Sabtu, 30 April 2011

Aktivitas Jahali Sekuler

Aktivitas Jahili Sekuler
Semangat, sprit Yahudi dan Nasrani sangat tak menyukai Islam (simak antara lain ayat QS 2:120). Secara ideologi, Jahili Sekuler (faqihun fajirun, imamun ja:irun, mujtahidun jahilun) adalah sekutu Yahudi dan Nasrani dalam hal menggoyangkan, mengoncangkan keyakinan, kepercayaan, akidah umat Islam.
Jahili Sekuler berupaya membawa, menggiring, menuntun, membimbing umat Islam menjadi umat yang terbuka, inklusif, pluralis, rasional, liberal, moderat, modernis, progresif, akomodatif, pragmatis, realis, tidak tertutup, tidak ekslusif, tidak emosional, tidak konservatif, tidak orthodoks, tidak fundamentalis, tidak radikalis, tidak ideologis.
Jahili Sekuler berupaya membawa umat Islam untuk memandang bahwa tak ada yang mutlak, absolut, qath’i, dogmatis, semuanya adalah relatif, nisbi, zhanni. Tak ada yang terlarang dikritisi, bahkan Allah, Muhammad saw, Qur:an, Hadits, Sunnah adalah objek, sarana kritik Jahili Sekuler. Sarana yang digunakan untuk mengkritisi itu adalah yang disebut dengan “Hermeneutika”. “Hermeneutic as tool of analysis”, sarana kritik terhadap kesahihan terjemahan Bibel digunakan untuk mengkritisi naskah Qur: an.
Jahili Sekuler berupaya membawa uumat Islam menjadi umat yang ragu-ragu. Ragu-ragu terhadap Allah, Muhammad saw, Qur:an, Hadits, Hukum-Hukum yang sudah qath’i (mantap). Menjadi umat yang ghullah, berlebih-lebihan, over kritis, over ilmiah, over rasional.
Jahili Sekuler berupaya membawa umat Islam agar memandang bahwa kebenaran mutlak itu hanya pada Allah, pada Yang Maha Mutlak, sedangkan kebenaran pada manusia hanyalah kebenaran nisbi. Meragukan, tak meyakini kebenaran yang sudah qath’i. Setelah akidah berantakan, maka akhirnya ibadah juga diragukan.
Jahili Sekuler secara sistimatis, terarah, terencana, berkesinambungan berupaya membawa umat Islam menjadi umat yang pluralis, ekslusif, terbuka. Masjid terbuka bagi siapa saja. Pos zakat terbuka bagi siapa saja. Perkawinan tak memandang etnis, kepercayaan, agama, jenis kelamin. Syari’at Islam tak boleh diterapkan secara formal. Hak individu tak boleh diatur oleh Islam. Islam tak boleh dijadikan sebagai acuan alternatif. Hakikat dakwah, hakikat jihad harus diredusir, direduksi, diplintir, dimanipulasi. Termasuk predikat, sebutan mujahid, syuhada. Landasan kebenaran hanyalah rasio, hawa (simak ayat QS 45:23-24), bukan berdasar nash.
Katakalanh kepada Ahli Kitab (juga kepada sekutu-sekutunya) : “Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara tak benar” (simak QS 4:171, 5:77).
Jahili Sekuler berupaya membawa umat Islam ini bukan “ar-ruju’ ila alQur:an wa asSunnah”, bahkan malah jauh dari pimpinan Qur:an dan Sunnah, jauh dari ma’ruf, dekat dengan fahsya dan munkar (pornografi, pornoaksi, hedonis, permisif) tak lagi punya malu. “Mereka (kaum nabi Luth) berkata : … sesungguhnya kamu (hai Luth) tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki (berbuat hubungan sejenis)” (QS 11:79). “Mereka (yang mempertuhankan nafsu) berkata : Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja” (QS 45:24).
Dari IAIN Yogyakarta muncul buku memoar berjudul “Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur” yang memuat kata-kata berikut : “ … apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus isteri? … Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meskipun dilakukan dengan satu atau banyak orang” (SUARA MUSLIM, Edisi Agustus 2008, hal 18, “Kirisis Dalam Kehidupan Beragama Islam di Indonesia : Krisis Syari’at”). Terhadap yang sudah tak lagi punya rasa malu, Islam hanya bisa mengucapkan : “Berbuatlah sesukamu”.
Dari Semarang sejumlah mahasiswa Fakultas Syar’iyah IAIN Semarang menulis buku berjudul : “Indahnya Kawin Sesama Jenis : Demokratisasi dan Perlindungan Hak-Hak Kaum Homoseksual” (idem). Manusia kini sudah jadi manusia hewan. Bentuknya manusia, perilakunya hewan. Tak punya malu. Jadi binatang, bebas tanpa batas.
Beberapa orang liberalis yang tergabung dalam suatu tim yang dibentuk Paramadina (yang beranggotakan Nurcholish Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy Munawar-Rachman, Ahmad Gaus Af dan Mun’im A Sirry) sangat aktif menyebarkan paham liberalisasi syari’at Islam, merombak hukum Islam dengan menerbitkan buku “Fiqih Lintas Agama” (idem).
Mohammad Monib, alumnus Pesantren Gontor Ponorogo, Acmad Nurcholish, keduanya pelaku nikah beda agama, yang juga mantan aktivis Youth Islamic Study Club (YISC) Jakarta menulis buku setebal 300 halaman “Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama” yang diberi pengantar oleh Prof Musdah Mulia, tokoh feminis dan Dr Yudi Latif (MEDIA INDONESIA, Sabtu, 13 Desember 2008, hal 15, Jendela Buku).
Ada yang mengusung gagasan Islam Moderat (KH Hasyim Muzadi), Islam Transformatif (Muslim Abdurrahman), Islam Emansipatoris (Masdar F Mas’udi), Islam Liberal (Gus Dur, Mahbub Djunaidi, Ulil Abshar Abdalla) (idem).
Dalam pandangan Islam Liberal tak ada bedanya nikah dengan sesama Islam atau dengan yang bukan Islam, karena kasih sayang dan cinta yang bercinta itu adalah takdir, fitrah, ciptaan Allah (idem). Bahkan mengikuti logika ini, maka tak ada bedanya antara nikah dengan zina/lacur., Padahal Allah jelas-jelas menyatakan bahwa zina/lacur itu perbuatan keji dan jalan yang buruk (simak antara lain QS 17:32), dan bahwa lebih baik menikahi budak mukmin daripada wanita musyrik (simak antara lain QS 2:221). Entah kalau sudah tak lagi Islam.
Jahili sekuler sangat gigih menanamkan pola pikir dan perilaku bahwa professionalisme tak terkait dengan moralitas. Aktivitas budaya tak terkait dengan norma-norma moral. Aktivitas sosial tak terkait dengan norma-norma moral. aktivitas bisnis tak terkait dengan norma-norma moral. Aktivitas politik tak terkait dengan norma-norma moral. Semuanya serba boleh. Manusia lebih didominasi oleh panggilan, bisikan, godaan setan.
Hermaneutika sangat berperan menyimpangkan pengertian ayat-ayat Qur:an, menciptakan newspeak (pengertian baru yang sesat menyesatkan) tentang ayat-ayat Qur:an, menciptakan fallacy (kekeliruan yang disengaja), mengarang-ngarang kebohongan (iftara), sehingga “jalan dialih orang lalu”, kata orang Minang. (tasykik-tasywib-tadzwib-taghrib)
Jahili Sekuler memandang alQur:an sebagai hasil proses kreatif kolektif antara Tuhan, Malaikat dan manusia, sebagai produk budaya, sebagai teks linguistik. Dipertanyakan apakah yang berpikiran asing seperti ini masih layak menyandang predikat Muslim yang bertuhankan Allah, berasulkan Muhammad, berimamkan alQur:an” ?
Fazlur Rahman mengatakan bahwa alQur:an adalah “both the word of God and the word of Muhmmad”? (Firman, Kalam Allah dan Sabda Rasul?) (EUREKA, simak juga : Marya Jameelah : “Islam & Modernism”, Bab XI, Hartono Ahmad Jaiz : “Ada Pemurtadan di IAIN, 2005:170).

Di KORAN TEMPO (4/5/2007), Muhammad Guntur Romli, aktivis Jaringan Liberal Islam menulis opini berjudul “Pewahyuan Al-Qur:an : Antara Budaya dan Sejarah”. Dalam penutupnya, Guntur menyimpulkan : “AlQur:an tetap memiliki banyak sumber dan “proses kreatif” yang bertahan serta berlapis-lapis. AlQur:an adalah “suntingan” dari “kitab-kitab” sebelumnya, yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntignya. AlQur:an tidak bisa menlintasi konteks dan sejarah, karena ia adalah wahyu budaya dan sejarah”. Bertolak dari kata “awhayna” (Kami wahyukan), Guntur menyatakan bahwa proses turunnya alQur:an melibatkan kerja kolektif antara Tuhan, Malaikat dan manusia (Majalah TABLIGH, Vol.05/N0.04/2007, hal 38, “Dusta Teolog Krislam”).
Nasr Hamid Abu Zaid (kelahiran Kairo 1945), Professor Studi Islam dan Bahasa Arab menyebut alQur:an sebagai produk budaya dan sebagai teks linguistik, sementara Islam sebagai agama Arab (RAKYAT MERDEKA, Sabtu, Mei 2006, hal 2, “Tuduhan Berlapis Untuk Abu Zaid”, Memoar Jeffri Geovanie). Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, antara Islam dan pemahaman Islam haruslah dibedakan. Islam sebagai wahyu adalah bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Akan tetapi pemahaman Islam, sangat berkaitan dengan situasi geografis dan perkembangan zaman yang terjadi. Karya-karya ulama terdahulu sangat situsional, hanya sesuai dan cocok untuk zamannya (Majalah TABLGH, Vol.03/No.02/Septeber 2004, hal 39, “Intelektual Jahil Berbahaya” dari hidayatullah.com, Adian Husani MA).
Jahili sekuler sangat intens berupaya menggugat tafsir ulama Salaf sebagai referensi tunggal, bahkan menuding tafsir ulama Salaf sebagai pemicu radikalisme/terorisme (Simak Tony Rudyansyah : “Tragedi Bom Bali : ‘Radikalisme, Globalisme dan Krisis Kemanusiaan’”, KOMPAS, Sabtu, 22 Oktober 2005, hal 14). Menggugat mereduksi, menafikan, mengkebiri) literatur (khazanah, kepustakaan) fiqih klasik sebagai sumber otoritatif kaum Muslimin sesudah Quran dan Hadits (Simak Muhammd Musa MA : “Hak Reproduksi Perempuan Dalam Hukum Islam”, Mimbar ALMUHAJIRIN, Jakapermai Bekasi, No.8, 1 April 2011 ?)
Hampir seluruh masalah kehidupan sudah dibahas, dianalisa, dirumuskan, ditunjukkan pemecahanya oleh ulama-ulama besar terdahulu. Hanya sedikit sekali yang belum dibahas mereka. Ini menjadi tugas orang-orang semacam Nasr Hamid Abu Zaid pada masa ini dan masa nanti. Di antara yang sudah dibahas mereka, ada yang sudah disepakati, sudah ijma’ di antara mereka dan ada pula yang masih diperselisihi, ikhtilaf di antara mereka. Yang sudah disepakati di antara mereka tak perlu lagi di otak atik, tinggal terima saja. Sedangkan yang masih diperselishi di antara mereka, silakan ambil yang dipadang lebih kuat alasannya, tinggal pilih saja. Yang masih belum dibahas oleh mereka, dapat saja dipulangkan, dikiaskan, dianalogikan kepada yang telah mereka bahas.
Abdul Qadir Audah, ulama ahli hukum Islam tamatan Sorbon University Perancis dalam pengantar bukunya “At-Tasyri’ al-Jina:i al-Islamy” menulis : “Suatu pendirian/pemikiran lama yang kokoh, lebih baik dari pandangan modern tapi selalu berubah-ubah”. Dalam pandangan agama, lebih baik bersifat konservatif (taqlid, ittiba’) (Majalah TABLIGH, Vol.03/No.02/September 2004, hal 43, “Kembalilkan Kepada alQur:an dan Sunnah”, oleh Drs H Zafrullah Salim, MH).
Jahili Sekuler mengajari agar bersikap, berfikir objektif-realistis. Nasehat ini sangat layak bagi yang berhubungan dengan masalah mikro. Namun terhadap masalah makro, barangkali perlu dicermati kembali. Apalagi terhadap yang berhubungan dengan gagasan. Yang berhubungan dengan gagasan biasanya bersifat subjektif-idealis. Karenanya tak peduli dengan sikon apakah objektif-realistis. Tak peduli apakah sesuai ataukah melawan arus.
“Dan mereka (yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya) berkata : Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia aja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa …”. (QS 45:24, simak juga “Karakteristik Perihidup Jahiliyah”, 1985:117-121).
Jahili Sekuler juga mengajari bahwa tolok ukur kebenaran itu adalah penilaian publik, pendapat umum, tradisi, adat kebiasaan turun temurun, sesuai arus. Tetapi Islam mengajarkan bahwa acuan tolok ukur kebenaran itu adalah ajaran Qur:an dan penjelasannya dalam Hadits yang diterangkan, ditafsirkan oleh ulama yang saleh, yang tawaduk.
“Apabila dikatakan kepada mereka : Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul. Mereka menjawab : Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannnya”. (QS 5:104), simak juga QS 2:170, 31:21, simak pula Muhmmad bin Abdul Wahhab : “Karakteristik Perihidup Jahiliyah”, 1985:33-36)
Jahili sekuler juga mengajari bahwa professionalisme itu tak terkait dengan moralitas. Begitu pula kebebasan itu tak terkait dengan moralitas, norma-norma moral, etika. Sebaliknya Islam mengajarkan bahwa professionalisme, kebebasan itu terkait dengan moralitas, norma-norma moral, etika, hanya dalam dalam hal-hal yang makruf, yang sopan, yang beradab, yang bermoral, yang beretika.
Untuk menghadapi sikon seperti itu, Abubakar Siddiq ra memberikan petunjuk agar : Menjadikan masjid sebagai pusat kehidupan jama’ah. Banyak-banyak menemukan petunjuk dari Qur:an. Memelihara persatuan umat. (“Lukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqi, hdits no.1211, “Fiqhud Da’wah” M Natsir, 1981:88).
(BKS0810211100)
(Catatan Asrir, Tenggiri-12/204, Bekasi Selatan 17144, Tilpon 8868721)

Tidak ada komentar: