Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Jumat, 16 September 2011
Jihad mengnedalikan Hawa Nafsu
catatan serbaneka asrir pasir
Jihad Mengendalikan Hawa Nafsu
(Dengan Sikap Mental Ta’awun/Kesejahteraan Bersama)
Sistim bisnis kapitalis berusaha memenuhi kebutuhan “ nafsu yang pantang kekurangan dan hawa yang pantang kerendahan” (nafsu yang diatas pusar dan nafsu yang dibawah pusar), berusaha hanya untuk mendapatkan keuntungan (kepuasan diri sendiri) semata, dan sama sekali tak punya motivasi investasi untuk memberikan keuntungan (kepada masyarakat luas), untuk juga turut serta dalam mewujudkan kemakmuran masyarakat banyak. Ia aya terpaku untuk memenuhi keingnan ang tidak terbatas dan tidak pernah merasa puas. Sisitim kapitalis dibangun atas dasar kerakusan.
“Andaikata manusia (anak Adam) telah memiliki satu lembah emas, tentu ia ingin mempunyai dua lembah, dan tidak akan menutup mulutnya kecuali tanah. Dan Allah akan member tobat pada siapa yang tobat” (HR Bukhari, Muslim dari Anas bin Malik, juga dari Ibnu Abas dengan redaksi yang mirip).
“Sejarah umat manusia memberikan kesaksian terhadap fakta bahwa kebijaksanaan untuk mendapatkan keuntngan dan jarang bersesuaian dengan apa yang menguntungkan masyarakt” (Afzalurraman : “Mhammad Sebagai Seorang Pedagang”, 1997:195,351).
“Secara objektif, pembawaan dan dampak ekonomi pasar (ekonomi kapitalis) adalah pertumbuhan dan kemajuan besar, sekaligus juga kesenjangan (sosial ekonomi). Ekonomi pasar membawa ketamakan (avarie). Ketamakan (kerakusan) melekat pada pembawaan ekonomi pasar. Ketamakan dipandang (kapitalisme) sebagai kebajikan. Ekonomi pasar berorentasi kepada laba (profit), materi, pola konsumerisme (laissez faiere, laissez paser) (KOMPAS, 16/1/97:$, Tajuk Rencana). Prinsip ekonomi pasar, dengan modal, tenaga yang sedikit dapat menghasilkan untung yang besar.
(Abul A’la Al-Maududi tampaknya terkesan dengan konsep pasar bebas. “Pada prinsipnya Islam tidak menyetujui bahwa Pemerintah mengerjakan sendiri pekerjaan pedangan-pedagang. Fungsi pemerintah hanyalah memperbaiki keadaan negara, menegakkan keadilan, memasmi kemunkaran”. Simak “Dasar-daar Ekobnomi Islam”, terbitan Al-Ma’arif, Bandung, 1980:114-115. Bahkan Islam tidak mewajibka kepada Negara unuk meyediakan lapangan kerja bagi warganega”, idem 1980:112).
Berbeda dengan sistim bisnis kapitalis yang berorinetasi pada keuntungan (profit), maka sistim bisnis marhamah (Islami) yang diajarkan dn dicontohkan oleh Rasulullah saw adalah juga berorientasi pada kemakmuran (social walfare). Afzlurrahman dalam tilisannya “uhammad As A Trader” (Muhammad Sebagai Seorang Pedagang”, 1997:19) memaparkan bahwa Nabi Muhammad adala seorang pedagang yang berbedadengan kebanyakan pedangang lainnya. Beliau melakukan pekerjaan dagang ini sekedar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan, bukan untuk menjadi seorang jutawan (triliunan).
Dari sikap Rasulullah saw itu diperoleh pelajaran bahwa sistim bisnis marhamah (Islami) itu berusaha sekedar memenuhi kebutuhan hidup duniwi sesaat (hasanah fid dunya) agar tidak menjadi beban orang lain, dan tidak hidup meminta-minta. Islam tidak menyukai hidup tak bekerja, hidup jadi beban orang lain, hidup dengan meminta-minta.
“Jika seseorang itu pergi mencari kayu, lalu diangkut sekat kayu di atas punggung (untuk dijual di pasar), maka itu lebih bik baginya dari pada minta kepada seseorang baik diberi atau ditolak” (HR Bukhari, Muslim dari Abu Hurairah). Kegiatan bisnis dalam Islam mencakup usaha produksi (pengumpulan, pengadaan, pengolahan), distribusi (penangkutan, penaluran, pemasaran) dan usaha sosial (sadakah, infaq).
selebihnya adalah berusaha, berupaya dengan segenap tenaga, daya, dana untuk memenuhi kebutuhan hidup ukhrawi (hasanah fil akhirah), dengan melakukan amal shalaeh, amal sosial untuk kepentingan dan kemashalahatan umum (orang banyak). “Dan usahakanlah pada barang yang dianugerahkan Allah kepadamu akan kampung akiat, dan janganlah kamu lupapan bahagianmu nasibmu di dunia, dan berbuat keaikanlah sesama manusia sebagai Tuhan berbuat baik kepadamu, dan anganlah mencari-cari kerusakan di bumi” (QS 28:77).
Ksenjangan sosal ekonomi itu adalah alamiah, terkaait pada sunnatullah. ‘Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehndakinya, dan ada pula menyempitkannya. Mereka bersukaria dengan kehidupan di dunia. Padahal kehidupan di dunia itu diperbandingkan dengan akhirat tidak lain hanya suatu kesuakaan yang sebentar saja” (QS 13:26).
(Sayyid Wuthub memandang ahwa “Islam membenci kemiskinan. Islam menghaandaki agar manusia mempunyai waktu yang cukup untuk meningkatkan harkat-martabat sosial-ekonominya (QS 17:70)”. simak :”Keadlan Sosial dalam Islam”, terbitan Pustaka, Bandung. 199$;185-186)
Para pemodal, pemikih harta (Yang dilapangkan rezekinya) mememerlukan batuan, pertolongan para pekerja (yang rezekinya seret). “Tiadalah kamu mencapai kemenangan dan rezeki tapi semata-mata karena bantuan orang-orang rendah dan lemah” (HR Bukhari, Muslim dari Mushab bin Sa’ad in Abi Waqash).
Pemodal butuh akan pekerja untuk meningkatkan, mengembangkan modal/kekayaannya, serta untuk menjaga, memelihaa keamanan diri dan modal/kekayaannya. Untuk itu pemodal harus menediakan dana/investasi untuk upah/gaji dan biaya pendidikan tenaga krja, serta biaya/sewa tenaga pengaman/keamanan.
Kesenjangan sosial ekonomi bisa memicu kecemburuan sosal dan berlanjut mejadi gejolak, keresahan, kerusuhan sisal. Pekerja (yang reekinya seret) yang hidup kepeppet, tergencet, gampang sekali membuat onar, maker. “Hampir saja kefakiran menyeret orang orang ke kafiran”. Untuk mencegah timblnya hal ini (segai tindakan preventif), islam telah menyiapkan sejumlah peragkat penaman berpa kewajiban-kewajiban bagi pemodal, dan juga kewajiban-kewajiban bagi pekerja.
Agar modal/kekayaannya dapat brkembang dan terpelihara kemananannya, maka para pemilik modal harus memperhatikan kebutuhan yang wajar bagi tenaga kerja dan tenaga pengaman/keamanan. Lebih luas, agar modal juga memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat (orang banyak). Dengan kaata lain, juga berorientasi sosial di samping berorientasi ekonomi. “Kebijaksanaan nvestasi yang berorientasi anya untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis sudah seharusnya beralih pda orientasi yang juga untuk mendapatkan keuntungan secara sosil” “ Muhammad Sebagai Seorang Pedangang”, 1997:360). Baik pemodal dan pekerja sama-sama berkewajiban berskap, berlaku jujur, amanah, menep
AlQuran memberikan ketentuan untuk menyelmatkan manusia dari perselisihan internal dan perpecahan. Yang hanya dinasehatkan agar menafkankan harta mereka (secara cermat untuk diri mereka sendiri serti untuk orang-orang lain yang membutuhkan) dan tdak bersifat kikir. Sedangkan orang-orang miskin dianjurkan agar merasa puas dan tidak merasa iri terhadap orang-orang yang lebih kaya. Semua kelompok komunitas agar menjalankan kewajibannya dan merasa cukup dengan apa yang telah Allah karniaan (Afzalurrahman : “Muhammd ebagai Pedangan”, 1997:287).
Bagi yang tak beriman kepada Allah Tuhan YME dan tak beriman akan hari akhirat, maka dana sosail yang ia keluarkan dari kelebihan kebutuhannya untuk kepentingan umum, guna untuk menjagai, memelihara keamanan dirinya dan harta kekayaannya dari bencana gejolak, keresahan, kerusuhan sosial.
Sedangkan bagi yang beriman kepada Allah Tuhan YME dan juga berman akan hari akhirat, maka dana sosial yang ia keluarkan dari kelebihan kebutuhannya untuk kepentingan umum, untk keentingan masyarakat (orang banyak), dan seluruh harta kekayaannya dan dirinya darinya akan berguna untk menjaga dan memelihara kemanan dirinya dari siksaan neraka kelak. ‘Sesungguhnya Allah telah membeli dari para Mukmin jiwa-jiwa mereka dan harta-harta mereka (sebgai balasan) bagi mereka itu aalah sorga al-jannah” (QS 9:111).
Untuk meningkatkan bunga), mengembangan modal/kekayan tersedia dua lembaga . Pertama lembaga niaa (dagang), dan kedua lembaga riba (intstitusi bunga). Institusi bunga dengan tegas ditentang oleh Plato, Aristoteles, Cicero, Seneca dan filsuluf lain. Aristoteles mengemukakan bahwa uang itu mandl, tidak bisa melhairkan uang. nstitusi bunga juga sanagt dicela oleh para pembuat hukum di Roma, para filsufuf Hindu, Orang-orang Yahudi (Keluaran 22:25) serta pendeta-pendeta Keristen. Larangan para rohaniawan terhadap bunan branjut hingga akhir abad pertengahan, dan sampai pada abd ke-13, mengaambil bungan dianggap perbuatan yang tidak adil (zalim /aniaya). Tetapi lambat laun disebabkan pegnaruh gereja yang menurun, maka pembenaran terhadap bunga segera menyebar (“Muhammad Sebagai Seorang Pedangang”, 1997:318, 355).
Para pendukung institusi bunga sibuk menyusun berbagai macam teori untuk mensahkan institusi bunga, anara lain teori kreditor sebagai penanggung risiko, teori peminjaman yang yang menghasilkan keuntungan, teori produktivitas modal, teori berkembangnya nilai barang di masa masa mendtang dalam kaitannya dengan masa sekarang. Semua teori itu telah dibahas, dianalisa satu demi satu secara cermat oleh Abul A’la al-Maududi. Kesimpnlah bahasannya bahsa tak satu pun teori tersebut yang memuaskan untuk dapat digunakan untuk mensahkan institusi bunga. Tak satu pun yang meyakinkan yang dapat menjustifikasi institusi bunga (Abul A’la al-Maududi : “Mudhar ar-Ribaa” (Kejahatan Riba/Interest).
Teori kapitalisme bukan lagi jalan memakmurkan bangs. Dibutuhkan formula lain. Jerman telah mencoba meakukan dengan ketat ajran kapitalisme, ternyata menghadapi masalah (KOMPAS, 13/12/97:17, “Kunikan Ekonomi Neara Industri”).
Ekonomi kapitalisme tengah menuju kehancurannya. Kehancuran ekonomi kapitalisme tidak bisa lagi dibendung (SUARA MUSLIM, Edisi 07/XI/2008M, hal 17, “Loneng Kematian Kapitalisme”). Menghadapi kondisi seperti ini ada yang mengusulkan agar menempuh “nasionalisme perusahan keuangan” (KORAN JAKARTA, Senin, 20 Oktober 2008, hal 4, “Solusi Atasi Krisis Finansiaol” oleh Imam Sugema dari IPB Bogor).
Kajian tentang kecederngan perekonomian masa kini menimbulkan kesangsian akan keberhasilan langkah-langkah yang telah disarankan oleh para pakar ekonomi klasik Barat. Orientasi bisnis yang semata-mata untuk mendapatkan keuntngan seca ekonomis, kini mulai bergulir bergerak beralih untuk juga mendpatkan keuntungan secara sosial. Dengan perubahan orientasi bisnis ini, maka orientasi terhadap bunga pun mlai bralih dari suku bunga tingi ke suku bunga rendh, bahkan cenderung akan menjurus ke suku bunga nol 9tanpa bunga). “para pakar ekonomi dan filsuf yang emelajari maalah-maalah bunga dengan pemikiran terbuka dengan jelas-jelas melihat keburukan-keburukan bunga yang meraakan bahwa harus dilakukan sesuatu terhadap bungan”. “Sir Josiah Cild, Sir Thomas Culpepper menyukai suku bunga rendah dan dengan keras menentang suku bungan yang tingi (menutuk riba). Mereka berpendapat bahwa dengan penurunan suku bungan yang resmi akan memungkinkan perdagangan dan kekuyaan suatu negara meningkat”. “Keynes menolak doktrin tentnag bungan seperti yang telah meluas di dunia modern dan meangkah demikian jauhnya, hingga menuntut adanya sanksi-sanksi hukum moral terhadapnya” (“Muhammad Sebagai Seorang Pedagang”, 1997:318, 355-356).
Hal ini berarti beralih dari institusi bunga ke sistim bagi utung. Para pakar ekonomi melihat kecenderungan perubahan fungsi lembaga keuangan (perbankan) yang semata-mata berperan hanya untuk memanfa’atkan, meningkatkan dan mengembangkan modal para pemegang sahamnya, akan beralih juga untuk berupaya meningkatkan, mengembangkan usaha-usaha yang kekurangan modal. Lembaga keuangan (perbankan) akan juga bertindak segai penyandang dana dan pemberi dana bagi usaha-usaha industry, jasa, dan lain-lain dengan sistim bagi untung. Secara ujud nyata, bank-ank syar’iyah telah merintis mempelopori tumbuhnya perbankan tanpa bungan, maksudnya dengan suku bugan nol, yaitu dengan sistim bagi untung. Bank Syar’iah berupaya mendanai usaha-usaha industry, jasa dan lain-lain dengan sistim bagi untung. Sekaligus usaha industry dan jasa tersebut dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Usaha industry yang sangat mendesak perlu dudanai segera aalah yang secara luas dibutuhkan orang, dan juga yang sangatg bayak menyrap tenaga kerja. Tegasnya lembaga kekuangan (perbakan) secara aktif merupakan lembaga untuk membuka sebanyka mungkin usaha untuk dapat menyerap tenaga kerja, sehingga angka pengnanggirann bisa turun sampai mendekati nol. Ini memerlukan penananan serius oleh negara 9Pemerintah). Arrtinya hampir tidak ada bank nanti yang seratus persen murni swasta. Neara (pemerintah) nanti haruslah punya saham terbesar pada setiapbank.
Dalam studi Keynes terhadap lapanga kerja dan institusi bunga (dalam “The General Theory of Employment, nterest And Money”) antara lain menghasilkan bahwa untuk kepentingan sosial dan kemaslahatan masyarakat umum (seperti untuk menjamin lapangan kerja penuh) diperlukan suku bungan yang jauh di bawah tingkat rata-rata yang sedang berlaku, bahkan diperlukan penghapusan suku bungan (dengan suku bgan nol). Drei kemshalahatan masyarakat umum, maka di masa yang akan datang masyarakat akan meninggalkan institusi bunga. Penghapusan bungan akan membuka kemunkinan-kemungkian usaha yang tida terbatas, sekaligus membuka lapangan kerja luas. Kebutuhan-kebutuhan ekonomi manusia pada akhirnya memaksa suku bungan turun hingga mencapai no. Suatu komunitas yang tidak menganut sistim bunga kan lebih cepat makmur dari pada komunitas yang menganut sistim bungan. Untuk ini dperlukan adanya institusi pengaasan negara yang berpengaruh pada kemaslahatan umum. Keynes denan sangat tegas mendukung intervensi neara untuk mengleiminasi depresi dan pengangguran ( “Muhammd Sebagai Seorang Pedagang”, 1997:318,358,360,362).
Baraaaaaaaaaangkali dalam kaitannya dengan Indonesia, secara khusus prlu menerapan pasal 33 ayat 2 UUD-45 tetang Kesejahteraan Ssial secara lebih luas. “Cabang-cabang prodksi yang penting bagi negara dan meguasai hajat hidup orang banyak dikuasai (???) oleh negra”. Apakah dalam hal ini termasuk lembaga perbankan, dan bagaimana interpretasi “dikuasai ???) apakah juga diintervensi, ditangani, dikelola ?
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS110913930)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar