1 Islam hanya sekedar nilai ?
Ada yang mengkotak-kotakkan Islam itu pada Syari’at, Hakikat, Tarikat, Ma’rifat. Dulu Islam itu dipahami secara utuh, tak terpisah-pisah antara Syari’at, Hakikat, Tarikat, Ma’rifat. Belakangan ada yang memahami Islam itu hanya sebatas hakikat, sebatas nilai, sebatas prinsip. Yang diperlukan hanyalah menggali nilai-nilai Islam itu. Menggali esensi, jiwa, semangat, nilai-nilai syahadat, shalat, shaum, zakat, haji, qurban, jihad, hudud, dan lain-lain. Sedangkan bentuk, wujud, format, kaifiat dari syahadat, shalat, shaum, zakat, haji, qurban, jihad, hudud, dan lain-lain itu terserah selera masing-masing kesepakatan ijmak sesuai dengan perkembangan zaman. Dan akhirnya Islam tinggal sekedar nama.
Bermacam-macam upaya dilakukan untuk menjegal tegaknya syari’at Islam. Dengan memisahkan antara syari’at dan hakikat dalam Islam. Dengan menyanjung-nyanjung dan memuji-muji nilai luhur Islam, prinsip umum Islam. Dengan mengesampingkan syari’at Islam. Dengan memanipulasi, mengebiri pengertian syari’at Islam. Dengan meyakinkan bahwa Islam hanya sekedar hakikat, sekedar nilai, sekedar prinsip. Yang sampai ke tingkat Hakikat ini adalah orang-orang Arifin. Bila telah sampai ke tingkat, ke derajat Arifin, ini, maka gugurlah segala kewajiban. Tak ada lagi beban taklif. Tak ada lagi yang wajib dan yang haram baginya. Inilah antara lain ajaran yang dinisbahkan, disandarkan kepada Ibnu ‘Arabi (HAS Alhamdani : "Sanggahan Terhadap Tasawuf Dan Ahli Sufi", 1982:125). (Bks 20-2-2000)
2 Islam hanya urusan ibadah ?
Semula sebatas, bahwa untuk masalah-masalah yang menyangkut hubungan-hubungan antara manusia dengan manusia, yang berhubungan dengan keperluan duniawi, adalah selalu diperkenankan (halal), tidak dilarang sampai ada aketentuan nash yang melarangkannya. Sedang untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan Allah, dengan persoalan ukhrawi, maka senantiasa dilarang (haram) berbuat sesuatu, sampai ada ketentuan nash yang menyuruh berbuat. (Hukum asal dalam urusan muamalat adalah ibahah/boleh, sampai datang dalil/keterangan yang mengharamkannya)
Kemudian meningkat naik (meluncur turun ?), bahwa Islam tidaklah memiliki kaitan dengan dan dimasukkan pada masalah yang bersifat keduniawiaan sama sekali. Islam tidak pula memiliki syari’at yang berkenaan dengan persoalan serupa itu. Allah sama sekali tidak berkepentingan dengan persoalan duniawiah dan tidak pula memberi perhatian pada kepentingan hidup manusia di dunia ini. Dunia ini hina, dan terlalu hina bagi Allah untuk menurunkan agama atau mengutus para Rasul untuk mengurusnya. Dunia ini sepenuhnya diserahkan kepada akal dan kemauan manusia yang beraneka ragam dan selalu berubah-ubah. Islam tidak memiliki ysari’at yang mengatur masalah harta maupun masyarakat. Islam juga tidak memiliki ajaran tentang jihad. Semuanya itu adalah urusan duniawi, dan bukan urusan ibadah yang diatur oleh Islam. Demikian ditanamkan dari teori politik Ali Abdul Raziq (Dr Dyiya:ad-Din ar-Rais : "Islam Dan Khilafah", 1985:191). (Bks 20-2-2000)
3 Harakah dakwah tanpa harakah siyasah ?
Pergerakan Islam masa kini digolongkan orang dalam dua golongan besar. Pertama, pergerakan yang reformsi, yang ittiba’i, yang berorientasi hanya pada Qur;an dan Sunnah. Pergerakan reformis ini berupaya menjadikan Qur:an dan Sunnah sebagai sumber rujukan ibadah. Kedua, pergerakan yang modrnis, akomodatif, taqlidi, yang beroritentasi pada maslahah mursalah (kepentingan umum). Pergerakan modernis berupaya menyesuaikan kehidupan umat Islam dengan perubahan zaman (tasharuful imam ‘alar-ra’iyyah manuthun bil-mashlahat). Memisahkan Islam dari negara dalam suatu pemerintahan. Pergerakan modernis berupaya menjadikan ajaran madzhab dari Mujtahid mutlak juga sebagai sumber acuan dan rujukan.
Namun dalam praktek perjalanan sejarah, baik pergerakan reformis yang berorientasi pada Qur:an dan Sunnah, maupun pergerakan modernis yang mengacu pada madzhab, sama-sama memisahkan gerakkan dakwah dan aktivitas politik. "Qur:an tak pernah memerintahkan agar negeri diatur, ditata oleh Islam". "Islam hanyalah dakwah diniyah. Semata-mata mengatur hubungan manusia dengan masalah keduniaan, seperti urusan peperangan dan urusan politik". "Agama adalah satu hal, dan politik adalah suatu hal yang lain". Demikian, antara lain yang dimamah dari teori politik Ali Abdul Raziq (Dr Dhiya:ad-Din ar-Rais : "Islam Dan Khilafah", 1985:191). (Bks 20-2-2000)
4 Dibutuhkan Kode Etik Muamalah
Di sementara komunitas terdapat hal-hal yang berlaku, yang sudah baku. Namanya bisa adab, adat, tradisi, sopan santun, tata kerama, kode etik. "Siri" barangkali juga merupakan bagian dari hal ini. Ada yang tertulis, dan ada pula yang tak tertulis. Di kalangan wartawan terdapat kode etik jurnalistik. Di kalangan pengacara terdapat kode etik advokat. Di kalangan dokter terdapat kode etik kedokteran. Di kalangan pelaku tindak kemunkaran, misalnya adi kalangan pelaku judi terdapat aturan main yang harus dipatuhi oleh pemain judi.
Tapi di kalangan politisi (pelaku urusan kenegaraan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif) barangkali rasa-rasanya tak terdapat kode etik (tata kerama) berpolitik cantik yang baku, yang standard. Kapan harus menghujat (mengkritik). Kapan harus diam. Kapan harus terbuka, dan kapan harus tertutup. Kapan harus secara langsung, dan kapan hartus secara tak langsung. Bagaimana mekanismenya. Semuanya rancu, tak ada aturan main (mekanisme) yang sama sama disepakati. Hak interpelasi, hak angket dipermasalahkan. Kapan harus menggunakannya dana bagaimana cara menggunakannya yang tepat menurut undang-undang.
Dalam hubungan ini di kalangan komunitasa Arab primitif (jahiliyah) ada hal yang mnenarik, yaitu adanya tata kerama (kode etik) berselisih, bertikai, bersengketa, berantam, berkelahi, berperang..
Di antara adat kebiasaan buruk dari komunitas Arab primitif (jahiliyah) adalah mengadakan tindakan balasan balik secara berlebih-lebihan, sehingga sampai mengorban jiwa raga, hanya lantara persoalan remeh saja. Namun demikian terdapat pula adat kebiasaan yang baik seperti keperwiraan, kesatriaan, memberi pertolongan, memelihara dan menunaikan janji, memelihara tetangga, menjamu tamu (Muhammad Husain Haekal : "Sejarah Hidup Muhammad, 1984:17, Amali : "Planning & Organisasi Dakwah Rasululullah", 1980:18).
Di samping itu juga sudah jadi adat turun temurun bahwqa segala peperangan harus berhenti pada bulan yang mereka muliakan, yaitu bulan Rajab, Zulkaidah, Zulhijjah dan Muharram (Prof Dr hamka : "Tafsir Al-Azhar", II:198). Dan ada lagi sistem jiwar (perlindungan pertetanggaan) yang biasa diminta oleh kalangan yang lemah kepada yang lebih kuat ("Sejarah Hidup Muhammad", 1984:10).
Kemudian islam menetapkan kode etik (ta kerama) berperang yang baku. Di antaranya ; larangan menyiksa, perlindungan bagi yang terluka, larangan membunuh tawanan, larangan menjarah dan merusak, menjaga kesucian hak milik dan kesucian janazah, larangan melanggar perjanjian, larangan membunuh yang bukan jadi pasukan musuh (seperti orangtua, anak-anak, wanita, pemimpin agama, ahli ibadat) (Abul A’la al-Maududi : "Hak Asasi manusia Dalam Islam", 1985:73-80).
Di jaman modern ini diciptakan kode etik (aturan main) bagi petinju berkelahi, berantam di atas ring tinju.
Kode etik semacam ini seharusnya diperluas. Dalam hidup berbangsa bernegara, maka untuk kalangan politisi (pengelola negara) harus ada suatu kode etik (tata kerama) berpolitik yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat. Semoga dengan adanya kode etik tersebut dan dengan adanya kemauan untuk mematuhinya, maka suasana kehidupan bangsa ini diharapkan akan bisa aman, tenteram. Semoga. (Bks 19-12-2000)
Asrir
1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar