Politik di mata politisi sekuler
Menurut fungsionaris DPP Partai Golkar, Zaenal Bintang, dalam kehidupan politik tak ada kawan ataupun lawan ang abadi, melainkan kepentingan yang sejati. Politik itu pragmatis, bukan ideologis.
Bagi politsi sekuler,harga diri tidak ada. Kalau mau survive, harus punya muka berkulit badak ( muka munafiq, hipokrit, tana malu). Dua ribu tahun yang lalu Marcus Tullius Cicero, negarawan kondang dari kerajaan Romawi, berkata bahwa seseorang pemimpin politik tidak boleh memegang teguh sebuah pendirian. Seperti pemain sirkus, kadang loncat ke sini, kadang ke sana (August Maurice Bernes). Jimmy Carter, Presiden Amerika ke-39 berkata “Politicians are half ego and half humility”. Politisi sesungguhnya manusia yang terdiri atas separoh ego dan separoh lagi tuna harga diri (Prof Dr TJIPTA Lesmana MA, RAKYAT MERDEKA, Kamis, 16 Juli 2009, hal 9)
Politisi Sekuler dan Politis Muslim
Bagi Politisi Sekuler, di dalam politik tak ada kawan ata lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Di dalam politik tak hanya hitam putih, tapi juga ada daerah abu-abu, daerah samarsamar. Politik itu seni mengibuli, mengakali, mengaburkan, menyamarkan. Mengelola, memanipulasi yang tak mungkin menjadi mungkin. Politics is art of possibility. Politik itu peluang berbuat curang. Power tends to corrupts and absolute power corrupts absolutely. Tujuan menghalalkan segala cara. “The ends justifies the means”.Politisi Sekuler membenci hukum-hukum Allah, menolak tegaknya hukum-hukum Islam di muka bumi.
Bagi Politisi Muslim, selalu ada kawan abadi dan lawan abadi. Kawan abadi adalah yang sama-sama berTuhankan Allah dan berNabikan Muhammad Rasulullah saw. “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara” (QS 49:10). Lawan abadi adalah setan dan pendukungnya. “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah musuh” (QS 35:6). Bagi Politisi Muslim, yang ada adalah tujuan abadi, yaitu berjuang menegakkan Kalimatullah. “Wa jahidu fi sabilillah”. Politisi Muslim membedakan antara yang hak (kebenaran) dengan yang batil (kepalsuan). Yang hak itu adalah benar selamanya, dan yang bathil itu adalah palsu selamanya. Islam mengajarkan agar jangan sekali-kali mencampuradukkan yang hak dengan yang bathal dan janganlah kamu menyembunikan yang hak itu sedang kamu mengetahui” (QS 2:42). Politisi Muslim senantiasa berupaya mencegah, menangkal, memberantas semua kecurangan. “Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” (QS 11:85, 26:183). Islam membedakan antara yang halal dan yang haram. Islam tak membenarkan yang haram. Selamanya yang haram itu tetap haram, tak pernah menjadi halal sesuai dengan selera manusia. Politisi Muslim mencintai hukum-hukum Allah, berjuang, berupaya menegakkan hukum-hukum Islam di muka bumi sebagai hukum positif.
(BKS0904160500)
Ajaran Jahili Sekuler
Jahili Sekuler mengajari agar bersikap, berfikir objektif-realistis. Nasehat ini sangat layak bagi yang berhubungan dengan masalah mikro. Namun terhadap masalah makro, barangkali perlu dicermati kembali. Apalagi terhadap yang berhubungan dengan gagasan. Yang berhubungan dengan gagasan biasanya bersifat subjektif-idealis. Karenanya tak peduli dengan sikon apakah objektif-realistis. Tak peduli apakah sesuai ataukah melawan arus.
“Dan mereka (yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya) berkata : Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia aja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa …”. (QS 45:24, simak juga “Karakteristik Perihidup Jahiliyah”, 1985:117-121).
Jahili Sekuler juga mengajari bahwa tolok ukur kebenaran itu adalah penilaian publik, pendapat umum, tradisi, adat kebiasaan turun temurun, sesuai arus. Tetapi Islam mengajarkan bahwa acuan tolok ukur kebenaran itu adalah ajaran Qur:an dan penjelasannya dalam Hadits yang diterangkan, ditafsirkan oleh ulama yang saleh, yang tawaduk.
“Apabila dikatakan kepada mereka : Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah den mengikuti Rasul. Mereka menjawab : Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannny”. (QS 5:104), simak juga QS 2:170, 31:21, simak pula Muhmmad bin Abdul Wahhab : “Karakteristik Perihidup Jahiliyah”, 1985:33-36)
Jahili sekuler juga mengajari bahwa professionalisme itu tak terkait dengan moralitas. Begitu pula kebebasan itu tak terkait dengan moralitas, norma-norma moral, etika. Sebaliknya Islam mengajarkan bahwa professionalisme, kebebasan itu terkaaait dengan moralitas, norma-norma moral, etika, hanya dalam dalam hal-hal yang makruf, yang sopan, yang beradab, yang bermoral, yang beretika.
Untuk menghadapi sikon seperti itu, Abubakar Siddiq ra memberikan petunjuk agar : Menjadikan masjid sebagai pusat kehidupan jama’ah. Banyak-banyak menemukan petunjuk dari Qur:an. Memelihara persatuan umat. (“Lukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqi, hdits no.1211, “Fiqhud Da’wah” M Natsir, 1981:88).
(BKS0805130620)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar