Referensi solusi krisis serbaneka Sicunpas On_Line Koleksi informasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, moral
Jumat, 16 September 2011
Pesan kedaaaian Islam
catatan serbaneka asrir pasir
Pesan kedamaian/Keselamatan
Sudah sejak 15 abad yang lalu, Islam membawa seperangkat pesan agar hidup dalam suasana rukun, damai, aman tenteram, sentosa, sejahtera. Setiap yang sudah mendengarkan pesan Islam agar selanjtunya menyampaikan kepada yang masih belum mendengarkannya (ballighu ‘ani walau aayah). Antara lain memesankan agar yakin, peraya akan takdir, ketentuan, ketetapan Allah.
Setiap yang sudah ditetapkan Allah pasti terjadi (kun fa-yakun; la haula wa-a quwata illa billah). (Hanya saja yang ditetapkan Allah itu tak seorang pun yang tahu hakikatnya). Keyakinan, kepercayaan kepada takdir akan menumbuhkan sikap sabar, tawakkal, pasrah hanya kepada Allah semata. (Ustadz Amin Ramli dalam Kuliah Subuh Ramadhan 1432H di Masjid Jami’ AlMuhajirin, Komodo Bekasi pernah menyatakan bahwa takdir hanyalah pilihan). Iman dengan Qada dan Qadar dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Demikian diriwayatkan oleh Hakim dari Abu hurairah. (Qad madha ma madha, what will be will be, que sera sera).
Islam memesankan agar menggalang kerjasama, kesetiakawanan, solidaritas hanya alam hal-hal yang baik, bukan dalam hal-hal yang buruk, hal-hal yang menimbulkan kerusakan, perkelahian, keributan, bentrokan, pengeroyokan (ta’aruf, tafahum, tafakul, ta’awun ‘alal birri wat-taqwa, wa-la ta’awan bil-itsmi wal-‘udwan).
Wanti-wanti Islam telah memperingatkan agar hati-hati dalam ramai-ramai, kumpul-kumpul, obrol-orob, kongko-kongko, duduk-duduk, nongkrong-nongkrong di pinggir-pinggir jalan, di arung-warung kopi, di warung-warung rakyat, di dunia maya, dibalai-balai issue, gossip (Iyyakum wal-julus fith-thuruqhaat). Bila masih belum mampu meninggaalkan kebiasaan ngumpul-ngumpul, ngobrol amai-ramai di pinggir-pinggir jalan, maka hendaklah memperhatikan beberapa hal, antara alain ;
1. Menjaga, memelihara mata, agar tidak melihat, memandang yang haram, yang terlarang, yang tak berguna, yang tak berfaedah, yang makruh, yang dapat mendatangkan bahaya, yang dapat menimbulkan fitnah (ghadhdhul bashari ‘anil laghwi mu’ridhun, war-rujza fahjur).
2. Menjaga, memelihara ketertiban, keamanan, tidak menumbulkan gangguan, kerusakan (kafful aza). bahkan Islam tidak suka membiarkan adanya setusuk duri atau speech beling di jalaanan )tumithul aza ‘aith-thariq).
3. Mendo’akan keselamatan pula bagi yang telah lebih dahulu mendo’akan keselamatan (raddus salam).
4. Mendukung, mendorong seala kegiatan, aktivitas yang telah membawa kebaikan (al-amru bil-ma’ruf).
5. Melakukan tindakan preventif, tindakan penegahan terhadap tindak kriminalitas, tindak kejahatan (an-nahyu ‘anil-munkar, darul-maffasid muqaddam ‘ala jalabil-mashalih0. Tindak kejahatan harus dieleminir dengan berbagai upaya penegahan, antara lain melalui peraturan-praturan umum, penertiban saana informasi komunikasi (media cetak, media elektronika), pengawasan, peringatan, pendindakan, sanksi hukum (pengadilan) (tindaaaakan preventif didahulukan dari pada tinakan kuratif).
Islam juga memesankan agar setiap orang (baaik umum maupun petugas) agar hahati-hati membawa senjata (baik senjata tajam mapun senjata api) di tempat umum, supaya tidak sampai melukai seseorang pun (la yussyir ‘afaduhu ila ahlihi bisilah).
Islam menunutn manusia untuk memperbaki budi. Dimana pun dan kapan pun hendaklah menjadi manusia berbudi. Simaklah rincian ajaran budi Islam, antara lain alam buku :
- Imam Nawawi : “Riadhus Shalihin”, terjemahan H Salim Bahreish, terbitan Al-Ma’arif, Bandung, 1983.
- Mohammd Fadloli HS: “Keutamaan Budi Dalam Islam”, Ikhlas, Surabya, kopian Hadits “Riadhus Shalihin”.
- M Fadloli H Chusani : “Pendidikan Budi Luhur Menueurt Ajaran Islam”, terbitan al-Ikhlas, Surabaya, kopian Ayat “Riadhus Shilih”.
- Dr Muhammad Ali al-Hasyimi : “Menjadi Muslim Ideal” (The Ideal Muslim), terbitan MitraPustaka, Yogyakarta, 1999, syarahan “Riadhus Shalihin”
- Prof Dr Hamka : “Lembaga Budi”, Panjimas, Jakarta, 1983.
- Prof Dr Hamka : “Tasauf Modern”
(wriiten by sicumpaz@gmail.com at BKS1109130900)
Jihad mengnedalikan Hawa Nafsu
catatan serbaneka asrir pasir
Jihad Mengendalikan Hawa Nafsu
(Dengan Sikap Mental Ta’awun/Kesejahteraan Bersama)
Sistim bisnis kapitalis berusaha memenuhi kebutuhan “ nafsu yang pantang kekurangan dan hawa yang pantang kerendahan” (nafsu yang diatas pusar dan nafsu yang dibawah pusar), berusaha hanya untuk mendapatkan keuntungan (kepuasan diri sendiri) semata, dan sama sekali tak punya motivasi investasi untuk memberikan keuntungan (kepada masyarakat luas), untuk juga turut serta dalam mewujudkan kemakmuran masyarakat banyak. Ia aya terpaku untuk memenuhi keingnan ang tidak terbatas dan tidak pernah merasa puas. Sisitim kapitalis dibangun atas dasar kerakusan.
“Andaikata manusia (anak Adam) telah memiliki satu lembah emas, tentu ia ingin mempunyai dua lembah, dan tidak akan menutup mulutnya kecuali tanah. Dan Allah akan member tobat pada siapa yang tobat” (HR Bukhari, Muslim dari Anas bin Malik, juga dari Ibnu Abas dengan redaksi yang mirip).
“Sejarah umat manusia memberikan kesaksian terhadap fakta bahwa kebijaksanaan untuk mendapatkan keuntngan dan jarang bersesuaian dengan apa yang menguntungkan masyarakt” (Afzalurraman : “Mhammad Sebagai Seorang Pedagang”, 1997:195,351).
“Secara objektif, pembawaan dan dampak ekonomi pasar (ekonomi kapitalis) adalah pertumbuhan dan kemajuan besar, sekaligus juga kesenjangan (sosial ekonomi). Ekonomi pasar membawa ketamakan (avarie). Ketamakan (kerakusan) melekat pada pembawaan ekonomi pasar. Ketamakan dipandang (kapitalisme) sebagai kebajikan. Ekonomi pasar berorentasi kepada laba (profit), materi, pola konsumerisme (laissez faiere, laissez paser) (KOMPAS, 16/1/97:$, Tajuk Rencana). Prinsip ekonomi pasar, dengan modal, tenaga yang sedikit dapat menghasilkan untung yang besar.
(Abul A’la Al-Maududi tampaknya terkesan dengan konsep pasar bebas. “Pada prinsipnya Islam tidak menyetujui bahwa Pemerintah mengerjakan sendiri pekerjaan pedangan-pedagang. Fungsi pemerintah hanyalah memperbaiki keadaan negara, menegakkan keadilan, memasmi kemunkaran”. Simak “Dasar-daar Ekobnomi Islam”, terbitan Al-Ma’arif, Bandung, 1980:114-115. Bahkan Islam tidak mewajibka kepada Negara unuk meyediakan lapangan kerja bagi warganega”, idem 1980:112).
Berbeda dengan sistim bisnis kapitalis yang berorinetasi pada keuntungan (profit), maka sistim bisnis marhamah (Islami) yang diajarkan dn dicontohkan oleh Rasulullah saw adalah juga berorientasi pada kemakmuran (social walfare). Afzlurrahman dalam tilisannya “uhammad As A Trader” (Muhammad Sebagai Seorang Pedagang”, 1997:19) memaparkan bahwa Nabi Muhammad adala seorang pedagang yang berbedadengan kebanyakan pedangang lainnya. Beliau melakukan pekerjaan dagang ini sekedar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan, bukan untuk menjadi seorang jutawan (triliunan).
Dari sikap Rasulullah saw itu diperoleh pelajaran bahwa sistim bisnis marhamah (Islami) itu berusaha sekedar memenuhi kebutuhan hidup duniwi sesaat (hasanah fid dunya) agar tidak menjadi beban orang lain, dan tidak hidup meminta-minta. Islam tidak menyukai hidup tak bekerja, hidup jadi beban orang lain, hidup dengan meminta-minta.
“Jika seseorang itu pergi mencari kayu, lalu diangkut sekat kayu di atas punggung (untuk dijual di pasar), maka itu lebih bik baginya dari pada minta kepada seseorang baik diberi atau ditolak” (HR Bukhari, Muslim dari Abu Hurairah). Kegiatan bisnis dalam Islam mencakup usaha produksi (pengumpulan, pengadaan, pengolahan), distribusi (penangkutan, penaluran, pemasaran) dan usaha sosial (sadakah, infaq).
selebihnya adalah berusaha, berupaya dengan segenap tenaga, daya, dana untuk memenuhi kebutuhan hidup ukhrawi (hasanah fil akhirah), dengan melakukan amal shalaeh, amal sosial untuk kepentingan dan kemashalahatan umum (orang banyak). “Dan usahakanlah pada barang yang dianugerahkan Allah kepadamu akan kampung akiat, dan janganlah kamu lupapan bahagianmu nasibmu di dunia, dan berbuat keaikanlah sesama manusia sebagai Tuhan berbuat baik kepadamu, dan anganlah mencari-cari kerusakan di bumi” (QS 28:77).
Ksenjangan sosal ekonomi itu adalah alamiah, terkaait pada sunnatullah. ‘Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehndakinya, dan ada pula menyempitkannya. Mereka bersukaria dengan kehidupan di dunia. Padahal kehidupan di dunia itu diperbandingkan dengan akhirat tidak lain hanya suatu kesuakaan yang sebentar saja” (QS 13:26).
(Sayyid Wuthub memandang ahwa “Islam membenci kemiskinan. Islam menghaandaki agar manusia mempunyai waktu yang cukup untuk meningkatkan harkat-martabat sosial-ekonominya (QS 17:70)”. simak :”Keadlan Sosial dalam Islam”, terbitan Pustaka, Bandung. 199$;185-186)
Para pemodal, pemikih harta (Yang dilapangkan rezekinya) mememerlukan batuan, pertolongan para pekerja (yang rezekinya seret). “Tiadalah kamu mencapai kemenangan dan rezeki tapi semata-mata karena bantuan orang-orang rendah dan lemah” (HR Bukhari, Muslim dari Mushab bin Sa’ad in Abi Waqash).
Pemodal butuh akan pekerja untuk meningkatkan, mengembangkan modal/kekayaannya, serta untuk menjaga, memelihaa keamanan diri dan modal/kekayaannya. Untuk itu pemodal harus menediakan dana/investasi untuk upah/gaji dan biaya pendidikan tenaga krja, serta biaya/sewa tenaga pengaman/keamanan.
Kesenjangan sosial ekonomi bisa memicu kecemburuan sosal dan berlanjut mejadi gejolak, keresahan, kerusuhan sisal. Pekerja (yang reekinya seret) yang hidup kepeppet, tergencet, gampang sekali membuat onar, maker. “Hampir saja kefakiran menyeret orang orang ke kafiran”. Untuk mencegah timblnya hal ini (segai tindakan preventif), islam telah menyiapkan sejumlah peragkat penaman berpa kewajiban-kewajiban bagi pemodal, dan juga kewajiban-kewajiban bagi pekerja.
Agar modal/kekayaannya dapat brkembang dan terpelihara kemananannya, maka para pemilik modal harus memperhatikan kebutuhan yang wajar bagi tenaga kerja dan tenaga pengaman/keamanan. Lebih luas, agar modal juga memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat (orang banyak). Dengan kaata lain, juga berorientasi sosial di samping berorientasi ekonomi. “Kebijaksanaan nvestasi yang berorientasi anya untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis sudah seharusnya beralih pda orientasi yang juga untuk mendapatkan keuntungan secara sosil” “ Muhammad Sebagai Seorang Pedangang”, 1997:360). Baik pemodal dan pekerja sama-sama berkewajiban berskap, berlaku jujur, amanah, menep
AlQuran memberikan ketentuan untuk menyelmatkan manusia dari perselisihan internal dan perpecahan. Yang hanya dinasehatkan agar menafkankan harta mereka (secara cermat untuk diri mereka sendiri serti untuk orang-orang lain yang membutuhkan) dan tdak bersifat kikir. Sedangkan orang-orang miskin dianjurkan agar merasa puas dan tidak merasa iri terhadap orang-orang yang lebih kaya. Semua kelompok komunitas agar menjalankan kewajibannya dan merasa cukup dengan apa yang telah Allah karniaan (Afzalurrahman : “Muhammd ebagai Pedangan”, 1997:287).
Bagi yang tak beriman kepada Allah Tuhan YME dan tak beriman akan hari akhirat, maka dana sosail yang ia keluarkan dari kelebihan kebutuhannya untuk kepentingan umum, guna untuk menjagai, memelihara keamanan dirinya dan harta kekayaannya dari bencana gejolak, keresahan, kerusuhan sosial.
Sedangkan bagi yang beriman kepada Allah Tuhan YME dan juga berman akan hari akhirat, maka dana sosial yang ia keluarkan dari kelebihan kebutuhannya untuk kepentingan umum, untk keentingan masyarakat (orang banyak), dan seluruh harta kekayaannya dan dirinya darinya akan berguna untk menjaga dan memelihara kemanan dirinya dari siksaan neraka kelak. ‘Sesungguhnya Allah telah membeli dari para Mukmin jiwa-jiwa mereka dan harta-harta mereka (sebgai balasan) bagi mereka itu aalah sorga al-jannah” (QS 9:111).
Untuk meningkatkan bunga), mengembangan modal/kekayan tersedia dua lembaga . Pertama lembaga niaa (dagang), dan kedua lembaga riba (intstitusi bunga). Institusi bunga dengan tegas ditentang oleh Plato, Aristoteles, Cicero, Seneca dan filsuluf lain. Aristoteles mengemukakan bahwa uang itu mandl, tidak bisa melhairkan uang. nstitusi bunga juga sanagt dicela oleh para pembuat hukum di Roma, para filsufuf Hindu, Orang-orang Yahudi (Keluaran 22:25) serta pendeta-pendeta Keristen. Larangan para rohaniawan terhadap bunan branjut hingga akhir abad pertengahan, dan sampai pada abd ke-13, mengaambil bungan dianggap perbuatan yang tidak adil (zalim /aniaya). Tetapi lambat laun disebabkan pegnaruh gereja yang menurun, maka pembenaran terhadap bunga segera menyebar (“Muhammad Sebagai Seorang Pedangang”, 1997:318, 355).
Para pendukung institusi bunga sibuk menyusun berbagai macam teori untuk mensahkan institusi bunga, anara lain teori kreditor sebagai penanggung risiko, teori peminjaman yang yang menghasilkan keuntungan, teori produktivitas modal, teori berkembangnya nilai barang di masa masa mendtang dalam kaitannya dengan masa sekarang. Semua teori itu telah dibahas, dianalisa satu demi satu secara cermat oleh Abul A’la al-Maududi. Kesimpnlah bahasannya bahsa tak satu pun teori tersebut yang memuaskan untuk dapat digunakan untuk mensahkan institusi bunga. Tak satu pun yang meyakinkan yang dapat menjustifikasi institusi bunga (Abul A’la al-Maududi : “Mudhar ar-Ribaa” (Kejahatan Riba/Interest).
Teori kapitalisme bukan lagi jalan memakmurkan bangs. Dibutuhkan formula lain. Jerman telah mencoba meakukan dengan ketat ajran kapitalisme, ternyata menghadapi masalah (KOMPAS, 13/12/97:17, “Kunikan Ekonomi Neara Industri”).
Ekonomi kapitalisme tengah menuju kehancurannya. Kehancuran ekonomi kapitalisme tidak bisa lagi dibendung (SUARA MUSLIM, Edisi 07/XI/2008M, hal 17, “Loneng Kematian Kapitalisme”). Menghadapi kondisi seperti ini ada yang mengusulkan agar menempuh “nasionalisme perusahan keuangan” (KORAN JAKARTA, Senin, 20 Oktober 2008, hal 4, “Solusi Atasi Krisis Finansiaol” oleh Imam Sugema dari IPB Bogor).
Kajian tentang kecederngan perekonomian masa kini menimbulkan kesangsian akan keberhasilan langkah-langkah yang telah disarankan oleh para pakar ekonomi klasik Barat. Orientasi bisnis yang semata-mata untuk mendapatkan keuntngan seca ekonomis, kini mulai bergulir bergerak beralih untuk juga mendpatkan keuntungan secara sosial. Dengan perubahan orientasi bisnis ini, maka orientasi terhadap bunga pun mlai bralih dari suku bunga tingi ke suku bunga rendh, bahkan cenderung akan menjurus ke suku bunga nol 9tanpa bunga). “para pakar ekonomi dan filsuf yang emelajari maalah-maalah bunga dengan pemikiran terbuka dengan jelas-jelas melihat keburukan-keburukan bunga yang meraakan bahwa harus dilakukan sesuatu terhadap bungan”. “Sir Josiah Cild, Sir Thomas Culpepper menyukai suku bunga rendah dan dengan keras menentang suku bungan yang tingi (menutuk riba). Mereka berpendapat bahwa dengan penurunan suku bungan yang resmi akan memungkinkan perdagangan dan kekuyaan suatu negara meningkat”. “Keynes menolak doktrin tentnag bungan seperti yang telah meluas di dunia modern dan meangkah demikian jauhnya, hingga menuntut adanya sanksi-sanksi hukum moral terhadapnya” (“Muhammad Sebagai Seorang Pedagang”, 1997:318, 355-356).
Hal ini berarti beralih dari institusi bunga ke sistim bagi utung. Para pakar ekonomi melihat kecenderungan perubahan fungsi lembaga keuangan (perbankan) yang semata-mata berperan hanya untuk memanfa’atkan, meningkatkan dan mengembangkan modal para pemegang sahamnya, akan beralih juga untuk berupaya meningkatkan, mengembangkan usaha-usaha yang kekurangan modal. Lembaga keuangan (perbankan) akan juga bertindak segai penyandang dana dan pemberi dana bagi usaha-usaha industry, jasa, dan lain-lain dengan sistim bagi untung. Secara ujud nyata, bank-ank syar’iyah telah merintis mempelopori tumbuhnya perbankan tanpa bungan, maksudnya dengan suku bugan nol, yaitu dengan sistim bagi untung. Bank Syar’iah berupaya mendanai usaha-usaha industry, jasa dan lain-lain dengan sistim bagi untung. Sekaligus usaha industry dan jasa tersebut dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Usaha industry yang sangat mendesak perlu dudanai segera aalah yang secara luas dibutuhkan orang, dan juga yang sangatg bayak menyrap tenaga kerja. Tegasnya lembaga kekuangan (perbakan) secara aktif merupakan lembaga untuk membuka sebanyka mungkin usaha untuk dapat menyerap tenaga kerja, sehingga angka pengnanggirann bisa turun sampai mendekati nol. Ini memerlukan penananan serius oleh negara 9Pemerintah). Arrtinya hampir tidak ada bank nanti yang seratus persen murni swasta. Neara (pemerintah) nanti haruslah punya saham terbesar pada setiapbank.
Dalam studi Keynes terhadap lapanga kerja dan institusi bunga (dalam “The General Theory of Employment, nterest And Money”) antara lain menghasilkan bahwa untuk kepentingan sosial dan kemaslahatan masyarakat umum (seperti untuk menjamin lapangan kerja penuh) diperlukan suku bungan yang jauh di bawah tingkat rata-rata yang sedang berlaku, bahkan diperlukan penghapusan suku bungan (dengan suku bgan nol). Drei kemshalahatan masyarakat umum, maka di masa yang akan datang masyarakat akan meninggalkan institusi bunga. Penghapusan bungan akan membuka kemunkinan-kemungkian usaha yang tida terbatas, sekaligus membuka lapangan kerja luas. Kebutuhan-kebutuhan ekonomi manusia pada akhirnya memaksa suku bungan turun hingga mencapai no. Suatu komunitas yang tidak menganut sistim bunga kan lebih cepat makmur dari pada komunitas yang menganut sistim bungan. Untuk ini dperlukan adanya institusi pengaasan negara yang berpengaruh pada kemaslahatan umum. Keynes denan sangat tegas mendukung intervensi neara untuk mengleiminasi depresi dan pengangguran ( “Muhammd Sebagai Seorang Pedagang”, 1997:318,358,360,362).
Baraaaaaaaaaangkali dalam kaitannya dengan Indonesia, secara khusus prlu menerapan pasal 33 ayat 2 UUD-45 tetang Kesejahteraan Ssial secara lebih luas. “Cabang-cabang prodksi yang penting bagi negara dan meguasai hajat hidup orang banyak dikuasai (???) oleh negra”. Apakah dalam hal ini termasuk lembaga perbankan, dan bagaimana interpretasi “dikuasai ???) apakah juga diintervensi, ditangani, dikelola ?
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS110913930)
Berbuatbaiklah sebisanya
Berbuat baiklah sebisanya
Setuju atau tidak, mereka telah berbuat, telah menghasilkan sesuatu. Berbuat baiklah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. “Berbuatlah sepenuh kemampuanmu” (QS 6:135, 11:93, 39:39). “Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” (QS 9:105). Jangan pedulikan kritikan, kecaman, bahkan cacian, makian sekalipun.
Berjuanglah sekuat tenaga mempertahankan iman dan islam yang dimiliki agar supaya jangan terlepas dari diri. Ada pihak-pihak yang senantiasa berupaya mengerogoti iman dan islam yang dimiliki itu. “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman” (QS 2:109). “Mereka kaum musyrik) tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamu kepada kekafiran” (QS 2:217). “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (QS 2:129). “Khannas yang terdiri dari golongan jin dan manusia gemar membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia” (simak QS 114:4-6). “Ada masanya Orang yang berpegang pada sunnahku - kata Rasulullah - di kala terdapat perbedaan di antara umatku (umat Islam) bagaikan menggenggam bara api” (HR Hakim, Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud ra).
Mohon perlindunganlah kepada Allah dari bahaya isu yang disebarkan, ditiupkan, dihembuskan oleh khannas tersebut. Dan bertawakkallah kepada Allah, semoga Allah memperkokoh iman dan islam itu di dalam diri, dan semoga dapat hidup dalam suasana aman, tenteram, damai, sejahtera, adil, mamur. “Dia (Allah)lah yang telah menurunkan ketenteraman ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah” (QS 48:4). “--- lalu (Allah) menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya” (QS 48:18).
Berbuat baiklah secara ikhlash. Ikhlash berarti tidak syirik, tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain. Ikhlas juga berarti tidak ria, tidak pamer terhadap manusia.
Berupayalah agar seantiasa mengingat Allah, mensyukuri pemberian Allah, mematuhi perintah Allah. Mohon pertolonganlah kepada Allah agar memilik kemampuan mengingat Allah, mensyukuri pemberian Allah, mematuhi perintah Allah. Mudah-mudahan Allah mengabulkan permohonan.
(BKS0806271300)
posted by Kami Menggugat at 8:55 PM
Menggugat Kemerdekaan
catatan serbaneka arir pasir
catatan kesatu
Menggugat kemerdekaan
Pada masa penjajahan, masa kolonial, manusia terkungkung, terkurung oleh penindasan, penyiksaan, penderitaan, kerja paksa, iyurana paksa, budaya diam. Perjuangan, pergolakan, pemberontakan berupaya melepaskan, membebaskan diri dari semua kungkungan, belenggu tersebut.
Pada masa kemerdekaan, seharusnya (das Sollen) semua manusia bebas dari penindasan, bebas dari penyiksaan, bebas dari penderitaan, bebas dari kerja paksa, bebas dari iyuran paksa, bebas dari budaya diam.
Namun kenyataannya, realitasnya (das Sein) hanya segelintir manusia yang mengecap, mengenyam, menikmati kemerdekaan. Selebihnya tetap saja terkungkung, terkurung oleh penindasan, penyiksaan, penderitaan, kerja paksa, iyuran paksa, budaya diam.
Atas nama keindahan kota, para pedagang kaki lima di seluruh pelosok nusantara digusur, diuer. Dagangannya diobrak-abrik. Mereka ditindas, disiksa, dipaksa menderita. Padahal prioritas tugas penguasa, pemerintah seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar adalah melindungi segenap rakyat, memajukan kesejahteraan rakyat, mencerdaskan rakyat, bukannya malah menyengsarakan, memelaratkan rakyat. Yang melarat, yang terlantar menurut UUD menjadi tanggunan, jaminan Negara untuk memeliharanya, menghidupinya.
Atas nama hukum (sesuai dengan prosedur) seseorang bisa saja dicurigai, dituduh, ditangkap, disidik, disidangkan, diadili, dipenjarakan. Padahal seharusnya “tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan tanpa prosedur yang sah”, “tiada seorangpun boleh disiksa diperlakukan semena-mena”.
Hanya segelintir orang yang bebas mendpatkan pendidikan yang layak. Selebihnya hanya dapat mendapatkan pendidikan asal-asalan, ala kadarnya. Dan hanya segelintir orang yang bebas mendapatkan pekerjaan yang layak. Selebihnya hanya apat mendapatkan pekerjaan asal-asalan, ala kadarnya, bahkan banya yang jadi penganggur.
Pada masa penjajahan diperbudak oleh penjajah colonial. Kini di masa kemerdekaan diperbudak oleh para investor. Diperbudak oleh imperialisme modern. ‘Jadi buruh di tanah sendiri atas permintaan sendiri”. “Jadi kuli modern”. Investasi asing adalah bentuk imperialisme modern. Semuanya atas keinginan dan permintaan pemimpin Negara yang “dijajah” itu sendiri, yang atas persetujuan rakyat (Simak Bustanuddin Agus : “Imperialisme Modern”, dalam REPUBLIKA, Kamis, 9 Nopember 2006, hal 4, Opini).
Kemerdekaan politik, dalam arti sesungguhnya pun tak diperoleh. Semuanya dikendalikan atas persetujuan Negara adikuasa. Bahkan PBB sendiri pun tak berdaya atas Negara adidaya. Perhatikanlah perlakuan Negara adikuasa terhadap Afghanistan dan Irak. Semua mereka lalukan atas nama demokrasi. Kemenangan FIS di Aljazair, Hammas di Palestina, Taliban di Afghanistan dilibas, dilindas oleh demokrasi adikuasa. Padahal kemenangan mereka itu diperoleh secara demokratis melalui pemilu, tapi karena tak sesuai dengan selera demokrasi adikuasa maka dengan berbagai alasan dilenyapkan, dimusnahkan. Dalam demokrasi, menurut Muhammad Iqbal, manusia hanya dihitung jumlahnya, bukan dinilai mutunya (Simak “Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam”, 1983:23).
Dalam masa kemerdekaan kini yang tampak kasatmata hanayalah bebas pamer dada, bebas pamer pusar, bebas pamer paha, bebas unjuk rasa, bebas menggusur, bebas bergaul tanpa batas, bebass dari tatakrama, bebas dari sopan santun, bebas jingkrak-jingkrak, bebas melanggar tatatertib, bebas hura-hura.
Bebas mengemukakan pendapat secara lisan dan tulisan, tidaklah sama dengan bebas demonstrasi, bebas unjuk rasa, bebas unujuk gigi, bebas unjuk kuasa. Bebas adu akal, adu otak, bukan bebas adu okol, adu otot.
Dalam arti sesungguhnya, Indonesia masih terjajah oleh imperialisme modern, baik dalam polistik, militer, hokum, ekonomi, industri, social, budaya. Terjajah oleh hak veto negara adikuasa. Terjajah oleh system protokoler yang dibikin sendiri.
Semua aparat, dari atas sampai ke bawah harus menyadari fungsi tugasnya untuk melindungi rakyat, untuk mencerdaskan rakyat, untuk mensejahterakan rakyat, bukannya untuk menyengsarakan rakyat. Menyadari tugasnya sebagai pelayan masyarakat, bukan untuk dilayanai masyarakat.
Semua tokoh, pemimpin, kiai, ajengan, ulama, mubaligh, da’I, ustadz, mulai dari diri sendiri (ibda bi nafsik) menuntun, membimbing, mengajak, menggerakkan masyarakat untuk proaktif menciptakan kesejahteraan bersama dengan mendayagunakan infak fi sabilillah. “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapa, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, dn tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya” (QS 4:36). Dengan mengamalkan suruhan ayat ini, insya Allah akan terwujud Negara Sejahtera Adil Makmur. Gemah ripah loh jinawi. Tata tentrem kerta reharja.
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS0707280645)
catatan kedua
Sudah merdeka, ataukah tetap terjajah ?
Seluruh Negara bekas jajahan Barat secara politik sudah merdeka. Namun secara sistemik tetap terjajah. Semua sistemnya mengadopsi Barat. System politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, militer, teknologinya mengadopsi Barat. Perlakauan penguasanya terhadap lawan politiknya sama saja dengan yang dilakukan oleh penjajahnya pada masa lalu. Sistim protokoler yang sama sekali anti demokrasi diadopsi dari Barat. Seluruh Negara Barat/Amerika/Australia pada hakikatnya adalah anti demokrasi, ras diskriminasi. Simak Perjanjian Lama : Ulangan 23:19-20. Simak pula tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Bush dengan pendukungnya terhadap Afghanistan, Irak, juga yang dilakukan oleh pemerintah Israel dengan pendukungnya terhadap libanon/Palestina aalah tindakan anti demokrasi, biadab, barbar. Menyelesaikan perselisihan, persengketaan, bukan secara beradab dengan perundingan, tetapi dengan kekuatan senjata.
Sistim hukumnya mengadopsi Barat. Pelaksanaan hukumnya dibawah intervensi asing. Sistem rente/bunga mengadopsi Barat. Nilai mata uang dikendalikan Barat. Tak ada yang berupaya membaca, membahas, mengupas, menganalisa teori kemakmuran dari Adam Smith, Karl Marx, Maynard Keynes, Forbes Harrod, juga teori pendidikan (pencerdasan bangsa) oleh Condorcet.
Sistim sosial, budayanya mengadposi Barat. Cara makan, cara berpakaian, cara bergaul, cara berkesenian mengadposi Barat tanpa kritik. Mabuk-mabukan, jingkrak-jingkrakan dipandang sebagai indikasi kemajuan. Juga pergaulan bebas tanpa batas, pamer ketek, tetek, pusar, paha, gonta ganti pasangan dipandang sebagai identitas kemerdekaan. Simak pula suasana kawin kontrak yang marak di puncak.
Sistim militer, teknologinya mengadopsi Barat. Upacara militer, upacara bendera, hormat bendera diadopsi dari Brat secara utuh tanpa kritik. Sistim militer Barat sama sekali adalah pendidikan anti demokrasi. Siap melakasanakan perintah atasan apapun juga tanpa bantahan. Teknologi yang hanya memperkaya pemodal konglomerat yang diadopsi. Sistim pengiklanan diadopsi dari Barat. Sistim industri yang padat modal, yang berorientasi mekanisasi dan otomatisasi, yang memperbesar angka pengangguran diadopsi dari Barat. Semuanya bukan untuk kesejahteraan, kemakmuran rakyat banyak, tapi untuk kemakmuran konglomerat.
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS0608130630)
catatan ketiga
Indonesia belum siap merdeka ?
Sejak awal dipersoalkan apakah Indonesia sudah siap untuk merdeka ? Ada yang memandang ahwa kemerdekaan baru bisa terwujud kalau sesuatu yang hal yang kecil-kecil, yang jelimet, yang zwaarmichtig sudah siap semua. ni sudah selesai leih dahulu, itu sudah selesai sampai jelimet barulah bisa merdeka. Namun Sukarno memandang bahwa yang perlu hanyalah keberanin, berani untk merdeka, merdeka secara politis (political independence, politiek ofhanhelighheid,
Itu dalam teroritisnya (Das Sollen). Tetapi dalam prakteknya (Das Seun) secara sosial-ekonomi, Indonesia masah saja belum merdeka. Sudah silih berganti presiden, dari Sukarno, Suharto, GusDur, Megawati, sampai Susilo, namun bangsa ini tetap saja belum cerdas, belum sejahtera, belum makmur, belum terwujud Kesejahteraaan Sosial seperti yang diamanantkan oleh UUD-45. UUD-45 hanya bermanfaat bagi kekuasaan presiden (presidensial cabinet). Bahkan hasil pemilu pun ditentukan dibawah bayang-bayang kendali Amerika Serikat dan sekutunya. Bilamana hasil pemilu tak sesuai dengan selera demokrasi Amerika Serikat dan sekutunya, maka hasil pemilu bisa saja dianulir. Simalah pembatalan hasil pemilu oleh ulah Amerika Serikat dan sekutunya karena tak mengikuti keinginan mereka.
(written by Sicumpas@gmail.com at BKS1109060700)
Kembali kepada Quran dan Sunnah
Kamis, 24 Februari 2011
Kembali kepada Qur:an dan Sunnah
Segala masalah dikembalikan (dicarikan) pemecahannya, penyelesaiannya kepada Qur:an. Jika tidak ditemukan dalam Qur:an, cari dalam Sunnah nabi. Jika tidak ditemukan dalam Sunnah Nabi, carikan dalam Atsar sahabat. Jika tidak ditemukan dalam Atsar sahabat, carikan dalam fatwa lama salaf, ulama mutaqaddimin.
Penjelasannya carikan dalam Sunnah Nabi. Jika tidak ditemkan dalam Sunnah nabi, carikan dalam Atsar sahabat. Jika tidak ditemukan dalam Atsar sahabat, carikan dlam Ijtihad Tabi’in. Jika tidak ditemkan dalam Ijtihad Taabi’in, carikan dalam fatwa ulama salaf. Jika masih saja tidak diteukan, berijtihadlah dengan sungguh-sungguh dengan penuh tanggungjawab (Hamka : “Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia”, hal 12; “Tafsir AlAzhar”, juzuk XXVIII, hal 132-135; PANJI MASYARAKAT, No.187, 15 Nopember 1975, hal 5-6, Dari Hati Ke Hati :’Masalah Khilafiyah’).
Mengenai Sunnah Nabi disebutkan ada yang bersifat tasyri’ (Yang disyari’atkan) dan ada pula yang bersifat ghairu tasyri’ (Yang tak disyari’atkan). Sunnah yang tasyri’ bersifat permanen, tak dapat diuah, dimodifikasi. Sunnah yang ghairu tasyri’ bersifat kondisional, dapat disesuaikan, dimodifikasi, diakomodasi sesuai dengan suasan, situasi, kondisi. (Drs Muhammad Azhar : “Makna Kembali Kepada Qur:an dan Sunnah”, AMANAH, No.192, 15-28 Nopember 1993, hal 58-59).
Periksalah sesuatu (halal atau haram, bak atau buruk) dari Kitab, Sunnah, Ijmak Shahabat, Ijmak Tabi’in, zhani, rakyu, hatinurani/sanubari, akal sehat.
Seorang ahli Ilmu harus berusaha semaksmal mungkin, dengan dilandasi niat yang ikhlas karena Allah dan memohon pertolongan kepadaNya, dalam menelusuri nash maupun ber-istimbath (Moh Tolchah Mansour : “Warisan Sang Imam”, PESANTREN, No.2/Vol.II/1985, hal 75, Tijauan Buku arRsalah Imam Syafi’i).
Adalah keharusan moral bagi si pnuntut ilmu untuk mengerahkan segenap tenagaanya guna mengembangkan ilmunya, bersabar terhaap setiap tantangan yang dijumpainya, serta meluruskan niat hanya karena Allah dalam memahami ilmu dan petunjukNya, dan tak lupa memohon pertolongan kepada Allah (Ahmadie Thaha :”Tarjamah arRisalah Imam yafi’I”, hal 19).
Arti ijtihad yang sebenarnya ilah mencurahkan segala kemampuan untuk mencari kejelasan tentang suatu kebenaran. Dan apabila timbul suatu kesalahan yang tidak disengaja dalam usahanya maka ia tetap akan memperoleh pahala (Muhammad alBaqir : “Tarjamah alKhilafah wal Mulk Abul A’la almaududi, hal 184).
Amr bin Ash ketika disuruh Rasulllah memutuskan suatu perkara (prsalan) bertanya kepada Raslullah. Aaakah aku akan berijtihad, sedang tuan masih ada pula ? Rasulullah menjawab : ya. Alau engkau benar (dalam ijthad), maka bagimu dua ahala. An alau kamu salah, maka bagianmu satu pahala (“Taramah Lukluk wal marjan”, jilid II, hal 640, hadis 1118; HA Azis Masyhuri : “Tarjamah Khulasha Tarikh Tasyri’ Islam Prof Abdul Wahhab Khallaf, hal 12).
Muadz bn Jabal ketika diutus Rasulullah menjadi qadhi negara (Hakim) Yaman, ditanya oleh Raslullah : Bagaimana cara kamu menentkan suatu hukum, alau kamu dihadapkan kepada suatu persoalan (yang memerlukan keputusan) sedang kamu tidak mendapatkan ketentuan hukmnya dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah ? Mu’adz menjawab : Aku akan berijtihad denga akal fikiranku. Maka Nabi mengakui jawabannya itu (HA Aziz Masyhuri : “Tarjamah Khulashah Tarikh Tasyr’ Islam” Prof Abdul Wahhab Khallaf, hal 12; ALMUSLIMUN, No.190, Janaari 1986, hal 9, Gayng Bersambut?Nadwah Mudzakarah, hal 136 dengan catatan : Hadits Mu’adz tersebut majhul dan tidak dapat dipahami ?)
Maka wajib atasmu memegang teguh Sunnahku (cara-cara yang telah aku lakkan) dan perjalanan (sunnah) Khulafaurrasyidin yang dberi petunjk (oleh Tuhan). Dan berpeganglah kepada sunnah-sunnah itu dengan kuat dan jauhlah olehmu nsur-unsur yang diada-adakan (bid’ah) maka sesngguhnya segala bid’ah itu sesat HR Abu Daud, Tirmidzi dari Abi Najih al’Ibahah bin Sariyah; Aminah Dahlan : “Tarjamah Hadts alArba’in anNawawiyah”, hal 42, hadis 28; H Salim Bahreisy : “Tarjamah Riadhus Shalihin Imam Nawawi”, jilid I, hal 169, hadis 2). Untuk menghindari polemik tentang bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah, barangkali bisa dipahami bahwa “pada umumnya bid’ah itu mejurus kepada kesesatan”.
Sebaik-baik generasi adalah pada abdku, kemudian abad yang dibelakangku, kemudian yang berikutna. (HR Bukhari, Muslim dari Imran bin alHushaim; H Salim Bahreish : “Tarjamah Riadhus Shalihin Imam Nawai”, jilid I, hal 429, hadis 19; “Tarjamah Lukluk wal Marjan” Muhammad Fuad Abdul Baqi, jilid II, hal 979, hadis 1649).
(written by sicumpaz@gmail.con in sicumpas.wordpress.com as Asrir at BKS1102250900)
Kembali Kepada Qur:an dan Sunnah
Bagaimana wujudnya ? Apakah dengan meninggalkan seluruh hasil ijtihad, koleksi fiqih orang-orang masa lalu, menyeleksi seluruh hadits, menghimpun seluruh hadits yang benar-benar sahih, yang tak ada cacatnya, yang tak diperselisihkan kesahihannya, menyusun koleksi fiqih yang semata-mata hanya mengacu, “ar-ruju’ ila al-Qur:an wa Sunnah” ? Namun tak seorang pun orang-orang masa kini, baik perorangan maupun kelembagaan yang telah berhasil menyusun “Kitab Hadits Sahih Lengkap” dan “Kitab Fiqih Lengkap”.
Apakah dengan demikian juga harus menggugat, meragukan otoritas, kredibilitas hasil ijtihad, koleksis fiqih orang-orang masa lalu dengan alsan tak seorang pun yang luput dari kesalahan ? Kebenaran mutlak hanya punya Allah. Pada manusia hanya kebenaran relative. Tak ada manusia yang bebas dari kesalahan. Guru, Ustadz, Da:’i, Muballigh, kiyai, Ajengan, Ulama, bahkan Nabi dan Rasul sekalipun tak ada yang ma’shum, yang bebas dari kesalahan. Bahkan sampai paa pendirian, bahwa Nabi Muhammad saw tidak berhak untuk menjelaskan tentang ajaran al-Qur:an (salah satu ajaran Inkarus Sunnah). Semuanya bias dikecam, dikritisi, dikoreksi, digugat. Dengan mengaci pendirian semacam ini, maka disusunlah gugatan halus terhadap kema’shuman, kemutlakn kebenaran Muhammad saw, gugatan halus terhadap sabda Rasulullah saw tentang “Fadhilah Para Sahabat, kemudian Tabi’in, Tabi’it Tabi’in”, antara lain seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam ‘AlJami’ush Shahih”nya, pada Kitab “Asy-Syahadat” (Simaklah antara lain pendirian Pemred SUARA MUHAMMADIYAH, Abdul Munir Mulkhan : “Etika Welas Asih dan Reformasi Sosial Budaya Kiai Ahmad Dahlan”, Bentara KOMPAs, Sabtu, 1 Oktober 2005, hal 44).
Orang-orang masa lalu dipandang :
- Ada yang mengambil hadits yang tidak disepakati (kesahihannya) oleh semua pihak sebagai dalil.
- Ada yang mengambil hadits lemah (dha’if) baik qauli (perkataan) dan atau fi’li (perbuatan Nabi saw sebagai dalil.
- Ada yang tidak mengambil hadits lemah (dha’if), tetap mengambil fi’li (perbuatan) sahabat sebagai dalil.
- Ada yang tdaik mengambil hadits lemah (dha’if), dan tidak mengambil fi’li (perbuatan) sahabat, tetap mencari-cari di luar itu sebagai dalil.
Apakah dengan demikian juga harus meninggalkan, membuang qauli (perkataan) dan fi’li (perbuatan) sahabat, baik berupa ijma’ fi’li, maupun ijma’ sukuti, karena derajat-martabatnya hanya dipandang sampai mauquf.
Apakah maksud wasiat Rasulullah : “Maka berpeganglah kamu dengan sunnati (perjalananku) dan sunnat al-khulafa ar-rasyidin al-mahdiyin (perjalanan khalifah-khalifah yang cendekia, yang mendapat hidayah). Gigitlah kuat-kuat dengan gigi-gerahammu (berpeganglah kuat-kuat padanya)” (dalam HR Abu Daud, Tirmidzi, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Perintah rajin menjalankan sunnah dan tata-tertibnya”).
Pada akhir Juni 2008 di kota Bandung tersebar fotokopian 12 halaman, yang pada halaman awal terbaca “Naskah Musyawarah MAJLIS TARJIH SE-WILAYAH JAWA BARAT Dari Tgl : 22 s/d 23/9-’73 / 25 s/d 26 Sya’ban 1393 Bandung, Dikeluarkan oleh Pimpinan Muhammadiyah Majlis Tarjih Jawa Barat”. Namun pada halaman akhir tak tercantum nama dan tandatangan dari Majlis Tarjih Muhammadiyah Jawa Barat. Di antara yang dputuskan oleh Majlis adalah bahwa hadits-hadits yang menerangkan , bahwa Rasulullah mengerjakan atau mengatakan “tujuh kali bertakbir pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua dalam shalat ‘aidain”, kesemanya tak ada yang shahih seperti dinyatakan dalam “Subulus Salam” Shan’ani, “Bidayah Mutahid” Ibnu Rusydi, “Syarah Sunan Baihaqi”. Majlis sendiri pun tak menyajikan hadits shahih yang merangkan bawa pada shalat ‘aidain, Rasulullah hanya bertakbir satu kali baik pada raka’at pertama maupun pada raka’at kedua. Bahkan keempat Imam Mujtahid pun tak ada yang pada shalat ‘aidain hanya bertakbir satu kali baik pada raka’at pertama maupun pada raka’at kedua seperti yang diterangkan oleh Ibnu Rusydi dalam “Bidayah Mujtahid”.
Pertanyaan : Dalam masalah agama, apakah seluruh amal ibadah orang-orang dahulu harus direvisi, dikaji ulang kembali, ataukah hanya cukup memilih saja di antara yang sudah dibahas oleh orang-orang dahulu itu ?
Abdul Qadir Audah, ulama ahli hukum Islam tamatan Sorbon University Perancis dalam pengantar bukunya “At-Tasyri’ al-Jina:i al-Islamy” menulis : “Suatu pendirian/pemikiran lama yang kokoh, lebih baik dari pandangan modern tapi selalu berubah-ubah”. Dalam pandangan agama, lebih baik bersifat konservatif (ittiba’) (Majalah TABLIGH, Vol.03/No.02/September 2004, hal 43, “Kmbalilah Kepada alQur:an dan Sunnah”, oleh Drs H Zafrullah Salim, MH).
Pada akhir Juni 2008 di kota Bandung tersebar fotokopian 12 halaman, yang pada halaman awal terbaca “Naskah Musyawarah MAJLIS TARJIH SE-WILAYAH JAWA BARAT Dari Tgl : 22 s/d 23/9-’73 / 25 s/d 26 Sya’ban 1393 Bandung, Dikeluarkan oleh Pimpinan Muhammadiyah Majlis Tarjih Jawa Barat”. Namun pada halaman akhir tak tercantum nama dan tandatangan dari Majlis Tarjih Muhammadiyah Jawa Barat. Di antara yang dputuskan oleh Majlis adalah bahwa hadits-hadits yang menerangkan , bahwa Rasulullah mengerjakan atau mengatakan “tujuh kali bertakbir pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua dalam shalat ‘aidain”, kesemanya tak ada yang shahih seperti dinyatakan dalam “Subulus Salam” Shan’ani, “Bidayah Mutahid” Ibnu Rusydi, “Syarah Sunan Baihaqi”. Majlis sendiri pun tak menyajikan hadits shahih yang merangkan bawa pada shalat ‘aidain, Rasulullah hanya bertakbir satu kali baik pada raka’at pertama maupun pada raka’at kedua. Bahkan keempat Imam Mujtahid pun tak ada yang pada shalat ‘aidain hanya bertakbir satu kali baik pada raka’at pertama maupun pada raka’at kedua seperti yang diterangkan oleh Ibnu Rusydi dalam “Bidayah Mujtahid”.
(BKS0810211100)
Pertanyaan : Dalam masalah agama, apakah seluruh amal ibadah orang-orang dahulu harus direvisi, dikaji ulang kembali, ataukah hanya cukup memilih saja di antara yang sudah dibahas oleh orang-orang dahulu itu ?
Abdul Qadir Audah, ulama ahli hukum Islam tamatan Sorbon University Perancis dalam pengantar bukunya “At-Tasyri’ al-Jina:i al-Islamy” menulis : “Suatu pendirian/pemikiran lama yang kokoh, lebih baik dari pandangan modern tapi selalu berubah-ubah”. Dalam pandangan agama, lebih baik bersifat konservatif (ittiba’) (Majalah TABLIGH, Vol.03/No.02/September 2004, hal 43, “Kembalilah Kepada alQur:an dan Sunnah”, oleh Drs H Zafrullah Salim, MH).
catatan serbaneka asrir pasir
Takbir Tujuh-Lima pada Shalat ‘Idain
Pimpinan Muhammadiyah Majlis Tarjih Wilayah Jawa Barat telah mengeluarkan “Naskah Musyawarah Majlis Tarjih Se-Wilayah jawa Barat Dari Tgl : 22 s/d 23/9-’73 25 s/d 25 Sya’an 1393 Bandung”.
Hal-hal yang dimusyawarahkan :
1. Takbir tujuh-lima pada Shalat ‘Idain.
2. Gugurnya/tidak gugurnya wajib shalat Jum’at, jika salah satu atau kedua hari ‘Id jatuh pda hari Jum’at.
3. Wkatu penyemberlihan Qurban (Udl-hiyah).
4. Waktu Shalatullail.
5. Miqat makani waktu ‘ibadah haji dan bab Haji lainnya.
Hal-hal yang diputuskan :
1. Takbir tujuh-lima pada Shalat ‘Idain.
2. Shlat Jum’at pada hari ‘Idain
3. waktu penyembelihan qurban.
Hal yang dikembalikan pada peserta :
1. Waktu dan cara shalatullail.
Hal-hal yang ditangguhkan keputusannya :
1. Miqat makani.
Keputusan tentang Takbir Tujuh-Lima Pada Shalat ‘Idain :
Bahwa takbir-takbir di dalam shalat ‘idain sama saja dengan yang dilakukan dalam shalat-shalat lainnya, beralasan dengan hadtis muttafaq ‘alaih dari Ibnu ‘Abbas. (Simak Shahi Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits itu tidak dijelaskan takbir tujuh dan lima dalam raka’at pertama dan kedua, tetapi dicukupkan dengan penjelasan bagi shalat biasa dari hadits riwayat Abi Hurairah (Simak Shahih Bukhari dan Muslim).
Adapun hadits-hadits yang menerangkan, bahwa Rasulullah mengerjakan atau mengatakan “tujuh kali bertakbir pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua”, kesumuanya dianggap (oleh majlis) lemah.
Penjelasannya :
Kelemahan hadits-hadits yang menerangkan tujuh kali takbir dan lima kali pada raka’at pertama dan kedua shalat ‘idain di dalam kitab-kitab Abu Dawud, Tirmidzy, Ibnu Majah, juga dalam sunan Baihaqy, musnad Imam Ahmad, Mustadrak, Muwaththa, Al-Um, Nailul Authar, Subulus Salam, dalam kesuamnya itu tidak ada satu pun yang dapat dianggap (majlis) shahih.
Imam Ahmad menyimpulkan bahwa tak ada hadits shahih tentang takbir pada shalat ‘idain (Simak Subulus Salam, jilid 2, hal 112, Bidayatul Mujtahid, jilid 1, hal 185, Syarah Sunan Baihaqi, jilid 3, hal 287).
Bahwa diantara perawi-perawi haditsnya itu banyak orang-orang ang dianggap (majlis ?) lemah, yaitu : Ibnu Lahi’ah , Baqiyah bin al-Walid (Simak Tahdzib at-Tahdzib jilid 1 hal 478), Harmalah bin Yahya (Simak Tahdzib at-Tahdzib jidid 2 hal 230), “Abdurrahman bin Sa’ad Simak Ta’liqat Sunan Baihaqi jilid 3 hal 286), ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman (Simak Mizan al-I’tidal jilid 2 hal 452 no 4412), ‘Abdillah bin ‘Abdurrahman bin Ya’la, Katsir bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf .
Itu adalah orang-orang perawi yang dikritik oleh ahli hadits dari hadits-hadits takbir tersebut.
Hadit-hadits yang menyatakan takbir tujuh dan lima dalam raka’at pertama dan kedua dalam shalat ‘idain terdapat diantaranya dalam ;
1. Sunan Abi Daud juz 1 hal 262 dengan jalur Ibnu Lahi’ah, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman, ‘Abdillah bin ‘Amru bin al-‘Ash. Ibnu Lahi’ah dikritik dalam Tahdzib at-Tahdzib jilid 5 hal 378, Mizan al-I’tidal jilid 2 hal 475 no 4530. Hadits jalur ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman‘Amru bin Syu’aib ada yang qauli dan ada yang fi’li.
2. Sunan Tirmidziy juz 2 hal 381 no 534 dengan jalur Katsir bin ‘Abdillah. Katsir bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf dikritik dalam Nail al-Authar jilid 3 hal 338, Tahdzib at-Tahdzib jilid 8 hal 422.Hadits jalur Katsir bin Abdillah menurut Imam Turmudzi adalah “ahsanu syaiin”.
3. Al-Umm juz I hal 256.
4. Al-Muwaththa hal 91.
5. Sunan Baihaqiy juz 3, hal 285-286 dengan jalur ‘Abdurrahman bin Ya’la. ), ‘Abdillah bin ‘Abdurrahman bin Ya’la dikritik dalam Tahdzib at-Tahdzib jilid 5 hal 299.Menurut keterangan Imam Baihaqi, kata Imam Tirmidzi dari Imam Bukhari tentang Katsir bin Abdillah adalah “Lisa fi hadzal babi syaiun min hadza wabihi aqulu”. Lalu mengatakan – entah Bukhari entah Tirmidzi – bahwa hadits ‘Abdullah bin Abdirrahman dari ‘Amr bin Syu’aib yang shahih.
6. Subulus Salam.
7. Ibnu Majah juz 1 hal 407.
8. Musnad Imam Ahmad juz 1 hal 141.
Itulah hadit-hadits yang menjadi dalil tqakbir tujuh dan lima dalam shalat ‘idain.
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS1109040900)
(Bagaimanapun pembicaraan/pembahasan tentang tujuh-lima takbir pada shalat ‘idain tetap saja bersifat debatable, ijtihadiyah, khilafiyah.
Kini di semua kalangan ada trend, kecenderungan menggiring uamt Islam agar berani mengkritisi pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah, Ghazali, Syafi’i, para shabat, bahkan pemikiran Nabi Muhammad saw. Sementara itu menelan mentah-mentah pemikiran-pemikiran filosof semacam Imanuel Kant (Majalah TABLIGH, Vo.3/No.02/September 2004, hal 37, Intelektual Jahiliah Berbahaya”, oleh Adian Husaini MA).
Sudah dipandang lumrah, wajar, alamiah menggugat Imam Mujtahid masa lalu, meragukan kredibilitas Imam Mujtahid masa lalu, meragukan kebenaran/ketsiqahan Imam Hadit. Dalil argumentasinya bahwa “Tak satu pun manusia yang luput dari kesalahan. Semuanya bisa digugat, dikritisi”.
Kitab Fiqih masa lalu dipandang adalah bikin-bikinan, karang-karangan ulama masa lalu. Jaman kini mendorong agar membuang Kitab Fiqih masa lalu, karena sudah out of date. Bisa-bisa nanti membawa kepada Inkar Sunnah, setidaknya memandang tak perlu shalat ‘idain, karena banyaknya krusial.
Diharapkan Majlis Tarjih Muhammadiyah Jawa Barat menyusun Kitab Fiqih Lengkap yang anya cukup mengacu pada Quran dan Hadits.
- Seleksi seluruh hadits. Himpun seluruh hadits yang benar-benar shahih, yang tak ada cacat-celanya, yang disepakati kesahihannya dalam “Kitab Hadits Shahih Lengkap”.
- Susun “Kitab Fiqih Lengkap”, hanya dengan merujuk pada Quran dan Hadits yang terdapat dalam “Kitab Hadits Shahih Lengkap”.
- Tinggalkan seluruh Kitab Fiqih yang lain, selain “Kitab Fiqih Lengkap’ tersebut.
)
Generasi Cuek
Generasi cuek
Imamnya, makmumnya cuek. Pemimpinnya, rakyatnya cuek. Semuanya pada cuek. Cuek terhadap masalah halal haram. Sang Pemimpin sangat mahir mencari-cari dalil, hujah untuk membenarkan, mensahkan pendapatnya. Benar-benar amat pintar. Pintar memelintir. Memelintir yang sudah qath’i menjadi dzanni. Memelintir yang sudah baku menjadi yang diperselisihkan, diperdebatkan. Amat lihai mempermainkan dalil-dalil agama.
Untuk melegalisasi, melegitimasi pendapat sendiri yang menyalahi pendapat umum (ijma’) digunakan kaidah usul fikih, bahwa “siapa yang ijtihad, menafsirkan hukum benar, akan mendapat dua pahala, tetapi yang ijtihadnya salah mendapat satu pahala”. Kaidah usul fikih “menghindari kesulitan lebih utama, dari pada mendatangkan kebaikan” (darul mafasid muqaddam ‘ala jalabil mashaalih) digunakan untuk mengamankan, menyelematkan kehilangan, kerugian penanaman modal asing, penutupan perusahaan asing. Terganggungnya investasi asing yang jumlahnya milyaran, dipandang lebih mafasid dari pada timbulnya kebingungan dan keresahan di masyarakat akibat ulah intervensinya dalam bidang yang bukan wewenangnya, mengeluarkan statement blunder (kacau, ngawur).
“Yang paling berwewenang dalam menentukan halal haramnya sebuah produk makanan dan minuman adalah kaum ulama dan ahli syar’iyah”. “Dalam kapasitas selaku kepala anegara tidak berwewenang mengeluarkan pernyataan fatwa tentang halal dan haram suatu produk makanan”.
Ada yang pintar bermain diplomasi menepis timbulnya kebingungan dan keresahan di kalangan masyarakat akibatnya beragamnya pendapat tentang halal haramnya suatu produk makanan dan minuman. “Khilafiyah biasa terjadi dalam beragama”. “Perbedaan penafsiran tidak akan membuat bingung masyarakat. Masyarakat sudah bisa menilai sendiri terhadap mana yang benar”.
Rakyatnya cuek. Masa bodoh. Tak peduli tentang halal haram. “Dari pemantauan (pers) di kalangan pedagang diperoleh kesimpulan, bahwa mereka tidak sempat memikirkan halal atau haram sebuah barang, pembeli pun begitu. Baginya yang penting bisa makan”. “umumnya pelanggan tidak ada yang menanyakan haram atau tidaknya apa yang dijual”. “Dari pengamatan (pers), masyarakat (Penjual dan pembeli) nyaris tak mempersoalkan haram atau halal apa yang dijual di warung-warung”. “Hanya sebagian (sedikit) saja yang peduli terhadap masalah halal haram” (PADANG EKSPRES, Kamis, 11 Januari 2001, hal 1, 6).
Tugas kewajiban para ulama, da’i, penceramah lah untuk menyeru, menghimbau, menyeru, menuntun, membimbing generasi cuek ini menjadi generasi peduli (terhadap halal dan haram) melalui semua wahyana dan sarana dakwah, baik melalui taklim, khutbah, buletin dakwah, media cetak, mapun media elektronik seperti radio dan televisi.
Ulama, da’i, penceramah yang akan ikhlas mengemban tugas risalah ini hanyalah yang mampu menyatakan “Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam (QS 26:109, 127, 145, 164, 180). Yang sanggup menegaskan “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih” (QS 76:9).
Dari Teologis Ke Sosiologis
Dari Teologis Ke Sosiologis
Sudah sa’atnya ungkapan-ungkapan yang bersifat teologis (religius, transcendental), yang abstrak pada akal, yang hanya dapat diimani, agar dapat disampaikan, dikemas, diproyeksikan, dikonversikan, diterjemahkn dalam ungkapan-ungkapan yang bersifat sosiologis (bahasa sosial-ekonomi, bahasa sosial-politik, bahasa sosial-budaya) yang konkrit pada akal, sehingga dapat dipahami (Ahlul Irfan SPd MM : “Dari Theologis Ke Sosiologis”, Buletin NADZIR, Edisi 5, Mei 2001).
Ungkapan Teologis mencintai Allah dan Rasul-Nya” (QS 3:31) yang abstrak pada akal, agar diproyeksikan, dikonversikan, diterjemahkan ke dalam ungkapan sosiologis “mencintai, menyantuni, memperhatikan kepentingan publik (orang banyak, orang melarat, orang terlantar) yang konkrit pada akal (QS 107:1-3, 9:60, 2:177, 3:92, 8:41).
Sabilillah, proyeksinya, konversinya, refleksinya adalah kepentingan publik (Abul A’la al-Maududi : “Dasar-Dasar Islam”, 1984:190-191). Tapi publik (orang banyak) bukanlh Allah dan Rasul-Ny. “Sesungguhnya di hari kiamt nanti Allah berfirman : Wahai nak Adam, Aku minta makanan kepadamu, tetapi engkau tidak mau memberiKu makanan. Tahukah engkau, wahai anak Adam, sesungguhnya hambaKu si Fulan itu meminta makanan kepadamu, tetapi engkau tiaa memberinya makanan. Ketahuilah, bila engkau memberinya makanan, maka engkau mendapatkan rahmat keridhan di sisiKu (Hadits Qudsi riwayat Muslim dari Abi Hurairah).
Ungkapan teologis “kebenaran ilahiyah” (QS 2:147) yang abstrak pada akal, agar diproyeksikan, dikonversikan, diterjemahkan ke dalam ungkapn sosiologis “opini publik, pendapat umum (orang banyak dari kalangan orang mukmin) yang konkrit pada akal.
Ungkapan teologis “kedaulatan ilahiyah, kedaulatan hukum ilahiyah” yang abstrak pada akal, agar diproyeksikan, dikonversikan, diterjemahkan ke dalam ungkapan sosiologis “kedaulatan publik, kedaulatan rakyat (theo democracy, divine democracy) yang konkrit pada akal.
Ungkapan teologis “ Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum (komunitas), sehingga mereka merubah keadaan dari mereka sendiri (QS 13:11), agar dipahami dalam ungkapan sosiologis “Perubahan individu demi individu akan berujung pada perubahan kolektif” (Ahlul Irfan SPD MM : “Agen Perubahan Sosial”, Buletin NADZIR, Edisi 6, Juni 2001). Masyarakat akan makmur sejahtera, apabila setiap orang berlomba memperbaiki kehidupannya masing-masing (mengikuti metode deduksi prinsip ekonomi liberal kapitalis).
Ungkapan teologis “Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS 28:76-77) agar diproyeksikan, dikonvewrsikan, dipahami dalam ungkapan sosiologis, seagai motivasi berbisnis, berusaha, agar berorientasi pada kebahagiaan akhirat, kesejahteran sosial, kepentingan bersama, bukan pada kebahagiaan duniawi, kesejahteraan individual, kepentingan perseorangan.
Ungkapan fenomena alam limbah industri dikonversikan, diproyeksikan, ditafsirkan dalam ungkapan fenomena sosial komunitas buih (QS 13:17).
.Ungkapan teologis “hablum minallah” (QS 3:112) mengadakan, menjaga, memelihara hubungan dengan Tuhan, Alkhaliq (setia memenuhi, menjalankan risalah, seruan, janji Allah, takut putusnya hubungan dengan Allah, takut turunnya amarah Allah, mengharapkan keridhaan Allah, mendirikan shalat) (QS 13:19-24)) dikonversiskan, diproyeksikan, dijabarkan, ditafsirkan, diimplementasikan dengan ungkapan sosiologis “hablum minan naas” (QS 3:112) memikirkan, memperhatikan, mengupayakan peningkatan keadaan sosial-ekonomi-budaya sesama makhluk Allah (simak juga pengertian ungkapan “lita’arafu” dalam QS 49:13).
Pemicu putusnya hubungan dengan Tuhan dan insan adalah pola hidup tamak, rakus, serakah, pola hidup kikir, pelit, kedekut, pola hidup angkuh, pongah, congkak, pamer.
Ungkapan teologis amal shaleh dijabarkan dalam ungkapan sosiologis amal sosial. Banyak beramal kebajikan, beramal sosil, berbuat amal usaha operasional diberbagai bidang untuk meningkatkan taraf, martabat, mutu dan tingkat kehidupan sosial-ekonomi-budaya bersama (kemampuan dan keampuhan diri sendiri, keluarga, tetangga, bangsa, ummat, lingkungan) menurut kadar kemampuan. Memanfa’atkan sebagian rezki, penghasilan, pendapatan, kekayan, kepintaran, kesempatan, kemampuan untuk kepentingan bersama, untuk kemakmuran, untuk kesejahteraan bersama (QS 2:3). Menabur, menebar jasa. Menyebarkan berbagai kebajikan dan kebaikan bagi rahmat alam semesta (QS 21:107).
Ungkapan teologis “berbuat baiklah seperti Allah berbuat baik kepadamu” (QS 28:77) ditafsirkan dengan ungkapan sosiologis membalas kejahatan dengan kebaikan” (QS 13:22) (Prof Dr Bahrum Rangkuti : “Al-Qur:an, Sejarah, Kebudayaan”, Bulan Bintang, 1977:20-25).
Ungkapan teologis amalan dzikir ditafsirkan dalam ungkapan sosiologis amalan fikir (QS 3:191). Pengertian, ungkapan teologis ulul albab sebagai ahli dzikir dan ahli fikir (3:7-9, 3:190-195), diproyeksikan, dikonversikan, diterjemahkan dalam ungkapan ulul albab sebagai pelaku amal shaleh dan pelaku amala sosial (QS 13:19-24).
Dunia intelektual Islam masa kini amat sangat miskin sekali dengan ilmuwan ekonomi sekalaibar Adam Smith, Karel Marx John Maynard Keynes, meskipun Abul A’la Maududi, Quthub bersaudara, Yusuf Qardhawi, Mustafa as-Siba’I, Zainal Abidin Ahmad pernah berbicara tentang Ekonomi, tentang Lembaga Niaga, tentang Lembaga Riba (Bank), dan sebelumnya Ibnu Khaldun, Imam Ghazali.
Sudah sangat mendesak, sangat diperlukan Diskusi Kajian Islm dan Sosial, Kajin Islam dan Budaya, Kajin Islam dan Ekonomi, Kajin Islam dan Politik secara rutin, sistimatis, berkala berkesinambungan, membahas karya tulis semacam karya Abu A’la Maududi, Quthub brsaudara, Mustafa as-Siba’I, Yusuf Qardhawi, Zanal Abidin Ahmad, dan lain-lain
Amal sosial dan Amal saleh
CATATAN SERBANEKA ASRIR PASIR
Amal Sosial dan Amal Saleh (Kesalehan ritual dan kesalehan sosial)
Dalam berbagai nash alQur:an dan asSunnah, keimanan selalu dibarengi amal saleh. Ini menunjukkan bahwa keimanan yang berpangkal pada kalimat syahadat, harus diikuti dengan amal saleh sebagai konsekwensi yang dituntut oleh kalimat syahadat itu (Tabloid REPUBLIKA, “Dialog Jum’at”, 28 November 2008, hal 16, “Sedekah Roadmap”).
Dari surah al’Ashr dipahami bahwa kesempurnaan manusia itu hanya bisa tercapai dengan iman (untuk menempurnakan kekuatan ilmiahnya), dengan amal saleh untuk menyempurnakan kekuatan amaliahnya), dengan nasehat kepada kebenaran dan nasehat kepada kesabaran menghadapinya (“Madarijus Salikin” Ibnu Qayyim, terbitan Pustaka AKautsar, Jakarta, 2008:29).
Manusia, khususnya umat Islam dituntut untuk melakukan amal sosial dan amal saleh. Amal sosial merupakan perwujudan, pengejawantahan dari hablum minannaas (a rope from men) dan amal saleh merupakan perwujudan daari hablum minallah (a rope for Allah).
Dalam QS 3:134-135 umat Islam dituntut untuk melakukan amal sosial berupa memberikan santunan/infaq baik dalam lapang maupun sempit, menjaga hubungan baik antar sesama, dengan cara tak gampang marah, suka mema’affkan sesama, yang merupakan perwujudan, pengejawantahan kepedulian/kesalehan sosiaal. Dan segera bertobat memohon ampun atas semua dosa, yang merupakan perwujudan kesalehan ritual.
Dari ayat 177 surah alBaqarah setidaknya ada 17 ciri orang yang bertakwa. Lima yang pertama adalah aspek keyakinan atau akidah (Beriman kepada Allah, Hari Kiamat, Malaikat-Malaikat, Kitab-Kitab, Nabi-Nabi), Empat lainnya amalan fardhiyah (Shalat, sabar dalam penderitaan, sabar dalam peperangan). Delapan berikutnya berupa amalan sosial (berinfaq kepada kerabat, anak-anak yatm, orang-orang miskin, musafir, peminta-minta, hamba sahaya, menunaikan zakat dan menepati janji). (Simak juga QS 4:36). Dengan demkian, maka amal sosial merupakan perwujudan nyata dari keimanan. Atau dengan kata lain, amal sosial itu juga merupakan wujud nyata taqarrub ila Llah.
Dalam setiap momentum umat Islam selalu bermuatan ibadah ritual dan sosial. Misalnya, puasa Ramadhan disempurnakan dengan sedekah. Idul Fitri digenapkan sebelumna dengan zakat fitrah. Ibadah haji dilengkapi dengan kurban (“Dialog Jum’at” REPUBLIKA, 28 November 2008, hal 16).
Secara sosiologis-antropologis, taqarrub ila Llah dengan menyantuni fuqara-miskin (Kultum menjelang buka puasa lewat RCTI, Senin 1 Oktober 2007, 1800 oleh Quraisy Syihab).
Disebutkan dalam satu hadits shahih (Riwayat Muslim dari Abi Hurairah) bahwa Allah berfirman pada hari Kiamat : “Wahai hambaKu, Aku meminta makan kepadamu, namun kamu tidak memberiKu makan … Bila kamu memberi makan (orang yang minta makan kepadamu), niscaya kamu mendapatkan yang demikian itu (rahmat keridhaan) di sisiKu ( “Madarijus Salikin” Ibnu Qayyim, 2008:541-542; “Mutiara Hadits Qudsi”, oleh A Mudjab Mahalli, 1980:60, pasal “Kasih Sayang dan Dermawan”; Kultum menjelang buka puasa lewat RCTI, Senin 1 Oktober 2007, 1800 oleh Quraisy Syihab).).
Menyantuni sesama itu mengundang kasih sayang ridha Allah. Menyantuni sesama itu memang berat, sukar. Berkorban untuk kepentingan sesama adalah berat, sukar (Simak antara lain QS 90:11-16). Yang memberi makan yang lapar, yang memberi minum yang dahaga, yang menengok yang sakit, dikategorikan sebagai yang mendapat rahmat-ridha Allah. Sedangkan yang tak peduli akan yang melarat, yang lapar diindikasikan sebagai yang tak peduli akan Islam (Simak antara lain QS 107:1-3, 28:76-77).Yang tak mau menyantuni sesama dikategorikan seagai pendusta agama (Simak QS 107:1-3), tak percaya akan hari berbangkit (Simak QS 69:33-34, 74:43-46, 89:17-20).
Wujud bentuk taqarrub ila Llah dengan menyantuni sesama terangkum dalam ayat QS 4:36 “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bap, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya”. Semuanya tercakup, tercover pada “taqarrub ila Llah”.
Yang membri makan yang lapar, yang member minum yang dahaga, yang menengok yang sakit, dikategorikan sebagai yang mendapat rahmad-ridha Allah. Sedangkan yang tak peduli akan yang melarat, yang lapar diindikasikan sebagai yang tak peduli akan Islam (Simak antara lain QS 107:1-3, 28:76-77).
Optimisme eskatologis (harapan zaman akhir) harus diwujudkan dan dikembangkan menjadi optimisme yang kontekstual (harapan yang membumi). Kesalehan ritual harus disertai dengan kesalehan sosial. Soldaritas sosial harus diprioritaskan dari demokratisasi politik. Demokratisasi politik harus berbuah pada penghargaan kehidupan tercukupinya kebutuhan dasar manusia. Bila masih ada manusia miskin, menderita kelaparan, merasa tidak aman, itu mengindikasikan bahwa belum berkembang hidup yang demokratis (Simak KOMPAS, Sabtu, 12 Juli 2008, hal 6, Tajuk Rencana : “Solidaritas Sosial dalam Krisis”).
Islam mengajarkan agar mengarifi, memperhatikan kehidupan sesama, agar memanfa’atkan harta kekayaan untuk kepentingan bersama supaya memperoleh kebahagiaan akhirat. simaklah seruan kaum Qarun (Raja Konglomerat) kepada Qarun yang diabadikan dalam QS 28:77. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Bentuk solidaritas sosial yang lain adalah tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Termasuk ke dalam berbuat kerusakan adalah menimbulkan perubahan iklim, pemanasan global. Kerusakan tersebut berdampak pada kekeringan, bencana alam, bencana sosial. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia” QS 30:31.
Simak dan pahamilah sabda Rasulullah berikut secara sosiologis – antropologis : ” Jagalah dirimu dari api neraka, walau dengan sedekah separuh dari biji kurma ” (HR. Bukhari, Muslim dari Ady bin Hatim, dalam “Riadhus Shalihin” Imam Nawawi, pasal “Pemurah dan Dermawan dalam Kebaikan”).
Islam sangat paham, sangat peduli akan kesejahteraan sosial. Kepedulian Sosial Islam melebihi kepeduliannya akan pelaksanaan, pengamalan ibadah ritual. Ksalehan ritual haruslah dimulai dengan kesalehan sosial. “Tidak beriman seseorang yang makan kenyang sementara tetangganya kelaparan” (HR Thabrani dan Abu Ya’la dengan sanadnya tsiqah, dalam Dr Muhammad Ali al-Hasyimi : “Menjadi Muslim Ideal”, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1999:176). “Tidak dinamakan beriman kepadau orang yang habiskan harinya dengan kenyang, sedang tetangganya di dalam kelaparan, padahal ia tahu” (HR Al-Bazzar dari Anas, dalam Sayyid Ahmad Hasyimi Beik : “Mukhtar al-Hadits anNabawiyah”, hal 147, hadits no.1016).
Disebutkan bahwa sebaik-baik manusia aalah yang banyak manfa’atnya, gunanya bagi manusia lainnya. Tak disebutkan bahw sebaik-baik manusia adalah yang banyak ibadahnya, pahalanya (Simak antara lain Khalid Muhammad Khalid : “Kemanusiaan Muhammad”, Progressif, Surabaya, 1984:268-269).
(written by sicumpaz@gmail.com at BKS0812131745)
Menangkal korupsi dengan zuhud
Menangkal korupsi dengan mental zuhud
Islam Digest REPUBLIKA, Ahad, 17 Januari 2010 (halaman B8, Wawancara) menampilkan “Gerakan Memberi Untuk Berantas Korupsi” dari Prof Dr Imam Suprayogo, rector Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang.
Ajaran qana’ah, zuhud, wara’, infaq, sadaqah sebenarnya dapat menangkal tindak korupsi. Imam anNawawi (Abu Zakaria, Yahya bin Syaraf) dalam kitabnya “Riadhus Shalihin” terdapat hadits-hadits tentang keutamaan zuhud (tidak rakus pada dunia), keutamaan kemiskinan, qana’ah (menerima apa yang ada), makan dari hasil usaha sendiri, pemurah, wara’ (menjauhi sysubhat),tawadhu’.Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam kitabnya “alLukLuk walMarjan” terdapat hadits-hadits muttafaq ‘alaihi tentang zuhud, tawadhu’, sederhana.
Sayyid Qutthub dalam kitabnya ‘Keadilan Sosial Dalam Islam” (1994) memandang bahwa Islam membenci kemiskinan bagi manusia. Islammenghendaki agar manusia bebas dari tekanan kebutuhan-kebutuhan hidup material. Agar manusia tidak sampai menghabiskan seluruh tenaga dan waktunya hanya untuk mencukupi kebutuhannya. Islam menggabungkan antara pentingnya seseorang bekerja sendiri sekuat tenaga dan kemampuannya, dengan dorongan untuk menolong orang yang membutuhkan dengan sesuatu yang bias menunjang kebutuhannya, meringankan beban hidupnya, dan membantunya untuk hidup mulia, terhormat (halaman 184-191, Kewajiban zakat).
Namun Sayyid Qutthub memandang bahwa kemewahan sma sekali tidak perlu bagiorang yang ingin melaksanakan syari’at Islam di masyarakat. Untuk melaksanakan syari’at Islam di masyarakat diperlukan sosok yang memiliki sifat, sikap mental zuhud, wara’, qana’ah seperti ang ditampilkan oleh Khalifah Umarbin Khatthab, Ali bin Abi Thalib, Abidzar alGhifari.”Khalifah Umar bin Khatthab seringkali menyempit-nyempitkan diri, bakan dalam hal-hal yang dihalalkan bagi dirinya”. “Khalifah Ali bin Abi Thalib tahu bahwa Islam membolejkannya menikmati yang lebih dari pada yang ia makan dan minum saatitu, akan tetapi ia tidak mau meninggalkan sifat zuhud, wara’, qana’ah”.”Abudzar melakukan perlawanan terhadap politik kepemilikan yang mendorong terjadinya sikap hidup mewah”.
Antara orientasi pengabidan dan orientasi kekuasaan
Pemerintah yang mendahulukan kepentingan rakyat
Antara orientasi pengabdian dan orientasi kekuasaan
Ada yang berorientasi pengabdian dan ada pula yang berorientasi kekuasaan. Bagi yang berorientasi pengabdian, di mana pun bisa berperan mengabdikan, memanfa’atkan yang dimiliki untuk kepentingan bersama. Petani, pedagang, pengusaha, pendidik, dokter, arsitek, tekisi, buruh, karyawan, pegawai, militer, nelayan, dan lainnya bisa mengabdikan, memanfa’atkan yang dimilikinya untuk kepentingan bangsa, negara.
Salah satu contoh yang berorientasi pengabdian adalah Muhammad Yunus dari Bangladesh, peraih Nobel Perdamaian. Harmoko menyebut Muhammad Yunus sebagai pejuang dan pekerja gigih dalam mengentaskan kemiskinan di Bangladesh. Melalui Grameen Bank Prakalpa (semacam proyek Bank Pedesaan) Muhammad Yunus memberikan kredit kepada penduduk miskin. Hasilnya dapat dirasakan oleh penduduk Bangladesh. Muhammad Yunus memerangi kemiskinan melalui kredit bank yang dipimpinnya. Muhammad Yunus bukanlah aktivis dari Lembaga Swadaya Masyarakat, bukan pula seorang politisi, namun tetap menyatu dengan penderitaan rakyat. Muhammad Yunus bisa dijadikan teladan bagi pengentasan kemiskinan (POSKOTA, Senin, 30 Oktober 2006, hal 10, Kopi Pagi : “M Yunus dan Si Miskin” oleh Harmoko. Simak juga SUARA ‘AISYIYAH, No.1, Th ke-84, Januari 2007, hal 31, “Kesrempet”. “Dokter ekonomi yang malas blamana tak mampu mengangkat derajat hidup warga melarat”).
Barrack Obama membuktikan politik pengabdian. Ia cari lowongan untuk penganggur, mendirikan pusat pendidikan remaja, memaksa gubernur membongkar asbestos karena bahan bangunan itu sumber kanker, memperluas anti kenakalan remaja, membuat sistem manajemen pembuangan sampah, serta memperbaiki jalan rusak dan selokan yang tersumbat (KOMPAS, Sabtu, 5 Januari 2008, hal 13, “Sebuah Tuntutan Perubahan”, oleh Budiarto Shambazy).
Romomangun menata perkampungan kumuh sepanjang Kalicode Yogyakarta dan penghuninya menjadi lokasi yang asri berwawasan arsitektur dengan penghuninya yang terangkat harkat-martabatnya.
Bagi yang berorientasi kekuasaan, maka “pengabdian” hanyalah kemasan untuk memoles kehausannya akan kekuasaan. Yang berorientasi kekuasaan, hanya berupaya memenuhi kerakusannya akan kekuasaan. Ia tak pernah menyatu dengan penderitaan raykat, tak pernah merasakan penderitaan rakyat. Bagaimanapun banyak perusahaannya, bagaimanapun berlimpah kekayaannya, ia tak pernah memikirkan untuk memanfa’atkan kekayaannya itu untuk mengurangi pengangguran, untuk mengurangi kemiskinan, penderitaan rakyat, untuk menanggulangi bencana. Dalam benaknya hanyalah untuk memanfa’atkan kekayaanya untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan kekuasaan, ia dapat menguasai, mengendalikan semuanya. Segala jalan bisa ditempuh untuk mendapatkan kekuasaan.
Pemimpin yang berorientasi kekuasaan, kebijakannya tak pernah berpihak kepada rakyat. Seluruh kebijakannya hanya untuk kepetingan diri. Acuannya adalah ajaran Machiavelli. sedangkan yang berorientasi pengabdian, kebijakannya berpihak kepada rakyat. Di kalangan Islam, acuanya adalah Muhammad Rasulullah saw, Umar bin Khaththab, Umar bin Abdul Aziz. Di kalangan Kristen, acuannya adalah Yesus Kristus. Di kalangan Hindu, acuannya bisa Mahatma Ghandi.
Sedikit di kalangan penguasa adalah mereka yang dikenal dengan despot yang arif. Sejarah mencatat adanya penguasa yang punya rasa pengabdian yang disebut dengan despot yang arif, yang bijak, yang cerdas seperti yang ditampilan oleh Peter yang Agung 1689-1725) dan Katharina II (162-1796) dari Rusia, Friedrich II Agng (1740-1786), Joseph II (1765-1790) dari Prusiaa (Jerman).
Secara umum, raja-raja Jawa sejak Mpu Sindok (sebelumnya Sanjaya) tampil sebagai despot yang arif, yang bijak, yang cerdas (Anwar Sanusi : “Sejarah Indonesia untuk Sekolah Menengah”, I, 1954:22,28).
Prof Dr A Syalabi dalam bukuna “ Negara dan Pemerintahan dalam Islam” (hal 38) menls bahwa kewajban yang utama dari pemerintah Islam ialah bekerja untuk kebahagiaan rakyat. Pemerintah Islam harus berusaha agar rakyat senang. Pemerintah haruslah berjaga-jaga agar rakyat dapat tidur dengan aman dan tenteram.
Islam membawa prinsip-prinsip yang lebih murni dari pada yang dicita-citakan setiap orang. Prinsip-pirnsip itu dapat disimpulkan dalam beberapa patah kata saja. Pertama, keadilan. Kedua, Kepala Negara yang miskin.
Islam menyerukan persamaan di waktu sistem hidup berkasta-kasta telah berurat berakar di seluruh penjuru alam. Islam menyerukan keadilan di kala keadilan itu dipandang suatu kelemahan dan kehinaan.
Islam menyeru agar seorang Kepala Negara bekerja untuk kebahagiaan rakyat, bukan untuk kebahagiaan dirinya sendiri. Islam menciptakan Kepala Negara model baru yaitu Kepala Negara yang miskin. Kepala Negara yang harta kekayaannya habis dibelanjakannya pada jalan Allah, untuk kepentingan umat. Kepala Negara yang hidupnya sangat sederhana, sandang, pangan, papan yang dipakainya sama dengan yang dipakai orang-orang miskin (“Sejarah Kebudayaan Islam”, jilid I, hal 338-329).
Biang Kehancuran
Biang Kehancuran
Di mana-mana bisa saja ditemukan keresahan, kerusuhan, kekacauan. Konflik, bentrok fisik berdarah. Konflik horizontal, antara sesama rakyat, antara sesama penguasa, penyelenggara anegara, antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Konflik vertikal, antara atasan dan bawahan, antara majikan dan pelayan, antara penguasa dan rakyat. Konflik antara etnis, antara suku.
Ada tiga sumber utama pemicu terjadi kekacauan, malapetaka. Pertama memperturutkan hawa nafsu. Kedua memenuhi ajakan, seruan kikir. Ketiga ujub, sombong, pamer diri (HR Abusyaikh dari Anas).
Pola Hidup tamak, rakus, serakah.
Hawa itu pantang kerendahan. Nafsu itu pantang kekurangan. Tak pernah puas dengan posisi, jabatan. Senantiasa berupaya naik keatas tanpa batas. Mengakumulasi kekuasaan. Serba kuasa. Tak pernah puas dengan harta kekayaan. Senantiasa berupaya menumpuk, melipatgandakan harta kekayaan, menginvestasikan kekayaan di mana-mana. Motivasinya untuk menjadi orang nomor satu. Bukan untuk memenuhi kepentingan umum, seperti untuk menyediakan lapangan kerja bagi para tuna karya. Takatsur (akumulasi kekuasaan dan kekayaan) sepanjang hidup, menyebabkan manusia tak sadar diri (QS Takatsur 102:1-2, Lahab 111:2, An’am 6:44, Hasyar 59:19). Harta itu adalah laksana air asin. Semakin banyak diminum, maka semakin haus (Dr Schoppenhauer). Manusia itu tak pernah puas. Senantiasa berupaya memonopoli kekuasaan dan memonopoli kekyaaan. "Andaikan anak Adam memiliki sepenuh lembah harta kekayaan, pasti ia ingin sebanya itu lagi, dan tiada yang dapat memuaskan pandangan mata anak Adam kecuali tanah, dan Allah akan memberi taubat, kepada siapa yang tobat (HR Bukhari, Muslim dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik).
Keserakahan tak terkendali merupakan faktor pembawa nestapa dalam kehidupan manusia. Orang serakah taka pernah puas dengan semua harta dunia, persis sebagaimana api membakar semua bahan bakar yang diberikan. Bilamana keserakahan (monopoli) menguasai suatu bangsa, ia mengubah kehidupan sosialnya menjadi medan pertengkaran dan perpecahan sebagai ganti keadilan, keamanan dan kedamaian. Secara alami, dalam masyarakat semacam itu, keluhuran moral dan rohani tidak mendapat kesempatan. Orang serakah merebut sumber-sumber kekayaan untuk mendapatkan yang lebih banyak dari haknya sendiri, dan mengakaibatkan permasalahan ekonomi yang parah (Sayid Mujtaba Musai Lari : "Menumpas Penyakit Hati", 1999:161). Rasulullah mengkhawatirkan, kalau nanti terhampar luas, terbuka lebar kemewahan dan keindahan dunia bagi ummatnya, seperti telah pernah terhampar pada orang-orang dahulu sebelum mereka, kemudian mereka berlomba-lomba sehingga membinasakan mereka, seperti telah membinasakan orang-orang dahulu (HR Bukhari, Muslim dari Amr bi Aauf al-Anshari).
Pola hidup tamak, rakus, serakah melahirkan perilaku hidup mewah, berorientasi pada pemenuhan kebutuhan (syahwat) perut dan kelamin, berorientasi pada privat profit duniawi semata (hubbun dunya wa karihatul maut), serta prilaku hidup cuek, masa bodoh, tanpa mempedulikan halal atau haram, tanpa mempedulikan keadaan sesama, pokoknya asal terpenuhi kebutuhan perut dan kelamin, tak punya rasa malu sama sekali, tak punya rasa kepekaan sosial.
Pola hidup pelit, kikir.
Untuk mengamankan harta kekayaan agar tidak susut, agar tidak berkurang, maka diperlukan sikap mental, pola hidup pelit, kikir. Pelit, kikir merupakan kerabat dekat dari tamak, serakah, rakus. Pelit, kikir merefleksikan egois seutuhnya. Senantiasa cemas, kawatir kalau-kalau kekayaan susut, berkurang. Orang kikir merasa seluruh harta kekayaan itu adalah hasil kerja kerasnya dan hasil kecakapannya semata (QS Qashash 28:78). Setan menakut-nakuti akan berkurangnya harta, dan membisikkan agar berbuat kikir (QS Baqarah 2:266). Pikiran orang kikir hanya terfokus, terpusat disekitar materi dan kekayaan. Takut akan berkurangnya harta kekyaannya, sangat mempengaruhi pikiran si kikir. Seorang kikir senantiasa dalam kecemasan dan depresi. Ada suatu hubungan langsung antara kekayaan dan kekikiran. Kebanyakan orang kaya cenderung kikir. Yang menolong orang miskin biasanya dilakukan oleh kalangan menengah, bukan orang kaya. Kekiran punya peran menyulut kejahatan dan perpecahan ("Menumpas Penyakit Hati", 1999:152-153). Rasulullah mengingatkan ummatnya agar menjaga diri dari sifat kikir, karena sifat kikir itu telah membinasakan ummat-ummat dahulu, mendrong mereka mengadakan pertumpahan darah dan menghalalkan semua yang diharamkan Allah (HR Muslim dari Jabir.
Pola hidup pelit, kikir, bakhil melahirkan perilaku hidup sibuk menabung, menyimpan, berinvestasi melipatgandakan modal kekyaan, sibuk dengan rencana, rancangan, planning, serta perilaku hidup aniaya, sadis, zhalim, monopoli, melindas usaha kecil, tak membiarkan hidup yang akan dapat menjadi saingan.
Pola hidup sombong
Karena memonopoli kekuasaan dan kekyaan, maka tumbuhlah sifat dan sikap ujub, sombong, pamer diri. Tak pernah berpuas diri, bilamana belum sempat memamerkan kekuasaan dan kekayaan. Si sosmbong merasa seakan-akan semua orang berniat merugikannya. Timbul kebencian dan rasa dendam terhadap masyaakat. Jiwanya tidak bisa tenteram sebelum ia dapat membalas dendamnya. Orang-orang sombong (mutrafin) selalu menantang seruan para nabi dan rasul, dan mencegah orang lain menerima seruan para nabi dan rasul ("Menumpas Penyakit Hati", 1999:99). Pamer kekuasaan dan pamer kekayaan sangat mengganggu keseimbangan sosial, mengundang kecemburuan sosial.
Pola hidup pamer, sombong, angkuh, congkak melahirkan perilaku hidup ghibah, sibuk dengan gossip dan issu, sibuk bergunjing, sibuk menyalahkan orang, tak pernah mengoreksi diri, serta perilaku keras kepala, kepala batu, tak masuk kebenaran, tak mau menerima nasehat, merasa benar selalu.
Rasulullah saw mengingatkan bahwa ada enam perilaku, pola hidup yang berbahaya, yang mengikis pahala. Pertama, sibuk membicarakan cacat cela dan aib sesama. Kedua, kesat, kasar hati. Ketiga, cinta dunia. Keempat, kurang rasa malu. Kelima, panjang angan-angan. Keenam, senantiasa berlaku aniaya (HR Dailami dari ‘Adi bin Hatim).
Rasulullah saw juga mengingatkan dan mengajarkan supaya biasa berdo’a memohon kepada Allah swt agar terhindar, terlepas dari pola hidup, perilaku sial yang membahayakan diri pribadi, maupun hidup bersama. Antara lain prilaku risau, gundah gulana. Perilaku suka bersedih. Perilaku lemah, tak bergairah, tak bersemangat. Perilaku malas, suka menganggur. Perilaku bakhil, kikir, pelit. Perilaku mudah cemas, kawatir, takut. Takut terhindik, takut tersaingi. Takut celaa, takut cacian. Perilaku suka berhutang. Perilaku gampang tergoda oleh kemewahan dunia (HR Bukhari dari Anas). Perilaku risau, suka bersedih, tak bersemangat, malas bisa saja lahir, datang, tumbuh akibat kegagalan dalam merancang investasi, akibat angan-angan yang tak dapat terwujud. Perilaku takut tersaingi, juga perilaku suka berhutang, bisa saja lahir, datang, tumbuh dari dorongan pamer diri, akibat hawa pantang kerendahan, nafsu pantang kekurangan. Pokoknya semua halal, tak ada yang haram, asal sesuai dengan hawa nafsu. Semuanya berpangkal pada pola hidup, perilaku yang berorientasi pada privat profit duniawi semata.
Pesan moral, pesan agama, bahwa pola hidup tamak, rakus, seakah, pola hidup pelit, kikir, kedekut, pola hidup sombong, congkak, angkuh, pamer, dan yang semacam itu mengundang kekacauan, kerusuhan, memicu konflik, bentrokan, sudah masanya disampaikan, dikemas, diterjemahkan dalam multi bahasa, dalam bahasa sosio-budaya, dalaqm bahasa sosio-ekonomi, dalam bahasa sosio-politik, dalam bahasa sosiologi. Kami – kata Rasulullah – diperintahakan supaya berbicara kepada manusia menurut kadar kecerdasan mereka masing-masing (M.Natsir : "Fiqhud Dakwah", 1981:162).
Sudah sa’atnya dijelaskan secara lugas, gamblang tentang bahaya rakus, tamak, serakah, bahaya kikir, pelit, kedekut, bahaya angkuh, congkak, sombong, pamer dan baahaya perilaku tercela lai, baik terhadap diri dan masyarakat secara sosiologis dan ekonomis.
Sudah sa’atnya dakwah memusatkan diri menyampaikan tuntnan-panduan Islam daalam upaya mencegah timbulnya konflik sosial, baik konflik vertikal (antara atasan dan bawahan, antara majikan dan pelayan, antara penguasa dan rakyat), maupun konflik horizontal (sesama rakyat, sesama penguasa, antara eksekutif dan legislatif). Menyampaikan ajaran "salam" yang dapat membuahkan kasih sayang secara konkrit.
Menyoal Pola Hidup Tamak
1 Menyoal pola hidup tamak
Tamak adalah sifat untuk memiliki sesuatu secara berlebihan-lebihan tanpa ada puas-puasnya. Dalam bahasa canggihnya, tamak adalah orientasi hidup yang berlebihan pada materialisme. Bisa saja tamak akan harta, kekayaan, pangkat, jabatan, kedudukan, kekuasaan.
Salah satu yang mengungkung, membelenggu manusia itu adalah sifat asli manusia itu sendiri, yaitu sifat ‘halu’a" (QS 70:19). Ada yang mengartikan dengan sifat keluh kesah lagi kikir. Dan ada pula yang mengartikan dengan sifat keluh kesah lagi tamak. Gelisah, tidak sabar, khawatir itu disebabkan oleh keserakahan dalam memperoleh kekayaan material. Itulah karakter asli manusia. Namun demikian, watak serakah manusia itu, jika dituntun dengan baik, akan kreatif menaiki ma’arij, jenjang kemajuan sosial ekonomi dan ilmu pengetahuan (Afzalurrahman, "Muhammad Sebagai Seorang Pedagang", 1997, hal 195, 211-212.
"Ketamakan (avarice, emangnya lu gua pikirin) melekat pada watak, pembawaan ekonomi pasar (ekonomi kapitalis). Pembawaan dan dampak ekonomi kapitalis, pertumbuhan dan kemajuan besar, sekaligus juga kesenjangan´(KOMPAS, Kamis, 16 Januari 1997, hal 4, Tajuk Rencana). Ketimpangan sosial-ekonomi, antara rural-agraris-tradisional dan urban-industrial-modern. Terjadi seleksi rekayasa : struggle for existence, survival of the fittest, adoptability. Rakyat lemah tersingkir ke pinggir. Pemerintah ikut berperan sebagai agen, fasilitator, broker untuk kepentingan pemilik modal.
Ketamakan akan harta, kekayaan melahirkan industrialisasi. Disamping berhasil memacu pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, industrialisasi juga telah merusak hubungan-hubungan sosial tradisional dan memunculkan perpecahan-perpecahan dan konflik-konflik baru dalam struktur sosial masyarakat. Proses industrialisasi telah merombak secara total hampir setiap sendi kehidupan masyarakat, baik kebudayaan mapun kepribadian. Akibat lanjutannya adalah munculnya gejala ketidak-seimbangan dan guncangan mental dalam kehidupan masyarakat. Pada saat yang bersamaan rasa tidak aman, tidak berharga, putus asa, mengalami ketegangan melanda relung kehidupan masyarakat. Pada gilirannya, norma-norma sosial masyarakat menjadi lemah atau tidak ada sama sekali.
Ketamakan akan pangkat, jabatan, kedudukan, kekuasaan, ketenaran dapat tercermin, terpanctul dalam ambisi memenuhi kebutuhan yang berlebihan. Kebutuhan untuk dapat berusaha mengontrol kepentingan kelompok subordinasi (miskin). Kebutuhan untuk dapat berusaha membenarkan (mempertahankan legitimasi kelanggengan dominasinya. Kebutuhan akan kerelaan berkorban dari pihak yang tersubordinasi, kerelaan masyarakat untuk menerima serta mendukung struktur kekuasaan. Kebutuhan agar sistem yang berjalan tetap bertahan. Pendukung struktur yang berkuasa (ketamakan akan kekuasaan) dan pemilik modal (ketamakan akan kekayaan) berkoalisi, berkolusi berusaha memperkuat dominasinya dengan memangkas, memasung kebebasan manusia. Demikian disimak dari analisa Tadjuddin Noer Effendi (KOMPAS, Rabu, 29 Januari 1997, hal4, "Pahami Kerusuhan dan Gejolak Sosial").
Dari ayat 34 surah Taubah (QS 9:34) dipahami bahwa bencana akan menimpa perekonomian dunia oleh karena dua hal. Pertama disebabkan dari kaum agama (pendeta) yang memperkosa hak milik manusia dengan cara yang salah, dengan memperkedok agama dan Tuhan (lahir pada zaman Universal-Feodalisme). Kedua disebabkan dari kaum kapitalis yang sangat memperkuat dan memperhebat kekuasaan hak milik, dengan mengesampingkan sama sekali akan rasa Ke-Tuhanan dan rasa kemanusiaan (lahir pada zaman Individualistis-Kapitalisme). Inilah yang mengundang datangnya azab, siksaan Allah yang sangat pedih, yang menimbulkan bencana kesengsaraan manusia seluruh dunia. Demikian disimak dari analisa Z.A Ahmad tentang "Kebobrokan Ekonomi Dunia" (Dasar-Dasar Ekonomi dalam Islam, 1952, hal 27, 31).
Tamak biangnya ketimpangan, kesenjangan, keretakan, keresahan, kerusuhan, keonaran, kekacauan. Namun demikian, tamak terkendali (nafsu muthmainnah) perlu. Tanpa tamak takkan berhasil. Salah satu wujud tamak adalah tidak alergi untuk berutang. Dalam berbisnis harus berani berutang. Itu, kalau takut berutang, tak akan bisa berbisnis. Kalau mau kaya, makin banyak untung, makin nyenyak tidur. Demikian resep untuk jadi kaya yang dianjurkan oleh Ketua Umum ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) Marzuki Uman (KOMPAS, Jum’at, 23 Mei 1997, hal 15).
Dalam dunia industri, manusia dipandang tidak lebih dari robot-robot untuk mengoperasikan mesin-mesin industri. Manusia industri menghabiskan hidupnya dalam lingkungan yang bercorak pabrik yang senantiasa berhubungan dengan mesin. Dibesarkan dan dididik dalam pendidikan bersuasana, bergaya pabrik. Sekolah merupakan pendidikan massal yang menekankan kedisiplinan terhadap waktu (time is money), kepatuhan dan rutinitas kerja. Pekerja harus datang tepat waktu, melaksanakan perintah tanpa bertanya-tanya (oke boss), melakukan pekerjaan secara rutin. Aktivitas produk sekolah tak lebih dari robot-robot (manusia robot). Demikian disimak antara lain dari "Keluarga Islam Menyongsong Abad 21", oleh Ibnu Musthafa.
Dalam dunia industri yang digalakkan, tenaga manusia adalah robot, pelayan dari mesin pabrik, abdi, hamba dari mesin. Timbul rasa kesedihan, bila jam kerja lembur dihapuskan. Maunya bekerja lebih dari tujuh atau delapan jam sehari. Memang demikianlah mental pabrik, mental pelayan, mental abdi, mental hamba, mental mengacu ke-atas. Pada industri, para pekerja (buruh) secara berkala tenaganya disedot pada malam hari, sebagai budak industri. Padahal malam itu diciptakan Allah untuk bisa beristirahat (QS Yunus 10:67).
Mental budak, mental inlander, mental anak jajahan tercermin dari sikap yang mempercayai tenaga ahli asing dari pada mempercayai tenaga ahli bangsa sendiri. Suatu perusahaan diyakini akan menjadi baik kinerjanya kalau pimpinannya orang asing, meskipun yang bekerja semuanya orang Indonesia. Mental demikian meyakini bahwa mustahil bisa berprestasi besar tanpa pengawasan orang asing. Demikian disimak dari analisa Kwik Kian Gie (KOMPAS, Senin, 3 Februari 1997, hal 15).
Kemitraan (koalisi, kolusi, persekongkolan) antar pendukung ketamakan akan kekuasaan (yang berkuasa) dan ketamakan akan kekayaan (pemilik modal) menghasilkan krisis, gejolak. Apa yang akan terjadi bila industri, keuangan, pemerintahan ditangani, dipimpin oleh kiai yang teknokrat-konglomerat ?
Amat disayangkan, tak ada upaya sama sekali untuk mengeliminir, meredusir, membatasi dampat negatif dari industrialisasi, mekanisasi, otomatisasi, investasi, kerja lebur. Bahkan malah pemerintah hanya berperan sebagai agen, fasilisator, broker, makelar, tengkulak untuk kepentingan pemilik modal (PMA, PMDN). Dan rakyat banyak jadi buruh, kuli dari pada investor (asing dan domestik).
Memang sistem yang dikendalikan oleh MNC (Multi National Corporation) dan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank memonopoli keputusan-keputusan global, dan pengaruhnya berdampak pada milyaran penduduk bumi. Di Indonesia hal ini dapat dilihat misalnya dengan musnahnya usaha-usaha industri rumah tangga, seperti limun, yang ketika dekade 70-an tumbuh menjamur di desa-desa. Tapi kini Coca Cola dan sejenis telah meluluh lantakkan mereka, nyaris tanpa sisa (GERAKAN KELUARGA SEJAHTERA Muhammadiyah, No.11, April-Juni 1994, hal 8).
= Bekasi 9 Februari 1997 =
2 Menyoal Orientasi Kepentingan
Dalam acara dua jam saja TVRI, Senin, 21 Agustus 2000, 07.00, Menteri Investasi dan BUMN, Rozy Munir menegaskan bahwa kebijakan Investasi dan BUMN itu berpangkal pada profit oriented.
Kebijakan penyelenggara negara yang berorientasi pada profit ini sungguh amat menyimpang dari amanat pasal 33-34 UUD-45 yang berorientasi sosial, untuk sebesar-besar kesejahteraan, kemakmuran rakyat banyak.
Bila kebijakan yang berorientasi profit ini yang harus diterapkan, maka terlebih dulu perlulah merubah pasal 33-34 UUD-45 itu, sehingga untuk sebesar-besar kesejaahteraan, kemakmuran pemodal.
Dalam penyusunan resyafel komposisi formasi personalia kabinet mendatang, oleh berbagai kalangan diminta agar berorientasi pada profesi. Orang-orang yang akan didudukkan dalam kabinet itu haruslah orang-orang profesional, bukan orang partisan, bukan orang partai.
Pola pikir yang berorientasi pada prefesi ini sungguh amat bertentangan dengan tata bernegara yang berorientasi pada partai. Presiden, pemegang hak prerogatif penyusunan kabinet itu diberi mandat, wewenang oleh MPR, yang sebagian besarnya adalah orang-orang partai (DPR).
Bilamana orang-orang eksekutif haruslah orang-orang profesional, maka perlulah UU pemilu dirubah, sehingga orang-orang legislatif itu semuanya adalah orang-orang profesional (yang diangkat dan yang ditunjuk oleh kalangan profesional).
3 Menyoal profit-oriented
Setiap kalangan merasa bahwa kalangan merekalah yang paling berperan. Pebisnis merasa bahwa yang menggerakkan roda perekonomian ini adalah kalangan mereka, para pelaku ekonomi. Karena itu yang paling pantas duduk dalam pemerintahan haruslah dari kalangan mereka, para pelaku ekonomi, pebisnis agar roda ekonomi berjalan lancar.
Namun kalangan lain memandang sebaliknya. Watak investor, pebisnis, pelaku ekonomi itu adalah avarice (emangnya lu gua pikirin), berorientasi pada profit (untuk kepentingan sendiri), dan sama sekali bukan berorientasi sosial (untuk kepentingan bersama). Dalam pandangan investor, pebisnis, pelaku ekonomi itu tenaga kerja hanyalah alat, sarana untuk menggandakan profit.
Berbeda dengan investor, pebisnis, pelaku ekonomi, maka penyelenggara negara (menteri dan aparatnya) itu haruslah berorientasi sosial. Sesuai pasal 33-34 UUD-45, maka profit bagi negara adalah untuk sebesar-besar kesejahteraan, kemakmuran rakyat banyak. Bila yang dikehendaki adalah sebesar-besar kesejahteraan, kemakmuran pemodal, maka haruslah dirubah pasal 33-34 UUD-45 tersebut. (Bks 17-8-2000)
4 Menyoal industrialisasi
Industrialisasi dipelopori oleh Revolusi Industri yang pertama kali terjadi di negeri Inggeris yang berlansung sejak 1750 dengan puncak perkembangannya pada sekitar 1850. Inti dari pengertian Revolusi Industri adalah penggantian tenaga manusia dengan tenaga uap sebagai tenaga penggerak. Revolusi industri didahului oleh Gerakan Intelektualisme (Renaissance dan Humanisme sekitar 1300-1500) yang mencapai puncaknya pada Revolusi Perancis 1789. Indonesia sendiri dalam sejarah perekonomiannya belum pernah mengalami Revolusi Industri seperti di negara-negara industri.
Industrialisasi membutuhkan daerah produsen (penghasil bahan mentah dan bahan baku bagi industri), daerah konsumen (pemakai/pembeli barang jadi hasil produksi industri), daerah investasi (untuk menanamkan modal lebih dari konglomerat). Industrialisasi berwatak tamak (imperialisme), punya nafsu serakah untuk merampas dan menguasai daerah atau negeri lain. Industrialisasi menimbulkan urbanisasi, gejolak sosial (keresahan dan kerusuhan). Industrialisasi menghasilkan kuli, buruh pabrik yang bernasib buruk, dan konglomerat yang menumpuk kekayaan triliunan. Industrialisasi tak pernah mendatangkan kemakmuran bagi kuli, buruh pabrik industri. Buruh tak pernah berhenti berjuang menuntut upah, jam kerja dan jaminan yang sangat layak. Besarnya upah buruh yang layak dapat dikalkulasikan dari besarnya kerugian yang diderita oleh konglomerat pada saat aksi mogok kerja yang dilakukan oleh buruh. Kegigihan perjuangannyalah yang dapat mengangkat standard/tingkat hidupnya (memakmurkannya). "Adalah suatu kemustahilan, kondisi golongan miskin itu akan berubah tanpa suatu kekuasaan. Dan suatu kekuasaan tidak akan lahir tanpa diperjuangkan" (TOPIK, No.6, 14 Februari 1984, hlm 6). (Bks 29-12-1997).
5 Menyoal PMA
Konglomerat Barat (juga Timur dan Domestik) menanamkan modalnya di tanah air Indonesia ini pada sektor industri dan niaga. Industri dan niaga ini langsung di bawah kontrol dari pimpinan konglomerat sendiri. Bagi konglomerat (juga bagi kompeni dulu), rakyat merupakan tambang emas. Mereka dipekerjakan sebagai buruh pabrik untuk melayani mesin produksi. Tenaganya diperas dan dikuras dengan upah yang sangat minim. Tak heran bila mereka berjuang berkepanjangan menuntut upah yang paling layak. Juga rakyat itu merupakan objek pasar, pembeli, konsumen barang produksi industri konglomerat. Rakyat digunakan konglomerat untuk menggandakan kekayaan konglomerat. Pertama dari upah buruh yang sangat tak layak (di bawah standard umum) dan dari keuntungan penjualan barang produksi kepada rakayat konsumen. Jutaan, milyaran, triliunan rupiah mengalir ke pos-kekayaan konglomerat. Rakyat tetap sebagai kuli, buruh dengan standard/tingkat hidup yang jauh di bawah layak.
Dimaklumi bahwa salah satu akibat dari penanaman modal Barat (juga Timur dan Domestik) yang berkelebihan adalah semakin melebarnya kesenjangan sosial ekonomi di tengah masyarakat (bergrafik tangensial). Yang sebagian besar hanya punya penghasilan dalam ribuan rupiah, sedangkan yang sebagian kecil lainnya punya penghasilan dalam jutaan rupiah, bahakan ada yang dalam milyaran dan triliyunan rupiah. Rakyat tetap saja kuli, buruh kilang pabrik konglomerat. Industrialisasi dan pabrik-pabrik telah menghasilkan kuli, buruh pabrik yang bernasib sangat buruk, dan konglomerat yang menumpuk kekayaan triliyunan. Industrialisasi tidaklah mendatangkan kemakmuran rakyat, kecuali bagi konglomerat.
Sistim pendidikan (link & match) juga mempersiapkan rakyat (anak didik) untuk melayani kebutuhan konglomerat yang menguasai industri. Sekolah itu diproyeksikan untuk mengabdi pada pembinaan SDM yang diperlukan bagi industri, untuk memberikan yang terbaik pada para pelaku ekonomi. Tegasnya sekolah harus mengabdi pada industri. Dalam bahasa pasaran "pendidikan harus mengabdi pada konglomerat". Perbudakan modern.
Sampai di mana, sistim industri, sistim pendidikan, sistim ketenagakerjaan, sistim pengupahan mengangkat standard/tingkat hidup rakyat (memakmurkan rakyat) ? Di Cikarang, Jawa Barat, misalnya, tersedia lahan kawasan industri bagi lebih tiga-ratusan investor. Berapa jumlah kekayaan rakyat setempat yang tergusur/tersedot ? Seberapa jauh tingkat kesejahteraan rakyat sekitar kawasan industri dapat diharapkan naik dengan keberadaan industri ? Seberapa jauh sumbangan industri terhadap pembinaan SDM rakyat sekitar ? Apakah rakyat hanya harus bekarja keras (berkorban) dalam rangka memberikan saham bagi kepentingan konglomerat ? (Bks 27-12-1997)
Asrir sutan
Kembalilah ke semangat Konstitusi
catatan serbaneka asrir pasir
Kembalilah ke semangat Konstitusi
Kembalilah ke semangat konstitusi UUD-45, ke semangat Pembukaaan dan Pasal-pasal UUD-45.Kembalilah ke semangat demokrasi, semangat kerakyatan, semangat peduli akan sesama. Kembalilah ke semangat kesejahteraan rakyat, semangat mendahulukan kepentingana rakyat. Kembalilah ke semangat pencerdasan bangsa, semangat peningkatkan kecerdasan dan pengetahuan bangsa. Kembalilah ke semangat perdamaian dan ketertiban dunia. Kembalilah ke semangat permusyawaratan permufakatan. Kembalikanlah GBHN kepada MPR. Kemalilah ke semangat jabatan terbatas, hak terbatas, formasi terbatas. Hapuskankah Menteri Muda, Aspri, Staf Khusus, Staf Ahli, Satgas, KPK dan Komite-Komite lain, Sistem Protokoler (Anti Demokrasi). Cukupkanlah dengan Lembaga-Lembaga Yang diatur UUD-45. Rampingkalah struktur kepejabatan. Hematkanlah penggunan uang negara. Yang sudah pernah jadi Presiden tak usah lagi ikut-iktan Pilpres. Cukulah sudah menikmati Jabatan Presiden selama 5 tahun. Tak perlu punya hak istimewa, hak prerogatif. Tak perlu adanya diskriminasi. Kmbalilah ke semangat keryakatan, semangat mendahulukan kepentingan rakyat. Kembalilah ke semangat keadilan, semagat tak pilih kasih. Kembali ke semangat kemerdekaaan ibadah. Tempat tinggal jangan difungsikan sebagai tempat ibadah, tempat kebaktian. Kembalilah ke semangat pendidikan rakyat, pendidikan nasional. Semua sama berhak mendapatkan pendidikan. Tak ada diskriminasi. Kembalilah ke semangat ekonomi rakyat, ekonomi yang berfunsi sosial, ekonomi yng mendatangkan kesejahteraan rakyat. Memperkecil angka kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin.
Adam Smith, Karl Marx, Keynes, Taylor dan pakar-pakar ekonomi lain, sebenarnya berupaya mencari, menyusun cara, metode untuk menciptakan kesejahteraan bersama, namun tak pernah bersama.
(written bt sicumpaz@gmail.com at BKS1109151000)
Menyoal Pola Hidup Tamak
1 Menyoal pola hidup tamak
Tamak adalah sifat untuk memiliki sesuatu secara berlebihan-lebihan tanpa ada puas-puasnya. Dalam bahasa canggihnya, tamak adalah orientasi hidup yang berlebihan pada materialisme. Bisa saja tamak akan harta, kekayaan, pangkat, jabatan, kedudukan, kekuasaan.
Salah satu yang mengungkung, membelenggu manusia itu adalah sifat asli manusia itu sendiri, yaitu sifat ‘halu’a" (QS 70:19). Ada yang mengartikan dengan sifat keluh kesah lagi kikir. Dan ada pula yang mengartikan dengan sifat keluh kesah lagi tamak. Gelisah, tidak sabar, khawatir itu disebabkan oleh keserakahan dalam memperoleh kekayaan material. Itulah karakter asli manusia. Namun demikian, watak serakah manusia itu, jika dituntun dengan baik, akan kreatif menaiki ma’arij, jenjang kemajuan sosial ekonomi dan ilmu pengetahuan (Afzalurrahman, "Muhammad Sebagai Seorang Pedagang", 1997, hal 195, 211-212.
"Ketamakan (avarice, emangnya lu gua pikirin) melekat pada watak, pembawaan ekonomi pasar (ekonomi kapitalis). Pembawaan dan dampak ekonomi kapitalis, pertumbuhan dan kemajuan besar, sekaligus juga kesenjangan´(KOMPAS, Kamis, 16 Januari 1997, hal 4, Tajuk Rencana). Ketimpangan sosial-ekonomi, antara rural-agraris-tradisional dan urban-industrial-modern. Terjadi seleksi rekayasa : struggle for existence, survival of the fittest, adoptability. Rakyat lemah tersingkir ke pinggir. Pemerintah ikut berperan sebagai agen, fasilitator, broker untuk kepentingan pemilik modal.
Ketamakan akan harta, kekayaan melahirkan industrialisasi. Disamping berhasil memacu pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, industrialisasi juga telah merusak hubungan-hubungan sosial tradisional dan memunculkan perpecahan-perpecahan dan konflik-konflik baru dalam struktur sosial masyarakat. Proses industrialisasi telah merombak secara total hampir setiap sendi kehidupan masyarakat, baik kebudayaan mapun kepribadian. Akibat lanjutannya adalah munculnya gejala ketidak-seimbangan dan guncangan mental dalam kehidupan masyarakat. Pada saat yang bersamaan rasa tidak aman, tidak berharga, putus asa, mengalami ketegangan melanda relung kehidupan masyarakat. Pada gilirannya, norma-norma sosial masyarakat menjadi lemah atau tidak ada sama sekali.
Ketamakan akan pangkat, jabatan, kedudukan, kekuasaan, ketenaran dapat tercermin, terpanctul dalam ambisi memenuhi kebutuhan yang berlebihan. Kebutuhan untuk dapat berusaha mengontrol kepentingan kelompok subordinasi (miskin). Kebutuhan untuk dapat berusaha membenarkan (mempertahankan legitimasi kelanggengan dominasinya. Kebutuhan akan kerelaan berkorban dari pihak yang tersubordinasi, kerelaan masyarakat untuk menerima serta mendukung struktur kekuasaan. Kebutuhan agar sistem yang berjalan tetap bertahan. Pendukung struktur yang berkuasa (ketamakan akan kekuasaan) dan pemilik modal (ketamakan akan kekayaan) berkoalisi, berkolusi berusaha memperkuat dominasinya dengan memangkas, memasung kebebasan manusia. Demikian disimak dari analisa Tadjuddin Noer Effendi (KOMPAS, Rabu, 29 Januari 1997, hal4, "Pahami Kerusuhan dan Gejolak Sosial").
Dari ayat 34 surah Taubah (QS 9:34) dipahami bahwa bencana akan menimpa perekonomian dunia oleh karena dua hal. Pertama disebabkan dari kaum agama (pendeta) yang memperkosa hak milik manusia dengan cara yang salah, dengan memperkedok agama dan Tuhan (lahir pada zaman Universal-Feodalisme). Kedua disebabkan dari kaum kapitalis yang sangat memperkuat dan memperhebat kekuasaan hak milik, dengan mengesampingkan sama sekali akan rasa Ke-Tuhanan dan rasa kemanusiaan (lahir pada zaman Individualistis-Kapitalisme). Inilah yang mengundang datangnya azab, siksaan Allah yang sangat pedih, yang menimbulkan bencana kesengsaraan manusia seluruh dunia. Demikian disimak dari analisa Z.A Ahmad tentang "Kebobrokan Ekonomi Dunia" (Dasar-Dasar Ekonomi dalam Islam, 1952, hal 27, 31).
Tamak biangnya ketimpangan, kesenjangan, keretakan, keresahan, kerusuhan, keonaran, kekacauan. Namun demikian, tamak terkendali (nafsu muthmainnah) perlu. Tanpa tamak takkan berhasil. Salah satu wujud tamak adalah tidak alergi untuk berutang. Dalam berbisnis harus berani berutang. Itu, kalau takut berutang, tak akan bisa berbisnis. Kalau mau kaya, makin banyak untung, makin nyenyak tidur. Demikian resep untuk jadi kaya yang dianjurkan oleh Ketua Umum ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) Marzuki Uman (KOMPAS, Jum’at, 23 Mei 1997, hal 15).
Dalam dunia industri, manusia dipandang tidak lebih dari robot-robot untuk mengoperasikan mesin-mesin industri. Manusia industri menghabiskan hidupnya dalam lingkungan yang bercorak pabrik yang senantiasa berhubungan dengan mesin. Dibesarkan dan dididik dalam pendidikan bersuasana, bergaya pabrik. Sekolah merupakan pendidikan massal yang menekankan kedisiplinan terhadap waktu (time is money), kepatuhan dan rutinitas kerja. Pekerja harus datang tepat waktu, melaksanakan perintah tanpa bertanya-tanya (oke boss), melakukan pekerjaan secara rutin. Aktivitas produk sekolah tak lebih dari robot-robot (manusia robot). Demikian disimak antara lain dari "Keluarga Islam Menyongsong Abad 21", oleh Ibnu Musthafa.
Dalam dunia industri yang digalakkan, tenaga manusia adalah robot, pelayan dari mesin pabrik, abdi, hamba dari mesin. Timbul rasa kesedihan, bila jam kerja lembur dihapuskan. Maunya bekerja lebih dari tujuh atau delapan jam sehari. Memang demikianlah mental pabrik, mental pelayan, mental abdi, mental hamba, mental mengacu ke-atas. Pada industri, para pekerja (buruh) secara berkala tenaganya disedot pada malam hari, sebagai budak industri. Padahal malam itu diciptakan Allah untuk bisa beristirahat (QS Yunus 10:67).
Mental budak, mental inlander, mental anak jajahan tercermin dari sikap yang mempercayai tenaga ahli asing dari pada mempercayai tenaga ahli bangsa sendiri. Suatu perusahaan diyakini akan menjadi baik kinerjanya kalau pimpinannya orang asing, meskipun yang bekerja semuanya orang Indonesia. Mental demikian meyakini bahwa mustahil bisa berprestasi besar tanpa pengawasan orang asing. Demikian disimak dari analisa Kwik Kian Gie (KOMPAS, Senin, 3 Februari 1997, hal 15).
Kemitraan (koalisi, kolusi, persekongkolan) antar pendukung ketamakan akan kekuasaan (yang berkuasa) dan ketamakan akan kekayaan (pemilik modal) menghasilkan krisis, gejolak. Apa yang akan terjadi bila industri, keuangan, pemerintahan ditangani, dipimpin oleh kiai yang teknokrat-konglomerat ?
Amat disayangkan, tak ada upaya sama sekali untuk mengeliminir, meredusir, membatasi dampat negatif dari industrialisasi, mekanisasi, otomatisasi, investasi, kerja lebur. Bahkan malah pemerintah hanya berperan sebagai agen, fasilisator, broker, makelar, tengkulak untuk kepentingan pemilik modal (PMA, PMDN). Dan rakyat banyak jadi buruh, kuli dari pada investor (asing dan domestik).
Memang sistem yang dikendalikan oleh MNC (Multi National Corporation) dan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank memonopoli keputusan-keputusan global, dan pengaruhnya berdampak pada milyaran penduduk bumi. Di Indonesia hal ini dapat dilihat misalnya dengan musnahnya usaha-usaha industri rumah tangga, seperti limun, yang ketika dekade 70-an tumbuh menjamur di desa-desa. Tapi kini Coca Cola dan sejenis telah meluluh lantakkan mereka, nyaris tanpa sisa (GERAKAN KELUARGA SEJAHTERA Muhammadiyah, No.11, April-Juni 1994, hal 8).
= Bekasi 9 Februari 1997 =
2 Menyoal Orientasi Kepentingan
Dalam acara dua jam saja TVRI, Senin, 21 Agustus 2000, 07.00, Menteri Investasi dan BUMN, Rozy Munir menegaskan bahwa kebijakan Investasi dan BUMN itu berpangkal pada profit oriented.
Kebijakan penyelenggara negara yang berorientasi pada profit ini sungguh amat menyimpang dari amanat pasal 33-34 UUD-45 yang berorientasi sosial, untuk sebesar-besar kesejahteraan, kemakmuran rakyat banyak.
Bila kebijakan yang berorientasi profit ini yang harus diterapkan, maka terlebih dulu perlulah merubah pasal 33-34 UUD-45 itu, sehingga untuk sebesar-besar kesejaahteraan, kemakmuran pemodal.
Dalam penyusunan resyafel komposisi formasi personalia kabinet mendatang, oleh berbagai kalangan diminta agar berorientasi pada profesi. Orang-orang yang akan didudukkan dalam kabinet itu haruslah orang-orang profesional, bukan orang partisan, bukan orang partai.
Pola pikir yang berorientasi pada prefesi ini sungguh amat bertentangan dengan tata bernegara yang berorientasi pada partai. Presiden, pemegang hak prerogatif penyusunan kabinet itu diberi mandat, wewenang oleh MPR, yang sebagian besarnya adalah orang-orang partai (DPR).
Bilamana orang-orang eksekutif haruslah orang-orang profesional, maka perlulah UU pemilu dirubah, sehingga orang-orang legislatif itu semuanya adalah orang-orang profesional (yang diangkat dan yang ditunjuk oleh kalangan profesional).
3 Menyoal profit-oriented
Setiap kalangan merasa bahwa kalangan merekalah yang paling berperan. Pebisnis merasa bahwa yang menggerakkan roda perekonomian ini adalah kalangan mereka, para pelaku ekonomi. Karena itu yang paling pantas duduk dalam pemerintahan haruslah dari kalangan mereka, para pelaku ekonomi, pebisnis agar roda ekonomi berjalan lancar.
Namun kalangan lain memandang sebaliknya. Watak investor, pebisnis, pelaku ekonomi itu adalah avarice (emangnya lu gua pikirin), berorientasi pada profit (untuk kepentingan sendiri), dan sama sekali bukan berorientasi sosial (untuk kepentingan bersama). Dalam pandangan investor, pebisnis, pelaku ekonomi itu tenaga kerja hanyalah alat, sarana untuk menggandakan profit.
Berbeda dengan investor, pebisnis, pelaku ekonomi, maka penyelenggara negara (menteri dan aparatnya) itu haruslah berorientasi sosial. Sesuai pasal 33-34 UUD-45, maka profit bagi negara adalah untuk sebesar-besar kesejahteraan, kemakmuran rakyat banyak. Bila yang dikehendaki adalah sebesar-besar kesejahteraan, kemakmuran pemodal, maka haruslah dirubah pasal 33-34 UUD-45 tersebut. (Bks 17-8-2000)
4 Menyoal industrialisasi
Industrialisasi dipelopori oleh Revolusi Industri yang pertama kali terjadi di negeri Inggeris yang berlansung sejak 1750 dengan puncak perkembangannya pada sekitar 1850. Inti dari pengertian Revolusi Industri adalah penggantian tenaga manusia dengan tenaga uap sebagai tenaga penggerak. Revolusi industri didahului oleh Gerakan Intelektualisme (Renaissance dan Humanisme sekitar 1300-1500) yang mencapai puncaknya pada Revolusi Perancis 1789. Indonesia sendiri dalam sejarah perekonomiannya belum pernah mengalami Revolusi Industri seperti di negara-negara industri.
Industrialisasi membutuhkan daerah produsen (penghasil bahan mentah dan bahan baku bagi industri), daerah konsumen (pemakai/pembeli barang jadi hasil produksi industri), daerah investasi (untuk menanamkan modal lebih dari konglomerat). Industrialisasi berwatak tamak (imperialisme), punya nafsu serakah untuk merampas dan menguasai daerah atau negeri lain. Industrialisasi menimbulkan urbanisasi, gejolak sosial (keresahan dan kerusuhan). Industrialisasi menghasilkan kuli, buruh pabrik yang bernasib buruk, dan konglomerat yang menumpuk kekayaan triliunan. Industrialisasi tak pernah mendatangkan kemakmuran bagi kuli, buruh pabrik industri. Buruh tak pernah berhenti berjuang menuntut upah, jam kerja dan jaminan yang sangat layak. Besarnya upah buruh yang layak dapat dikalkulasikan dari besarnya kerugian yang diderita oleh konglomerat pada saat aksi mogok kerja yang dilakukan oleh buruh. Kegigihan perjuangannyalah yang dapat mengangkat standard/tingkat hidupnya (memakmurkannya). "Adalah suatu kemustahilan, kondisi golongan miskin itu akan berubah tanpa suatu kekuasaan. Dan suatu kekuasaan tidak akan lahir tanpa diperjuangkan" (TOPIK, No.6, 14 Februari 1984, hlm 6). (Bks 29-12-1997).
5 Menyoal PMA
Konglomerat Barat (juga Timur dan Domestik) menanamkan modalnya di tanah air Indonesia ini pada sektor industri dan niaga. Industri dan niaga ini langsung di bawah kontrol dari pimpinan konglomerat sendiri. Bagi konglomerat (juga bagi kompeni dulu), rakyat merupakan tambang emas. Mereka dipekerjakan sebagai buruh pabrik untuk melayani mesin produksi. Tenaganya diperas dan dikuras dengan upah yang sangat minim. Tak heran bila mereka berjuang berkepanjangan menuntut upah yang paling layak. Juga rakyat itu merupakan objek pasar, pembeli, konsumen barang produksi industri konglomerat. Rakyat digunakan konglomerat untuk menggandakan kekayaan konglomerat. Pertama dari upah buruh yang sangat tak layak (di bawah standard umum) dan dari keuntungan penjualan barang produksi kepada rakayat konsumen. Jutaan, milyaran, triliunan rupiah mengalir ke pos-kekayaan konglomerat. Rakyat tetap sebagai kuli, buruh dengan standard/tingkat hidup yang jauh di bawah layak.
Dimaklumi bahwa salah satu akibat dari penanaman modal Barat (juga Timur dan Domestik) yang berkelebihan adalah semakin melebarnya kesenjangan sosial ekonomi di tengah masyarakat (bergrafik tangensial). Yang sebagian besar hanya punya penghasilan dalam ribuan rupiah, sedangkan yang sebagian kecil lainnya punya penghasilan dalam jutaan rupiah, bahakan ada yang dalam milyaran dan triliyunan rupiah. Rakyat tetap saja kuli, buruh kilang pabrik konglomerat. Industrialisasi dan pabrik-pabrik telah menghasilkan kuli, buruh pabrik yang bernasib sangat buruk, dan konglomerat yang menumpuk kekayaan triliyunan. Industrialisasi tidaklah mendatangkan kemakmuran rakyat, kecuali bagi konglomerat.
Sistim pendidikan (link & match) juga mempersiapkan rakyat (anak didik) untuk melayani kebutuhan konglomerat yang menguasai industri. Sekolah itu diproyeksikan untuk mengabdi pada pembinaan SDM yang diperlukan bagi industri, untuk memberikan yang terbaik pada para pelaku ekonomi. Tegasnya sekolah harus mengabdi pada industri. Dalam bahasa pasaran "pendidikan harus mengabdi pada konglomerat". Perbudakan modern.
Sampai di mana, sistim industri, sistim pendidikan, sistim ketenagakerjaan, sistim pengupahan mengangkat standard/tingkat hidup rakyat (memakmurkan rakyat) ? Di Cikarang, Jawa Barat, misalnya, tersedia lahan kawasan industri bagi lebih tiga-ratusan investor. Berapa jumlah kekayaan rakyat setempat yang tergusur/tersedot ? Seberapa jauh tingkat kesejahteraan rakyat sekitar kawasan industri dapat diharapkan naik dengan keberadaan industri ? Seberapa jauh sumbangan industri terhadap pembinaan SDM rakyat sekitar ? Apakah rakyat hanya harus bekarja keras (berkorban) dalam rangka memberikan saham bagi kepentingan konglomerat ? (Bks 27-12-1997)
Asrir sutan
Langganan:
Postingan (Atom)