Kembali kepada Qur:an dan Sunnah
Segala masalah dikembalikan (dicarikan) pemecahannya, penyelesaiannya kepada Qur:an. Jika tidak ditemukan dalam Qur:an, cari dalam Sunnah nabi. Jika tidak ditemukan dalam Sunnah Nabi, carikan dalam Atsar sahabat. Jika tidak ditemukan dalam Atsar sahabat, carikan dalam fatwa lama salaf, ulama mutaqaddimin.
Penjelasannya carikan dalam Sunnah Nabi. Jika tidak ditemkan dalam Sunnah nabi, carikan dalam Atsar sahabat. Jika tidak ditemukan dalam Atsar sahabat, carikan dlam Ijtihad Tabi’in. Jika tidak ditemkan dalam Ijtihad Taabi’in, carikan dalam fatwa ulama salaf. Jika masih saja tidak diteukan, berijtihadlah dengan sungguh-sungguh dengan penuh tanggungjawab (Hamka : “Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”, hal 12; “Tafsir AlAzhar”, juzuk XXVIII, hal 132-135; PANJI MASYARAKAT, No.187, 15 Nopember 1975, hal 5-6, Dari Hati Ke Hati :’Masalah Khilafiyah’).
Mengenai Sunnah Nabi disebutkan ada yang bersifat tasyri’ (Yang disyari’atkan) dan ada pula yang bersifat ghairu tasyri’ (Yang tak disyari’atkan). Sunnah yang tasyri’ bersifat permanen, tak dapat diuah, dimodifikasi. Sunnah yang ghairu tasyri’ bersifat kondisional, dapat disesuaikan, dimodifikasi, diakomodasi sesuai dengan suasan, situasi, kondisi. (Drs Muhammad Azhar : “Makna Kembali Kepada Qur:an dan Sunnah”, AMANAH, No.192, 15-28 Nopember 1993, hal 58-59).
Periksalah sesuatu (halal atau haram, bak atau buruk) dari Kitab, Sunnah, Ijmak Shahabat, Ijmak Tabi’in, zhani, rakyu, hatinurani/sanubari, akal sehat.
Seorang ahli Ilmu harus berusaha semaksmal mungkin, dengan dilandasi niat yang ikhlas karena Allah dan memohon pertolongan kepadaNya, dalam menelusuri nash maupun ber-istimbath (Moh Tolchah Mansour : “Warisan Sang Imam”, PESANTREN, No.2/Vol.II/1985, hal 75, Tijauan Buku arRsalah Imam Syafi’i).
Adalah keharusan moral bagi si pnuntut ilmu untuk mengerahkan segenap tenagaanya guna mengembangkan ilmunya, bersabar terhaap setiap tantangan yang dijumpainya, serta meluruskan niat hanya karena Allah dalam memahami ilmu dan petunjukNya, dan tak lupa memohon pertolongan kepada Allah (Ahmadie Thaha :”Tarjamah arRisalah Imam yafi’I”, hal 19).
Arti ijtihad yang sebenarnya ilah mencurahkan segala kemampuan untuk mencari kejelasan tentang suatu kebenaran. Dan apabila timbul suatu kesalahan yang tidak disengaja dalam usahanya maka ia tetap akan memperoleh pahala (Muhammad alBaqir : “Tarjamah alKhilafah wal Mulk Abul A’la almaududi, hal 184).
Amr bin Ash ketika disuruh Rasulllah memutuskan suatu perkara (prsalan) bertanya kepada Raslullah. Aaakah aku akan berijtihad, sedang tuan masih ada pula ? Rasulullah menjawab : ya. Alau engkau benar (dalam ijthad), maka bagimu dua ahala. An alau kamu salah, maka bagianmu satu pahala (“Taramah Lukluk wal marjan”, jilid II, hal 640, hadis 1118; HA Azis Masyhuri : “Tarjamah Khulasha Tarikh Tasyri’ Islam Prof Abdul Wahhab Khallaf, hal 12).
Muadz bn Jabal ketika diutus Rasulullah menjadi qadhi negara (Hakim) Yaman, ditanya oleh Raslullah : Bagaimana cara kamu menentkan suatu hukum, alau kamu dihadapkan kepada suatu persoalan (yang memerlukan keputusan) sedang kamu tidak mendapatkan ketentuan hukmnya dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah ? Mu’adz menjawab : Aku akan berijtihad denga akal fikiranku. Maka Nabi mengakui jawabannya itu (HA Aziz Masyhuri : “Tarjamah Khulashah Tarikh Tasyr’ Islam” Prof Abdul Wahhab Khallaf, hal 12; ALMUSLIMUN, No.190, Janaari 1986, hal 9, Gayng Bersambut?Nadwah Mudzakarah, hal 136 dengan catatan : Hadits Mu’adz tersebut majhul dan tidak dapat dipahami ?)
Naka wajib atasmu memegang teguh Sunnahku (cara-cara yang telah aku lakkan) dan perjalanan (sunnah) Khulafaurrasyidin yang dberi petunjk (oleh Tuhan). Dan berpeganglah kepada sunnah-sunnah itu dengan kuat dan jauhlah olehmu nsur-unsur yang diada-adakan (bid’ah) maka sesngguhnya segala bid’ah itu sesat HR Abu Daud, Tirmidzi dari Abi Najih al’Ibahah bin Sariyah; Aminah Dahlan : “Tarjamah Hadts alArba’in anNawawiyah”, hal 42, hadis 28; H Salim Bahreisy : “Tarjamah Riadhus Shalihin Imam Nawawi”, jilid I, hal 169, hadis 2). Untuk menghindari polemik tentang bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah, barangkali bisa dipahami bahwa “pada umumnya bid’ah itu mejurus kepada kesesatan”.
Sebaik-baik generasi adalah pada abdku, kemudian abad yang dibelakangku, kemudian yang berikutna. (HR Bukhari, Muslim dari Imran bin alHushaim; H Salim Bahreish : “Tarjamah Riadhus Shalihin Imam Nawai”, jilid I, hal 429, hadis 19; “Tarjamah Lukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqi, jilid II, hal 979, hadis 1649).
(written by sicumpaz@gmail.con in sicumpas.wordpress.com as Asrir at BKS1102250900)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar