Emha Ainun Nadjib bicara budaya homoseksualitas
Kini dengan mengelus-elus prinsip demokrasi dan maniak kebebasan pribadi, kaum homo gencar memperjuangkan eksistensi sosialnya. Mereka ingin diakui sebagai gejala yang sah dari kehidupan. Juga diakomodasi oleh undang-undang dan oleh kebudayaan dan kemanusiaan.
Tak perlu membenci kaum homoseksual, gemblak, mairil. Yang harus dibenci adalah konsep benci itu sendiri.
Hak dan keabsahan homoseksualitas ada yang kodrati (fisik-biologis) yang termasuk ke dalam kategori darurat. Dan ada pula yang karena rangsangan budaya-kultural.
Gemblak, homoseksualitas menjadi tradisi di wilayah pesantren. (Bandingkan dengan skandal pelecehan seksual oleh pastor di Irlandia yang diberitakan media).
Belum ada rumusan yang jernih dan adil tentang apa beda lelaki dengan kelelakian, dan wanita dengan kewanitaan.
Ruh manusia itu non-gendre, bkan lelaki dan bukan perempuan.
Secara objektif, siapakah sebenarnya lelaki itu dan siapakah perempuan itu, dan siapa pula wadam itu ? Apakah Islam sanggup menjelaskan hal tersebut ? Ataukah Islam hanya menjelaskan aturan hukum saja ?
Setiap manusia memiliki unsure kelelakian dan unsure kewanitaan sekaligus. Unsur mana yang akan lebih dominant, yang akan lebih ptensial tergantung mekanisme budaya sejarah.
(BKS1003270700)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar