lebih baik, ia bisa membangun dan mensejahterakan masyarakat". Kepala negara yang non-Islam tapi adil, dipandang lebih utama dari yang Islam tapi diktatoris.
"Mengapa harus takut akan kristenisasi. Mengapa harus marah, merintangi orang Kristen duduk di DPR. Ini sikap kekanak-kanakan. Kalau memang beriman dengan benar, dekat dengan umat, kristenisasi nggak akan jalan" (Zastrouw Ngatawi : AMANAT 28/10/99). Tak peduli dengan rambu-rambu larangan "mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin (QS Maidah 5:51).
Ucapan ini keluar dari yang tak setuju bila syari’at Islam diberlakukan secara formal sebagai hukum positif dalam perundang-undangan (Luthfi Basori : Musykilat Dalam NU). Tak setuju tegaknya syari’at, hukum Islam. Tak setuju aktivitas mu’amalah ditata berdasarkan syari’at Islam (Abd A’la : KOMPAS 22/10/99).
Benci terhadap legal dan ritual formal Islam. Benci terhadap ucapan Assalamu’alaikum. Benci terhadap aroma, nuansa, suasana, busana Islam. Syari’at Islam dipandang primitif, barbar, sadis, bengis, beringas, sangar, seram, kejam, biadab, tidak manusiawi.
Secara sistimatis, terencana, terarah, terprogram, berkesinambungan berupaya secara aktif menggeser, menggusur, meminggirkan, menyingkirkan, mengasingkan, memasung, mencabut, memenggal, mengebiri, mengikis syari’at Islam (legal dan ritual) dari mu’amalah (Musykilat Dalam NU.
De-formalisasi Islam (De-Islamisasi) juga dilakukan oleh yang mengaku Muslim, bahkan oleh pakar Islam yang paham akan kitab Kuning. Bisa dilakukan dalam bentuk stigmatisasi, lebelisasi, nasionalisasi, sinkritisasi (Musykilat Dalan NU).
Mencap yang berupaya memformalisasikan syari’at Islam seagai sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalis, menudingnya sebagai berpikiran picik, sontok, sempit, sektorial, parsial.
Menyerukan agar umat Islam berpikiran luas dalam skala besar, menjangkau kepentingan nasional, tidak berpikiran sempit, yang hanya mengacu pada Islam. Yang ya’lu, yang unggul adalah nasionalisme, bukan syari’at Islam. Haruslah berpikiran nasionalis, jangan Islami.
Memisah-misahkan, mempertentangkan antara hakikat (yang substantif, substansial) dan syari’at (law, legal). Hanya mengambil sebatas hakikat, substansial, substantif, esensi, semangat, nilai (moral, seremonial, ritual) Islam, dan melepaskan syari’at Islam (legal-formal),
Memanipulasi dalil-dalil syar’i, mereduksi makna syari’at Islam, sehingga terpisah, bertentangan antara hakikat dan syari’at. Memanipulasi makna ayat QS Ali Imran 3, bahwa yang telah beragama jangan didakwahi masuk Islam. Jangan didakwahkan Islam itu sebagai acuan tunggal (aalternatif) (Luthfi Basori : Musykilat Dalam NU).
Islam itu urusan pribadi, masalah keyakinan yang menyangkut kenyataan batiniyah, yang dipertanggungjawabkan secara trasendental (Dr Taufik Abdullah : PANJI MASYARAKAT 537). Islam itu dipandang, dipahami hanya sebatas nilai, moral, etika, tak ada sanksi hukumnya, paling-paling sanksi moral atau sanksi sosial (Ir Haidar Baqir : PANJI MASYARAKAT 521).
Penguasa tak punya hak wewenang menetapkan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya (Amsar A Dulmanan : REPUBLIKA 30/7/98). Aktivitas politik haruslah bebas dari syari’at Islam, namun bisa saja mengacu pada hakikat Islam. Wakil rakyat di DPR haruslah berorientasi kebangsaan, dan harus meninggalkan dan menanggalkan orientasi ke-Islaman.
Hak individu tidak boleh diintervensi, diatur oleh siapa pun, termasuk oleh syari’at Islam sendiri (Luthfi Basori : Musykilat Dalam NU). Tak ada paksaan dalam Islam. (Tak ada hudud ?)
Menyebarkan isu bahwa al-Qur:an tidak pernah secara spesifik berbicara tentang negara Islam. Ide, gagasan tentang negara Islam itu tidak ada dan tidak harus ada. Ide itu akan menimbulkan gejolak sosial, perpecahan bangsa, destabilitas dan disintegrasi nasional. Tak ada ketentuan Fiqih yang mengharuskan negara itu diatur oleh syari’at Islam (Musykilat Dalam NU).
Tudingan semacam itu pernah pula dulu disandangkan kepada Muhammad Rasulullah, manusia jujur terpercaya yang mereka propagandakan sebagai biang pencerai-berai, pemecah-belah antara seorang dengan orangtuanya, dengan saudaranya, dengan isterinya, dengan keluarganya. Padahal merekalah yang merusak ikatan solidaritas di kalangan Arab (Haekal : Sejarah Hidupo Muhammad).
Memuji-muji, menyanjung-nyanjung keagungan nilai-nilai Islam yang bersifat humanis-universal, seperti kemerdekaan, keadilan, persamaan, terlepas dari syari’at (legal-formal). Mementingkan kontekstual, dan mengabaikan tekstual. Mengambil prinsipnya, dan meninggalkan syari’atnya.
Diciptakan persamaan mutlak, tanpa membeda-bedakan budaya, etnis, agama, terlepas dari nash (teks). Mempersamakan secara mutlak antara pria dan wanita, antara Islam dan non-Islam (Yahudei, Nasrani, Zionis, Komunis) dalam segala hal, termasuk dalam hal warisan, kesaksian, bithanah, walaa (kepemimpinan), dan lain-lain. Sikapa saja boleh dan berhak dipilih jadi pemimpin tanapa membeda-bedakan jenisnya dan agamanya. Yang harus digunakan sebagai parameter hanyalah alasan kemampuan, kapabilitas dan kredibilitas (Prof Chamamah Soeratno : SUARA AISYIYAH, No.8/1999).
Dengan memanipulasi makna keadilan, maka setiap upaya untuk memformalkansyari’at Islam dalam peraturan perundang-undangan dipandang diskriminatif terhadap non-Islam (Musykilat Dalam NU.
Tak setuju dengan kelompok usroh, masjid kampus (yang rata-rata di fakultas teknik dan fakultas kedokteran), yang memakai tabir dan jilbab, parpol-parpol yang berasaskan Islam (Zastrouw Ngatawi : AMANAT 28/10/99).
Gerakan-gerakan semacam itu dari perspektif historis dipandang selalu gagal, tidak pernah berhasil, tidak pernah mendapat simpati luas mayoritas ummat (Abd A’la : KOMPAS 22/10/99).
Menyebarkan isu bahwa syari’at Islam hanya cocok bagi masyarakat seragam (homogen), tapi hakikat Islam cocok bagi masyarakat beragam (heterogen, majemuk). Untuk masyarakat maajemuk, di alam komunitas pluralistik, maka hakikat Islam bisa dipakai sebagai acuan bersama.
Meredusir, menurunkan pengertian jihad dari pengertian istilah (kontekstual, keagamaan) menjadi pengertian lughawi (tekstual, grammatikal, kebahasaan), yang hanya berarti bekerja keras atau berjuang, bersungguh-sungguh. Gejala mempersempit makna terminologi ajaran Islam ini tampaknya semakin membudaya.
Dengan memanipulasi makna ukhuwah, menyebarkan isu bahwa ukhuwah yang cocok adalah ukhuwah syu’ubiyah, ukhuwah wathaniyah, sedangkan ukhuwah Islamiyah akan menimbulkan perpecahan bangsa, destabilitas dan disintegrasi nasional. Pengertian ukhuwah (persaudaraan), jama’ah (persatuan) menjadi kacau balau.
Menyerukan agar prinsip-prinsip Islam haruslah diselaraskan, disesuaikan, diakomodasikan dengan dunia modern (modernisme). Pengundangan sanksi moral oleh negara haruslah ditiadakan. Melakukan sinkritisasi, mencapursarikan yang bukan Islam ke dalam Islam (Talbisul-haq bil-bathil) (Luthfi Basori : usykilat Dalam NU).
Memang ada periode, orang tidak lagi mengajak kebaikan dan melarang kemunkaran. Bahkan telah menganggap yang baik itu buruk (munkar) dan yang buruk itu baik (makruf). Menyamakan, menyamarkan, memanipulasi yang haram jadi yang halal. Lebih dari itu menyuruh yang munkar dan melarang yang makruf.
Memang ada suatu masa, Islam hanya tersisa namanya, sebutannya, predikatnya. Qur:an hanya tersisa tulisannya, naskahnya, teksnya. Terlepas dari Islam, bagaikan anak panah terlepas melesat dari busurnya, tanpa terasa, tanpa disadari, tanpa kelihatan, tanpa terdeteksi dan terobservasi.
Berseberangan dengan yang Islam, tapi akrab dengan yang non-Islam (semacam Zionis, Komunis, dan lain-lain). Tanpa peduli dengan nash-syari’at, yang menyatakan bahwa yang Hizbullah, yang benar beriman kepada Allah dan hari kemudian tak akan pernah bermesraan dengan yang kufur (QS Mujadalah 48:22).
Semula, menjelang proklamasi kemerdekaan RI, semangat untuk memformalisasikan syari’at Islam sangat menonjol. Hal ini tampak pada tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Namun sehari setelah proklamasi, yang sangat mencuat adalah semangat untuk mendeformalisasikan syari’at Islam. Hal ini sangat jelas terlihat pada pengebiran Piagam Jakarta dengan dihapusnya tujuh kata itu ke dalam Pembukaan UUD 18 Agustus 1945.
Upaya deformalisasi ini semakin santer. Ini bisa dilihat dari sidang Konstituante 1955 dan sidang MPR selang waktu 1971-1999. Dan kini dari upaya-upaya mempersamakan secara mutlak dalam hal gender antara pria dan wanita, dalam hal kepemimpinan (walaa) dan pertemanan (bithanah, waliijah), antara yang Islam dan bukan Islam (Yahudi, Nassshrani, Zionis, komunis, dan lain-lain). Bahkan jika seandainya diadakan referendum (jajak pendapat), hampir dapat dipastikan bahwa yang tidak menginginkan berlakunya syari’at Islam lebih besar jumlahnya dari pada yang menginginkan berlakunya syari’at Islam.
Sedangkan yang masih berupaya memformalisasikan syari’at Islam, kecewa dengan penghapusan tujuh kata Piagam Jakarta itu. Ini merupakan awal kekalahan politik Islam berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler.
Sebagiannya berusaha membentuk NII (Negara Islam Indonesia) 27 Agustus 1948. Sejak Daud Beureueh bergabung dengan NII, sejak diproklamirkan Negara Islam Aceh 21 September 1953, masyarakt Tanah Rencong berjuang mengembalikan tujuh kata Piagam jakarta, agar syari’at islam, Hukum Allah berdaulat, berkuasa di bumi Aceh (SIMPATI, No.6, 6 September 1998, SABILI, No.4, 11 Agustus 1999, No.5, 25 Agustus 1999). Langkah Aceh ini kemudian diikuti oleh Sulawesi Selatan.
Dengan mengembalikan Pembukaan UUD-45 seperti semula, seperti dalam Piagam jkarta, diharapkan tuntutan yang kembali di Aceh, dan dulu tahun lima puluhan juga muncul di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan lain-lain dapat diakomodir, dapat dipenuhi. Untuk mencegah disintegrasi bangsa (yang ditakutkan penguasa) seyogianya secepatnya mengembalikan Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD-45 (SABILI, No.15, 10 Februari 1999).
De-islamisasi
Deislamisasi
Deislamisasi adalah aktivitas yang bertujuan dan berupaya untuk menggeser, menggusur, meminggirkan, menyingkirkan, memasung, mencabut Syari’at Islam dari mu’amalah (sosial, kultural, ekonomi, hukum, politik, militer, dll).
Deislamisasi dilakukan terprogram secara sistimatis, terencana, terarah, berkesinambungan.
Diislamisasi dilakukan oleh yang bukan Muslim, dan juga oleh yang mengaku Muslim, bahkan oleh pakar Islam sendiri yang paham akan Kitab Kuning.
Yang bukan Muslim berupaya merusak kepercayaan akan Tauhid, merusak kepercayaan akan Rasul Allah, mencaci-maki, menjelek-jelekkan Islam dan umat Islam. Berupaya merusak kepercayaan akan Kitab Allah. Berupaya merusak kepercayaan akan Takdir Allah, merusak kepercayaan akan hari pembalasan.
Yang bukan Muslim berupaya menyebar isu negatif, menjelekkan dan menghina serta merendahkan Islam, Qur:an dan Nabi Muhammad.
Islam digambarkan sebagai agama orang primitif, barbar, sadis, bengis, beringas, sangar, seram, brutal, haus darah, penumpah darah, kejam, jorok, dekil, kumal, yang cocok buat bangsa biadab. Islam dicap terkebelakang, kolot, anti kemajuan.
Islam dipandang sebagai agama para penghasut, pengikut fanatik. Umat Islam dipandang sebagai orang yang bersedia mati dengan cara kekerasan (teroris), orang-orang bodoh yang secara buas siap menyerbu kemedan peang untuk mendapatkan rampasan perang kalau hidup, ataau mendapatkan surga kalau mati (Orientalis Washington Irving, dalam Muhammad Husain Haekal : "Sejarah Hidup Muhammad", 1984:693, Prof Dr Hamka : "Tafsir Al-Azhar", juzuk VIII, hal 97, juzuk XX, hal 28).
Yang mengaku Muslim berperan aktif menyebarkan isu bahwa Islam itu hanya cocok bagi masyarakat seragam (homogen), tak cocok bagi masyarakat beragam (heterogen). Untuk masyarakat majemuk (heterogen) "harus dicarikan acuan lain yang bisa dipakai bersama dalam komunitas yang pluralistik".
Dengan memanipulasi dalil-dalil syar’I, yang mengaku Muslim sendiri juga turut berperan aktif mengebiri, melumpuhkan, memenggal, mengikis Islam, berupaya mereduksi makna Islam sedemikian rupa.
Dengan memanipulasi makna ayat QS 3:3, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa "yang telah beragama jangan didakwahi masuk Islam". "Jangan didakwahkan Islam itu sebagai acuan tunggal (alternatif). Bahwa "Islam itu urusan pribadi, soal nilai". Pemerintah taka berhak memaksa rakyat melaksanakan Syari’at Islam. Aktivitas politik haruslah dipisahkan dari Islam. Padahal Islam itu merupakan satu kesatuan IPOLEKSOSBUDMIL, seperti diungkapkan Sayyid Quthub bahwa "banyak ayat alQur:an yang menggambarkan janji-janji Allah di dunia ini dalam kaitannya dengan komunitas (society, masyarakat) dan bukan individu (perorangan pribadi). "Untuk bisa turunnya berkah dari Allah, seperti yang dijanjikanNya, harus terwujud ketakwaan komunal (jama’ah)", kata Abdul Haris Lc (Majalah UMMI, No.10/IX, 1998, hal 28).
Yang mengaku Muslim aktif menyebar isu bahwa hak individu tidak boleh diintervensi, diatur oleh siapa pun, termasuk oleh Islam sendiri. "Tak ada paksaan dalam Islam". Jangan teraapkan Islam itu secara formal. Jangan formalisasikan ketentuan Syari’at Islam sebagai hukum positif ke dalam peraturan perundangan negara.
Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa "setiap upaya untuk memformalkan ajaran Islam ke dalam peraturan perundang-undangan akan bersifat diskriminatif (zhalim, aniaya, tidak adil) terhadap kelompok yang lain".
Yang mengaku Muslim berupaya menyear isu, bahwa alQur:an tidak pernah secara spesifik berb icara tentang negara Islam (Islamic State), karena itu ide (gagsan tentang negara Islam) tidak ada dan harus tidak ada, karena akan menimbulkan perpecahan bangsa, distabilitas dan disintegrasi nasional. (Siapa yang sebenarnya memecah persatuan antara Timor Barat dan Timor Timur, antara Papua Barat dan Papua Timur, antara Borneo Selatan dan Borneo Utara, antara Korea Selatan dan Korea Utara, antara Yaman Selatan dan Yaman Utara, antara Jerman Barat dan Jerman Timur, dan lain-lain ?)
Yang mengaku Muslim berupaya aktif menyebarkan isu agar tidak melegalisasikan ajaran Islam ke dalam perundang-undangan. "Tak ada ketentuan Fiqih yang mengharuskan negara diatur oleh Islam". Akhirnya Islam diatur oleh negara. Dan paling akhir, Islam tinggal hanya sekedar nama. Taka da mu’amalah, tak ada ‘ubudiyah, tak ada ‘aqidah.
Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa lembaga pendidikan Madrasah, IAIN, Peradilan Agama, RUU Zakat bersifat diskriminatif (zhalim, aniaya, tidak adil). Karenanya haruslah ditolak,
Elite politik Muslim yang mendukung Fraksi Islam paling banyak seperlima, yaitu dari kalangan Muslim di PPP, PBB, PK, PNU, PSII, P. Sedangkan elite politik yang menantang Fraksi Islam paling sedikit empat perlima, yaitu dari kalangan Muslim di PDI-P, Golkar, PAN, PKB, PKP, PDKP, PDR, IKKI, PP, PNI.
Yang mengaku Muslim turut meredusir, menurunkan pengertian jihad dari pengertian istilah (kontekstuaal, keagamaan) menjadi pengertian lughawi (tekstual, grammatikal, leksikal, kebahasaan), yang hanya berarti bekerja keras atau berjuang. Juga pengertian ukhuwah diturunkan dari ukhuwah Islamiyah menjadi ukhuwah syhu’ubiyah/wathaniyah.
Yang mengaku Muslim turut aktif menyerukan agar prinsip-prinsip Islam harus diselaraskan, disesuaikan, diakomodasikan dengan dunia modern (modernisme). Pengundangan sanksi moral oleh negara haruslah ditolak.
Yang mengaku Muslim juga menuding, mencap Islam sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalisme. Umat Islam dituding berpikiran picik, sempit, sontok, sektoral, parsial.
Yang mengaku Muslim sendiri menyerukan bahwa umat Islam haruslah berpikiran luas dalam skala besar, menjangkau kepentingan nasional, tidak berpikiran sempit, hanya mementingkan kepentingan Islam.
Jebakan deislamisasi : Yang ya’lu, yang unggul adalah Nasionalisme, bukan Islam. Haruslah berpikir nasionalis, jangan Islami.
Yang mengaku Muslim juga melakukan sinkretisasi, mencampurkan yang bukan Islam ke dalam Islam (talbisul haq bil bathil). Tokoh-tokoh masa kini yang dijadikan rujukandan acuan dalam sinkretisasi antara lain Ir Mahmud Muhammad Thaha, Abdullah Naim (keduanya tokoh pluralis Sudan yang menentang keras islamisasi pemerintahan). Hasan Hanafi (tokoh kiri Mesir yang menyatakan bahwa hakikat agama itu tidak ada), Muhammad Imarah, Rifa’at Thahthawi dan lain-lain tokoh sekular yang menyandang predikat Islam (Islam di permukaan, ‘ala harfin, tak lebih dari tenggorokan). Rifa’ah Thahthawi dikirim untuk belajar di Perancis. Di sana ia tinggal selama lima tahun (1826-1831). Sarjana lain yang tugas belajar di Perancis ialah Khairuddin alTunisia. Di Perancis ia menghabiskan waktu empat tahun (1852-1856). Setelah kembali keduanaya menyebarkan ide-ide untuk menata masyarakat dengan dasar sekularisme rasional (WAMY : "Gerakan Pemikiran dan Keagamaan", hal 26).
Pernah Rasulullah didatangi seseorang yang cekung matanya, menonjol tulang pipinya dan nonong dahinya, lebat jenggotnya, botak kepalanya. Orang itu berkata : "Hai Muhammad, bertakwalah kepada Allah" (Berlaku adillah dalam pembagian ghanimah). Rasulullah menjawab : "Siapakah yang ta’at kepada Allah, jika aku maksiat (tidak berlaku adil). Apakah kalian tidak percaya padaku, sedang Allah telah mempercayai aku terhadap penduduk bumi ?". Setelah oang itu pergi Rasulullah berkata : "Sesungguhnya akan keluar dari turunan orang itu orang-orang yang pandai (lancar) membaca Kitab Allah (alQur:an), tetapi tidak lebih dari tenggorokannya, mereka terlepas (keluar) dari agama (Islam), bagaikan anak panah terlepas dari busurnya (ketika dilepaskan), mereka akan membunuh orang-orang Islam dan membiarkan orang-orang kafir" (deislamisasi) (Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi : "AlLukluk walMarjan", hadits no.639-642, HR Bukhari, Muslim dari Abi Sa’id alKhudri, tentang "Orang-orang Khawarij dan sifat mereka".
Orang-orang Timur membasmi musuh dengan memenggal kepalanya. Tetapi Barat dan pendukungnya hanya dengan merobah hati dan tabi’atnya (Abul Hasan Ali alHusni anNadwi : "Pertarungan antara Alam
Deislamisasi adalah aktivitas yang bertujuan dan berupaya untuk menggeser, menggusur, meminggirkan, menyingkirkan, memasung, mencabut Syari’at Islam dari mu’amalah (sosial, kultural, ekonomi, hukum, politik, militer, dll).
Deislamisasi dilakukan terprogram secara sistimatis, terencana, terarah, berkesinambungan.
Diislamisasi dilakukan oleh yang bukan Muslim, dan juga oleh yang mengaku Muslim, bahkan oleh pakar Islam sendiri yang paham akan Kitab Kuning.
Yang bukan Muslim berupaya merusak kepercayaan akan Tauhid, merusak kepercayaan akan Rasul Allah, mencaci-maki, menjelek-jelekkan Islam dan umat Islam. Berupaya merusak kepercayaan akan Kitab Allah. Berupaya merusak kepercayaan akan Takdir Allah, merusak kepercayaan akan hari pembalasan.
Yang bukan Muslim berupaya menyebar isu negatif, menjelekkan dan menghina serta merendahkan Islam, Qur:an dan Nabi Muhammad.
Islam digambarkan sebagai agama orang primitif, barbar, sadis, bengis, beringas, sangar, seram, brutal, haus darah, penumpah darah, kejam, jorok, dekil, kumal, yang cocok buat bangsa biadab. Islam dicap terkebelakang, kolot, anti kemajuan.
Islam dipandang sebagai agama para penghasut, pengikut fanatik. Umat Islam dipandang sebagai orang yang bersedia mati dengan cara kekerasan (teroris), orang-orang bodoh yang secara buas siap menyerbu kemedan peang untuk mendapatkan rampasan perang kalau hidup, ataau mendapatkan surga kalau mati (Orientalis Washington Irving, dalam Muhammad Husain Haekal : "Sejarah Hidup Muhammad", 1984:693, Prof Dr Hamka : "Tafsir Al-Azhar", juzuk VIII, hal 97, juzuk XX, hal 28).
Yang mengaku Muslim berperan aktif menyebarkan isu bahwa Islam itu hanya cocok bagi masyarakat seragam (homogen), tak cocok bagi masyarakat beragam (heterogen). Untuk masyarakat majemuk (heterogen) "harus dicarikan acuan lain yang bisa dipakai bersama dalam komunitas yang pluralistik".
Dengan memanipulasi dalil-dalil syar’I, yang mengaku Muslim sendiri juga turut berperan aktif mengebiri, melumpuhkan, memenggal, mengikis Islam, berupaya mereduksi makna Islam sedemikian rupa.
Dengan memanipulasi makna ayat QS 3:3, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa "yang telah beragama jangan didakwahi masuk Islam". "Jangan didakwahkan Islam itu sebagai acuan tunggal (alternatif). Bahwa "Islam itu urusan pribadi, soal nilai". Pemerintah taka berhak memaksa rakyat melaksanakan Syari’at Islam. Aktivitas politik haruslah dipisahkan dari Islam. Padahal Islam itu merupakan satu kesatuan IPOLEKSOSBUDMIL, seperti diungkapkan Sayyid Quthub bahwa "banyak ayat alQur:an yang menggambarkan janji-janji Allah di dunia ini dalam kaitannya dengan komunitas (society, masyarakat) dan bukan individu (perorangan pribadi). "Untuk bisa turunnya berkah dari Allah, seperti yang dijanjikanNya, harus terwujud ketakwaan komunal (jama’ah)", kata Abdul Haris Lc (Majalah UMMI, No.10/IX, 1998, hal 28).
Yang mengaku Muslim aktif menyebar isu bahwa hak individu tidak boleh diintervensi, diatur oleh siapa pun, termasuk oleh Islam sendiri. "Tak ada paksaan dalam Islam". Jangan teraapkan Islam itu secara formal. Jangan formalisasikan ketentuan Syari’at Islam sebagai hukum positif ke dalam peraturan perundangan negara.
Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa "setiap upaya untuk memformalkan ajaran Islam ke dalam peraturan perundang-undangan akan bersifat diskriminatif (zhalim, aniaya, tidak adil) terhadap kelompok yang lain".
Yang mengaku Muslim berupaya menyear isu, bahwa alQur:an tidak pernah secara spesifik berb icara tentang negara Islam (Islamic State), karena itu ide (gagsan tentang negara Islam) tidak ada dan harus tidak ada, karena akan menimbulkan perpecahan bangsa, distabilitas dan disintegrasi nasional. (Siapa yang sebenarnya memecah persatuan antara Timor Barat dan Timor Timur, antara Papua Barat dan Papua Timur, antara Borneo Selatan dan Borneo Utara, antara Korea Selatan dan Korea Utara, antara Yaman Selatan dan Yaman Utara, antara Jerman Barat dan Jerman Timur, dan lain-lain ?)
Yang mengaku Muslim berupaya aktif menyebarkan isu agar tidak melegalisasikan ajaran Islam ke dalam perundang-undangan. "Tak ada ketentuan Fiqih yang mengharuskan negara diatur oleh Islam". Akhirnya Islam diatur oleh negara. Dan paling akhir, Islam tinggal hanya sekedar nama. Taka da mu’amalah, tak ada ‘ubudiyah, tak ada ‘aqidah.
Dengan memanipulasi makna keadilan, yang mengaku Muslim menyebarkan isu bahwa lembaga pendidikan Madrasah, IAIN, Peradilan Agama, RUU Zakat bersifat diskriminatif (zhalim, aniaya, tidak adil). Karenanya haruslah ditolak,
Elite politik Muslim yang mendukung Fraksi Islam paling banyak seperlima, yaitu dari kalangan Muslim di PPP, PBB, PK, PNU, PSII, P. Sedangkan elite politik yang menantang Fraksi Islam paling sedikit empat perlima, yaitu dari kalangan Muslim di PDI-P, Golkar, PAN, PKB, PKP, PDKP, PDR, IKKI, PP, PNI.
Yang mengaku Muslim turut meredusir, menurunkan pengertian jihad dari pengertian istilah (kontekstuaal, keagamaan) menjadi pengertian lughawi (tekstual, grammatikal, leksikal, kebahasaan), yang hanya berarti bekerja keras atau berjuang. Juga pengertian ukhuwah diturunkan dari ukhuwah Islamiyah menjadi ukhuwah syhu’ubiyah/wathaniyah.
Yang mengaku Muslim turut aktif menyerukan agar prinsip-prinsip Islam harus diselaraskan, disesuaikan, diakomodasikan dengan dunia modern (modernisme). Pengundangan sanksi moral oleh negara haruslah ditolak.
Yang mengaku Muslim juga menuding, mencap Islam sekretarian, primodial, ekstrim, fundamentalisme. Umat Islam dituding berpikiran picik, sempit, sontok, sektoral, parsial.
Yang mengaku Muslim sendiri menyerukan bahwa umat Islam haruslah berpikiran luas dalam skala besar, menjangkau kepentingan nasional, tidak berpikiran sempit, hanya mementingkan kepentingan Islam.
Jebakan deislamisasi : Yang ya’lu, yang unggul adalah Nasionalisme, bukan Islam. Haruslah berpikir nasionalis, jangan Islami.
Yang mengaku Muslim juga melakukan sinkretisasi, mencampurkan yang bukan Islam ke dalam Islam (talbisul haq bil bathil). Tokoh-tokoh masa kini yang dijadikan rujukandan acuan dalam sinkretisasi antara lain Ir Mahmud Muhammad Thaha, Abdullah Naim (keduanya tokoh pluralis Sudan yang menentang keras islamisasi pemerintahan). Hasan Hanafi (tokoh kiri Mesir yang menyatakan bahwa hakikat agama itu tidak ada), Muhammad Imarah, Rifa’at Thahthawi dan lain-lain tokoh sekular yang menyandang predikat Islam (Islam di permukaan, ‘ala harfin, tak lebih dari tenggorokan). Rifa’ah Thahthawi dikirim untuk belajar di Perancis. Di sana ia tinggal selama lima tahun (1826-1831). Sarjana lain yang tugas belajar di Perancis ialah Khairuddin alTunisia. Di Perancis ia menghabiskan waktu empat tahun (1852-1856). Setelah kembali keduanaya menyebarkan ide-ide untuk menata masyarakat dengan dasar sekularisme rasional (WAMY : "Gerakan Pemikiran dan Keagamaan", hal 26).
Pernah Rasulullah didatangi seseorang yang cekung matanya, menonjol tulang pipinya dan nonong dahinya, lebat jenggotnya, botak kepalanya. Orang itu berkata : "Hai Muhammad, bertakwalah kepada Allah" (Berlaku adillah dalam pembagian ghanimah). Rasulullah menjawab : "Siapakah yang ta’at kepada Allah, jika aku maksiat (tidak berlaku adil). Apakah kalian tidak percaya padaku, sedang Allah telah mempercayai aku terhadap penduduk bumi ?". Setelah oang itu pergi Rasulullah berkata : "Sesungguhnya akan keluar dari turunan orang itu orang-orang yang pandai (lancar) membaca Kitab Allah (alQur:an), tetapi tidak lebih dari tenggorokannya, mereka terlepas (keluar) dari agama (Islam), bagaikan anak panah terlepas dari busurnya (ketika dilepaskan), mereka akan membunuh orang-orang Islam dan membiarkan orang-orang kafir" (deislamisasi) (Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi : "AlLukluk walMarjan", hadits no.639-642, HR Bukhari, Muslim dari Abi Sa’id alKhudri, tentang "Orang-orang Khawarij dan sifat mereka".
Orang-orang Timur membasmi musuh dengan memenggal kepalanya. Tetapi Barat dan pendukungnya hanya dengan merobah hati dan tabi’atnya (Abul Hasan Ali alHusni anNadwi : "Pertarungan antara Alam
Dibutuhkan Kode Etik Muamalah
Dibutuhkan Kode Etik Muamalah
Di sementara komunitas terdapat hal-hal yang berlaku, yang sudah baku. Namanya bisa adab, adat, tradisi, sopan santun, tata kerama, kode etik. "Siri" barangkali juga merupakan bagian dari hal ini. Ada yang tertulis, dan ada pula yang tak tertulis. Di kalangan wartawan terdapat kode etik jurnalistik. Di kalangan pengacara terdapat kode etik advokat. Di kalangan dokter terdapat kode etik kedokteran. Di kalangan pelaku tindak kemunkaran, misalnya adi kalangan pelaku judi terdapat aturan main yang harus dipatuhi oleh pemain judi.
Tapi di kalangan politisi (pelaku urusan kenegaraan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif) barangkali rasa-rasanya tak terdapat kode etik (tata kerama) berpolitik cantik yang baku, yang standard. Kapan harus menghujat (mengkritik). Kapan harus diam. Kapan harus terbuka, dan kapan harus tertutup. Kapan harus secara langsung, dan kapan hartus secara tak langsung. Bagaimana mekanismenya. Semuanya rancu, tak ada aturan main (mekanisme) yang sama sama disepakati. Hak interpelasi, hak angket dipermasalahkan. Kapan harus menggunakannya dana bagaimana cara menggunakannya yang tepat menurut undang-undang.
Dalam hubungan ini di kalangan komunitasa Arab primitif (jahiliyah) ada hal yang mnenarik, yaitu adanya tata kerama (kode etik) berselisih, bertikai, bersengketa, berantam, berkelahi, berperang..
Di antara adat kebiasaan buruk dari komunitas Arab primitif (jahiliyah) adalah mengadakan tindakan balasan balik secara berlebih-lebihan, sehingga sampai mengorban jiwa raga, hanya lantara persoalan remeh saja. Namun demikian terdapat pula adat kebiasaan yang baik seperti keperwiraan, kesatriaan, memberi pertolongan, memelihara dan menunaikan janji, memelihara tetangga, menjamu tamu (Muhammad Husain Haekal : "Sejarah Hidup Muhammad, 1984:17, Amali : "Planning & Organisasi Dakwah Rasululullah", 1980:18).
Di samping itu juga sudah jadi adat turun temurun bahwqa segala peperangan harus berhenti pada bulan yang mereka muliakan, yaitu bulan Rajab, Zulkaidah, Zulhijjah dan Muharram (Prof Dr hamka : "Tafsir Al-Azhar", II:198). Dan ada lagi sistem jiwar (perlindungan pertetanggaan) yang biasa diminta oleh kalangan yang lemah kepada yang lebih kuat ("Sejarah Hidup Muhammad", 1984:10).
Kemudian islam menetapkan kode etik (ta kerama) berperang yang baku. Di antaranya ; larangan menyiksa, perlindungan bagi yang terluka, larangan membunuh tawanan, larangan menjarah dan merusak, menjaga kesucian hak milik dan kesucian janazah, larangan melanggar perjanjian, larangan membunuh yang bukan jadi pasukan musuh (seperti orangtua, anak-anak, wanita, pemimpin agama, ahli ibadat) (Abul A’la al-Maududi : "Hak Asasi manusia Dalam Islam", 1985:73-80).
Di jaman modern ini diciptakan kode etik (aturan main) bagi petinju berkelahi, berantam di atas ring tinju.
Kode etik semacam ini seharusnya diperluas. Dalam hidup berbangsa bernegara, maka untuk kalangan politisi (pengelola negara) harus ada suatu kode etik (tata kerama) berpolitik yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat. Semoga dengan adanya kode etik tersebut dan dengan adanya kemauan untuk mematuhinya, maka suasana kehidupan bangsa ini diharapkan akan bisa aman, tenteram. Semoga. (Bks 19-12-2000)
Asrir
Di sementara komunitas terdapat hal-hal yang berlaku, yang sudah baku. Namanya bisa adab, adat, tradisi, sopan santun, tata kerama, kode etik. "Siri" barangkali juga merupakan bagian dari hal ini. Ada yang tertulis, dan ada pula yang tak tertulis. Di kalangan wartawan terdapat kode etik jurnalistik. Di kalangan pengacara terdapat kode etik advokat. Di kalangan dokter terdapat kode etik kedokteran. Di kalangan pelaku tindak kemunkaran, misalnya adi kalangan pelaku judi terdapat aturan main yang harus dipatuhi oleh pemain judi.
Tapi di kalangan politisi (pelaku urusan kenegaraan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif) barangkali rasa-rasanya tak terdapat kode etik (tata kerama) berpolitik cantik yang baku, yang standard. Kapan harus menghujat (mengkritik). Kapan harus diam. Kapan harus terbuka, dan kapan harus tertutup. Kapan harus secara langsung, dan kapan hartus secara tak langsung. Bagaimana mekanismenya. Semuanya rancu, tak ada aturan main (mekanisme) yang sama sama disepakati. Hak interpelasi, hak angket dipermasalahkan. Kapan harus menggunakannya dana bagaimana cara menggunakannya yang tepat menurut undang-undang.
Dalam hubungan ini di kalangan komunitasa Arab primitif (jahiliyah) ada hal yang mnenarik, yaitu adanya tata kerama (kode etik) berselisih, bertikai, bersengketa, berantam, berkelahi, berperang..
Di antara adat kebiasaan buruk dari komunitas Arab primitif (jahiliyah) adalah mengadakan tindakan balasan balik secara berlebih-lebihan, sehingga sampai mengorban jiwa raga, hanya lantara persoalan remeh saja. Namun demikian terdapat pula adat kebiasaan yang baik seperti keperwiraan, kesatriaan, memberi pertolongan, memelihara dan menunaikan janji, memelihara tetangga, menjamu tamu (Muhammad Husain Haekal : "Sejarah Hidup Muhammad, 1984:17, Amali : "Planning & Organisasi Dakwah Rasululullah", 1980:18).
Di samping itu juga sudah jadi adat turun temurun bahwqa segala peperangan harus berhenti pada bulan yang mereka muliakan, yaitu bulan Rajab, Zulkaidah, Zulhijjah dan Muharram (Prof Dr hamka : "Tafsir Al-Azhar", II:198). Dan ada lagi sistem jiwar (perlindungan pertetanggaan) yang biasa diminta oleh kalangan yang lemah kepada yang lebih kuat ("Sejarah Hidup Muhammad", 1984:10).
Kemudian islam menetapkan kode etik (ta kerama) berperang yang baku. Di antaranya ; larangan menyiksa, perlindungan bagi yang terluka, larangan membunuh tawanan, larangan menjarah dan merusak, menjaga kesucian hak milik dan kesucian janazah, larangan melanggar perjanjian, larangan membunuh yang bukan jadi pasukan musuh (seperti orangtua, anak-anak, wanita, pemimpin agama, ahli ibadat) (Abul A’la al-Maududi : "Hak Asasi manusia Dalam Islam", 1985:73-80).
Di jaman modern ini diciptakan kode etik (aturan main) bagi petinju berkelahi, berantam di atas ring tinju.
Kode etik semacam ini seharusnya diperluas. Dalam hidup berbangsa bernegara, maka untuk kalangan politisi (pengelola negara) harus ada suatu kode etik (tata kerama) berpolitik yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat. Semoga dengan adanya kode etik tersebut dan dengan adanya kemauan untuk mematuhinya, maka suasana kehidupan bangsa ini diharapkan akan bisa aman, tenteram. Semoga. (Bks 19-12-2000)
Asrir
Harakah dakwah tanpa harakah siyasah
Harakah dakwah tanpa harakah siyasah ?
Pergerakan Islam masa kini digolongkan orang dalam dua golongan besar. Pertama, pergerakan yang reformsi, yang ittiba’i, yang berorientasi hanya pada Qur;an dan Sunnah. Pergerakan reformis ini berupaya menjadikan Qur:an dan Sunnah sebagai sumber rujukan ibadah. Kedua, pergerakan yang modrnis, akomodatif, taqlidi, yang beroritentasi pada maslahah mursalah (kepentingan umum). Pergerakan modernis berupaya menyesuaikan kehidupan umat Islam dengan perubahan zaman (tasharuful imam ‘alar-ra’iyyah manuthun bil-mashlahat). Memisahkan Islam dari negara dalam suatu pemerintahan. Pergerakan modernis berupaya menjadikan ajaran madzhab dari Mujtahid mutlak juga sebagai sumber acuan dan rujukan.
Namun dalam praktek perjalanan sejarah, baik pergerakan reformis yang berorientasi pada Qur:an dan Sunnah, maupun pergerakan modernis yang mengacu pada madzhab, sama-sama memisahkan gerakkan dakwah dan aktivitas politik. "Qur:an tak pernah memerintahkan agar negeri diatur, ditata oleh Islam". "Islam hanyalah dakwah diniyah. Semata-mata mengatur hubungan manusia dengan masalah keduniaan, seperti urusan peperangan dan urusan politik". "Agama adalah satu hal, dan politik adalah suatu hal yang lain". Demikian, antara lain yang dimamah dari teori politik Ali Abdul Raziq (Dr Dhiya:ad-Din ar-Rais : "Islam Dan Khilafah", 1985:191). (Bks 20-2-2000)
Pergerakan Islam masa kini digolongkan orang dalam dua golongan besar. Pertama, pergerakan yang reformsi, yang ittiba’i, yang berorientasi hanya pada Qur;an dan Sunnah. Pergerakan reformis ini berupaya menjadikan Qur:an dan Sunnah sebagai sumber rujukan ibadah. Kedua, pergerakan yang modrnis, akomodatif, taqlidi, yang beroritentasi pada maslahah mursalah (kepentingan umum). Pergerakan modernis berupaya menyesuaikan kehidupan umat Islam dengan perubahan zaman (tasharuful imam ‘alar-ra’iyyah manuthun bil-mashlahat). Memisahkan Islam dari negara dalam suatu pemerintahan. Pergerakan modernis berupaya menjadikan ajaran madzhab dari Mujtahid mutlak juga sebagai sumber acuan dan rujukan.
Namun dalam praktek perjalanan sejarah, baik pergerakan reformis yang berorientasi pada Qur:an dan Sunnah, maupun pergerakan modernis yang mengacu pada madzhab, sama-sama memisahkan gerakkan dakwah dan aktivitas politik. "Qur:an tak pernah memerintahkan agar negeri diatur, ditata oleh Islam". "Islam hanyalah dakwah diniyah. Semata-mata mengatur hubungan manusia dengan masalah keduniaan, seperti urusan peperangan dan urusan politik". "Agama adalah satu hal, dan politik adalah suatu hal yang lain". Demikian, antara lain yang dimamah dari teori politik Ali Abdul Raziq (Dr Dhiya:ad-Din ar-Rais : "Islam Dan Khilafah", 1985:191). (Bks 20-2-2000)
Jumat, 22 Mei 2009
Islam hanya urusan ibadah
Islam hanya urusan ibadah ?
Semula sebatas, bahwa untuk masalah-masalah yang menyangkut hubungan-hubungan antara manusia dengan manusia, yang berhubungan dengan keperluan duniawi, adalah selalu diperkenankan (halal), tidak dilarang sampai ada aketentuan nash yang melarangkannya. Sedang untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan Allah, dengan persoalan ukhrawi, maka senantiasa dilarang (haram) berbuat sesuatu, sampai ada ketentuan nash yang menyuruh berbuat. (Hukum asal dalam urusan muamalat adalah ibahah/boleh, sampai datang dalil/keterangan yang mengharamkannya)
Kemudian meningkat naik (meluncur turun ?), bahwa Islam tidaklah memiliki kaitan dengan dan dimasukkan pada masalah yang bersifat keduniawiaan sama sekali. Islam tidak pula memiliki syari’at yang berkenaan dengan persoalan serupa itu. Allah sama sekali tidak berkepentingan dengan persoalan duniawiah dan tidak pula memberi perhatian pada kepentingan hidup manusia di dunia ini. Dunia ini hina, dan terlalu hina bagi Allah untuk menurunkan agama atau mengutus para Rasul untuk mengurusnya. Dunia ini sepenuhnya diserahkan kepada akal dan kemauan manusia yang beraneka ragam dan selalu berubah-ubah. Islam tidak memiliki ysari’at yang mengatur masalah harta maupun masyarakat. Islam juga tidak memiliki ajaran tentang jihad. Semuanya itu adalah urusan duniawi, dan bukan urusan ibadah yang diatur oleh Islam. Demikian ditanamkan dari teori politik Ali Abdul Raziq (Dr Dyiya:ad-Din ar-Rais : "Islam Dan Khilafah", 1985:191). (Bks 20-2-2000)
Semula sebatas, bahwa untuk masalah-masalah yang menyangkut hubungan-hubungan antara manusia dengan manusia, yang berhubungan dengan keperluan duniawi, adalah selalu diperkenankan (halal), tidak dilarang sampai ada aketentuan nash yang melarangkannya. Sedang untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan Allah, dengan persoalan ukhrawi, maka senantiasa dilarang (haram) berbuat sesuatu, sampai ada ketentuan nash yang menyuruh berbuat. (Hukum asal dalam urusan muamalat adalah ibahah/boleh, sampai datang dalil/keterangan yang mengharamkannya)
Kemudian meningkat naik (meluncur turun ?), bahwa Islam tidaklah memiliki kaitan dengan dan dimasukkan pada masalah yang bersifat keduniawiaan sama sekali. Islam tidak pula memiliki syari’at yang berkenaan dengan persoalan serupa itu. Allah sama sekali tidak berkepentingan dengan persoalan duniawiah dan tidak pula memberi perhatian pada kepentingan hidup manusia di dunia ini. Dunia ini hina, dan terlalu hina bagi Allah untuk menurunkan agama atau mengutus para Rasul untuk mengurusnya. Dunia ini sepenuhnya diserahkan kepada akal dan kemauan manusia yang beraneka ragam dan selalu berubah-ubah. Islam tidak memiliki ysari’at yang mengatur masalah harta maupun masyarakat. Islam juga tidak memiliki ajaran tentang jihad. Semuanya itu adalah urusan duniawi, dan bukan urusan ibadah yang diatur oleh Islam. Demikian ditanamkan dari teori politik Ali Abdul Raziq (Dr Dyiya:ad-Din ar-Rais : "Islam Dan Khilafah", 1985:191). (Bks 20-2-2000)
Islam hanya sekedar nilai
Islam hanya sekedar nilai ?
Ada yang mengkotak-kotakkan Islam itu pada Syari’at, Hakikat, Tarikat, Ma’rifat. Dulu Islam itu dipahami secara utuh, tak terpisah-pisah antara Syari’at, Hakikat, Tarikat, Ma’rifat. Belakangan ada yang memahami Islam itu hanya sebatas hakikat, sebatas nilai, sebatas prinsip. Yang diperlukan hanyalah menggali nilai-nilai Islam itu. Menggali esensi, jiwa, semangat, nilai-nilai syahadat, shalat, shaum, zakat, haji, qurban, jihad, hudud, dan lain-lain. Sedangkan bentuk, wujud, format, kaifiat dari syahadat, shalat, shaum, zakat, haji, qurban, jihad, hudud, dan lain-lain itu terserah selera masing-masing kesepakatan ijmak sesuai dengan perkembangan zaman. Dan akhirnya Islam tinggal sekedar nama.
Bermacam-macam upaya dilakukan untuk menjegal tegaknya syari’at Islam. Dengan memisahkan antara syari’at dan hakikat dalam Islam. Dengan menyanjung-nyanjung dan memuji-muji nilai luhur Islam, prinsip umum Islam. Dengan mengesampingkan syari’at Islam. Dengan memanipulasi, mengebiri pengertian syari’at Islam. Dengan meyakinkan bahwa Islam hanya sekedar hakikat, sekedar nilai, sekedar prinsip. Yang sampai ke tingkat Hakikat ini adalah orang-orang Arifin. Bila telah sampai ke tingkat, ke derajat Arifin, ini, maka gugurlah segala kewajiban. Tak ada lagi beban taklif. Tak ada lagi yang wajib dan yang haram baginya. Inilah antara lain ajaran yang dinisbahkan, disandarkan kepada Ibnu ‘Arabi (HAS Alhamdani : "Sanggahan Terhadap Tasawuf Dan Ahli Sufi", 1982:125). (Bks 20-2-2000)
Ada yang mengkotak-kotakkan Islam itu pada Syari’at, Hakikat, Tarikat, Ma’rifat. Dulu Islam itu dipahami secara utuh, tak terpisah-pisah antara Syari’at, Hakikat, Tarikat, Ma’rifat. Belakangan ada yang memahami Islam itu hanya sebatas hakikat, sebatas nilai, sebatas prinsip. Yang diperlukan hanyalah menggali nilai-nilai Islam itu. Menggali esensi, jiwa, semangat, nilai-nilai syahadat, shalat, shaum, zakat, haji, qurban, jihad, hudud, dan lain-lain. Sedangkan bentuk, wujud, format, kaifiat dari syahadat, shalat, shaum, zakat, haji, qurban, jihad, hudud, dan lain-lain itu terserah selera masing-masing kesepakatan ijmak sesuai dengan perkembangan zaman. Dan akhirnya Islam tinggal sekedar nama.
Bermacam-macam upaya dilakukan untuk menjegal tegaknya syari’at Islam. Dengan memisahkan antara syari’at dan hakikat dalam Islam. Dengan menyanjung-nyanjung dan memuji-muji nilai luhur Islam, prinsip umum Islam. Dengan mengesampingkan syari’at Islam. Dengan memanipulasi, mengebiri pengertian syari’at Islam. Dengan meyakinkan bahwa Islam hanya sekedar hakikat, sekedar nilai, sekedar prinsip. Yang sampai ke tingkat Hakikat ini adalah orang-orang Arifin. Bila telah sampai ke tingkat, ke derajat Arifin, ini, maka gugurlah segala kewajiban. Tak ada lagi beban taklif. Tak ada lagi yang wajib dan yang haram baginya. Inilah antara lain ajaran yang dinisbahkan, disandarkan kepada Ibnu ‘Arabi (HAS Alhamdani : "Sanggahan Terhadap Tasawuf Dan Ahli Sufi", 1982:125). (Bks 20-2-2000)
Persamaan dan Perbedaan dalam Islam
Persamaan dan Perbedaan dalam Islam
Islam sangat adil. Keadilan Islam amat unik. Menempat sesuatu pada tempatnya. Bersikap ekslusif pada yang harus ekslusif, dan bersikap inklusif pad yang harus inklusif. Bersikap humanis pada yang harus humanis. Menyamakan yang harus disamakan, dan membedakan yang harus dibedakan. Islam menetapkan garis tegas pemisah yang jelas dalam hidup tentang pedoman/pandangan, tujuan, tugas, peran/fungsi, kawan, lawan, teladan, bekal, dan lain-lain. (Fiqih Waqi', Fiqih Realitas menuntun dari realitas, kenyataan, Das Sein menuju idealitas, dambaan, Das Sollen).
Keadilan islam itu mutlak, merata. Islam menyamakan seluruh manusia di depan hukum. Tanpa terpengaruh oleh hubungan darah, daerah, ikatan kelompok, rasa segolongan. tanpa membedakan asal-usul, bangsa, keturunan, kepercayaan, agama, status sosial-ekonomi. Tanpa dipengaruhi rasa benci dan simpati. Islam menuntun agar senantiasa berlaku adil terhadap siapa pun, bahkan terhadap yang dibenci sekalipun. Allah memperingatkan agar "Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil" (QS 5:8, simak juga QS 6:152, 16:90). Islam tidak membedakan seseorang karena agamanya, keyakinannya, bangsanya, sukunya, golongannya, alirannya. islam mengajak untuk li-ta'arafu, untuk saling mengarifi, memahami, memperhatikan, saling memudahkan, saling membantu, menolong, bekerjasama, bukan sebagai pemicu disintgrasi (li-tafarraqu) (simak juga QS 49:13, 43:23, 5:2). Di depan hukum, Islam sama sekali bebas, bersih dari apa yang dinamakan diskriminatif. Tidak membedakan antara kawan dan lawan. Sanksi hukum dalam Islam berlaku umum buat semua tanpa diskriminatif, tidak membedakan asal-usul, etnis, gender, bangsa, agama.
Dalam hal warisan, kesaksian, pertemanan (bithanah, walijah), kepemimpinan (walaa, imamah), Islam membedakan atas keturunan, gender, agama. Lembaga yudikatif, legislatif, eksekutif dalam Islam bersifat ekslusif, membedakan gender, agama. Itulah batasan, hudud Allah yang harus dipatuhi, ditha'ati. Fiqih mu'amalah vrsi Matan Taqrib Abi Syuja' menysratkan personil yudikatif, legislatif, eksekutif terbatas bagi lelaki dewasa Muslim yang waras cerdas bepengetahuan, cakap berkemampuan dan memahami serta mengamalkan Islam.
Islam membedakan satu kelompok manusia dari satu kelompok manusia lain di bidang politik, pemerintahan. Islam membedakan yang Islam dari yang kafir. Membedakan antara kawan dan lawan. Allah menyebutkan bahwa "Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS 4:101). "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka" (QS 2:120). Allah melarang mengambil pemimpin dari kalangan orang-orang kafir (QS 9:23-24, 4:144, 4:89, 3:28), orang-orang fasiq (QS 9:23-24), orang-orang Islamophobi (QS 60:1, 3:118-120), orang-orang yang mempermain-mainkan Islam (QS 5:57), orang-orang Yahudi dan Nasrani (QS 5:51) (simak antara lain H Mawardi Noor : "Memilih Pemimpin", Publicitia, Djakarta, 1971:15-16, Ifa : "Pemimpin Haram", Majalah DARUL ISLAM, No.2, Th.II, 12 Agustus 2001, hal 54-55).
Dalam politik, persetujuan antara sesama Islam diputuskan dalam musyawarah dengan suasana ruhamaa yang bersifat ekslusif (terbatas kalangan Islam). Sedangkan persetujuan antara Islam dengan yang bukan Islam ditetapkan dalam perjanjian dengan suasana asyiddaa yang bersifat inklusif (tak terbatas kalangan Islam saja). Organisasi, perkumpulan, himpunan yang berupaya membela 'izzul Islam dan umat Islam bersifat ekslusif, terbatas bagi yang Islam. Islam membedakan antaa persaudaraan se-iman yang terikat pada kasih sayang karena Allah semata, dan persaudaraan dengan yang bukan se-iman yang hanya berdasarkan kepentingan bersama. Islam tak membenarkan yang Islam bermesraan, berkoalisi, beraliansi, berelasi dengan yang bukan Islam.
Islam tak mengenal persamaan mutlak, tanpa membeda-bedakan budaya, etnis, agama, terlepas dari nash (teks) seperti yang marak ditiupkan kini. Tidak mempersamakan secara mutlak antara pria dan wanita, antara Islam dan non-Islam (Yahudi, Nasrani, Zionis, Komunis) dalam segala hal, termasuk dalam hal warisan, kesaksian, bithanah, walaa (kepemimpinan, imamah), dan lain-lain. Tak semua orang boleh dan berhak dipilih jadi pemimpin tanpa membeda-bedakan jenisnya dan agamanya, yang harus digunakan sebagai parameter, bukan hanyakemampuan, kapabilitas dan kredibilitas.
Dalam keluarga, Islam membedakan lelaki dari perempuan. allah menyebutkan bahwa "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi wanita" (QS 4:34). Perbedaan tersebut menurut Sayyid Quthub dapat dipahami, diresapi dengan memahami perbedaan karakter struktur laki-laki dan akrakter struktur wanita dalam hal yang bersifat fisik, pemikiran, akal dan kejiwaan (Dr Shalah Abdul fattah alKhalidi : "Pengantar memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur:an Syyid Quthub", Era intermedia, Solo, 2001:249-250. Mengenai "Pandangan Islam Tentang Wanita" simak antara lain Muhammad Quthub : "Syubuhat Haul al-Islam" (Jawaban Terhadap Alam Fikiran Barat Yang Keliru Tentang Al-Islam). Diponegoro, bandung, 1981:125-176). Islam tak mengenal dengan apa yang disebut dengan emansipasi, baik emansipasi wanita, maupun emansipasi pria. Masing-masingnya, laki-laki dan wanita punya hak sesuai dengan posisi dan fungsinya yang sudah ditetapkan, ditentukan Allah (simak antara lain QS 4:32).
Kepemimpinan Lelaki
Kepemimpinan lelaki itu adalah atas ketetapan AlKhalik, Pencipta manusia itu, dan bukan karena tuntutan emansipasi pria. Allah menyebutkan bahwa " Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka" (QS 4:34).
Status kepemimpinan lelaki tidaklah tergantung dari tingkat atau status sosial ekonomi suami dibandingkan dengan tingkat atau status sosial ekonomi isteri. Seandainya tingkat sosial ekonomi isteri lebih tinggi dari tingkat sosial ekonomi suami, tetap saja kepemimpinan lelaki itu tidak berubah.
Diceritakan bahwa Zainab isteri Abdullah bin Mas'ud biasa membelanjai suaminya (Ibnu Mas'ud) dan anak-anak yatim yang ada dirumahnya. Namun Zainab tak pernah menuntut kepemimpinan bagi dirinya, dan Rasulullah pun tak pernah menggugurkan, membatalkan kepemimpinan Ibnu Mas'ud atas isterinya Zainab, karena tingkat sosial ekonomi isteri lebih tinggi dari tingkat sosial ekonomi suami. (Simak antara lain HR Bukhari, Muslim dari Zainab, dalam "Tarjamah Lukluk wal Marjan", jilid I, hlm 315, hadis no.584).
Pemelintiran (Tahrif Kalamallah)
Islam menempatkan sesuatu pada tempatnya yang pantas. Menyamakan sesuatu yang pantas disamakan. membedakan sesuatu pada yang pantas dibedakan. Dalam pahala ketaqwaan, Islam tak memperbedakan gender, etnis. Dalam warisan, kepemimpinan (walaa), pertemanan (bithanah, waliijah), Islam membedakan antara pria dan wanita, antara yang Islam dan yang bukan Islam (Yahudi, Nasrani, Zionis, Komunis, dll). Islam sangat tak suka memplintir yang sudah terang (muhkamat) menjadi yang kabur (mutasyabihat). membuat hal-hal yang sudah diyakini (qath'i), yang sudah disepakati (ijma') menjadi hal-hal yang diperdebatkan, yang diperselisihkan. Misalnya nash tentang kepemimpinan sudah sangat terang (muhkamat) menjelaskan bahwa yang pria, yang Islam itu lah yang menjadi pemimpin. Memplintir yang sudah terang ini menjadi yang kabur adalah merupakan fitnah (bahaya) terbesar yang dihadapi Islam. Deislamisasi, deformalisasi syari'at Islam bergandengan memplintir yang muhkamat, yang sudah jelas, yang sudah pasti menjadi yang mutasyabihat, yang diragukan. "Orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya" (QS Ali Imran 3:7).
Islam sangat adil. Keadilan Islam amat unik. Menempat sesuatu pada tempatnya. Bersikap ekslusif pada yang harus ekslusif, dan bersikap inklusif pad yang harus inklusif. Bersikap humanis pada yang harus humanis. Menyamakan yang harus disamakan, dan membedakan yang harus dibedakan. Islam menetapkan garis tegas pemisah yang jelas dalam hidup tentang pedoman/pandangan, tujuan, tugas, peran/fungsi, kawan, lawan, teladan, bekal, dan lain-lain. (Fiqih Waqi', Fiqih Realitas menuntun dari realitas, kenyataan, Das Sein menuju idealitas, dambaan, Das Sollen).
Keadilan islam itu mutlak, merata. Islam menyamakan seluruh manusia di depan hukum. Tanpa terpengaruh oleh hubungan darah, daerah, ikatan kelompok, rasa segolongan. tanpa membedakan asal-usul, bangsa, keturunan, kepercayaan, agama, status sosial-ekonomi. Tanpa dipengaruhi rasa benci dan simpati. Islam menuntun agar senantiasa berlaku adil terhadap siapa pun, bahkan terhadap yang dibenci sekalipun. Allah memperingatkan agar "Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil" (QS 5:8, simak juga QS 6:152, 16:90). Islam tidak membedakan seseorang karena agamanya, keyakinannya, bangsanya, sukunya, golongannya, alirannya. islam mengajak untuk li-ta'arafu, untuk saling mengarifi, memahami, memperhatikan, saling memudahkan, saling membantu, menolong, bekerjasama, bukan sebagai pemicu disintgrasi (li-tafarraqu) (simak juga QS 49:13, 43:23, 5:2). Di depan hukum, Islam sama sekali bebas, bersih dari apa yang dinamakan diskriminatif. Tidak membedakan antara kawan dan lawan. Sanksi hukum dalam Islam berlaku umum buat semua tanpa diskriminatif, tidak membedakan asal-usul, etnis, gender, bangsa, agama.
Dalam hal warisan, kesaksian, pertemanan (bithanah, walijah), kepemimpinan (walaa, imamah), Islam membedakan atas keturunan, gender, agama. Lembaga yudikatif, legislatif, eksekutif dalam Islam bersifat ekslusif, membedakan gender, agama. Itulah batasan, hudud Allah yang harus dipatuhi, ditha'ati. Fiqih mu'amalah vrsi Matan Taqrib Abi Syuja' menysratkan personil yudikatif, legislatif, eksekutif terbatas bagi lelaki dewasa Muslim yang waras cerdas bepengetahuan, cakap berkemampuan dan memahami serta mengamalkan Islam.
Islam membedakan satu kelompok manusia dari satu kelompok manusia lain di bidang politik, pemerintahan. Islam membedakan yang Islam dari yang kafir. Membedakan antara kawan dan lawan. Allah menyebutkan bahwa "Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu" (QS 4:101). "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka" (QS 2:120). Allah melarang mengambil pemimpin dari kalangan orang-orang kafir (QS 9:23-24, 4:144, 4:89, 3:28), orang-orang fasiq (QS 9:23-24), orang-orang Islamophobi (QS 60:1, 3:118-120), orang-orang yang mempermain-mainkan Islam (QS 5:57), orang-orang Yahudi dan Nasrani (QS 5:51) (simak antara lain H Mawardi Noor : "Memilih Pemimpin", Publicitia, Djakarta, 1971:15-16, Ifa : "Pemimpin Haram", Majalah DARUL ISLAM, No.2, Th.II, 12 Agustus 2001, hal 54-55).
Dalam politik, persetujuan antara sesama Islam diputuskan dalam musyawarah dengan suasana ruhamaa yang bersifat ekslusif (terbatas kalangan Islam). Sedangkan persetujuan antara Islam dengan yang bukan Islam ditetapkan dalam perjanjian dengan suasana asyiddaa yang bersifat inklusif (tak terbatas kalangan Islam saja). Organisasi, perkumpulan, himpunan yang berupaya membela 'izzul Islam dan umat Islam bersifat ekslusif, terbatas bagi yang Islam. Islam membedakan antaa persaudaraan se-iman yang terikat pada kasih sayang karena Allah semata, dan persaudaraan dengan yang bukan se-iman yang hanya berdasarkan kepentingan bersama. Islam tak membenarkan yang Islam bermesraan, berkoalisi, beraliansi, berelasi dengan yang bukan Islam.
Islam tak mengenal persamaan mutlak, tanpa membeda-bedakan budaya, etnis, agama, terlepas dari nash (teks) seperti yang marak ditiupkan kini. Tidak mempersamakan secara mutlak antara pria dan wanita, antara Islam dan non-Islam (Yahudi, Nasrani, Zionis, Komunis) dalam segala hal, termasuk dalam hal warisan, kesaksian, bithanah, walaa (kepemimpinan, imamah), dan lain-lain. Tak semua orang boleh dan berhak dipilih jadi pemimpin tanpa membeda-bedakan jenisnya dan agamanya, yang harus digunakan sebagai parameter, bukan hanyakemampuan, kapabilitas dan kredibilitas.
Dalam keluarga, Islam membedakan lelaki dari perempuan. allah menyebutkan bahwa "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi wanita" (QS 4:34). Perbedaan tersebut menurut Sayyid Quthub dapat dipahami, diresapi dengan memahami perbedaan karakter struktur laki-laki dan akrakter struktur wanita dalam hal yang bersifat fisik, pemikiran, akal dan kejiwaan (Dr Shalah Abdul fattah alKhalidi : "Pengantar memahami Tafsir Fi Zhilalil Qur:an Syyid Quthub", Era intermedia, Solo, 2001:249-250. Mengenai "Pandangan Islam Tentang Wanita" simak antara lain Muhammad Quthub : "Syubuhat Haul al-Islam" (Jawaban Terhadap Alam Fikiran Barat Yang Keliru Tentang Al-Islam). Diponegoro, bandung, 1981:125-176). Islam tak mengenal dengan apa yang disebut dengan emansipasi, baik emansipasi wanita, maupun emansipasi pria. Masing-masingnya, laki-laki dan wanita punya hak sesuai dengan posisi dan fungsinya yang sudah ditetapkan, ditentukan Allah (simak antara lain QS 4:32).
Kepemimpinan Lelaki
Kepemimpinan lelaki itu adalah atas ketetapan AlKhalik, Pencipta manusia itu, dan bukan karena tuntutan emansipasi pria. Allah menyebutkan bahwa " Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka" (QS 4:34).
Status kepemimpinan lelaki tidaklah tergantung dari tingkat atau status sosial ekonomi suami dibandingkan dengan tingkat atau status sosial ekonomi isteri. Seandainya tingkat sosial ekonomi isteri lebih tinggi dari tingkat sosial ekonomi suami, tetap saja kepemimpinan lelaki itu tidak berubah.
Diceritakan bahwa Zainab isteri Abdullah bin Mas'ud biasa membelanjai suaminya (Ibnu Mas'ud) dan anak-anak yatim yang ada dirumahnya. Namun Zainab tak pernah menuntut kepemimpinan bagi dirinya, dan Rasulullah pun tak pernah menggugurkan, membatalkan kepemimpinan Ibnu Mas'ud atas isterinya Zainab, karena tingkat sosial ekonomi isteri lebih tinggi dari tingkat sosial ekonomi suami. (Simak antara lain HR Bukhari, Muslim dari Zainab, dalam "Tarjamah Lukluk wal Marjan", jilid I, hlm 315, hadis no.584).
Pemelintiran (Tahrif Kalamallah)
Islam menempatkan sesuatu pada tempatnya yang pantas. Menyamakan sesuatu yang pantas disamakan. membedakan sesuatu pada yang pantas dibedakan. Dalam pahala ketaqwaan, Islam tak memperbedakan gender, etnis. Dalam warisan, kepemimpinan (walaa), pertemanan (bithanah, waliijah), Islam membedakan antara pria dan wanita, antara yang Islam dan yang bukan Islam (Yahudi, Nasrani, Zionis, Komunis, dll). Islam sangat tak suka memplintir yang sudah terang (muhkamat) menjadi yang kabur (mutasyabihat). membuat hal-hal yang sudah diyakini (qath'i), yang sudah disepakati (ijma') menjadi hal-hal yang diperdebatkan, yang diperselisihkan. Misalnya nash tentang kepemimpinan sudah sangat terang (muhkamat) menjelaskan bahwa yang pria, yang Islam itu lah yang menjadi pemimpin. Memplintir yang sudah terang ini menjadi yang kabur adalah merupakan fitnah (bahaya) terbesar yang dihadapi Islam. Deislamisasi, deformalisasi syari'at Islam bergandengan memplintir yang muhkamat, yang sudah jelas, yang sudah pasti menjadi yang mutasyabihat, yang diragukan. "Orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya" (QS Ali Imran 3:7).
Kita tak pernah tahu
Kita tak pernah tahu
Manusia tidak pernah tahu-menahu mengenai kelahiran dan hakikat azalinya(?). Ia tak pernah merancang, bahkan juga tak pernah meniati ia akan lahir dan menjadi seorang anak manusia, menjadi putra dan bapaknya.
Manusia juga tak pernah – dalam arti yang sesungguhnya – memiliki dirinya sendiri serta apa pun yang lain dalam kehidupannya. Ia ada karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkannya untuk ada. Ia “memiliki” sesuatu dalam keberadaanya itu bukan karena haq-nya adalah memiliki sesuatu, melainkan karena ada sesuatu yang meminjamkan kepadanya. Ia bisa berjalan dan menggerakkan tubuhnya bukan karena sejak semula ia merencanakan dan menentukan bahwa ia bisa berjalan dan menggerakkan badan, melainkan karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengidznkannya bisa berjalan dan menggerakkan badan.
(Emha Ainun Nadjib : “Surat Kepada Kanjeng Nabi”, Mizan, Bandung, 1997, hal 441)
(BKS09052231130)
Manusia tidak pernah tahu-menahu mengenai kelahiran dan hakikat azalinya(?). Ia tak pernah merancang, bahkan juga tak pernah meniati ia akan lahir dan menjadi seorang anak manusia, menjadi putra dan bapaknya.
Manusia juga tak pernah – dalam arti yang sesungguhnya – memiliki dirinya sendiri serta apa pun yang lain dalam kehidupannya. Ia ada karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengizinkannya untuk ada. Ia “memiliki” sesuatu dalam keberadaanya itu bukan karena haq-nya adalah memiliki sesuatu, melainkan karena ada sesuatu yang meminjamkan kepadanya. Ia bisa berjalan dan menggerakkan tubuhnya bukan karena sejak semula ia merencanakan dan menentukan bahwa ia bisa berjalan dan menggerakkan badan, melainkan karena ada sesuatu yang memungkinkan dan mengidznkannya bisa berjalan dan menggerakkan badan.
(Emha Ainun Nadjib : “Surat Kepada Kanjeng Nabi”, Mizan, Bandung, 1997, hal 441)
(BKS09052231130)
Segitiga Kekuasaan Orla-Orba
Segitiga kekuasaan Orla-Orba
1 Pada masa/zaman revolusi fisik (1945-1949) ada tiga kekuatan politik (sospol) terpenting, yaitu partai-partai (parpol), Presiden (Soekarno), dan tentara (militer).
2 Keruntuhan Sistem Demokrasi Parlementer (1950-1959) karena hanya mengakomodasi partai-partai tanpa memperhitungkan tentara (militer) dan Presiden (Soekarno).
3 Sistem Demokrasi Parlementer tak menguntungkan Presiden (Soekarno) dan tentara (militer).
4 (Presiden (Soekarno) dan tentara (militer) bekerjasama menggusur sistem Demokrasi Parlementer, demi kepentingan kekuasaan mereka, bukan demi kepentingan rakyat.
5 Tumbangnya Sistem Demokrasi Parlementer adalah atas upaya konspirasi dan kolusi tentara (militer) dan kegiatan politik Presiden (Soekarno).
6 Di mata Nasution (militer), UUD-1945 (konstitusi zaman revolusi) akan membuka peluang bagi tentara (militer) untuk mendapatkan legalitas berpolitik sebagai golongan.
7 Bagi Presiden (Soenarno), UUD-1945 itu membuka peluang bagi Presiden memiliki kekuasaan yang luar biasa besarnya.
8 Kerjasama (konspirasi dan koalisi) Nasution dan Soekarno menghasilkan Dwifungsi dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965).
9 Pada zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965), kekuatan politik berada pada Presiden (Soekarno), parpol (NASAKOM), dan militer (Nasution, Yani, Soeharto).
10 Keruntuhan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) karena tak mengakomodasikan parpol yang anti komunis, dan militer yang anti komunis (Angkatan Darat).
11 Rezim Orde Baru didirikan tentara lewat Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966. Tanggal lahirnya Orba masih kontroversial. Ada yang mengemukakan tanggal lahir Orba 10 Januari 1966 (demonstrasi pertama Tritura), 11 Maret 1966 (tanggal Supersemar), 31 Agustus 1966 (seminar AD II yang merumuskan Orba), 23 Februari 1967 (penerimaan kekuasaan Jenderal Soeharto) dari Presiden Soekarno) (Dr Asvi Warman Adam : "Pembantaian 1965", KOMPAS, Senin, 4 Desember 2000, hal 40).
12 Pada 1969 kekuatan pendukung Soekarno bisa menetralisirkan, sehingga integrasi dapat selesai.
13 Pada awal rezim Orde Baru, kekuatan politik didominasi oleh tentara (militer). Kini diperlukan PANDUAN SIKAP DEMOKRATIS BAGI MILITER.
14 Tahun 1974 muncul semacam "reservation" di kalangan perwira ABRI yang cerdas dan berkepribadian untuk mengkaji kembali pelaksanaan fungsi sosial-politik ABRI. Jenderal Widodo ketika amenjadi KASAD bersama perwira-perwira cerdas seperti Jenderal Widjojo Soejono, Jenderal HR Dharsono mengadakan Fosko AD (Foorum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat) untuk secara teratur membahas masalah pelaksanaan dwifungsi ABRI dengan segala implikasinya.
15 Kritik muncul dari Seskoad lewat Fosko Angkatan Darat. Akibat dari kritik itu, para purnawirawan menjadi korban, masa jabatan KSAD Jenderal Widodo menjadi amat singkat. Demikian pula nasib para pensiunan Jenderal di Kelompok Petisi-50. "ABRI tak dapat terus menerus dijadikan Herder bagi kekuasaan". Apakah sikap dan tindakan ABRI lebih didasari oleh kesetiaannya pada konstitusi dan kemashlahatan rakyat, ataukah pada kepentingan permainan kekuasaan ? (REPUBLIKA, Kamis, 18 Juni 1998, hal 6 Tajuk).
16 Ali Moertopo adalah operator politik Soeharto untuk membereskan segala hambatan kekuasaan yang dihadapi rezim Orde Baru dengan menggunakan OPSUS (Operasi Khusus).
17 Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974) pada dasarnya adalah konflik antara Soemitro dan Ali Murtopo yang sama-sama loyal pada Soeharto Ali Moertopo meladeni kepentingan Soeharto lewat sejumlah rekayasa dengan memanfa’atkan operasi intel, sedangkan Soemitro melakukannya dengan cara kelembagaan yang bisa dikontrol lewat MABES ABRI dan Kantor Pangkopkamtib.
18 Setelah peristiwa Malari, rekayasa politik beralih dari garapan Ali Murtopo lewat Opsus-nya menjadi bagian dari garapan ABRI. Peristiwa Tanjungpriok, kasus Lampung, kasus Marsinah, Peristiwa 27 Juli 1996, Kisah Penculikan, kasus Kopassus harus dimengerti latar belakang garapan rekayasa politik.
19 Keruntuhan rezim Orde Baru (1966-1998) karena tak mengakomodasi golongan kritis, kaum intelegensia.
20 Hanya rezim yang mampu mengakomodasi semua kekuatan politik yang ada (militer, sipil, parpol, yang akomodatif, yang kritis) yang berkemungkinan stabil dan bertahan lama ? Kini perlu ditinjau kembali apakah militer itu sebagai alat negara ataukah memperalat negara ? ABRI MEMPERSEPSIKAN DIRINYA SEBAGAI KEKUATAN SOSIAL POLITIK>
21 Rakyat dan ABRI (kini TNI) itu berbeda. Misi pokok ABRI antara lain "to kill or to get killed", menjaga dan mempertahankan keamanan negara (wilayah, warga, penguasa) dari serangan musuh, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
22 Secara formal, konsep Dwifungsi ABRI dimatangkan dikembangkan dari konsep "jalan tengah KSAD Mayjen AH Nasution pada November 1958. Dimatangkan lagi dengan lahirnya doktrin "Tri Ubaya Cakti" (Seminar Angkatan Darat I, April 1965), dan "Catur Dharma Ekakarsa" (Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966). Kemudian diperkuat dengan UU No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, yang antara lain menegaskan bahwa ABRI mempunyai fungsi HANKAM (kekuatan pertahanan keamanan) dan "kekuatan sosial politik", yang garis besarnya menempatkan ABRI sebagai dinamisator dan stabilisator.
23 Pada 1967 mula-mula ABRI mendapat jatah 43 kursi dari 350 anggota DPR (Salim Said : "Kisah Tiga Zaman", GATRA, NO.38, 8 Agustus 1998, hal 44-34).
Ketika Rapim ABRI di Pekanbaru 1980, Soeharto sempat ngomong jika perlu dilakukan terhadap anggota MPR yang tidak sepaham dalam voting. Cara-cara seperti itu terus terjadi di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Timor Timur (waktu itu). Di dalam buku biografinya, Soeharto mengakui menghabisi preman lewat petrus (penembak misterius).
Selama 32 tahun ABRI diperalat oleh Soeharto. ABRI dengan disiplin militer (komando) hanya sebagai pelaksana saja. Soeharto-lah yang harus bertanggungjawab. Demikian ungkap Ali Sadikin dalam wawancara dengan MEGAPOS (Th.I, No.4, Edisi 13-19 Agustus 1998, hal 10, Nasional).
Kamis, 6 Agustus 1998 di Gedung Juang 45, Jakarta Pusat dideklarasikan berdirinya Barisan Nasional. Barisan Nasional mengajak semua potensi bangsa untuk bergerak bersama kembali kepada cita-cita perjuangan, seperti tertuang dalam UUD-1945, dan mengembalikan ABRI pada landasan yang fair, yaitu bertugas untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara, namun tidak menghapus Dwifungsi ABRI.
Para jenderal yang tergabung dalam Barisan Nasional, antaranya : Kemal Idris, Ali Sadikin, Bambang Triantoro, Harsudiono Hartas, Hoegeng Imam Santoso, Theo Syafe’I, Solihin GP, Kharis Suhud. Sedangkan dari kalangan sipil : Subroto, Rahmat Witoelar, Sarwono Kusumaatmadja, Hayono Isman, IB Sujana, Ny Supeni, Ruslan Abdul Gani, Didit Haryadi. Target Barisan Nasional menghentikan kekuasaan Kabinet Reformasi Habibie, dengan menyerukan penegakkan kebenaran dan pembasmian kesewenang-wenangan (MEGAPOS, No.4, Th.I, Edisi 13-19 Agustus 1998, hal 10, Nasional).
1 Pada masa/zaman revolusi fisik (1945-1949) ada tiga kekuatan politik (sospol) terpenting, yaitu partai-partai (parpol), Presiden (Soekarno), dan tentara (militer).
2 Keruntuhan Sistem Demokrasi Parlementer (1950-1959) karena hanya mengakomodasi partai-partai tanpa memperhitungkan tentara (militer) dan Presiden (Soekarno).
3 Sistem Demokrasi Parlementer tak menguntungkan Presiden (Soekarno) dan tentara (militer).
4 (Presiden (Soekarno) dan tentara (militer) bekerjasama menggusur sistem Demokrasi Parlementer, demi kepentingan kekuasaan mereka, bukan demi kepentingan rakyat.
5 Tumbangnya Sistem Demokrasi Parlementer adalah atas upaya konspirasi dan kolusi tentara (militer) dan kegiatan politik Presiden (Soekarno).
6 Di mata Nasution (militer), UUD-1945 (konstitusi zaman revolusi) akan membuka peluang bagi tentara (militer) untuk mendapatkan legalitas berpolitik sebagai golongan.
7 Bagi Presiden (Soenarno), UUD-1945 itu membuka peluang bagi Presiden memiliki kekuasaan yang luar biasa besarnya.
8 Kerjasama (konspirasi dan koalisi) Nasution dan Soekarno menghasilkan Dwifungsi dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965).
9 Pada zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965), kekuatan politik berada pada Presiden (Soekarno), parpol (NASAKOM), dan militer (Nasution, Yani, Soeharto).
10 Keruntuhan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) karena tak mengakomodasikan parpol yang anti komunis, dan militer yang anti komunis (Angkatan Darat).
11 Rezim Orde Baru didirikan tentara lewat Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966. Tanggal lahirnya Orba masih kontroversial. Ada yang mengemukakan tanggal lahir Orba 10 Januari 1966 (demonstrasi pertama Tritura), 11 Maret 1966 (tanggal Supersemar), 31 Agustus 1966 (seminar AD II yang merumuskan Orba), 23 Februari 1967 (penerimaan kekuasaan Jenderal Soeharto) dari Presiden Soekarno) (Dr Asvi Warman Adam : "Pembantaian 1965", KOMPAS, Senin, 4 Desember 2000, hal 40).
12 Pada 1969 kekuatan pendukung Soekarno bisa menetralisirkan, sehingga integrasi dapat selesai.
13 Pada awal rezim Orde Baru, kekuatan politik didominasi oleh tentara (militer). Kini diperlukan PANDUAN SIKAP DEMOKRATIS BAGI MILITER.
14 Tahun 1974 muncul semacam "reservation" di kalangan perwira ABRI yang cerdas dan berkepribadian untuk mengkaji kembali pelaksanaan fungsi sosial-politik ABRI. Jenderal Widodo ketika amenjadi KASAD bersama perwira-perwira cerdas seperti Jenderal Widjojo Soejono, Jenderal HR Dharsono mengadakan Fosko AD (Foorum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat) untuk secara teratur membahas masalah pelaksanaan dwifungsi ABRI dengan segala implikasinya.
15 Kritik muncul dari Seskoad lewat Fosko Angkatan Darat. Akibat dari kritik itu, para purnawirawan menjadi korban, masa jabatan KSAD Jenderal Widodo menjadi amat singkat. Demikian pula nasib para pensiunan Jenderal di Kelompok Petisi-50. "ABRI tak dapat terus menerus dijadikan Herder bagi kekuasaan". Apakah sikap dan tindakan ABRI lebih didasari oleh kesetiaannya pada konstitusi dan kemashlahatan rakyat, ataukah pada kepentingan permainan kekuasaan ? (REPUBLIKA, Kamis, 18 Juni 1998, hal 6 Tajuk).
16 Ali Moertopo adalah operator politik Soeharto untuk membereskan segala hambatan kekuasaan yang dihadapi rezim Orde Baru dengan menggunakan OPSUS (Operasi Khusus).
17 Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974) pada dasarnya adalah konflik antara Soemitro dan Ali Murtopo yang sama-sama loyal pada Soeharto Ali Moertopo meladeni kepentingan Soeharto lewat sejumlah rekayasa dengan memanfa’atkan operasi intel, sedangkan Soemitro melakukannya dengan cara kelembagaan yang bisa dikontrol lewat MABES ABRI dan Kantor Pangkopkamtib.
18 Setelah peristiwa Malari, rekayasa politik beralih dari garapan Ali Murtopo lewat Opsus-nya menjadi bagian dari garapan ABRI. Peristiwa Tanjungpriok, kasus Lampung, kasus Marsinah, Peristiwa 27 Juli 1996, Kisah Penculikan, kasus Kopassus harus dimengerti latar belakang garapan rekayasa politik.
19 Keruntuhan rezim Orde Baru (1966-1998) karena tak mengakomodasi golongan kritis, kaum intelegensia.
20 Hanya rezim yang mampu mengakomodasi semua kekuatan politik yang ada (militer, sipil, parpol, yang akomodatif, yang kritis) yang berkemungkinan stabil dan bertahan lama ? Kini perlu ditinjau kembali apakah militer itu sebagai alat negara ataukah memperalat negara ? ABRI MEMPERSEPSIKAN DIRINYA SEBAGAI KEKUATAN SOSIAL POLITIK>
21 Rakyat dan ABRI (kini TNI) itu berbeda. Misi pokok ABRI antara lain "to kill or to get killed", menjaga dan mempertahankan keamanan negara (wilayah, warga, penguasa) dari serangan musuh, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
22 Secara formal, konsep Dwifungsi ABRI dimatangkan dikembangkan dari konsep "jalan tengah KSAD Mayjen AH Nasution pada November 1958. Dimatangkan lagi dengan lahirnya doktrin "Tri Ubaya Cakti" (Seminar Angkatan Darat I, April 1965), dan "Catur Dharma Ekakarsa" (Seminar Angkatan Darat II, Agustus 1966). Kemudian diperkuat dengan UU No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, yang antara lain menegaskan bahwa ABRI mempunyai fungsi HANKAM (kekuatan pertahanan keamanan) dan "kekuatan sosial politik", yang garis besarnya menempatkan ABRI sebagai dinamisator dan stabilisator.
23 Pada 1967 mula-mula ABRI mendapat jatah 43 kursi dari 350 anggota DPR (Salim Said : "Kisah Tiga Zaman", GATRA, NO.38, 8 Agustus 1998, hal 44-34).
Ketika Rapim ABRI di Pekanbaru 1980, Soeharto sempat ngomong jika perlu dilakukan terhadap anggota MPR yang tidak sepaham dalam voting. Cara-cara seperti itu terus terjadi di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Timor Timur (waktu itu). Di dalam buku biografinya, Soeharto mengakui menghabisi preman lewat petrus (penembak misterius).
Selama 32 tahun ABRI diperalat oleh Soeharto. ABRI dengan disiplin militer (komando) hanya sebagai pelaksana saja. Soeharto-lah yang harus bertanggungjawab. Demikian ungkap Ali Sadikin dalam wawancara dengan MEGAPOS (Th.I, No.4, Edisi 13-19 Agustus 1998, hal 10, Nasional).
Kamis, 6 Agustus 1998 di Gedung Juang 45, Jakarta Pusat dideklarasikan berdirinya Barisan Nasional. Barisan Nasional mengajak semua potensi bangsa untuk bergerak bersama kembali kepada cita-cita perjuangan, seperti tertuang dalam UUD-1945, dan mengembalikan ABRI pada landasan yang fair, yaitu bertugas untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara, namun tidak menghapus Dwifungsi ABRI.
Para jenderal yang tergabung dalam Barisan Nasional, antaranya : Kemal Idris, Ali Sadikin, Bambang Triantoro, Harsudiono Hartas, Hoegeng Imam Santoso, Theo Syafe’I, Solihin GP, Kharis Suhud. Sedangkan dari kalangan sipil : Subroto, Rahmat Witoelar, Sarwono Kusumaatmadja, Hayono Isman, IB Sujana, Ny Supeni, Ruslan Abdul Gani, Didit Haryadi. Target Barisan Nasional menghentikan kekuasaan Kabinet Reformasi Habibie, dengan menyerukan penegakkan kebenaran dan pembasmian kesewenang-wenangan (MEGAPOS, No.4, Th.I, Edisi 13-19 Agustus 1998, hal 10, Nasional).
Langganan:
Postingan (Atom)