Sabtu, 02 Januari 2010

Melawan korupsi dengan zuhud

Melawan korupsi dengan semangat keadilan dan persamaan Khalifah Umar bin Khatthab





Ketika mulai menjabat Khalifah, Umar tidak bepikir bahwa kedudukannya yang baru itu memberikan kepadanya hak-hak yangbaru macam apapun, selain kewajiban dan tanggungjawab untuk menegakkan Syari’at Allah.



Seusai pembaiatannya, Umar berpidato kepada oang banyak : “Saudara-saudara, saya hanyalah seorang biasa seperti saudara-saudara juga. Kalaulah bukan karena saya tidak mau menolak perintah khalifah Rasulullah, tentu saya tidak akan bersedia memimpin saudara-suadara”.



Dalam pidatonya yang kedua, ia berkata antara lain : “Dan saudara-saudara sekalian mempunyai beberapa hak dan kewajiban pada diri saya, maka bantulah saya untuk melaksanakan hal itu. Saya tidak berhak untuk mengambil sedikitpun dari pajak yang saudara-saudara serahkan, ataupun dari apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada Anda, kecuali untuk tujuan yang ditetapkan. Saya berkewajiban untuk menyalurkan apa yang sampai ke tangan saya kepada yang berhak. Saya berkewajiban untuk menjaga agar anda semua tidak jatuh ke dalam kerusakan dan bencana. Dan bila semua pergi berperang, maka sayalah yang akan menjaga keluarga Anda”.



Umar juga berkata : “Kedudukan saya terhadap harta Allah adalah seperti kedudukan saya dalam menjaga harta anak yatim. Apabila saya berkecukupan, maka saya akan menahan diri untuk tidak makan daripadanaya, dan apabila saa fakir, maka saya akan makan daripadanya dengan ukruan yang wajar”.



Pada suatu hari Umar ditanya tentang apa yang halal baginya dari harta Allah. Maka jawabnya : “Kuberitahukan padamu semua apa yang halal bagiku daripadanya, yakni : dua pasang pakaian, sepasang untuk musim dingin dan sepasang untuk musim panas, dan apa yang kupakai untuk melaksanakan haji dan umrah, makanan untukku dan keluargaku yang seperti makanan seorang warga Quraisy biasa, bukan yang paling kaya bukan pula yang paling melarat. Di luar itu, aku adalah sama dengan orang Muslim yang mana saja, dengan segala kesusahan dan kesulitannya”.



Bagitulah kehidupan Umar. Akan tetapi seringkali ia menyempitkan diri, bahkan dalam hal-hal yang dihalalkan bagi dirinya. (catatan penyalin : Tampaknya Umar lebih menyukai kehidupan zuhud. Sebalknya penulis Sayyid Quthb tak begitu menyukai kehidupan zuhud). Pada suatu hari ia mengeluh. Kemudian diceriterakan kepadanya tentang sekantong madu yang ada di Baitul Maal. Maka ketika ia berbicara di atas mimbar ia berkata : “Kalau anda semua mengizinkan saya untuk mengambil daripadanya, akan saya lakukan. Tetapi kalau Anda semua tdak mengiznkannya, maka madu itu haram bagi saa”. Maka orang banyakpun mengizinkannya.



Kaum Muslimin melihat kesulitan hidup yang dialami Umar. Maka beberapa oang laki-laki lalu pergi menemui anak perempuannya, Hafsah Ummul Mukminin dan berkata kepadanya : “Ayah Anda menolak untuk hidup secara kecukupan dan lebih senang hidup dalam kesulitan dan keketatan, padahal Allah telah memberikan kelapangan rezki baginya. Maka kami mengharap sudilah kiranya ia mengambil dari harta rampasan perang seberapa yang ia kehendaki, karena hal itu telah dihalalkan baginya oleh kaum muslimin”. Ketika Hafsah menyampaikan harapan orang banyak itu kepadanya, maka Umar menjawab : “Kaummu memberikan kepada ayahmu, tapi mereka tidak tahu bahwa hal itu akan menjerumuskan ayahmu. Sesungguhnya hak keluarga ayahmu hanyalah pada diri dan harta, tetapi dalam agama amanat yang dpengangnya, maka mereka tidak mempunyai hak apa-apa”.



Umar memiliki perasaan yang peka sekali akan persaman antara dirinya dengan rakyatnya. Ketika datang musim pacekelik, ia pun bersumpah untuk dirinya bahwa ia tidak akan makan minyak samin dan daging sampai rakyatnya kembali memperoleh makanan yang cukup. Ia mempraqktekkan hal itu sehingga kulitnya menjadi hitam dan ia terkena penyakit wasir karena terlalu banyak makan minyak goring. Maka suatu ketika di pasar dijual orang sekantong minyak samin dan sekantong susu. Salah seorang budak Umar membeli keduanya dengan harga 40 dirham. (catatan penyalin : 1 dinar setara Rp1.5 juta) Kemudian ia pergi kepada Umar dan mengatakan kepadanya bahwa Allah menghalalkan maanan yang dibelinya dengan uangnya sendiri itu. Dikatakannya juga bahwa makanan itu dibelinya di pasar. Tapi ketika Umar mengetahui harga kedua macam bahan makanan itu, ia berkata kepada budaknya itu : “Engkau telah membeli makanan yang terlalu mahal. Karena itu bersedekahlah dengannya, karena aku tak suka makan secara berlebihan”. Umar termenung sejenak, lalu berkata lagi : “Bagaimana aku bias menghayati keadaan rakyat apabla aku tidak merasakan apa yang mereka rasakan ? “



Orang banyak melihat bahwa Umar mengharamkan bagi dirinya apa yang bisa diperoleh rakyatnya. Tapi tindakannya itu bukan hanya karena ia merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya, tetapi terutama karena kedalaman persaannya bahwa kedudukannya sebagai pemegang kendali pemerintahan tidaklah memberikan kepadanya hak-hak istimewa yang tidak dimiliki oleh orang kebanyaan, dan bahwa apabila ia tidak berlaku adil dalam hal ini, maka ia tak berhak untuk ditaati rakyat. (catatan penyalin : Umar mengajarkan kehidupan zuhud secara praktis kepada Kepala Negara, bahkan tanpa aturan keprotokoleran). Kita telah menyebutkan rakyat untuk taat kepadanya, yang merupakan salah satu prnsip pemerintahan dalam Islam, yakni bahwa tak wajib taat kepada Imam yang tidak adil.



Perasaan keadilan dan persamaan ini demikian dalam pada diri Umar, dan tercermin dalam setiap perilakunya dalam pergaulan di masyarakat. (Catatan penyalin : Slogan Liberte, Egalite, Fraternite di Barat baru muncul pada Revolusi Perancis). Maka tersebutlah pada suatu ketika ia menawar seekor kuda milik seorang laki-laki. Kuda itu dicobanaya sampai kepayahan, kemudian dikembalikannya kepada pemiliknya. Dan orang itu menolak untuk menerima kembali kudanya yang tak jadi dibeli itu. Maka keduanya lalu mengadu kepada orang Qadhi. Setelah mendengarkan alasasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, Qadhi itu lalu berkata : “Wahai Amirul Mukminin, Tuan beli saja kuda yang sudah Tuan coba sampai kepayahan itu, atau Tuan kembalikan dalam keadaan semula (sebelum kepayahan)”. Maka berkatalah Umar dengan takjubnya : “Beginikah semua keputusan itu ditetapkan ?”. Dan diangkatnyalah Qadhi tersebut sebagai Kepala Qadhi seluruh daerah Kufh sebagai penghargaan atas keputusannya yang haq dan adil itu.



Apabila Umar memahami kekuasaan dengan dasar ide seperti ini, maka jelas tak akan mungkinlah bagi kaum kerabat pejabat-pejabat pemerintahan untuk memperoleh hak-hak istimewa yang berbeda dari seluruh rakyat pada umumnya. (catatan penyalin : Kepala Negara itu teladan bagi pejabat dan rakyat). Maka ketika anak Umar sendiri, yang bernama Abdurrahman, kedapatan minum khamar, iapun tak dapat menghindar dari hukuman, dan cerita tentang hal itu telah umum diketahui. Demikian juga ketika anak Amr ibn Ash bertindak sewenang-wenang terhadap orang Mesir, ia pun harus menerima qishash. Tentang harta benda, maka seluruh pegawai pemerintahan Umar selalu ditanya tentang pertambahan harta mereka setelah mereka berhenti dari memegang jabatan, karena kekhawatirannya bahwa harta tersebut bertambah banyak karena menyerap harta masyaraakat, atau karena dipergunakannya pengaruh kekuasaan. Ucapannya : “Dari mana kamu mendapatkan ini ?” telah menjadi undang-undang yang diberlakakukannya terhadap semua pegawainya setiap kali hal itu dipandang perlu. Demikianlah, ia menyumpah Amr ibn Ash, gubernurnya di Mesir, Sa’ad ibn Waqash gubernur Kuffah, sebagaimana ia telah memeriksa harta Abu Hurairah gubernur Bahrain.



Nilai-nilai yang dijadikan Umar sebagai pegangan dalam menjalankan roda pemerintahannya dapat diringkaskan sebagai berikut : Ketaatan dan advis untuk menjaga batas-batas agama dari pihak rakyat, dan keadilan serta tindakan kebaikan dari pihak penguasa. Ucapan seorang warganya yang diucapkan kepadanya, yaitu : “Kalau kami dapati Anda melakukan penyelewengan atau penyimpangan, sungguh akan kami luruskan Anda dengan pedang kami” telah diterima Umar dengan senang hati dan dijadikannya sebagai prinsip hak rakyat untuk meluruskan penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa. (catan penyalin : Umar mengajari Kepala Negara untuk menerima kritikan betapun pedasnya). Suatu hari Umar berkata kepada orang banyak : Sesungguhnya aku tidaklah mempekerjakan pegawai-pegawaiku untuk memukul Anda semua, untuk menginjak-injak kehormatan Anda serta merampas harta Anda, tetapi aku mempekerjakan mereka untuk mengajarkan kepada Anda semua Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Maka apabila ada orang yang mendapat perlakuan yang zhalim dari salah seorang pegawaiku, maka perlakuan seperti itu sama sekali bukanlah atas izinku, dan hendaklah orang yang mendapat perlakuan seperti itu mengadukan pegawai tersebut kepadaku agar ia menerima hukuman yang setimpal atas perbuatannya”. Dengan ucapannya ini Umar telah menetapkan batas-batas yang tak boleh dilanggar pejabat-pejabat pemerintah dalam berurusan dengan rakyatnya.





Karena perasaan tanggungjawab yang mendalam akan kewajiban pemerintahannya, Umar tak mau mengangkat orang kedua (pendamping) yang berasal dari keluarga Khatthab. Ia juga melarang anaknya, Abdullah, untuk menjadi asistennya ataupun menjadi anggota majelis permusyawaratan rakayat. Telah terkenal ucapannya yang mengungkapkan hakekat pandangannya tentang kekuasaan kekhalifahan : “Aku tidak akan mengumpulkan urusan pemerintahan di tangan keluargaku. Dan aku tidak akan memberikan rekomendasi utuk suatu jabatan pemerintahan bagi seeorang sanak kelauargaku. Kalau ia seorang yang baik, maka rekomendasi itu hanya akan meburukkan nama kami semua, dan kalu ia seorang yang buruk, maka semua keluarga Umar akan dipandang buruk semua karena salah seorang dari mereka saja”.



(Disalin dari buku Sayyid Quthub : “Keadilan Sosial dalam Islam”, 1994:266-270, Keadlan terhadap individu dan masyarakat)



(BKS1001011130)

Tidak ada komentar: