Amandemen Bikin Rusak
Negara
Negara Indonesia rusak gara-gara amandemen UUD-1945
dilakukan tanpa pertimbangaan matang, sehingga system politik dan ekonomi
mengalami perubahan radikal yang mengubah orang menjadi materialistis
(bermental rakus, loba, tamak).
Pandangan tersebut disampaikan oleh guru besar ilmu
komunikasi Universitas Indonesia Prof Tjipta Lesmana dalam seminar tentang
pemberantasan korupsi di Jakarta. Sabtu (18/2/2012). Seminar diselenggarakan
oleh Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI). Pembicara lain adalah Irjenpol
(purn) Ariaanto Sutadi, Danang Widoyoko (coordinator ICW) dengan moderator
Hadoyo Budisedjati.
Pada sisi politik, kata Tjipta Lesmana, amandemen itu
menyuburkan korupsi karena mengacu pada one man one vote, yang mewujud dalam praktek
“semua dukungan harus dibayar” (Dengan kata lain Pemilu Langung menyuburkan
korupsi ?).
Pada sisi ekonomi, lanjutnya, perubahan yang terjadi telah
membuat Indonesia lebih liberal katimbang Amerika Serikat. Semua sector ekonomi
dibiarkan dengan system pasar terbuka sehingga kekuatan modal menjadi ukuran
satu-satunya (menyimpang dari amanat ekonomi Pancasila, sehingga warganegara
hanya menjadi kuli/budak investor ?).
Kombinasi perubahan yang radikal pada dua sisi itu, tutur
Tjipta menyebabkan perubahan pada system
perilaku manusia Indonesia menjadi materialis. Moralitas hancur. “Semua profesi
dari politisi, birokrasi, pengusaha, bahkan dosen, berorientasi mengejar materi
semata-mata. Harus kaya bahkan secara instaan”, katanya.
Implikasi lebih lanjut dari perubahan itu, lanjut Tjipta,
adalah kehancuran law enforcement. “Hukum jadi mudah diatur dengan kekuasaan
dan uang”, ujarnya.
Senada dengan Tjipta, coordinator ICW Danang Widoyoko
berpendapat bahwa reformasi yang sudah berjalan 13 tahun ini justru menyuburkan
reproduksi korupsi. Praktek koruptif era baru justru mendapat lahan subur di
era reformasi (Era Korupsi ?)
“Reformasi hanya mengganti orang teratas, tapi tidak
menghancurkan oligarki lama. Bahkan oligarki lama justru mampu beradaptasi
dengan demokrasi”, kata Danang. Oligarki lama adalah aliansi cair antara
kepentingan birokrasi, bisnis dan politik yang dibesarkan oleh Orde Baru.
Oligarki lama itu, lanjut Danang menjadikan korupsi sebagai
strategi untuk mempertahankan kekuasaan dengan menggunakan dana public.
Akibatnya “reproduksi korupsi berlangsung dengan saubur, yang ditandai dengan
perilaku koruptif di semua lini masyarakat, dengan pelaku yang makin muda
(put). (WARTA KOTA, Senin, 20 Februari 2012, hal 10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar