Sabtu, 02 Januari 2010

Mental korup

Mental korup



Dilaporkan oleh Imam Muslim dari Abu Huraairah ra, bahwa Rasulullah saw pernah mengingatkan “jika seseorang berkata (karena ssombng) : Manusia telah celaka, maka ia akan menjadi paling binasa”. Dikomentari bahwa pernyataan “manusia telah celaka” menunujukkan kesombongan diri. Hanya diri sendiri yang terbaik. Kesombongan itu akan menyebabkan kebinasaan diri sendiri. Tetapi jika pernyataan tersebut diungkapkan karena menyesali keadaan manusia dalam agama dan akhlak mereka, maka tidak mengapa. Demikian disimak dalam Riadhus Shalihin Imam Nawawi pada pasal “Larangan Sombong Dan Membanggakan Diri”.



Diungkapkan oleh Mayjend (Pur) Zaini Azhar Maulani (Staf Ahli Menteri Riset dan Teknologi bidang Hukum), bahwa instrument-instrumen pengawasan kita sudah tidak lagi mampu berfungsi secara efektif. Ini tidak bisa lagi ditutup-tutupi. Coba saja kalau mengurus surat-surat di kelurahan, di kantor-kantor pemerintah, kita merasakan ada sesuatu yang menyalahi proses prosedur yang pada gilirannya membebani masyarakat (HARIAN TERBIT, Rabu, 16 Juli 1997, “Lembaga pengawas tak lagi berfungsi”).



Dalam hubungan yang membebani masyarakat ini, pernah diharapkan agar biaya administrasi yang dipungut (tanpa kwitansi) dari rakyat (yang berurusan) oleh petugas-petugas kelurahan, kecamatan, kabupaten, kegubernuran (yang telah digaji dengan uang yang berasal dari rakyat) agar disetorkan ke kas Negara (bukan ke kantong-kantong pribadi). (Kwitansi pembayaran tilpon, listrik, pam dan yang sejenis, seyogianya dibulatkan dalam ribuan). Demikian juga pungutan-pungutan di jalanan yang dipungut oleh petugas-petugas lalu lintas agar disetorkan ke kas Negara. Sedangkan pungutan yang dipungut oleh para jagoan (pakogah bukan petugas/pejabat) seperti terhadap pedagang di pasar atau terhadap sopir di jalanan dibasmi sama sekali (Simak juga antara lain KOMPAS, Selasa 22 Agustus 1995, “Kotak Korek Api, Salah Satu Perlengkapan Truk di Jalan”, dan Rabu, 22 November 1995, “Tindakan Konkrit Diminta Untuk Pangkas Pungutan”).



Di kalangan copet/jambret ada satu konsensus tak tertulis, bahwa semua hasil copetan/jambretan disetor secara penuh (tanpa potongan) kepada komandan copet/jambret. Setiap copet/jambret yang melanggar konsensus dikenakan sanksi, yaitu dihajar (digampari) oleh komandan copet/jambret. Demikian disimak di antara beberapa tayangan televisi.



Diharapkan semoga abdi Negara yang mengaku sebagai pelayan masyarakat tidak berlaku sebaliknya, yaitu sebagai orang yang harus dilayani (disuapi) oleh masyarakat. Dan semoga ada sistim pengawasan dalam penerimaan biaya-biaya administrasi dan pungutan-pungutan lain yang tak resmi yang dilakukan oleh petugas-petugas Negara. Sudah sangat klise, bantahan atas fakta diucapkan petinggi penegak hukum “Kami menyadari, kami adalah pelayan, pengayaom, dan penegak hukum” (WARTAKOTA, Jum’at, 20 November 2009, hal 15, “Kapolri jawab isu Jenderal Mundur”).



Dari bawa sampai ke atas, atau dari atas sampai ke bawah, tanpa kecuali, mental kita sudah keropos, sudah bokrok. Tak satupun di antara kita yang benar-benar punya rasa malu. Yang benar-benar jujur. Yang benar-benar bersih dari mental korup. Mental korup sangat subutr di kalangan kita. Sudah menjadi identitas diri kita. Dari kalangan bawah sampai atas, dari akar sampai pucuk, kita adalah manusia-manusia korup, manusia kurap. Tak satupun di antaa kita yang benar-benar bersih dari mental korup. Kita terlalu mengagungkan kekuasaan/jabatan. Kita terlalu rakus akan kekuasaan/jabatan. Kekuasaan/jabatan cenderung menggiring kita berbuat korup. Power turns to corrupt.



Meskipun dulu sudah pernah berulang kali ditatar P4, namun mental kita tetap saja mental korup. Korup waktu, korup materi, korup jabatan, korup semuanya. Istilah/bentuk korupsi/komersialisasi jabatan beragam : TST, sistim amplop, uang semir, siluman, pelican, komisi, pungli, joki, jimat (PANJI MASYARAKAT, No.228). Apakah ini karena yang menatar tak lebih baik dari yang ditatar ? Ataukah karena P4 tak mempan, tak efektif untuk memperbaiki mental kita semua ? Jika jawabannya benar, maka upaya memperbaiki mental kita semua terbuka melalui jalur ajaran akhlak. Akhlak berbeda dari moral. Ajaran akhlak berpangkal pada tauhid, keimanan kepada Allah swt, dan keimanan akan kehidupan akhirat. Sedangkan ajaran moral P4 berpangkal pada pandangan Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, tanpa peduli dengan kehidupan akhirat. Berbeda dari ajran moral yang tanpa sanksi, maka jaran akhlak memerlukan adanya sanksi hukum (sebagai social cost and political cost). Untuk melaksanakan penerapan sanksi Hukum, maka diperlukan kekuatan, kekuasaan politik yang berdasarkan ajaran wahyu (Simak juga GATRA, No.5/I, 17 Desember 1994, “Korupsi”).



Ajaran wahyu mengingatkan bahwa sesungguhnya Allah lah yang mempunyai kerajaan (menguasai) langit dan bumi (QS 5:40). Di antara sanksi hukum yang ditetapkan oleh wahyu adalah potong tangan terhadap yang mencuri sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan barangsiapa yang sesudah melakukan tindak kejahatan/pencurian bertaubat, menyesali dan memperbaiki diri, hendaklah ingat bahwa Allah itu penerima taubat, Maha Pengampun, Maha Penyayang (Demikian disimak dari ayat QS 5:38-39).



Kewajiban menjalankan ajaran wahyu terbatas hanya bagi yang beriman kepada Allah swt dan beriman akan kehidupan akhirat. Diingatkan bahwa kebenaran itu datangnya dari Allah swt. Barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah kafir. Demikian peringatan wahyu dalam ayat QS 18:29. Semoga saja kalangan legislatif, yudikatif, eksekutif tidak memiliki mental korup.



(BKS9707311200)

Tidak ada komentar: